• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggung jawaban korporasi pada kasus PT.lapindo brantas menurut persepektif hukum islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggung jawaban korporasi pada kasus PT.lapindo brantas menurut persepektif hukum islam"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS PT. LAPINDO BRANTAS MENURUT

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Perbandingan

Madzhab Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh : TEDI SUDARNA NIM: 1110043200006

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

TEDI SUDARNA,.” PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT.

LAPINDO BRANTAS MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM” Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan

Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M.

Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pertanggungjawaban Korporasi (badan hukum) dalam hal ini adalah kasus PT. LAPINDO BRANTAS. Terhadap Negara, terlebih kepada masyarakat yang terkena akibat dari Korporasi tersebut. Menurut Asas strick libiality company, perusahaan yang merugikan atau tidak, berkewajiban memulihkan kondisi pencemaran tanpa harus menunggu sanksi dari pemerintah , sesuai dengan pasal lingkungan hidup. Namun dalam hal ini, PT. Lapindo sampai sekarang masih belum melunasi/memulihkan akibat pencemaran yang ditimbulkan dari pekerjaan perusahaan tersebut. Oleh sebab itu presiden mengeluarkan keputusan No 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum Islam tentang kerusakan alam dan Asas strick libiality company. Dengan pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif. Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya kepada pembaca.

Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami bahwa perusahaan secara mutlak memiliki kewajiban memulihkan kondisi atau ganti rugi terhadap pencemaran tanpa harus menunggu sanksi dari pemerintah.

Kata kunci: Kewajiban pemulihan dan ganti rugi atas pencemaran

(6)

v

ميحرلا نمحرلا ه مسب

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisdan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia menuju jalan yang penuh dengan ridha Allah Swt.

Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT. Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum Islam“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. DR. Khamami Zada,MA dan Siti Hanna,S,Ag,Lc,MA, Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si Dosen pembimbing dan Maulana Hasanudin,SH,MH serta seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik Penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

6. Kepada sahabat Penulis Perbandingan Hukum angkatan 2010 Aidz, Wiwin, Rafika, Fani, Winda, Ilyas, Dhani, Laka, Muzi, Bambang, Ridwan, Sandi, Ade, Rianzani, Apri, Dayat, lusi, Rani, Sofa, Fajrin, Berli, Amel, Ipul, Anjo, Ucup, Fathur, Bagas, Fathin, dan Rudi, serta teman-temanku semua yang menjadi guru, teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga persahabatan ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicita-citakan akan tercapai. amin

Penulis berdo’a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan

pahala di sisi Allah Swt. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,

Jakarta, 06 April2015

(8)

vii DAFTAR ISI

LEMBAR HALAMAN...i

SURAT PENGESAHAN...ii

ABSTRAK...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...v

BAB I P E N D A H U L U A N A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Perumusan Masalah ... 9

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D.Metode Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA A.Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi ... 16

1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi ... 16

2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi ... 20

3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi ... 21

4. Pelaku Kejahatan Korporasi ... 23

B.Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi ... 31

1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan ... 31

(9)

viii BAB III KASUS LUMPUR LAPINDO

A.Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo ... 36

1. Lokasi ... 36

2. Perkiraan Penyebab Kejadian ... 38

3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur ... 41

B.Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif ... 42

C.Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo ... 47

BAB IV ANALISIS KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM PERSPEKTIF HUKUM KORPORASI DAN HUKUM ISLAM A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo... 52

B.Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo ... 62

1. Konsep Pertanggungjawaban bisnis Dalam Islam... 62

2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan....74

3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam... 78

BAB V P E N U T U P A.Kesimpulan ... 95

B.Saran-saran ... 97

(10)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A.Latar Belakang Masalah

Perkembangan yang pesat dari kegiatan pembangunan, terutama industri modern seringkali membawa akibat timbulnya risiko, atau dampak yang sangat besar terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Secara konsep kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang terkait dengan sumber daya alam. Peraturan dibuat cenderung mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk melakukan exploitasi sumber daya alam tersebut.1

Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan yang berkesinambungan.

1

Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005, h. XVI.

(11)

Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di dalamnya, sebagai suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, namun seringkali melanggar hukum. berbagai cara dilakukan agar korporasi lolos dari jeratan hukum, Korporasi saat ini adalah sebagai subyek hukum, yang hanya menjalankan kegiatan ekonomi tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum yang dimana hukum tersebut digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.2.

Korporasi seringkali digunakan para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan

menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, oleh karena itu subyek hukum manusia (natuurlijk persoon). “Namun lembaga badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya”.3

2

Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korporasi, diakses 12 September 2014

3

(12)

Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota-anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.4

Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping),

4

(13)

often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan korporasi merupakan

tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.

