• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Dewan Perwakilan Daerah setelah putusan Mahkamah

Pasca putusan MK telah terjadi perubahan terhadap fungsi legislasi DPD. Hal ini dapat diuraikan terhadap kaitannya dengan lima pokok persoalannya yaitu sebagai berikut:

1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR. Proses selama ini sebelum putusan MK, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan

27

Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR. Hal ini dianggap mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam pasal 22D Ayat (1) UUD 1945. Dalam Putusannya, Makhkamah berpendapat bahwa14:

Kewenangan DPD yang “dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah” bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional

Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan

Rakyat”. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga, kewenangan DPD dibidang legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan Presiden.

14

28

2. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan. Disebutkan dalam putusan MK terkait pendapat Mahkamah, bahwa:15

Kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah

ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah. Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (2)

UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan dengan tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama. Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah wajar

karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan Pertama UUD

15Ibid, hlm. 246—247

29

1945 tahun 1999, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 disahkan pada

Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberi pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberi penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan

30

oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. Sehingga dalam hal ini, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.

3. Kewenangan DPD tetap berhenti pada persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD 1945 telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. Dalam putusan MK disebutkan bahwa 16 :

Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, DPD tidak ikut memberi persetujuan tehadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;

4. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun program legislasi nasional (prolegnas). Dalam putusan MK disebutkan bahwa 17: Penyusunan Prolegnas sebagai instrument perencana program pembentukan Undnag-Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undng-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program

16

Ibid, hlm. 248 17Ibid, hlm. 249

31

pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas.

5. Kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam hal RUU terkait APBN, pajak, pendidikan dan agama oleh DPD tetap tidak bisa dimaknai sebagai kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut pula. Dalam putusan MK disebutkan bahwa 18:

Makna “memberikan pertimbangan” sebagaimana yang dimaksud 22D ayat

(2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan dan merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan perubahan pola legislasi DPD. Dalam putusannya, dapat dilihat kewenangan DPD di bidang legislasi tidak lagi

subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan

Presiden. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan, namun kewenangan

32

DPD tetap berhenti pada persetujuan pengesahan RUU menjadi Undang-Undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD 1945 telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. MK juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

III. METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Masalah

Pendakatan masalah yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Pendekatan normatif dengan menggunakan data sekunder, yaitu untuk menganalisis kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU-X/2012 dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, teori hukum, dan pendapat para ahli.

2. Pendekatan Empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui wawancara sehubungan dengan kewenangan DPD pasca putusan MK. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian pada Kantor DPD Provinsi Lampung.

Dokumen terkait