BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan wajib dilindungi karena hutan merupakan bentuk kehidupan yang
tersebar di seluruh dunia. Hutan dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun
daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil
maupun di benua besar. Hutan juga suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman,
terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup
luas. Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun
lamanya. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup
semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok
tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim
dan kondisi lingnkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di
luarnya. Jika berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang
sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya.
Pemandangannya pun berlainan. Hal ini berarti segala tumbuhan lain dan
hewan-hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tidak hidup lain termasuk
bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumber daya alam
berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non-kayu yang dapat diambil manfaatnya
fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia air,
penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang
lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia
air bagi kehidupan, hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting,
dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta-juta tanaman.1
Dikarenakan hutan berperan sebagai penyeimbang lingkungan, maka hutan
sangat penting bagi kehidupan di muka bumi, terutama bagi kehidupan generasi
mendatang. Untuk mencegah kesalahan dalam pengelolaan hutan, maka fungsi hutan
harus dipelajari dan dimengerti secara holistik (utuh). Begitu pula, perlunya dipelajari
hutan secara merologik (melihat bagian-bagiannya) untuk mengantisipasi segi-segi
yang mampu menimbulkan malapetaka bagi kehidupan.2
Kehutanan adalah suatu kegiatan yang bersangkut paut dengan pengelolaan
ekosistem hutan dan pengurusannya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi
berbagai kebutuhan barang dan jasa. Tujuan pembangunan kehutanan Indonesia
adalah membagi lahan hutan ke dalam pengelolaan yang terdiri atas, pengelolaan
hutan produksi berfungsi ekonomi dan ekologi yang sama kuat atau seimbang,
pengelolaan hutan koservasi yang berfungsi ekologi, dan pengelolaan hutan kebun
kayu sebagai fungsi ekonomi. Saat sekarang telah ditetapkan bahwa pembangunan
kehutanan dan perkebunan dititikberatkan pada pemanfaatan sumber daya hutan dan
kebun pada kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial secara seimbang.3
1
Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Cet. Ke-8, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hal. 14.
2
Ibid., hal. 14.
3
Pengelolaan hutan bukan hanya menetapkan hutan sebagai perlidnungan tanah,
iklim, sumber air, dan pemenuhan kebutuhan akan kayu dan produk lainnya. Tetapi,
pengelolaan hutan harus ditujukan untuk mendayagunakan semua lahan demi
kepentingan negara, bahkan negara lain juga. Dengan demikian, secara partial akan
dimengerti tentang fungsi hidrologik penyangga hayati, kesuburan tanah, ekonomi,
sosial, kebudayaan, rekreasi, dan estetika dari hutan secara keseluruhan. Sedangkan
secara utuh atau menyeluruh perlu diperhatikan kaitan fungsi dan masalah yang satu
terhadap fungsi dan masalah lainnya.4
Hutan di Indonesia sangat luas dan dibutuhkan bagi penduduk dunia. Karena
Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas. Dengan luas hutan Indonesia sebesar
99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia,5 hutan Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia yang sangat penting peranannya bagi kehidupan isi bumi.6
Namun, hijaunya alam Indonesia kian hari kian menyusut akibat pemanfaatan
hutan yang tidak terkendali. Laju deforestasi hutan di Indonesia mencapai 610.375,92
ha (Enam Ratus Sepuluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Koma Sembilan Puluh
Dua Hektar) pada tahun 2011, dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Masalahnya
adalah kebakaran hutan di Indonesia yang mana suatu peristiwa dimana hutan yang
digolongkan ekologi alamiah mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh
aktifitas pembakaran secara besar-besaran. Pada dasarnya, peristiwa ini memberi
dampak negatif maupun positif. Namun, jika dicermati dampak negatif kebakaran
4
Ibid., hal. 15.
5
Statistik Kehutanan Indonesia, (Jakarta : Kemenhut, 2011) yang dipublikasikan pada bulan
Juli 2012.
6
hutan jauh lebih mendominasi ketimbang dampak positifnya. Oleh sebab itu, hal ini
penting untuk dicegah agar dampak negatifnya tidak merugikan manusia terlalu
banyak. Salah satu upaya pencegahan yang paling mendasar adalah dengan
memahami penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia. Di dalam Kamus
Kehutanan yang diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan RI, disebutkan bahwa
kebakaran hutan disebabkan oleh alam dan manusia. Konteks alam mencakup musim
kemarau yang berkepanjanganjuga sambaran petir. Sementara faktor manusia antara
lain kelalaian membuang puntung rokok, membakar hutan dalam rangka pembukaan
lahan, api unggun yang lupa dimatikan dan masih banyak lagi lainnya.7
Kebakaran hutan di Indonesia perlu ditanggulangi secara tepat sebab peristiwa
ini memiliki dampak buruk bagi kehidupan manusia, yaitu
8
1.
:
wilayah atmosfer dan berperan dalam fenomena penipisan lapisan ozon;
2. Dengan terbakarnya hutan, satwa liar akan kehilangan rumah tempat mereka hidup dan mencari makan. Hilangnya satwa dalam jumlah yang besar tentu akan berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem;
3. Hutan identik dengan pohon. Dan pepohonan identik sebagai pendaur ulang udara serta akarnya berperan dalam mengunci tanah serta menyerap air hujan. Jika pepohonan berkurang, dipastikan beberapa bencana akan datang seperti
4. Kebakaran hutan di Indonesia akan membuat suatu bangsa kehilangan bahan baku industri yang akan berpengaruh pada perekonomian;
5. Jumlah hutan yang terus berkurang akan membuat cuaca cenderung panas;
6. Asap dari hutan akan membuat masyarakat terganggu dan terserang penyakit yang berhubungan dengan pernapasan;
7
Ibid.