Suatu tindak pidana dapat teridentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanya orang perseorangan atau naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest, dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian, maka harus diberikan sanksi, terlepas siapa yang akan bertanggungjawab, apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut.

(14)

mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak dapat menjadi landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh pengurus korporasi.

Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan,

perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana undang-undang yang disebutkan dibawah ini :

1. UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; 2. UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan

3. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.

4. UU No. 5 Tahun 1999.5

Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan

5

(15)

Hidup. Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai ketentuan pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability.

Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Indonesia sendiri, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.6

Tidak adanya peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal menimbulkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo merupakan beberapa kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi .

6 “Kejahatan korporasi”:

(16)

Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; area pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.7

Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 27 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan

7

(17)

kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Lingkungan fisik yang dimaksud diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap bahwa kerusakan lingkungan tersebut sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.8

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.9

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang sederhana. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Konflik sosial antar warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, berbagai keresahan mulai muncul dengan adanya konspirasi penyuapan oleh Lapindo, Rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan snubbing unit)

8

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996). H. 9

9

(18)

dan (pembuatan relief well) mengalami kegagalan horisontal. Berdasarkan hal tersebut, timbulnya kerugian masyarakat, menimbulkan pertanyaan, “Apakah dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan

sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan korporasi.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih mendalam terkait dengan kejahatan korporasi secara khusus yang berkaitan dengan lumpur lapindo. Hasil riset atas tema tersebut selanjutnya akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: “Pertanggungjawaban

Korporasi Pada Kasus PT.Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum Islam”

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam penelitin ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam menghadapi gugatan strict liability pada kasus lumpur lapindo?

(19)

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui praktek pertanggungjawaban korporasi dalam menghadapi gugatan strict liability pada kasus lumpur lapindo

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi dalam kasus lumpur lapindo

2. Manfaat Penelitian

Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat Akademis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek dilapangan. 2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi

(20)

3) Menambah literatu bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas. 2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan

bagi penulis, khususnya tentang hukum lingkungan hidup D.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan normatif. yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah metode penelitian hukum normatif suatu perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak.10

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut :

a. Sumber primer, adalah Perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan masalah yang sedang dikaji, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) KUHP

2) UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

3) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

10

(21)

4) Putusan Presiden Terhadap Penyelesaian Lumpur Lapindo. 5) Kitab Fiqih Jinayat.

b. Sumber sekunder, adalah data-data yang mendukung obyek yang akan diteliti, berupa buku-buku, majalah, koran, buletin atau tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi kasus. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan terjadinya luapan lumpur Lapindo.

b. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korporasi.

c. Menganalisis terhadap kasus lumpur Lapindo dengan mengkonfirmasikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(22)

memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.11

Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya dipaparkan secara objektif dan sistematis.

Melihat banyaknya teknik yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa teknik yang yang dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain :

a. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya. Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas dalam penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji atau teliti.

b. Teknik Deskriptif

Teknik deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang,

11

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

(23)

dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi, analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi situasi untuk dibahasakan secara rinci.

c. Teknik Deduksi

Teknik ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat khusus.12 Teknik ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi baru atau antitesis yang bersifat khusus.

d. Teknik Induksi

Teknik ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif).

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2015.

12

(24)

E.Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusuna skripsi ini, penulisan membaginya kepada lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :

Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

Bab Kedua merupakan Landasan Teori yang mencakup Pengertian Korporasi, Tanggungjawab Pelaku Kejahatan Korporasi, Unsur dan bentuk Kejahatan Korporasi, Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan dan Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi.

Bab Tiga Merupakan bab yang membahas masalah Hukum Positif Kasus Lumpur Lapindo yang memaparkan tentang kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo dan posisinya dalam Hukum Positif, serta inti yang membahas putusan presiden terhadap bencana nasional.

Bab Empat Merupakan Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo, dan Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo.

(25)

16 A.Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi

1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi

Definisi tentang kejahatan atau dalam bahasa Inggris yang biasa disebut crime atau offence ataupun misdrijf dalam bahasa Belanda, menurut Subekti diartikan sebagai: “Tindak pidana yang tergolong berat, KUHP membagi tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran yang masing-masing terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP.” Secara khusus KUHP tidak memberikan ketentuan/syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dengan pelanggaran. Kedua jenis tindak pidana tersebut hanya berbeda dari pemberian ancaman serta sanksi yang dijatuhkan terhadap keduanya, karena kejahatan pada umumnya sanksi yang dijatuhkan lebih berat di bandingkan sanksi pelanggaran.1

Definisi kejahatan yang diartikan dalam kamus Black‟s Law, adalah

sebagai setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar kewajiban-kewajibannya terhadap suatu komunitas, dan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, hukum telah menentukan bahwa pelaku harus mempertangungjawabkannya kepada publik.2 definisi pelanggaran (breach) menurut Black‟s Law adalah pelanggaran suatu hukum, hak, kewajiban,

1

Mustafa Abdullah & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), h. 29.

