• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan

BAB IV ANALISIS KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo

2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan

Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini.38 Secara artikulatif, Nasr membongkar akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan.39

Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang akhir-akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti pada aspek kognitif-konseptual, kritik dan koreksi yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama, menurut Amin Abdullah, mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis (tingkah manusia).40 Lebih jauh, menurutnya, Al-Qur‟an lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi

38

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, (Lahore: Suhail Academy Press. 1988), h. 6.

39

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, h. 75.

40 M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, h.116

terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis, seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan merupakan problem yang begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontemporer.41

Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam yang diperintahkan oleh Allah. Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika Nabi adalah seluruh Al -Qur‟an”. Al-Qur‟an tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.

Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan dibangun oleh persepsi moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan oleh Allah kepada mereka di atas bumi

41M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46, 1991, h. 91-92.

(Khalifat Allah fi al-’Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”…Allah telah membuat kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.” (71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut.

Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan dalam al-Qur‟an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya, dan menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61)

Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan

konsumtif. 42 Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah dan menyia-nyiakan (tabdzir).

Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-Qur‟an menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan untuk bersuci (ketika tidak ada air).

Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan (perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan

42

kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, atau environmentalism.

Dokumen terkait