8
7. Kebakaran hutan bisa berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke sebuah Negara; dan lain sebagainya”.
Selain dampak buruk kebakaran hutan di atas, ada juga dampak positifnya
bagi pengusaha-pengusaha yang mempunyai perkebunan ataupun yang akan
membuka lahan perkebunan kelapa sawit, yaitu : dapat melakukan pembersihan lahan
(land clearing) tanpa harus mengeluarkan anggaran yang besar, waktu
pelaksanaannya relatif cepat. Kebakaran hutan disebabkan karena aktivitas
masyarakat dan perusahaan perkebunan membuka lahan perkebunan baru skala besar.
Membakar hutan tersebut dilakukan dengan sengaja.9
Dampak kebakaran hutan di Riau, juga merugikan lingkungan hidup, politik, kesehatan dan lainnya. Asap hasil kebakaran hutan yang cukup parah mengakibatkan 58 ribu warga Riau terserang Ispa dan sekolah-sekolah diliburkan”.
Sebagai contoh :
“Pada tahun 2014 di Riau, seluas 2.398 ha (Dua Ribu Tiga Ratus Sembilan Puluh Delapan Hektar) hutan cagar biofer dan 21.914 (Dua Puluh Satu Ribu Sembilan Ratus Empat Belas) lahan pertanian dan perkebunan di Riau terbakar.
10
Contoh lain dapat dilihat pada tahun 1997-1998, di Indonesia terjadi
kebakaran hutan yang dahsyat. Kebakaran hutan di Indonesia pada waktu itu, terjadi
bersamaan dengan fenomena El-Nino. 11
9
Harian Republika, “BNPB : Kerugian Kebakaran Riau Capai Rp. 20 Triliun”, diterbitkan Jum’at, 19 September 2014.
10
Ibid.
Dari hasil pemantauan CRISP (The
11
Singapore Center for Remote Sensing) tercatat bahwa di tahun 1997, diperkirakan ada
1,5 juta ha areal telah terbakar di Sumatera dan 3 juta hektar ketika itu di Kalimantan.
Menurut kesimpulan CRISP sebagian besar kebakaran terjadi di daerah hutan dataran
rendah yang berdekatan dengan sungai dan jalan, hutan di areal pegunungan tidak
tersentuh api pada tahun itu.12
Hasil deteksi satelit pada tahun 1997 menunjukkan, titik-titik itu di atas 90%
berasal dari hutan yang dikonversi. Dari ketiga lokasi kebakaran yang ditangkap oleh
titik-titik hot spot yang terjadi di Kalimantan, yaitu di lokasi hutan rawa gemuk (peat
swamp), hutan rawa-rawa (wetland), dan hutan dataran rendah, WWF menemukan
bahwa sebagian besar titik hot spot tersebut ditemukan dilokasi hutan dataran rendah.
Dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area kebakaran
perkiraan 1,5 juta hektar di Sumatera, dan Kalimantan kurang lebih 675 ribu hektar
adalah areal perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik hot spot kebakaran berada
di lokasi perkebunan, terutama di perbunan sawit & HTI. Kebakaran diduga kuat
terjadi sebagai akibat pembukaan lahan (land clearing) perkebunan sawit. Ada 176
perusahaan, di antaranya 133 perkebunan yang dianggap bertanggung jawab. Selain
28 perusahaan HTI, dan 15 perusahaan pembuka lahan transmigrasi.13
dahsyat dibandingkan dengan persitiwa besar terkahir 15 tahun lalu dan sekaligus yang terbesar yang pernah dicatat. Peristiwa El-Nino dapat diprediksi 2-15 tahun akan kembali lagi. Fenomena El-Nino pernah tejradi pada tahun 1982-1983, bersamaan dengan peristiwa kebakaran hutan pada waktu itu. Sumber : Harian Suara Pembaruan Daily, “El-Nino Dahsyat 1997-1998 : Dalang Berbagai Bencana”, diterbitkan Jum’at, 13 Maret 1998.
12
Charles Victor Barber dan James Schweithelm, Trial By Fire, Forest Fire and Forestry
Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform, Kerjasama World Resources Institute dengan WWF
Indonesia dan Yayasan Telapak, 2000, hal. 11.
13
Berdasarkan data-data di atas, menunjukkan bahwa perkebunan sawit
dianggap sebagai pihak pemberi kontributor terbesar pada kejadian kebakaran hutan
1997-1998 tersebut. Selain itu, terdapat hubungan yang kuat antara kebakaran hutan
dengan perkebunan sawit. Keterkaitan itu mengarah pada aktivitas perkebunan sawit
yang banyak berhubungan dengan tindakan pembakaran. Pembakaran merupakan
proses pembukaan lahan yang umum dilakukan oleh perusahaan perkebunan saiwt.
Biasanya perusahaan mengerjakan perusahaan kontraktor atau pekerja individu yang
dianggap berpengalaman untuk melakukan pembukaan lahan. Sebelum pembakaran,
pekerja melakukan pengukuran dan memberi batas yang jelas. Untuk pembakaran
utama, pohon berdiameter di atas 40 cm ditebang, maka dibutuhkan waktu seminggu
untuk mengeringkannya. Kemudian setelah itu dilakukan pembakaran pada minggu
berikutnya. 2 minggu setelah pembakaran, buldozer dikerahkan untuk mengatur/
menyingkirkan kayu-kayu yang belum terbakar seutuhnya lalu dilakukan pembakaran
kedua.14 Selain itu juga, ternyata diketahui bahwa penjalaran pembakaran hutan dapat melalui jalan atau batas perkebunan sawit. Sebab jalan/batas tersebut ditumbuhi
rumput yang menjadi media pembakaran yang cepat selama musim kering terjadi.15 Setelah kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 yang sangat hebat
tersebut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk merespon
kebakaran hutan dan lahan tersebut. Sedikitnya terdapat beberapa kebijakan nasional
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam merespon kebakaran hutan dan
lahan, yakni Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
14
Ibid.