2

(26)

ikatan, tugas, baik dengan penambahan atau penghapusan. Terjadi ketika suatu pihak dalam kontrak gagal untuk melaksanakan ketentuan, janji atau kondisi dalam kontrak.3 Namun bila pelanggaran tersebut menimbulkan konsekuensi pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka pelanggaran tersebut merupakan perbuatan pidana.4

Dalam pengertian yang diartikan dalam Black‟s Law mengenai

pengertian kejahatan diatas dapat ditarik sebuah analisis, bahwa apabila seseorang melakukan kejahatan, berarti ia telah melanggar norma dalam sebuah komunitas maka diwajibkan kepada si terdakwa tersebut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik tanpa ada pilihan bagi dirinya mau ataupun tidak mau melaksanakan pertanggungjawaban tersebut. Sehingga sanksi yang dijatuhkan dalam kejahatan adalah merupakan hukuman paksa. Sedangkan kejahatan menurut Giffis didefinisikan sebagai suatu kesalahan yang oleh pemerintah telah ditetapkan merugikan publik dan dapat dituntut karena suatu tindakan kriminal.5

Untuk dapat dituntut karena perbuatan pidana maka korporasi harus telah jelas melakukan kesalahan. Menurut Andi Hamzah kesalahan dalam arti luas meliputi: sengaja, kelalaian, serta dapat dipertanggungjawabkan. Dimana ketiga-tiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan.6

3

Henry Campbel, .Black’s Law Dictionary, (New York: Barron‟s Educational Series Inc, 1990), h. 188.

4

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006), h. 26.

5

Steven H Giffis, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron‟s Educational Series Inc, 1998), h. 53.

6

(27)

Pada dasarnya, banyak pelanggaran dan kejahatan yang sering dilakukan korporasi di bidang lingkungan, namun penyelesaiannya tidak mencapai sasaran dan tujuan sesuai yang diharapkan baik oleh masyarakat yang terkena dampak khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya. Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran hukum masyarakat kita yang masih rendah, sehingga terkadang kelompok masyarakat itu sendiri pun terlambat atau tidak sadar bahwa lingkungan sekitarnya telah tercemar oleh korporasi yang melakukan kegiatan industri atau sebagainya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka akan di bahas pengertian korporasi dari sisi hukum.

Kita lazim mendengar kata korporasi untuk menyebut sebuah badan hukum, ini di jumpai dalam hukum perdata. Dalam bahasa Belanda, disebut rechtpersoon dan legal entity atau corporation dalam bahasa Inggris. Dalam

Black’s Law Dictionary korporasi diterjemahkan sebagai suatu manusia

buatan (artificial person) atau badan hukum yang diciptakan oleh atau dalam kewenangan hukum dari suatu negara.7 Di Indonesia, badan hukum dikenal dengan nama perseroan terbatas (PT). I.G. Ray Wijaya mengatakan korporasi adalah suatu badan hukum yang mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui wakilnya. Oleh karena itu korporasi atau perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri. Korporasi bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum.8

7

Henry Campbel, .Black’s Law Dictionary, (New York: Barron‟s Educational Series Inc, 1990),h. 340.

8

(28)

Terkait atas apa yang diterjemahkan oleh I.G. Ray Wijaya, Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa “asas hukum korporasi menentukan

bahwa pengurus adalah organ organisasi, kalbu pengurus adalah kalbu korporasi, dan jasmani pengurus adalah jasmani korporasi”.9

Analisa dari pendapat 2 pakar ini adalah bahwa korporasi adalah manusia buatan yang memiliki organ, kalbu serta jasmani. Jadi sudah seharusnya korporasi mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum.

Menurut Sahetapy, perumusan tindak pidana korporasi sampai saat ini masih merupakan suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Sutherland yang memunculkan setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda namun dalam ruang lingkup yang sama pula. 10 Corporate crime didefinisikan sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan dan dapat dituntutkan kepada suatu korporasi sebagai akibat dari aktivitas pejabat atau karyawannya. 11 Marshall B. Clinhard mengatakan bahwa kejahatan korporasi adalah kejahatan terorganisasi yang terjadi dalam konteks yang sangat kompleks dan bervariasi yang merupakan hubungan struktural dan hubungan antara dewan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi dan induk korporasi, divisi korporasi dan subsidiary-subsidiarinya di sisi lain.12

9

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporas, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006), h. 22.

