• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR LAMPIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teor

2.1.2 Konsep Deindustrialisas

Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan kontribusi output sektor manufaktur dalam pendapatan nasional maupun penurunan pangsa (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja. Dalam penelitian ini, deindustrialisasi mengacu pada penurunan pangsa (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja seluruh sektor. Apabila produktivitas tenaga kerja meningkat dengan cepat, deindustrialisasi dapat terjadi meskipun output sektor manufaktur meningkat atau konstan. Definisi deindustrialisasi itu sendiri mempunyai banyak interpretasi (Tabel 4).

Teori-teori yang menjelaskan tentang deindustrialisasi telah berkembang sejak lama. Rowthorn dan Wells (1987), membedakan deindustrialisasi menjadi dua macam yaitu deindustrialisasi positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif merupakan dampak yang terjadi karena perekonomian telah mengalami kedewasaan (maturity) dalam pembangunan ekonomi. Dengan pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan per kapita, peran pekerja sektor pertanian mengalami penurunan dan peran pekerja sektor manufaktur meningkat sampai pada tingkat tertinggi dalam pembangunan yang dicapai. Namun, di sisi lain terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari peningkatan peran sektor jasa seiring dengan peningkatan biaya dalam sektor manufaktur akibat kenaikan upah pekerja. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari tingkat

12

pertumbuhan produktivitas di sektor manufaktur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor jasa dan adanya perubahan dalam pola konsumsi yang terjadi selama pembangunan ekonomi. Perubahan pola konsumsi ini lebih disebabkan oleh perbedaan elastisitas pendapatan dari permintaan antar sektor.

Tabel 4. Ringkasan Definisi Deindustrialisasi

Sumber Definisi Deindustrialisasi

a. Blackaby (1979) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional.

b. Singh (1982) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai impor untuk mencapai kondisi full-employment

dalam perekonomian c. Rowthorn dan

Wells (1987) diacu dalam IMF (1997)

Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja

d. Bazen dan Thirwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik secara absolut maupun relatif terhadap total pekerja.

e. World Bank (1994) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan tidak sementara kontribusi sektor manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih lambat.

f. Rowthorn dan Coutts (2004)

Penurunan kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian nasional

Sumber : Dewi (2010)

Sedangkan deindustrialisasi negatif merupakan fenomena patologis (pathological phenomenon) yaitu terjadi ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian yang mencegah suatu bangsa mencapai pertumbuhan yang full employment. Keadaan ini terjadi karena memburuknya kinerja sektor manufaktur dan melambatnya pertumbuhan output dan produktivitas sektor manufaktur yang mengakibatkan menurunnya daya saing sehingga perekonomian semakin memburuk. Pengangguran dari sektor manufaktur yang dihasilkan dari adanya deindustrialisasi negatif tidak dapat terserap di sektor jasa akibat situasi perekonomian yang melambat. Dengan demikian, deindustrialisasi positif dikaitkan dengan meningkatnya pendapatan riil dan lapangan kerja penuh (full

13

employment), sementara deindustrialisasi negatif dikaitkan dengan stagnasi pendapatan riil dan meningkatnya pengangguran (Alderson, 1999).