15
Lesley Potter dan Justin Lee, Oil Palm in Indonesia : Its Role in Forest Conversion and the
Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta turunan
kebijakan nasional yakni Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Salah satu contoh kasus kejadian kebakaranhutan dan lahan terjadi di Propinsi
Riau dan melibatkan salah satu perusahaan terkemuka di Inodnesia untuk duduk
dalam meja pengadilan. Pada tanggal 09 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Pelalawan, Riau, menghukum Terdakwa Danesuvaran KR Singam dan
Terdakwa PT. Adei Plantation and Industry yang diwakili oleh Tan Kei Yoong
karena kelalaiannya lahan KKPA Batang Nilo Kecil terbakar seluas 40 ha dari 541 ha
pada 2013 yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut dikutip di
bawah ini16
Hakim juga menilai pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pelalawan juga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan sungguh-sungguh. Selain sebagai regulator, pemerintah juga harus berperan sebagai pengawas dan tidak hanya menerima laporan dari pemrakarsa
:
“PT. Adei Plantation and Industry diwakili Tan Kei Yoong dihukum pidana denda Rp 1,5 miliar subsider 5 bulan kurungan yang dalam hal ini diwakili Tan Kei Yoong dan memulihkan lahan yang rusak seluas 40 hektar dengan pengomposan menelan biaya Rp 15.1 Miliar. Danesuvaran KR Singam dihukum 1 tahun penjara, denda Rp 2 miliar subsider 2 bulan kurungan.
Putusan hakim bertetangan dengan tuntutan Penuntut Umum. PT Adei Plantation and Industry dituntut Denda Rp 5 M, dan Pidana Tambahan Rp 15,7 M. Danesuvaran KR Singam 5 tahun Penjara dan Denda Rp 5 Miliar. Mereka dituntut karena sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.
16
AMDAL. BLH harus memastikan bahwa AMDAL yang telah disetujunya telah dijalankan dengan baik”.
Dikarenakan pelaku yang membakar hutan tersebut untuk membuka
lahan-lahan perkebunan kelapa sawit diduga adalah perusahaan merupakan korporasi, maka
berbicara masalah korporasi terkait pula pada persoalan pertanggungjawabannya.
Dalam hal pertanggung jawaban korporasi ini dimungkinkan melalui doktrin strict
liability yang mana dalam ajaran ini pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan
kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya
kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku. Tetapi ditekankan kepada hal,
akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Cukuplah
apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau tidak melakukan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana (offenses of
strict liability).17
Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga
toerekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus pemidanaan pelaku
17
Mahmud Mulyadi dan Feri Antono Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta : Sofmedia, 2010) dalam Jimmy Tawalujan, “Pertanggung Jawaban Korporasi
Terhadap Korban Kejahatan”, Jurnal Lex Crimen, Vol. I, No. 3, Jul-Sep 2012, hal. 5.
Bandingkan dengan : Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, (Medan : Softmedia, 2009), hal. 35, menyatakan bahwa : “Ada beberapa teori pertanggung-jawaban pidana korporasi, diantaranya doktrin pertanggungpertanggung-jawaban pidana langsung (direct liability
doctrine) atau doktrin identifikasi (identification theory) atau disebut juga teori atau doktrin ”alter ego”
atau “teori organ”. Perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasikan sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious
liability). Bertolak dari doktrin “respondeat superior”. Didasarkan pada employment principle bahwa
dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat
dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana bahwa yang dilakukannya itu
haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat
dari kemampuan bertanggungjawab, maka seseorang yang mampu bertanggungjawab
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.18
18
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Kencana, 2010),hal. 34.
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan
subyek hukum pidana. Subyek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan
merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala
perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena
kesalahannya terhadap orang lain (korban).
Kongres PBB VII pada tahun 1985, diantaranya membicarakan jenis
kejahatan dalam tema “Dimensi Baru KejahatanDalam Konteks Pembangunan”, dan
melihat gejala kriminalitas yang merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti :
terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, penipuan
iklan yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara.
Melihat perkembangan dan pertumbuhan korporasi yang berdampak negatif tersebut,
kedudukan korporasi mulai bergeser dari hanya subyek hukum perdata menjadi
termasuk juga subyek hukum pidana. Dalam konteks tindak pidana dalam penelitian
Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat
sudah sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu
kejahatanpun juga harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut. Tidak dapat
dibayangkan bagaimana mungkin konsep dengan kaca mata klasik digunakan untuk
memotret terhadap gejala-gejala yang timbul dan terjadi di dalam kehidupan
masyarakat yang sudah semakin canggih dan modern ini. Apalagi untuk memotret
pelaku kejahatan yang sekarang berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam
wujud manusia dalam arti bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah
bergeser, disamping dilakukan oleh subjek hukum manusia, namun juga dapat
dilakukan oleh pelaku yang disamakan dengan manusia yaitu korporasi. Dengan
demikian tentu saja kaca mata lama sudah tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap
bersikukuh untuk digunakan pada masa sekarang. Maka mau tidak mau fokus kajian
kriminologi harus mengembangkan diri yaitu lewat telaah kritis terhadap berbagai
bentuk fenomena dalam kehidupan masyarakat yang serba modern.
KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam arti belummengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana.
KUHP yang digunakan sampai saat ini masih menganut paham bahwa suatu delik
hanya dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijk persoon). Pasal 59 KUHP adalah :
“Dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota-anggota badan
tindak pidana”.19
Adanya tindak pidana yang tidak diatur didalam KUHP agar tidak terjadi
kekosongan hukum (rechtvaccum),maka untuk menghindarinya diberlakukan Hukum
Pidana Khusus. Hukum Pidana Khusus merupakan undang-undang pidana yang
memiliki penyimpangan dari Hukum PidanaUmum, baik dari segi Hukum Pidana
Formil maupun dari segi Hukum Pidana Materiilnya. Hal tersebut diperlukan atas
dasar kepentingan hukum. Seperti Undang-Undang Darurat No. 7 Drt 1955 tentang
tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan, Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Makna tersebut adalah bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan
oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. KUHP hanya mengatur
perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang
pertanggung-jawabannya juga dilakukan secara individu.