10

J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994), h. 25.

11

Henry Campbel, .Black’s Law Dictionary, (New York: Barron‟s Educational Series Inc, 1990), h. 339

12

(29)

Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi adalah suatu bentuk kejahatan (crime) dalam bentuk white collar crime, yang merupakan perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum, baik melalui pengurus atau yang mendapatkan otorisasi olehnya, meskipun badan hukum tersebut tidak pernah mempunyai niat jahat (mens rea).13

Menurut Indriyanto Seno Adji korporasi (corporate crime), Sebagai pelanggaran-pelanggaran dimana pelaku-pelakunya mengalami perubahan dari “orang” meluas pada “badan hukum” (korporasi) yang sering

mempunyai kedudukan sosial ekonomi tinggi dan terhormat, serta perbuatannya dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik, Bahkan sering kali didasari suatu alasan kegiatan perekonomian yang sah (“legitimate economic activities”), sehingga kejahatan ini sering dikatakan bagian dari “Kejahatan Ekonomi” (“economic crime”). Orientasi kejahatan korporasi diarahkan pada skala “bisnis besar” dan bukan“Bisnis Sekala Kecil”.14

2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi

Menurut Hatrik yang mengutip pendapat Steven Box, bentuk-bentuk kejahatan korporasi adalah bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh profit.15 Pada dasarnya tidak terdapat pembagian-pembagian

13

Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 27.

14

Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan KonsultanHukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001), h. 73.

15

(30)

secara khusus yang dihasilkan oleh para pakar hukum dalam menghasilkan bentuk-bentuk kejahatan korporasi, namun yang paling sering terjadi dan korporasi dituntut dalam hal melakukannya adalah :

a. Kejahatan terhadap konsumen, dengan cara memberikan informasi yang menyesatkan yang hampir sama dengan tindak pidana penipuan dimana korporasi sebagai pelakunya memberikan informasi yang menyesatkan kepada publik agar publik melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan sehingga memberikan keuntungan bagi si pelaku. b. Kejahatan terhadap lingkungan hidup adalah dengan cara masuknya atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak c. dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

d. Kejahatan pasar modal, yaitu dengan cara memperdagangkan orang dalam (insider trading) yaitu pihak yang memanfaatkan informasi yang bersifat material yang belum tersedia bagi publik yang memperoleh keuntungan dari perdagangan efek yang didasarkan adanya suatu informasi orang dalam yang belum terbuka untuk umum.

3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi

Menurut Sutan Remy Sjahdeini,16 korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

16

(31)

a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang memiliki posisi sebagai direksi dari korporasi.

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi.

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi.

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban.

Maka dari itu unsur-unsur tersebut harus terpenuhi agar pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dapat dibebankan kepada direksi yang memiliki wewenang dalam nenentukan atau memutuskan kebijakan korporasi.

Dalam UUPLH, faktor utama terjadinya sengketa lingkungan adalah apabila terjadi pencemaran/perusakan seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 12 dan Pasal 1 angka 14 UUPLH.

Menurut pengertian Pasal 1 angka 12 dalam UU tersebut, terdapat hal-hal yang dapat ditemukan sebagai unsur-unsur perbuatan pencemaran lingkungan hidup, unsur-unsur itu adalah :

a. Masuk atau dimasukkannya.

(32)

b. Kegiatan manusia.

Pencemaran lingkungan lebih besar terjadi karena adanya kegiatan manusia yang mengekploitasi dan mengeksplorasi lingkungan dengan tidak mengindahkan peraturan-peraturan pengelolaan lingkungan hidup.

c. Turunnya kualitas lingkungan.

Pencemaran yang terjadi telah menyebabkan turunnya kualitas atau mutu lingkungan tersebut. 17 Sedangkan mengenai perbuatan perusakan lingkungan dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 14, bahwa : “Segala perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat baik fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.

4. Pelaku Kejahatan Korporasi

Dalam sistem pidana Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu ketentuan pidana yang telah menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana

dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada.”

17

(33)

Ketentuan ini memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku surut. Ketentuan ini juga didukung semangatnya dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas itu dapat juga dijumpai dalam Pasal 6 ayat (1) UU tersebut, yang berbunyi : “Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain yang ditentukan oleh undang-undang.”18

Jadi berdasarkan penjelasan diatas yang dimaksud dengan tindak pidana adalah prilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika prilaku tersebut dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

Barda Nawawi Arief,19 mengutip dari Nico Keijzer, menuliskan tentang kondisi-kondisi yang akan meletakan korporasi sebagai pelaku sebuah tindak pidana, menurut beberapa aturan hukum di beberapa negara seperti dalam :

a. American Model Penal Code (MPC) – section 2.07.(1) :

1) Apabila maksud pembuat UU untuk mengenakan pertanggungjawaban pada korporasi nampak dengan jelas dan perbuatan itu dilakukan oleh agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi dalam ruang lingkup jabatan/tugas atau pekerjaannya; atau

18

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006) h. 26.