Rowthorn dan Wells (1987) berpendapat bahwa adanya perdagangan dalam perekonomian internasional terkait dengan deindustrialisasi. Perdagangan mempengaruhi peran pekerja manufaktur baik secara makro maupun mikro ekonomi melalui pengaruhnya pada spesialisasi. Pertama, dalam economic maturity deindustrialisasi terkait dengan kinerja perdagangan yang kuat atau lemah. Pada saat neraca perdagangan manufaktur positif dan besar, kekuatan sektor manufaktur memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Keadaan ini tercapai pada saat sektor manufaktur mulai melimpahkan tenaga kerjanya yang dapat diserap oleh sektor jasa (melalui deindustrialisasi positif). Sebaliknya, ketika perdagangan manufaktur memburuk dan investasi di bidang manufaktur menurun, sektor manufaktur mulai melimpahkan tenaga kerjanya dan tidak dapat terserap oleh sektor jasa sehingga perekonomian stagnan atau semakin memburuk (melalui deindustrialisasi negatif). Teori Marx tentang penurunan keuntungan (profit) suatu industri dianggap sebagai awal mula dari munculnya teori deindustrialisasi (Rowthorn, 1992). Teori tersebut menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses produksi menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pada saat yang bersamaan, inovasi teknologi dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerja karena pekerja digantikan dengan mesin sehingga kapasitas penggunaan kapital meningkat. Apabila pekerja diasumsikan dapat memberikan nilai tambah baru, maka semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan surplus yang lebih kecil dibandingkan penambahan pekerja. Penambahan pekerja menyebabkan rata-rata profit industri akan menurun dalam jangka panjang. Oleh karenanya, sebuah industri perlu melakukan inovasi teknologi sebagai investasi kapital serta mengembangkan kemampuan pekerjanya sebagai investasi human kapital untuk mengantisipasi terjadinya deindustrialisasi negatif.

Peningkatan produktivitas sektor manufaktur apabila diasumsikan ceteris paribus akan menyebabkan penurunan biaya relatif dalam memproduksi barang, sehingga harga barang manufaktur semakin murah. Hal ini menyebabkan proporsi nilai tambah sektor manufaktur menurun, dengan asumsidemandterhadap barang

14

manufaktur dan jasa bersifat inelastis. Implikasinya adalah pengurangan aktivitas sektor manufaktur dengan cara melakukan outsourcing atau dikontrakkan untuk sebagian proses produksinya sehingga turunnya proporsi nilai tambah sektor manufaktur tanpa memperburuk kondisi perekonomian. Deindustrialisasi ini memberikan dampak positif bagi sektor manufaktur karena produktivitasnya yang tinggi (Pitelis dan Antonakis, 2003).

Deindustrialisasi juga dapat dilihat dari sisi pekerja. Bazen dan Thirlwall (1989) menyebutkan bahwa fokus terhadap pekerja sektor manufaktur ini dilakukan karena sangat berguna untuk melihat peningkatan pendapatan pada level produktivitas pekerja tertentu dan hubungan antara industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan pengertian deindustrialisasi yang dikemukakan (lihat Tabel 4) dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi positif tidak menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan sebaliknya deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran (Jalilian dan Weiss, 2000).

Reisman (2002) menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal dan profit yang diharapkan menjadi berkurang. Selain itu, perubahan struktur perekonomian oleh peraturan pemerintah juga bisa menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Menurut Bluestone dan Harrison (1982) serta Logan dan Swanstrom (1990), terobosan di bidang transportasi, komunikasi dan teknologi informasi menyebabkan perusahaan manufaktur akan berpindah ke lokasi yang lebih murah dan lokasi sebelumnya (pusat kota) ditempati oleh sektor jasa dan aglomerasi finansial.

Untuk menganalisis adanya industrialisasi dan deindustrialisasi dalam kasus perekonomian terbuka, tidak cukup hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan harus menganalisis juga interaksi dengan negara lainnya. Pada negara berkembang diawal tahap pertumbuhannya, kontribusi sektor pertanian pada balance of payment sama atau lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur. Pada saat pendapatan perkapita meningkat pada level middle-income countries, peranan sektor manufaktur menjadi sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya demand terhadap produk

15

manufaktur, dimana jika tidak dapat dipenuhi dari pasar domestik maka akan dipenuhi melalui impor sehingga akan mengubah kondisi neraca perdagangan. Sedangkan pada negara maju, kontribusi sektor manufaktur saat ini sangat kecil (baik terhadap GDP maupun terhadap total pekerja) dan sektor ekspor utama adalahknowladge-based services (Singh, 1977).

Dokumen terkait