Pembatasan pengertian inilah yang kemudian telah menutupi atau melindungi
badan hukum dari segala tindak kejahatan yang telah dilakukan. Dengan
mengatasnamakan badan hukum (korporasi) para pelaku menjadi aman dan
terlindungi dari jerat hukum dan dapat bebas bertindak. Tidak ada sanksi hukum
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut karena pada saat itu
tidak ada pengaturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban pidana bagi badan
hukum. Tuntutan-tuntutan yang dapat dimintakan hanya berkaitan dalam lingkup
keperdataan saja misalnya dengan meminta pembayaran ganti kerugian karena
tindakan badan hukum keperdataan yang telah merugikan subjek hukum lain.
19
tentang Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana korupsi.20
Perluasan subjek hukum di dalam Undang-Undang ini menjadi salah satu
kekhususan tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana lain, yaitu dapat
dipidananya korporasi (badan hukum) yang tidak terdapat dalam KUHP. Akan tetapi,
badan hukum sebagai subjek hukum sudah diakui di dalam RUU KUHP yang baru.
Kejahatan korporasi merupakan kejahatan bentuk baru dan akan menjadi tren di masa
depan. Menurut Andi Nirwanto, sebagai Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus
Kejagung RI), menyatakan bahwa
Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga merupakan undang-undang hukum pidana
yang khusus mengatur tentang hutan.
21
20
Chairil Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, tanpa tahun), hal. 48.
:
“Dalam kerangka pemikiran, maka sudah tepat ketika pertanggung jawaban pidana korporasi ini dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Selain dimaksudkan ke dalam RUU KUHP, pidana korporasi juga harus diatur dalam Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Tapi tidak kalah pentingnya, hukum acaranya harus diatur dalam KUHAP, salah satu contoh, Pasal 143 KUHAP yang mengatur surat dakwaan, disana sebut identitas yang ada 9 item, mulai dari nama lengkap, umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Tetapi yang pertanyaannya ketika nanti tindak pidana ini dilakukan korporasi, maka hal itu belum ada.
Guna mencegah kejahatan pidana korporasi di lembaga pemerintahan atau BUMN, agar setiap lembaga dan perusahaan harus bersikap transparan. Transparansi dan akuntabilitas mungkin dapat mencegah tindak pidana korporasi.
21
Kejagung RI sudah pernah menangani beberapa pidana korporasi salah satunya pidana yang dilakukan PT. Giri Jaladiwarna dan PT. IM2. PT. Giri Jaladiwarna sudah dihukum oleh Mahkamah Agung (MA) dengan membayar uang pengganti Rp. 1,3 miliar dalam kasus pembangunan pasar sentral di Banjarmasin. Ada lagi kasus PT. IM2 di Tipikor Jakarta, kepada PT. IM2 dikenakan pidana tambahan untuk bayar uang pengganti Rp. 1,3 triliun dan ini adalah satu contoh pengakan hukum pidana korporasi”.
Penetapan korporasi sebagai pelaku dan juga sebagai yang bertanggungjawab
motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu
bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurus saja sebagai
yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Di dalam delik korupsi bukan mustahil
denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan
keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan pidana
itu, adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana.
Tujuan dari pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu memberikan suatu
dampak penting bagi direktur untuk mengatur manajemen yang efektif agar
korporasinya berjalan sesuai dengan kewajiban korporasi tersebut.
Pemidanaan terhadap korporasi, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama
dengan hukum pidana pada umumnya, yaitu22
1. “Untuk menghentikan dan mencegah kejahatan di masa yang akan datang; :
2. Mengandung unsur penghukuman yang mencerminkan kewajiban masyarakat untuk menghukum siapapun yang membawa kerugian;
3. Untuk merehabilitasi para penjahat korporasi;
4. Pemidanaan korporasi harus mewujudkan sifat kejelasan, dapat diprediksi dan konsisten dalam prinsip hukum pidana secara umum;
5. Untuk efisiensi; dan 6. Untuk keadilan”.
22
Permasalahan kebakaran hutan sangatlah terkait dengan pengelolaan hutan
yang tidak menekankan pada asas keberlanjutan. Ada beberapa asas dikenal dalam
bidang lingkungan hidup atau yang disebut sebagai asas-asas pengelolaan lingkungan
hidup. Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa :
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas :
a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan;
e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah”.
Demikian pula yang terjadi dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit.
Dalam prakteknya perkembangan perkebunan kelapa sawit tidak memperhatikan
asas-asas pengelolaan yang berkelanjutan/kesinambungan. Usaha perkebunan kelapa
sawit lebih banyak didasarkna pada kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok
tertentu saja. Pemerintah sebagai pengelola utama sumber daya alam negara demi
rakyat banyak, tidak memperhatikan asas-asas ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
kebijakan-kebijakan operasionalisasi, dan kerja monitoring-nya yang tidak mengarah
kepada asas-asas tersebut. demikian pula dalam hal pengelolaan tindakan preventif
strategi yang tepat, monitoring, dan resolusi konfliknya ada dalam institusi-institusi
lokal yang mempunyai pengetahuan lokal dalam pencegahan kebakaran hutan.
Pemerintah dapat mengakomodasi peraturan-peraturan yang disepakati tersebut
dalam tingkat regional dan nasional untuk lebih mengefektifkan keputusannya.