19

(34)

2) Apabila tindak pidana itu merupakan suatu pengabaian/pelanggaran kewajiban khusus yang dibebankan kepada korporasi oleh UU, atau 3) Apabila dilakukannya tindak pidana itu dibenarkan/disahkan, diminta,

diperintahkan, dilaksanakan, atau dibiarkan/ditolerir secara sembrono oleh dewan direksi atau oleh agen pimpinan puncak yang bertindak atas nama korporasi dalam batas-batas ruang lingkup tugas/pekerjaannya.

b. Dutch Case Law (Yurisprudensi Belanda) :

1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UU yang secara khusus ditujukan bagi korporasi, misal korporasi tidak memenuhi syarat-syarat dari suatu izin yang telah diberikan kepadanya. Dengan demikian, korporasi tidak dipandang telah melakukan tindak pidana dalam hal ketentuan UU secara khusus ditujukan kepada individu. 2) Apabila tindak pidana itu berhubungan dengan bidang usaha korporasi

yang bersangkutan. Misal pencemaran beberapa hari yang ditimbulkan dari saluran kotoran (the sewage drain) suatu perusahaan/pabrik kimia.

(35)

korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yaitu : (1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, (2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, (3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.20 Berikut ini penjelasannya :

a. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban ini adalah sistem yang dianut oleh KUHP. KUHP mempunyai pendirian bahwa korporasi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dikarenakan korporasi tidak memiliki kalbu dan tidak pula memiliki guilty mind, pengurus korporasilah yang memiliki kalbu sebagai naturlijk persoon yang dapat melakukan kejahatan, maka pengurus korporasi yang bisa diberi pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUHP ini termaktub dalam Pasal 59 KUHP. Ketentuan yang menunjuk bahwa tindak pidana hanya dilakukan oleh manusia adalah Pasal 53 jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 372 jo Pasal 374 KUHP, dimana Pasal 53 berbunyi :

1) Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana, apabila maksud akan melakukan kejahatan itu sudah nyata, dengan adanya permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal yang tidak tergantung kepada kehendaknya sendiri.

20

(36)

2) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.

3) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara yang selama-lamanya lima belas tahun.

4) Untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan percobaan melakukan kejahatan itu, sama saja pidana tambahannya.

(37)

dalam hal korporasi melakukan kejahatan, tidak mungkin tanpa kehendak dari pengurusnya.

Munir Fuady, menjelaskan mengenai tanggungjawab direksi dalam hukum perseroan yang berkenaan dengan pelaksanaan fiduciary duty. Menurut Munir Fuady, pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu :21

1) Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan.

2) Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan memyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan kepentingan perseroan.

c. Korporasi sebagai Pembuat dan yang Bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan permulaanadanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem inidibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat dipakaisebagai alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut :

Pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi atau fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita

21

(38)

masyarakat dapat sedemikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurusnya saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat sistem pertanggungjawaban yang keempat setelah terdapat tiga sistem diatas yang dianut dalam pertanggungjawaban korporasi. Sistem yang ke-4 itu adalah : Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana.22

Di Belanda sendiri dengan diubahnya Pasal 15 ayat (1) Wet Delicten 1950 menjadi Undang-undang tanggal 23 tahun 1976 Stb 377 yang disahkan tanggal 1 September 1976 telah membawa perubahan terhadap sifat dapat dipidananya korporasi sebagimana diatur dalam sistem hukum pidana Belanda.

Meskipun dalam KUHP Indonesia yang sampai sekarng ini masih dipakai yang masih merupakan warisan pemerintahan Belanda, namun RUU KUHP yang baru sudah meletakkan pengertian tentang korporasi yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 yang mana korporasi dapat dijadikan sebagai pelaku kejahatan dan dapat pula dibebani pertangungjawaban. Dari beberapa pasal-pasal dalam RUU KUHP yang mana menjelaskan tentang keberadaan korporasi dapat dijadikan pelaku tindak pidana, dapat disimpulkan sebagai berikut :

22

(39)

1) Bahwa secara prinsip dalam RUU KUHP tersebut telah diterima konsep korporasi sebagai badan hukum yang dapat dijadikan subjek dalam hukum pidana;

2) Tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum adalah semua perbuatan yang termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional (functioneel daders) dalam badan hukum yang melakukan perbuatan itu dalam lingkungan usaha dari badan hukum sesuai dengan anggaran dasarnya;

3) Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat diterapkan atas badan hukum, misalnya tidak mungkin menerapkan sanksi pidana penjara atau pidana mati atas badan hukum.

(40)

B.Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi

1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan

Emil Salim,23mengamati masalah lingkungan dengan mengaitkannya kepada 2 hal yang dapat menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup, pertama adalah perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia. Revolusi industri adalah awal dari keberlanjutan penemuan teknologi berupa mesin uap, dan hingga akhirnya manusia dapat mendaratkan kakinya di bulan hingga masa kini. Kedua adalah ledakan populasi penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran, maka pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak keseimbangan lingkungan, tetapi seperti yang diketahui saat ini, perkembangan teknologi pula yang menjadikan ledakan penduduk. Pertambahan ini tentu saja akan menambah unsur kehidupan yang lain, seperti misalnya permintaan akan air minum, bahan makanan, lahan tempat tinggal, bahan bakar serta pada akhirnya adalah penciptaan limbah rumah tangga dalam jumlah yang sangat besar pula.

Dalam rangka mempertahankan kestabilan lingkungan, kita mempunyai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Untuk itu diperlukan alat untuk dijadikan batas-batas sebagai rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh manusia

23

(41)

sebagai subjek yang mengekplorasi dan eksploitasi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi

Sanksi pidana menurut KUHP didasarkan pada Pasal 10 KUHP yang berbunyi :

a. Pidana pokok, berupa: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Denda; 5) Pidana tutupan (UU No. 20/1946)

b. Pidana tambahan, berupa : 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2) Perampasan beberapa barang yang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim.

Sanksi-sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP diatas nampaknya hanya dapat dikenakan kepada manusia saja sebagai pelaku kejahatan. Munir Fuady24 mengungkapkan dewasa ini berkembang model hukuman pidana nonkonvesional yang dianggap cocok untuk perseroan yang melakukan kejahatan korporat. Model-model tersebut adalah:

a. Hukuman Percobaan (Probation).

Dalam hukuman ini, korporasi dihukum dalam jangka waktu tertentu dan diawasi.

b. Denda Equitas (Equity Fine)

Korporasi yang dijatuhi pertanggungjawaban pidana berupa denda adalah denda yang disetor kepada pemerintah adalah merupakan saham-saham perusahaan tersebut yang diberikan kepada pemerintah.

24

(42)

c. Pengalihan Menjadi Hukuman Individu d. Hukuman Tambahan

Seperti pencabutan izin dan larangan melakukan kegiatan tertentu atau kegiatan di bidang lain.

e. Hukuman Pelayanan Masyarakat (community service)

Hukuman ini efektif bagi corporate crime yang telah membawa dampak negatif bagi masyarakat, sehingga masyarakat tersebut mendapat semacam ganti rugi dari hasil pelaksanaan hukuman tersebut.

f. Kewenangan Yuridis Pihak Luar Perusahaan

Pihak luar yang berwenang terhadap korporasi yang dibebankan pertanggungjawaban pidana dalam rangka hukuman ini dapat mengambil kewenangan untuk masuk dan mengatur perusahaan yang terkena sanksi tersebut. Misalnya BAPEPAM untuk perusahaan terbuka atau otoritas keuangan untuk perusahaan perbankan.

g. Kewajiban Membeli Saham

Hukuman ini adalah kewajiban membeli saham dengan mengambil dana dari victim compesation funds yang diambil untuk membeli saham-saham pihak pemegang saham dengan harga pasar, sehingga dia tidak dirugikan oleh ulah perusahaan tersebut.

(43)

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana dan tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”.

Menurut M. Hamdan,25 upaya penaggulangan pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu :

a. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application).

b. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :

1) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.

2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa.

Dalam UUPLH pada Pasal 47 telah diatur pula, selain ketentuan pidana yang akan dibebankan kepada pelaku kejahatan korporasi lingkungan, dalam pasal ini pula pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dikenakan sanksi tata tertib berupa :

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau

25

(44)

e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

(45)

BAB III

KASUS LUMPUR LAPINDO

A.Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo

Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

1. Lokasi

Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan.

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar 100 Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui.

(46)
[image:46.595.126.511.136.340.2]

Gambar 1. Lokasi Sumur Banjar Panji

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

Gambar 2. Lokasi Sumur Banjar Panji-1

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

[image:46.595.129.510.400.588.2]
(47)

Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

2. Perkiraan Penyebab Kejadian

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) sampai mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30

inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari

kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing

(48)
[image:48.595.132.509.140.335.2]

Gambar 3. Posisi Cashing Prognosis VS Realisasi Sumur Banjar Panji-11

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama melakukan pengeboran mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpur.