Tujuan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
menciptakan keseimbangan kemampuan lingkungan yang serasi (environmental
harmony).23 Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.24
B.
Dengan demikian, sangatlah layak, penelitian dengan judul : “Pertanggung
Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan
Hukum Lingkungan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No.
228/Pid.Sus/2013/PN.PLW)” untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut.
Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian latar belakang di atas, adapun permasalahan yang
timbul dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
23
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta : Sofmedia, 2012).
24
1. Bagaimana pengaturan tentang pertanggung jawaban korporasi dalam tindak
pidana lingkungan hidup?
2. Bagaimana pertanggung jawaban korporasi terhadap tindak pidana kebakaran
hutan?
3. Bagaimana proses pertanggung jawaban korporasi terhadap kebakaran hutan
dalam penerapan hukum lingkungan?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini,
antara lain :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji secara yuridis pengaturan tentang
pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup;
2. Untuk mengetahui dan mengkaji secara yuridis pertanggung jawaban
korporasi terhadap tindak pidana kebakaran hutan;
3. Untuk mengetahui dan mengkaji secara yuridis proses pertanggung jawaban
korporasi dalam penegakan hukum lingkungan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi
Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
b. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
c. Memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Penegak Hukum dalam menegakkan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (Pelaku Usaha) khususnya
korporasi perkebunan kelapa sawitagar mengetahui delik pidana
apabila melakukan pembakaran hutan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada
lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum USU, bahwa
penelitian dengan judul : “Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran
Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW)” belum
pernah dilakukan. Namun, ada satu penelitian yang mempunyai topik yang sama,
akan tetapi, rumusan masalah yang berbeda, yaitu penelitian berjudul : “Proses
Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Serdang Propinsi Sumatera Utara)”, penelitian ini berbentuk tesis, ditulis oleh
Mahmud Mulyadi, pada tahun 2004. Adapun masalah yang dikaji dalam penelitian ini
adalah :
1. Proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang
melakukan tindak pidana pencemaran pada Sungai Belumai;
2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses pembuktian dan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan pencemaran pada
Sungai Belumai;
3. Upaya-upaya yang dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi hambatan
tersebut.
Bahwa dikarenakan belum ada yang membahas penelitian ini, maka penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Bilamana dikemudian hari ternyata
judul dan permasalahan yang sama, maka penulis bertanggungjawab sepenuhnya
dengan dicabutnya atau dibatalkannya gelar yang nantinya akan diperoleh setelah
selesai penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Dengan dipidananya korporasi, dapat dipandang sebagai suatuperkembangan
pemikiran, dari yang semula dapat dipidananya suatuperbuatan hanya bertumpu pada
subjek hukum orang (natuurlijke persoon)diperluas tidak hanya terbatas pada subjek
Dalam kepustakaan hukum pidana, dapat dimintainya pertanggungjawaban
pidana korporasi dikenal beberapa teori, antara lain : teori identifikasi, teori
pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability) dan teori
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict liability).
a. Teori Pertanggungjawaban Korporasi 1) Teori Identifikasi
Di negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris, dalam rangka
mempertanggung-jawabkan korporasi secara pidana telah dikenal konsep direct
corporate criminal liability atau dikenal dengan doktrin pertanggungjawaban pidana
langsung.25
Terkait dengan perlunya mens rea dalam tindak pidana, maka hakim telah
mengembangkan suatu sarana untuk mengaitkan pikiran dengan badan hukum ini,
membenarkan pendapat bahwa perusahaan itu secara pidana bertanggungjawab dalam
perkara semacam itu. Mereka telah berbuat demikian berdasarkan teori identifikasi.
Karena perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, maka ia hanya dapat bertindak
melalui agennya. Menurut teori identifikasi, agen tertentu dalam sebuah perusahaan Dalam penelitian ini, perusahaan dapat melakukan delik secara langsung
melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang
sebagai perusahaan itu sendiri, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu
pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Teori ini
dikenal dengan teori identifikasi.
25
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
dianggap sebagai directingmind atau alter ego. Mens rea para individu itu kemudian
dikaitkan dengan perusahaan. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas
nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan, maka mens rea para individu
merupakan mens rea perusahaan itu.26
2)
Dalam teori identifikasi, perusahaan bertanggungjawab atas tindak pidana
yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam perusahaan sepanjang ia melakukannya
dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi perusahaan.
Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liablity)
Pertanggungjawaban pidana pengganti secara sederhana dapat dikatakan
sebagai pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
Relevan dengan permasalahan vicarious liability, telah berkembang prinsip
employment principle. Dalam prinsip ini penanggungjawab utama dari
perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan yang melakukan perbuatan-perbuatan itu dalam ruang lingkup
tugas/pekerjaannya. Di Australia ada keraguan, bahwa the vicar’s criminal act
(perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar’s guilty mind (kesalahan/sikap bathin
jahat dalam delik vicarious) dapat dihubungkan dengan majikan atau pembuat
(principal). Hal ini berlawanan dengan yang terjadi di Inggris a guilty mind hanya
dapat dihubungkan (dengan majikan) apabila ada delegasi.
3) Teori Pertanggungjawaban Pidana Yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability)
26
Bila dilihat dari sejarahnya, lahirnya pertanggungjawaban pidana atas dasar
kesalahan atau liability on foult or negligence atau juga foult liability, merupakan
reaksi atas model pertanggungjawaban mutlak atau strict liability yang berlaku pada
zaman dahulu. Dalam perkembangannya, hukum mulai memenuhi perhatian lebih
besar pada hal-hal yang bersifat pemberiaan maaf (execulpatory considerations) dan
sebagai akibat pengaruh moral philosophy dari ajaran agama, cenderung mengarah
pada pengakuan kesalahan moral (moral culpability) sebagai dasar yang tetap untuk
perbuatan melawan hukum, maka prinsip tanggungjawab mutlak sebagai suatu
hukuman yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam kemudian
berubah menjadi tanggungjawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan.