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal

1

(49)

mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

[image:49.595.125.511.458.625.2]

Akibat dari habisnya lumpur, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.

Gambar 4. Underground Blow Out Pada Sumur Banjar Panji-1

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 maret 2015

(50)
[image:50.595.121.510.149.518.2]

kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi dan berhasil keluar. Hal ini yang menjadi dugaan kenapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Gambar 5. Hipotesa Mekanisme Semburan Lumpur Panas Lapindo2

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur

Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada Sumur Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya tumpahan atau luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat

2

(51)

besar maupun adanya dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair tersebut.

a. Dampak Terhadap Tanah

Uji lebih lanjut terhadap tanah yang terkena dampak dari luberan lumpur menunjukkan hasil yang berbeda dari uji laboratorium yang telah dilakukan. Hal ini diduga dalam perjalanan di atas permukaan tanah atau di dalam udara terbuka lumpur mengalami perubahan efek menjadi zat yang toxic setelah mengalami kontaminasi atau bersenyawa dengan media lain yang berada di sekitar wilayah bencana tersebut. Tanah bekas terkena lumpur bisa ditanami akan tetapi jika tanaman tersebut akan dikonsumsi oleh manusia akan berisiko bagi kesehatan.3

b. Dampak Sosial Ekonomi

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal di sekitar semburan lumpur.4

B.Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif

Seiring dengan sering terjadinya kasus kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan, studi tentang ekologi pembangunan semakin

3

Lily Pudjiastuti., Tanah Bekas Lumpur Lapindo Tak Bisa Ditanami, Hasil Riset ITS, Kamis (27/7/2006), diakses pada tanggal 21 Desember 2014

4

(52)

berkembang pesat. Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Upaya-upaya untuk kesejahteraan atau taraf hidup yang lebih baik merupakan hak semua orang dimana pun berada. Khususnya di negara-negara berkembang, pembangunan merupakan pilihan penting dilakukan guna terciptanya kesejahteraan penduduknya. Dengan demikian pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf kesejahteraan manusia. Dan pembangunan ini yang kemudian tidak terlepas dari adanya dampak yang merugikan, terutama kepada lingkungan.

Menurut Prof .Moeljatno,5 sebuah tindak pidana ada setelah adanya perbuatan dan sebuah keadaan yang menyertai perbuatan tersebut. Dalam kita melihat kejadian di Kec. Porong Sidoarjo ini, yang melakukan sebuah perbuatan adalah Lapindo Brantas, dimana perbuatan tersebut adalah melakukan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi migas yang berada di Blok Brantas, meskipun berdasarkan fakta yang ada proses pengeboran (drilling) tersebut kemudian di sub kontrakan oleh Lapindo Brantas Inc kepada PT. Medici Citra Nusa, namun Lapindo Brantas dalam hal ini tidak dapat melepaskan pengawasannya terhadap proses tersebut mengingat Lapindo Brantas adalah sebagai pemegang hak terhadap eksploitasi dan eksplorasi di blok tersebut. Unsur diatas merupakan pembuktian telah terpenuhinya terjadinya sebuah tindak pidana oleh manusia.

Namun menurut Sutan Remy Sjahdeini,6 adanya keharusan terpenuhinya unsur terdapatnya perbuatan dan unsur terdapatnya kesalahan tidak mesti dari satu orang, hal ini berarti orang yang melakukan perbuatan tidak harus memiliki

5

Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 185.

6

(53)

kesalahan yang menjadi dasar perbuatan itu, asalkan dalam melakukan perbuatan yang dimaksud tersebut adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki kalbu yang menghendaki kesalahan tersebut oleh orang yang disuruh. Dengan adanya gabungan tersebut antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki kesalahan (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan kesalahan yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau menyuruh perbuatan itu dilakukan, maka secara gabungan terpenuhilah unsur-unsur (perbuatan dan kesalahan) yang diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi.

Dalam hal ini, Lapindo Brantas sebagai sebuah korporasi yang tidak memiliki kesalahan dapat juga dijatuhi pembebanan pertanggungjawaban pidana setelah adanya penggabungan ini, karena faktor kesalahan tersebut dapat diambil dari manusia sebagai yang menjalankan operasional korporasi tersebut. Jadi, baik Lapindo Brantas serta pengurusnya dapat dijatuhi pembebanan pertanggunjawaban pidana seperti yang termuat dalam setiap pasal yang terdapat dalam Bab IX UUPLH No. 23 Tahun 1997.

Seharusnya pihak Lapindo Brantas menghiraukan pendapat para ahli geologi ini, mengingat bukan hanya sekali ini saja, masyarakat Jawa Timur mengalami perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi, ada terdapat beberapa kasus lainnya seperti :7

1. Pada tahun 2000 terjadi kebocoran petrokimia.

7

(54)

2. Pada tahun 2001 terjadi kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban milik Devon Canada dan Petrochina. Kadar hidro sulfidanya waktu itu cukup tinggi sehingga menyebabkan 26 orang dirawat di rumah sakit.

Beberapa kasus diatas, seharusnya dapat menjadikan Lapindo Brantas belajar mengenai menjaga lingkungan yang dieksplorasi dan eksploitasinya. Berarti apabila dalam kasus ini terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut dapat dijadikan pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga sanksi yang terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH, yang berisi :

(1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup,

diancam pidana…….dst;

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana

diancam pidana…..dst.

Melihat kepada UUPLH, Lapindo Brantas dalam kegiatannya di Blok Brantas telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam definisi melakukan perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup di Blok Brantas dan lingkungan sekitarnya yang sampai saat ini telah mencakup lebih dari 10 desa yang hilang tertutup oleh lumpur beserta prasarana dan sarananya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1 angka 12 mengenai definisi tentang pencemaran adalah :

(55)

yang didalamnya terdapat kandungan logam berat (Hg) yang mencapai 2,565 mg/liter Hg, yang telah melampaui baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg, dan kandungan Fenol yang didapat dari sampel lumpur, zat ini berbahaya terhadap kulit dan kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dan bila zat ini masuk kedalam makanan bisa menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar dan gangguan ginjal. 2. Dilakukan oleh kegiatan manusia, masuk atau dimasukkannya zat-zat serta

komponen tersebut yang jelas tidak dengan sendirinya, Lapindo Brantas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut.

3. Menimbulkan penurunan kualitas lingkungan sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya, luberan lumpur sampai saat ini telah mengenangi setidaknya 10 desa, 20.000 warga harus diungsikan ke pengungsian dengan fasilitas yang seadanya, sumber air (sumur dan sungai) tidak dapat digunakan lagi karena telah tercampur dengan lumpur, lahan pertanian tidak dapat digunakan lagi, lahan industri berupa pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi lagi dan setidaknya terdapat 3000 buruh serta karyawan harus kehilangan pekerjaannya karena pabrik-pabrik tersebut berhenti beroperasi, dan saat ini terganggunya proses distribusi barang dan transportasi dengan tertutupnya jalan tol Surabaya-Gempol.

(56)

pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur-unsur kesengajaan atau pun kelalaian. Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan lingkungan hidup.

C.Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo

Dalam menangani kasus Bencana Lapindo, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah:

a. Membentuk Tim Nasional Penganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Tim Nasional. b. Tim Nasional mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah

(57)

c. Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan pada anggaran PT. Lapindo Brantas.

2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah : a. Pasal 1

(1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan.

(2) Badan Penanggulangan bertugas menangani upaya penanggulangan s

Gambar

Gambar 2. Lokasi Sumur Banjar Panji-1
Gambar 3. Posisi Cashing Prognosis VS Realisasi Sumur Banjar Panji-11
Gambar 4. Underground Blow Out Pada Sumur Banjar Panji-1
Gambar 5. Hipotesa Mekanisme Semburan Lumpur Panas Lapindo2

Referensi

Dokumen terkait

Tidak konsistennya Majelis Hakim menerapkan ketentuan tindak pidana yang didakwakan, karena Majelis Hakim dalam membuktikan unsur "barang siapa" dan unsur "yang dengan

29, menyatakan bahwa : Secara lebih konkrit hal tersebut terlihat dalam Pasal 51 W.v.S (KUHP Belanda) yang telah diperbaharui pada tahun 1976, sebagai berikut : 1) “Tindak

Jika ternyata dalam prakteknya korporasi tersebut lalai dengan tidak mengindahkan kewajiban yang telah ditetapkan dalam hukum positif, maka hakim dapat menjatuhkan sanksi

Dalam KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), tidak ada penjelasan yang pasti mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, dikarenakan secara teoritis, subjek hukum yang

Azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di wilayah hukum Polda Bali, juga untuk mengetahui bagaimana Polda

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi; Solusi Sementara Upaya Meminta Pertanggungjawaban Pidana

Permasalahan yang dihadapi meliputi: 1 Bagaimana sistem akuntansi pertanggungjawaban yang diterapkan oleh Toserba Pajajaran Ciamis?, 2 Bagaimana sistem penilaian kinerja perusahaan yang