Disamping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses perubahan
sikap ini adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari
suatu kesalahan (negligence) tidak berarti kurang penting dari pada kerugian akibat
dari suatu kesengajaan. Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan adalah
baik perbuatan yang disengaja maupun kelalaian, maka dengan demikian yang
semula merupakan tanggungjawab secara moral (moral responsibility) berubah
menjadi tanggungjawab secara hukum (legal liability).27
27
JG. Fleming, The Law of Tort, dalam Dwidja Priyatno, Ibid., hal. 107.
Strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without
fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan
perbuatan sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat
Strict liability pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di Inggris.
Sebagian hakim berpendapat asas mens-rea tidak dapat dipertahankan lagi untuk
setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila tetap berpegang teguh pada asas
mens rea untuk setiap kasus pidana dalam ketentuan undang-undang modern
sekarang ini. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan strict liability
terhadap kasus-kasus tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu
ternyata mempengaruhi legislatif dalam membuat undang-undang.28
Doktrin strict liability dalam hukum pidana dikemukakan oleh Roeslan Saleh
yang menyatakan29
Dikaitkan dengan penelitian ini yang menitikberatkan pada strict liability
karena menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan :
“…dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktekpula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaanmenilai yang dapat menjadi syarat ditiadakanyya pengenaanpidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompokkejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan
strictliability. Yang dimaksud dengan ini adalah adanya kejahatanyang dalam
terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalahtidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untukmelakukan suatu perbuatan pidana. Sungguhpun demikian, diadipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perbuatanyang terlarang itu, walaupun dia sama sekali tidak bermaksuduntuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalahkejahatan. Biasanya ini adalah untuk kejahatan-kejahatan kecilatau pelanggaran. Oleh beberapa penulis perbuatan pidana initidak dipandang sebagai perbuatan pidana dalam artisebenarnya. Ia telah harus dipertanggungjawabkan hanyakarena dipenuhinya unsur-unsur delik oleh perbuatannya, tanpamemeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan yang dapatmeniadakan pengenaan pidana”.
28
Johny Krisnan, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pemabaharuan Hukum Pidana Nasional”, (Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008), hal. 65. Lihat juga : Djoko Prakoso, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hal. 75.
29
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 67, menyatakan bahwa : “Setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Sementara itu, yang dimaksud
dengan ‘orang’ diatur dalam Pasal 1 angka 32, menyatakan bahwa : “Setiap orang
adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum”.
Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana di
bidang lingkungan hidup adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang,
dan/atau badan hukum. Pemikiran untuk menetapkan badan hukum sebagai subjek
tindak pidana tersebut, tidak jauh berbeda dengan yang ada di dalam tindak pidana
ekonomi dan hukum perdata.30
Badan hukum dapat berupa perusahaan atau industri yang mempunyai
kecenderungan untuk mencemarkan atau merusak lingkungan hidup. Menurut M.
30
Yahya Harahap, perseroan merupakan badan hukum yang hidup karena
undang-undang menghendaki.31 Korporasi termasuk ke dalam bentuk badan hukum, akan tetapi, badan hukum belum tentu sebuah korporasi. Menurut Hansmann dan
Kraakman, hal yang sangat sentral dalam mendefinisikan korporasi dan membedakan
dengan bentuk organisasi lain adalah prinsip separate legal personality dan limited
liability. 32
Teori Strict Liability adalah pertanggung jawaban tanpa ada kesalahan.
Dikaitkan dengan teori pertanggung jawaban pidana pengganti (Vicarious Liability)
yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain, maka orang lain yang mempertanggung jawabkan
kesalahan orang lain tersebut belum tentu memiliki kesalahan. Oleh karena itu, Strict
Liability yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban tanpa ada kesalahan
merupakan teori yang digunakan untuk menarik pelaku, dalam hal ini Direktur
sebuah perusahaan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan di dalam
maupun di luar pengadilan. Direksi perusahaan belum tentu bersalah melakukan
tindak pidana lingkungan hidup, namun, untuk menyeretnya ke depan persidangan, Maka dari itu, badan hukum dan korporasi harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan jika memang terbukti
melanggar hukum lingkungan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan
pencemaran lingkungan.
31
M. Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26, No. 3, Tahun 2007, hal. 44.
32
“The feature which most define the company and distinguish it from all other types of
organization are the principles of separate legal personality and limited liability”. Sumber :
maka harus digunakan teori pertanggung jawaban pidana pengganti (Vicarious
Liability). Selanjutnya, tindak pidana lingkungan hidup yang diduga dilakukan oleh
perusahaan, tidak mungkin dilaksanakan oleh Direksi perusahaan tersebut, pastilah
dilaksanakan oleh orang suruhan yang mempunyai kontrak kerja atau hubungan kerja
dengan perusahaan tersebut, sehingga orang suruhan yang menjadi bawahan Direksi
perusahaan tadi dapat dimintai pertanggung jawaban pidananya berdasarkan teori
strict liability.
b. Teori Pertanggungjawaban Mutlak
Teori pertanggung jawaban mutlak ini sebenarnya sama dan hampir mirip
dengan teori strict liability. Malahan menurut pendapat ahli hukum, E. Saefullah
Wiradipradja, menyamakan teori pertanggung jawaban mutlak ini dengan teori strict
liability. Teori ini digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami
teori-teori apa saja yang berkaitan dengan pertanggung jawaban korporasi.
Menurut E. Saefullah Wiradipradja, teori pertanggungjawaban mutlak atau
no-foult liability or liability without foult atau juga dikenal dengan absolute liability
atau strict liability, adalah tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan
adanya kesalahan. Atau dengan kata lain adalah suatu prinsip tanggungjawab yang
memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan
apakah pada kenyataannya ada atau tidak.33
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound, menyatakan bahwa:
33
“I … Use simple word ‘liability’ for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjeced to the exaction”.34
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru tahun
2012 (RUU KUHP 2012), pada Pasal 47 menyatakan bahwa : “Korporasi merupakan
subjek tindak pidana”. Tindak Pidana dilakukan oleh Korporasi jika dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan
korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam
lingkup usaha korporasi tersebut baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah
hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun
kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka untuk menjawab rumusan masalah
tentang penegakan hukum Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan terhadap tindak pidana lingkungan berupa kebakaran hutan dalam hal
pertanggungjawaban korporasi, maka setiap korporasi yang melakukan tindak pidana
pembakaran hutan dapat dipidana dengan sanksi pidana yang terdapat pada
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
35
34
Roscoe Pound, Introduction to The Philosophy of Law, (Jakarta : Bhatara, 1975), hal. 76.
35
Pasal 48 RUU KUHP 2012.
tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggung-jawaban pidana dikenakan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.36 Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama
korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi
yang bersangkutan. 37 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi.38
c.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 51 RUU KUHP
2012, pertanggungjawaban pidana dapat juga dikenakan kepada suatu korporasi, dan
yang bertanggungjawab di dalam korporasi/pengurus korporasi tersebutlah yang
menanggung akibatnya (menjalankan hukumannya).
Teori Pertanggungjawaban Berdasarkan Unsur Kesalahan
Untuk mengkaji Teori pertanggung jawaban berdasarkan unsur kesalahan
diperlukan mengetahui teori kesalahan terlebih dahulu. Menurut Roeslan Saleh,
dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan
pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa : “Orang yang melakukan
perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya
pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis mengatakan “Tidak ada pidana
36
Pasal 49 RUU KUHP 2012.
37
Pasal 50 RUU KUHP 2012.
38
jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada dipidananya si
pembuat/pelaku.39
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu
melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian,
menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu40
1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan
:
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.
Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu korporasi yang diduga melakukan
tindak pidana pembakaran hutan bersalah atau tidak maka harus diuji unsur
kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur pasal yang dipersangkakan atau tidak.
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka
prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang
mempunyai tiga tanda, yakni41
1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi).
:
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu”.
39
Ibid.
40
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997), hal. 31.
41
Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan
mengenai hakikat kejahatan, yaitu42
1. “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya;
:
2. Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah
kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya
saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan bathin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,
sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat.43
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka
ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan
42
Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam JE. Sahetapy (Ed.), Victimology Sebuah
Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 41-42.
43
I Gusti Bagus Sutrisna, “Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan Terhadap Pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah (Ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP, yang menyatakan bahwa :
“1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menepatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
3. Yang ditemukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci
ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana,
misalnya Van Hammel yang mengatakan bahwa44
Sementara itu, secara lebih tegas, Simmons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan
sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendaknya. :
“Orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidak-tidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan; 2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam
pergaulan masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi”.
45
Adapun menurut Sutrisna,
untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, yaitu46
44
I Gusti Bagus Sutrisna, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hal. 79.
45
Ibid.
46
Loc.cit., hal. 83.
:
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi”.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan 2
(dua) faktor terpenting, yaitu :
1. Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
yang dilarang atau melanggar hukum; dan
2. Faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan
menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih
muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP, yang disebutkan tidak mampu
bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat
disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan
51. Jadi, bagi Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja
karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga
karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.47
Selain strict liability, ada dikenal juga teori pertanggung jawaban berdasarkan
unsur kesalahan (faultliability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup
umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara
teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
47
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai
pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur
pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga
kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka teori pertanggung jawaban berdasarkan
unsur kesalahan (liability based on fault)yaitu mengenai tidak ada pidana tanpa ada
kesalahan mengisyaratkan bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan pastilah
dapat dihukum. Seseorang yang melakukan pembakaran hutan, apabila dapat
dibuktikan dirinya adalah pelakunya, maka pidana harus dijatuhkan kepadanya.
Namun, sebaliknya apabila tidak ada satu bukti pun yang mengarahkan bahwa diri
seseorang itu bersalah, maka dirinya harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Begitu juga dengan sebuah korporasi yang diwakili oleh seorang pengurus
perusahaannya, apakah yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan ataukah
orang yang menyuruh, membantu, ikut turut serta, dan memberikan perintah untuk itu,
maka dirinya dapat dihukum dan dikenakan sanksi tindak pidana pembakaran hutan
Dalam hal mengajukan tuntutan hukum, Jaksa Penuntut dapat menggunakan
baik itu Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ataupun
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
2. Kerangka Konsep
Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut,
sebagai berikut :
1. Korporasi adalah badan usaha (bisnis) yang disahkan/tiruan yang diciptakan
oleh atau dibawah wewenang hukum negara atau bangsa, yang terdiri dalam
beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi
pejabat kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak
individu;48
2. Pertanggungjawaban Pidana pada hukum pidana Belanda adalah harus
memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu :
a. Adanya suatu tindakan (commission atau ommission) oleh pelaku;
48
“Corporation an entity (usu. a business) having authority under law to act as a single
person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely; a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers that its constitution gives it”. Lihat : Henry
Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, 8th Ed., (Minnesota : West Group, 2004), hal. 1032.
b. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dan undang-undang;
c. Tindakan tersebut, melawan hukum (unlawful); dan
d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban pidana ini, pada prinsipnya sama dengan Negara Inggris
yang menganut sistem hukum common law system. Hukum pidana Inggris,
mensyaratkan bahwa pada prinsipnya orang yang melakukan tindak pidana
atau kejahatan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada
sebab-sebab yang meniadakan penghapusan dari pertanggungjawaban yang
bersangkutan;49
Pertanggungjawaban pidana pada istilah asing disebut juga toerekenbaardheid
atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak
dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak;50 3. Pertanggungjawaban Korporasi adalah dapat dipidananya korporasi sebagai
salah satu contoh riil dari perluasan pemikiran, dimana konsep dapat
dipidananya suatu perbuatan yang semula bertumpu pada subjek hukum orang
49
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal. 112.
50
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seorang terdakwa dipertanggungjawabkanatas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Apabila ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab maka dipidana. Kemampuan bertanggungjawab tersebut memperlihatkan kealahan dari petindak berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan. Selanjutnya, apakah tindakan terdakwa ada asalan pembenar atau tidak.
(natuurlijke persoon) diperluas tidak hanya terbatas pada subjek hukum orang
tetapi juga subjek hukum korporasi (rechtspersoonlijkheid).51
Dengan demikian, pertanggungjawaban korporasi adalah penjatuhan sanksi
pidana kepada suatu badan hukum yang melakukan tindak pidana korporasi.
Adapun yang bertanggungjawab terhadap penjatuhan sanksi pidana kepada
korporasi adalah penanggungjawab ataupun pengurus dari suatu korporasi
tersebut karena diri pelaku bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan
hukum korporasi dimana ia bekerja dan melakukan kejahatan korporasi;52
4. Tindak Pidana Korporasi adalah tindak pidana yang bersifat organisatoris.
Begitu luasnya, penyebaran tanggung jawab serta struktur hirarkis dari
korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi kondusif
bagi tindak pidana korporasi. Anatomi tindak pidana yang sangat kompleks
dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas demikian bermuara pada
motif-motif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin pada tujuan korporasi
51
Bandingkan dengan : Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 29, menyatakan bahwa : Secara lebih konkrit hal tersebut terlihat dalam Pasal 51 W.v.S (KUHP Belanda) yang telah diperbaharui pada tahun 1976, sebagai berikut : 1) “Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; 2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap : Badan hukum atau; Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau; Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama; 3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan”.
52
(organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan
kepentingan berbagai pihak;53
5. Kebakaran Hutan mempunyai 2 (dua) definisi oleh Departemen Kehutanan
RI, yaitu54
a. Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. Kebakaran terjadi karena faktor-faktor :
:
1) Alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama);
2) Manusia (misalnya karena kelalaian manusia membuat api di tengah-tengah hutan dimusim kemarau atau di hutan-hutan yang mudah terbakar.
b. Bentuk kerusakan hutan yang disebabkan oleh api di dalam areal hutan negara.
6. Penegakan Hukum Lingkungan adalah kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidan, pandangan-pandangan yang
mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup;55
G. Metode Penelitian
53
“….konsepsi kejahatan korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh big business dan jangan dikaitkan dengan kejahan oleh small scale business (seperti : penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reperasi kendaraan bermotor dan sebagainya)”. Sumber : Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana
Korporasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011),
hal. 390.
Sementara itu menurut Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager : “Tindak pidana korporasi ialah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana”. Sumber : Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, (New York : The Free Press, 1980), hal. 1-2, dan 48.
54
Departemen Kehutanan RI, Kamus Kehutanan, Edisi Pertama, (Jakarta : Departemen Kehutanan RI, 1989).
55
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di
Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif.56
1.
Penelitian ini dilakukan untuk menelaah penelitian-penelitian
sebelumnya tentang prinsip-prinsip hukum mengenai pertanggung jawaban korporasi
terhadap tindak pidana lingkungan hidup berupa pembakaran hutan.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis analisis. Penelitian yuridis analisis
mempunyai sifat penelitian deskriptif analisis, yang mana, penelitian deskriptif
analisis adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan
menganalisis suatu peraturan hukum. 57 Penelitian ini
mempergunakanmetodeyuridisnormatif,dengan pendekatan yang bersifat kualitatif.
Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.58
56
Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman di antara para ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni : Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan; Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doktrinal; Sunaryati Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif; dan Ronny Hanitjo Soemitro, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doktrinal. Sumber : Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14; Soetandyo Wignjosoebroto, Ifdhal
Kasim et.al. (Editor), Hukum : Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta : Elsam dan Huma, 2002), hal. 147; C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad
ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 139; Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan ke-V, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994), hal. 10.
57
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press,1986), hal.63.
58
Soerjono Soekanto dam Sri Mamudji, Op.cit., hal.14.
Dalam
penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan
hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan dengan tepat, akurat, dan
sistematis terkait gejala-gejala hukum mengenai pertanggungjawaban koporasi
terhadap kebakaran hutan dikaitkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. Sumber Data
Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan
informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang
digunakan terdiri dari59
1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang
terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dan tindak pidana
lingkungan hidup, yaitu : :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht);
b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
59
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004;
f. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagaimana
telah dicabut berlakunya dan diganti dengan Undang-Undang No. 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan; dan lain sebagainya.
g. Putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
pengrusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi.
2. Bahan hukum sekunder, digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), dan kamu kehutanan. Kamus hukum yang digunakan adalah Black’s
Law Dictionary. Kamus kehutanan yang digunakan adalah yang dikeluarkan
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitan ini menggunakan teknik library research
(studi dokumen), artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan
berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih
perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Selain itu, untuk
melengkapi data pustaka, juga dilakukan analisis terhadap beberapa penanganan
kasus tindak pidana lingkungan hidup berupa pembakaran hutan yang terjadi di Riau
dan beberapa daerah lainnya, dan juga data dari Kepolisian RI, serta dari masyarakat
sekitar tersebut. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data
yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan
para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui
naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah
dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan
pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kejahatan pidana
korporasi khususnya lingkungan hidup berupa pembakaran hutan serta
penyalahgunaan perangkat hukum yang telah tersedia, kemudian membuat
sistematikan dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu
sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis
secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan