• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/PT. Bjm)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Murni Dahlena Gultom 110200154

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/PT. Bjm)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Murni Dahlena Gultom 110200154

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

(Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum) NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Edi Yunara, SH, M.H) (Nurmalawaty, SH, M.Hum) NIP: 196012221986031003 NIP: 19620907198812001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Ok. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hamdan, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M. Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Edi Yunara, SH, M.H, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(4)

8. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Bachtiar Hamzah, SH, MH, selaku penasihat akademik yang telah banyak membantu penulis selama menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Orang tua penulis, Uma dan almarhum Ayah serta Kakak dan Adikku yang menjadi inspirasi dan selalu memberikan dukungan moral maupun material. 12.Teman-teman seperjuangan yang banyak memberikan dukungan, kritik, saran

dan motivasi, serta semua pihak lainnya yang telah membantu dengan tulus dan ikhlas hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, April 2015 Penulis

(5)

ABSTRAKSI Murni Dahlena Gultom*

Edi Yunara** Nurmalawaty***

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni dalam perundang-undangan khusus. Di Indonesia, munculnya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya seperti Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001). Berdasarkan hal tersebut, maka yang permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah tentang bagaimana pengaturan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, bagaimana sistem pertanggungjawabannya. Di dalam skripsi ini juga dibahas tentang pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi ditinjau dari putusan pengadilan tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/ 2011/PT. BJM. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan skripsi ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana korupsi selain orang-perorangan, hal ini dapat dilihat seperti misalnya dalam Pasal 1 ayat 3 UU Pemberantasan tindak pidana korupsi No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001. Pengaturan itu dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi yang memberikan dampak kerugian yang besar bagi masyarakat dan dapat merugikan perekonomian negara. Dengan adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang dilakukannya. Jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dijatuhkan kepada korporasi dan atau pengurusnya, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 ayat 1 UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi hanya pidana denda, sedangkan pidana tambahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 ayat 1 UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengaturan tentang korporasi ini telah diterapkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/PT. Bjm. Hal ini merupakan kemajuan dalam lalu lintas hukum Indonesia, yang diharapkan dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia yang melibatkan korporasi.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

**Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ***Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iii

DAFTAR ISI ... .. iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7

D. Keaslian Penulisan... 8

E. Tinjauan Pustaka... 8

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 8

2. Pengertian Korporasi... 17

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 22

F. Metode Penelitian... 32

G. Sistematika Penulisan... 34

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana... 39

B. Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi... 52

C. Latar Belakang Pengaturan Korporasi sebagai Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi... 60

(7)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sistem Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana... 66

B. Pengaruh Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 81

C. Sanksi yang Dapat dijatuhkan Pada Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi... . 87

BAB IV KAJIAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANJARMASIN NOMOR 04/PID.SUS/2011/PT. BJM A. Posisi kasus 1. Kronologi Kasus... 107

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum... 115

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum... 115

4. Pledoi... 116

5. Pertimbangan Hakim... 117

6. Putusan... 118

B. Analisa Kasus... 119

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 125

B. Saran... 127

DAFTAR PUSTAKA... 129

(8)

ABSTRAKSI Murni Dahlena Gultom*

Edi Yunara** Nurmalawaty***

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni dalam perundang-undangan khusus. Di Indonesia, munculnya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya seperti Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001). Berdasarkan hal tersebut, maka yang permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah tentang bagaimana pengaturan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, bagaimana sistem pertanggungjawabannya. Di dalam skripsi ini juga dibahas tentang pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi ditinjau dari putusan pengadilan tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/ 2011/PT. BJM. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan skripsi ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana korupsi selain orang-perorangan, hal ini dapat dilihat seperti misalnya dalam Pasal 1 ayat 3 UU Pemberantasan tindak pidana korupsi No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001. Pengaturan itu dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi yang memberikan dampak kerugian yang besar bagi masyarakat dan dapat merugikan perekonomian negara. Dengan adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang dilakukannya. Jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dijatuhkan kepada korporasi dan atau pengurusnya, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 ayat 1 UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi hanya pidana denda, sedangkan pidana tambahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 ayat 1 UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengaturan tentang korporasi ini telah diterapkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/PT. Bjm. Hal ini merupakan kemajuan dalam lalu lintas hukum Indonesia, yang diharapkan dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia yang melibatkan korporasi.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

**Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ***Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkembangan hukum pidana, pelaku tindak pidana tidak hanya manusia lagi tetapi juga korporasi. Disejajarkan dengan manusia, korporasi sebagai subyek hukum pidana memiliki makna bahwa keduanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara sendiri-sendiri. Korporasi harus diakui telah memberikan kontribusi bagi kemajuan perekonomian negara seperti pajak dan devisa. Namun di sisi lain tidak jarang perilaku negatif dilakukan oleh korporasi, seperti korupsi dan praktik-praktik perekonomian yang menyimpang lainnya.

Di Indonesia, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni dalam perundang-undangan khusus. KUHP sendiri masih tetap menganut subjek tindak pidana

berupa “orang”. Perlambang bahwa hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana dalam KUHP, dapat dilihat pada setiap pasal yang berisi perumusan delik

selalu dimulai dengan kata “barang siapa” atau kata-kata lain yang menunjuk

orang sebagai subjek seperti “ibu”, Panglima Tentara, pegawai negeri, atau orang

lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu untuk menjalankan jabatan umum.1Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana didorong akan kebutuhan yang mendesak, yakni semakin banyaknya korporasi yang melakukan perilaku negatif yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Namun demikian, dalam praktiknya hingga kini berdasarkan pengamatan masih

1

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 80.

(10)

sangat jarang korporasi didudukkan sebagai subyek hukum pidana, yang terjadi justru individu atau oknum karyawan di korporasi yang didudukkan sebagai pelaku tindak pidana korporasi.

Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini telah memberikan sarana yang cukup lengkap untuk dapat menjerat pelaku-pelaku korupsi, termasuk dalam hal ini korporasi. Pengaturan korporasi sebagai salah satu pelaku tindak pidana korupsi sudah diatur dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Dalam Undang-undang tersebut, pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sedangkan yang dimaksud setiap orang, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.2 Sehingga sudah seharusnya setiap orang atau siapapun termasuk korporasi yang secara langsung atau tidak langsung perbuatannya telah memenuhi rumusan menurut Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat dikenakan hukuman atau diminta pertanggungjawaban pidananya.

Tindak pidana korporasi merupakan bagian dari "white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Menurut Sutherland, white collar crime atau kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam melaksanakan jabatannya. Defenisi sutherland tersebut memfokuskan diri pada dua hal, yaitu pelaku

2

(11)

kejahatan dan status sosial tinggi yang dimilikinya.3 Kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi, telah menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat karena menimbulkan kerugian besar.

Penentuan kesalahan dari suatu korporasi memang sangat sulit, karena yang menjalankan kegiatannya secara nyata adalah pengurus. Dalam suatu korporasi apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat dipertanggung jawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, maka badan hukum juga tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan yang dilakukan oleh pengurus.

Selain kemampuan bertanggung jawab untuk dapat meminta pertanggungjawaban secara pidana terhadap orang ataupun badan hukum/korporasi, juga ada syaratnya, yaitu harus mempunyai unsur kesalahan yang secara teori pidana menyatakan kesalahan terdiri atas dua unsur, yaitu unsur kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).4 Kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) dari pengurus juga dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari badan hukum sendiri. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

Dalam ilmu hukum pidana Indonesia gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh

3

Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 22.

4

(12)

pembuat. Dalam literatur ilmu hukum pidana sekarang, diingatkan bahwa dalam lingkungan sosial-ekonomi seorang pembuat tidaklah perlu selalu melakukan perbuatan tindak pidana itu secara fisik. Dapat saja perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawainya. Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan rnanusia, maka pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia menjadi perbuatan korporasi, dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kehidupan bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan.

Maka bagi penegak hukum di Indonesia seharusnya tidak ada permasalahan hukum lagi untuk mengajukan suatu korporasi sebagai tersangka dan terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sejauh hal itu dibenarkan oleh Undang-Undang misalnya Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan pembuktian bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dilakukan dalam rangka menjalankan kegiatan usaha korporasi, maka hal ini merupakan perbuatan korporasi yang bersangkutan. Kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa perbuatan manusia yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi dapat dipisahkan dengan pertanggungjawaban pengurus.

(13)

Yang dimaksud dengan korporasi dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, dirumuskan dalam Pasal 1 butir (1), yang menyebutkan Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dalam tindak pidana korupsi, korporasi dapat sebagai pelaku apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dalam pengertian bahwa, mungkin ia sebagai pemodal atau pemegang saham ataupun mungkin sebagai pegawai pada korporasi dan menerima gaji atau upah dari korporasi itu. Orang-orang tersebut dalam kegiatan usaha korporasi, dapat bertindak sendiri atau bersama-sama. Kemudian diantara mereka itu akan dipilih dan diangkat sebagai pengurus sehingga mereka merupakan organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi. Kemungkinan dalam memutuskan suatu kebijakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

(14)

pidana korupsi dan apabila tindak pidana korupsi ini oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengawasnya. Bila mana tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi tersebut, maka korporasi itu diwakili oleh pengurusnya. Selanjutnya pengurus yang mewakili korporasi itu dapat diwakili oleh orang lain.

Pada tahun 2011 lalu, PT Gri Jaladhi Wana telah dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi melalui putusan pengadilan tinggi Banjarmasin Nomor 04/ Pid. Sus/ 2011/ PT. Bjm, yang sebelumnya telah diputus oleh pengadilan negeri Barjarmasin melalui putusan Nomor 812/ Pid.Sus/ 2010/ PN. Bjm. Hal ini merupakan suatu kemajuan dalam lalu lintas hukum Indonesia, yang menerapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi secara maksimal. Dengan dipidananya suatu korporasi, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia yang melibatkan suatu korporasi.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis menganggap perlu untuk meneliti tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korporasi.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(15)

2. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi?

3. Bagaimanakah kajian hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dalam analisis putusan Nomor 04/ Pid. Sus/ 2011/ PT. Bjm?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi.

c. Untuk mengetahui bagaimana kajian hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dalam analisis putusan Nomor 04/ Pid. Sus/ 2011/ PT. Bjm.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

(16)

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan menjadi literatur untuk penulisan selanjutnya.

c. Secara praktis hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis, pembaca, dan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas dan menanggulangi kejahatan korporasi dalam tindak pidana korupsi.

D. Keaslian Penulisan

Sehubungan keaslian penulisan, skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar atau literatur yang telah ada seperti buku-buku, media internet, dan hasil pemikiran penulis sendiri.

Berdasarkan peninjauan yang dilakukan oleh penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, telah dinyatakan bahwa judul skripsi ini tidak sama dengan skripsi yang lain. Oleh karena itu, karya ilmiah ini dapat penulis pertanggungjawabkan secara moral, dan apabila ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama, dapat saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio”, atau “corruptus”, atau

“corrumpere” dalam bahasa latin yang lebih tua. Kemudian dari bahasa latin

(17)

“corruption atau corrupt”, dalam bahasa Prancis disebut “corruptio”, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut “corruptie (korruptie)”. Indonesia sendiri

menyebutnya dengan istilah “korupsi”.5

Secara harfiah, kata korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, seperti yang disebutkan dalam

“The Lexicon Webster Dictionary”:

“corruption is the act of corrupting, or the state of being corrupt,

prutrefactive decomposition, putr id matter, moral pervension, depravity,

perversion of integrity, corrupt or dishonest proceedings, bribery,

pervension from a state of purity, debasement, as of a language, a debased

form of a word (The Lexicon 1978)”.6

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa

Indonesia yang menyebutkan bahwa “korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.7

Istilah korupsi pertama kalinya diatur dalam khasanah hukum Indonesia adalah pada Peraturan Peguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 Tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

5

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 137. 6

Andi Hamzah, op.cit., hlm. 5. 7

(18)

Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.8

Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut sebagai berikut9:

a. Korupsi yang dikaitkan dengan kerugian keuangan negara

1. Melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1))

2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3)

b. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap

1. Menyuap pegawai negeri dengan memberikan janji-janji karena jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a)

2. Menyuap pegawai negeri dengan memberikan hadiah karena jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b)

8

Darwan Prinst, Pemberanta san Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1.

9

(19)

3. Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut (Pasal 13)

4. Pegawai negeri yang menerima pemberian atau janji (Pasal 5 ayat (2)) 5. Pegawai negeri yang menerima suap (Pasal 12 huruf a)

6. Pegawai negeri yang menerima suap (Pasal 12 huruf b)

7. Pegawai negeri yang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11)

8. Menyuap hakim (Pasal 6 ayat (1) huruf a) 9. Menyuap advokat (Pasal 6 ayat (1) huruf b)

10. Hakim atau advokat menerima suap (Pasal 6 ayat (2)) 11. Hakim menerima suap (Pasal 12 huruf c)

12. Advokat menerima suap (Pasal 12 huruf d)

c. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan

1. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan (Pasal 8)

2. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9)

3. Pegawai negeri merusakkan bukti (Pasal 10 huruf a)

4. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti (Pasal 10 huruf b)

(20)

d. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemersan

1. Pegawai negeri yang memeras orang lain (Pasal 12 huruf e) 2. Pegawai negeri yang memeras orang lain (Pasal 12 huruf g) 3. Pegawai negeri memeras pegawai negeri lain (Pasal 12 huruf f) e. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang

1. Pemborong berbuat curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a)

2. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf b)

3. Rekanan TNI/POLRI berbuat curang (Pasal 7 ayat 1 huruf c)

4. Pengawas rekanan TNI/POLRI berbuat curang (Pasal 7 ayat (1) huruf d)

5. Penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (2))

6. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain (Pasal 12 huruf h)

f. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan 1. Pegawai negeri turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau

persewaan yang diurus dan diawasinya (Pasal 12 huruf i) g. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi

1. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor (Pasal 12 huruf b)

(21)

2. Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar (Pasal 22)

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22) 4. Saksi atau ahlinya yang tidak memberikan keterangan atau

memberikan keterangan yang tidak benar (Pasal 22)

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar (Pasal 22)

6. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24).

Jika dilihat dari Pasal-Pasal dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, pengertian tindak pidana korupsi ruang lingkupnya sangat luas. Bertitik tolak dari pengertian tersebut, suatu perbuatan dapat diklasifikasikan dan dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi apabila perbuatan-perbuatan yang dilakukan memenuhi semua unsur-unsur dari pasal peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu beberapa sarjana memberikan pendapat mereka mengenai istilah korupsi, antara lain:

1. David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, yang menyangkut kepentingan umum.10

10

(22)

2. Fockema Andrea menyatakan kata korupsi tersebut berasal dari kata asal

corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, di Perancis dikenal istilah corruption, dan di Belanda dikenal dengan istilah

corruptie.11

3. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari

public official atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.12

4. Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan-kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum serta dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang dirasakan masyarakat yang berarti bahwa penyalahgunaan amanat untuk kepentingan pribadi.13

5. Suyatno, mengatakan korupsi merupakan tindakan desosialisasi yakni suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.14

11

Andi Hamzah, op.cit., hlm. 5. 12

Chairudin dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 8.

13

Ibid., hlm. 9 14

(23)

6. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar Jacob van Klaveren menyatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor administrasinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.15 7. L. Bayle, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang

berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.16

8. M.Mc Mullan menyatakan bahwa, “seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima uang sebagai dorongan untuk

melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal

ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat

demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah

untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum.

Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan.17

9. J.S. Nye menyatakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.18

10.Rumusan korupsi dengan menitikberatkan pada kepentingan umum Carl. J. Friedrich, mengatakan bahwa, “pola korupsi dapat dikatakan ada

15

(24)

apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk

melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang

bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak

diperbolehkan oleh Undang-Undang, membujuk untuk mengambil langkah

yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan

demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.19

11.Rumusan korupsi di bidang politik oleh Theodore M. Smith, dalam

tulisannya “Corruption Tradition and Change” menyatakan, “secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah

politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi)

pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pega wai pada

umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok

elite ditingkat provinsi dan kabupaten.20

12.Gunnar Myrdal menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu masalah yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan untuk membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan alasan pembenar utama terhadap kup militer.21 13.Menurut Clive gray, korupsi adalah, “sogokan, uang siluman atau

pungutan liar lain, yang merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh

konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu. Dan barang tertentu

itu berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas, tanda tangan. Secara

19

Ibid., hlm. 9. 20

Ibid., hlm. 10. 21

(25)

teoritis, ha rga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik

turunnya permintaan dan penawaran, da n setiap kali akan terjadi harga

keseimbangan. Karena dalam model ekonomi pasar juga ada pengertian

harga diskriminasi, dalam pasa ran ta nda tangan pejabat juga a da

kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ekonomi kuat dan golongan

ekonomi lemah.22

Makna tindak pidana korupsi terus berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan bermasyarakat dari sisi negatif. Rumusan-rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna terhadap tindak pidana korupsi dalam hukum positif, tergantung pada tekanan atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan pengertian tindak pidana korupsi tersebut tercermin bahwa tindak pidana korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga maupun golongan ke dalam dinas di bawah jabatannya. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

2. Pengertian Korporasi

Secara etimologi kata korporasi berasal dari kata “corporatio” dalam

bahasa latin, corporatio sebagai kata benda berasal dari kata kerja “corporare”

yang banyak dipakai orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. Sedangkan

kata “corporare” berasal dari kata “corpus” yang artinya badan, memberikan

22

(26)

badan, atau membadankan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kata

corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain, badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.23

Di dalam “Black’s Law Dictionary” korporasi didefinisikan sebagai

berikut:

an artificial or legal created by or under the authority of the laws of a state or nation, composed, in some rare instances, of a single person an his successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous individuals”, (suatu yang disahkan/tiruan yang diciptakan oleh atau dibawah wewenang hukum suatu negara atau bangsa, yang terdiri, dalam hal beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi pejabat kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak individu).24

Korporasi merupakan hasil ciptaan manusia yang bertujuan untuk mencapai sesuatu hal yang dapat memenuhi kepentingan orang-orang yang menciptakannya ataupun masyarakat. Dimana penciptaannya dilakukan berdasarkan hukum, sehingga sering disebut dengan badan hukum, yang mempunyai struktur fisik (corpus) dan kepribadian (animus).

Korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan dalam kalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata yang disebut dengan badan hukum (rechtspersoon), atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah legal entities atau corporation, bahasa Jerman disebut corporation, dan dalam bahasa

(27)

Belanda disebut corporatie.25 Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.

Pengertian korporasi juga diatur didalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu:

“Korporasi adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Korporasi sering diidentikkan dengan badan hukum yang merupakan sekumpulan dari orang-orang yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban serta tanggung jawab dalam menjalankan dan mengelola badan hukum tersebut. Selanjutnya para ahli memberikan definisinya mengenai korporasi sebagai berikut:

a. A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.26

b. Menurut Utrecht, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri satu personasifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.27

25

Edi Yunara, op. cit., hlm. 25. 26

A. Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm.54.

27

(28)

c. Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi adalah Badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya unsur memasukkan unsur animus yang membuat badan mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya kematiannya ditentukan oleh hukum.28

d. Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan korporasi sebagai suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi dalam peraturan korporasi.29

e. Menurut Chidir Ali, Hukum memberikan kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawahan dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggung jawabkan, namun demikian badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban korporasi.30

f. J.C Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai berikut:

“ A corporation is a legal person but it has no physical existence and cannot, therefore, act or form an intention of any kind except through its

28

Mahrus Ali, op. cit., hlm. 2. 29

Ibid., hlm. 4 30

(29)

directors or servants. As each director or servant is also a legal person quite distinct from the corporation, it follows that a corporation’s legal liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thinking is epitomized in the catchphrase “corporations don’t commit crimes, people do”. (korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur atau karyawan juga merupakan entitas hukum yang berbeda dari korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggungjawaban pengganti. Pemikiran ini berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasilah yang bisa melakukan kejahatan).31

Dari beberapa definisi yang dikutip dari beberapa pendapat para ahli di atas jelas bahwa korporasi merupakan perkumpulan orang-orang yang melakukan tindakan bersama-sama di dalam suatu badan yang diciptakan oleh hukum serta dijalankan menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk menjalankan aktivitas atau kegiatan yang sah baik itu sebagai bagian dari fungsi pemerintahan maupun dalam kegiatan di bidang bisnis kemudian berakhirnya suatu badan tersebut pun ditentukan oleh adanya undang-undang yang mengaturnya. Terbentuknya suatu pengertian korporasi didorong oleh hal bahwa manusia juga di dalam hubungan hukum privat tidak hanya berhubungan terhadap sesama manusia saja, tetapi juga terhadap persekutuan.

Pengertian korporasi juga dapat dilihat dari segi subjek hukum, yakni apakah yang dimaksud dengan subjek hukum itu. Pengertian subjek hukum pada pokoknya merupakan manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban atau yang lazim disebut sebagai badan hukum.32 Jika korporasi disejajarkan dengan manusia sebagai subjek hukum, memberikan pengertian

31

Mahrus Ali, op.cit.,hlm. 3. 32

(30)

bahwa korporasi juga dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti misalnya dalam hal transaksi bisnis. Akan tetapi, ada beberapa perbuatan hukum yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi dan hanya dapat dilakukan oleh manusia, yakni melakukan perkawinan, pewarisan, dan lain sebagainya.

Istilah badan hukum dulunya tidak dikenal dalam masyarakat yang masih primitif, karena kehidupan yang dijalankan masih sederhana dan kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara individu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang berimbas pada meningkatnya kebutuhan masyarakat, mengharuskan individu-individu melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka.33 Dari situlah kemudian istilah badan hukum berkembang sampai sekarang.

Istilah badan hukum cenderung dipakai dalam lingkup hukum perdata, sedangkan dalam hukum pidana cenderung digunakan istilah korporasi yang cakupannya lebih luas daripada badan hukum.

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Masalah pertanggungjawaban pidana pada dasarnya membahas tentang penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana sebagai akibat dari perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.34 Menurut kamus besar bahasa Indonesia

“Tanggung Jawab” artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau

terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Dalam hal ini berarti bahwa masalah pertanggungjawaban pidana korporasi

33

Ibid., hlm. 6. 34

(31)

merupakan masalah dalam penentuan dapat atau tidaknya suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.

Dalam ilmu hukum pidana kemampuan bertanggungjawab merupakan masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan kehendaknya.35 Van Hamel berpendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan, sehingga seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu36:

1. Mampu mengerti maksud perbuatannya

2. Mampu menyadari bahwa perbuatannya tidak dapat diberikan oleh masyarakat

3. Mampu menentukan kehendak dalam melakukan perbuatannya.

Kemampuan bertanggungjawab juga diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.

Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal yang berkaitan

35

Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 185.

36

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungja waban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 84.

(32)

dengan masalah pertanggungjawaban pidana.37 Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan ahli yang berbeda yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan monistis diperkenalkan oleh Simon yang merumuskan „strafbaar feit‟

sebagai berikut:

“Strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande

handeling van een torekeningvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang

yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya)”.38

Menurut pandangan monistis unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan (unsur objektif), maupun unsur pembuat (unsur subjektif), dimana unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi hal-hal dibawah ini39:

a. Kemampuan bertanggungjawab

b. Kesalahan dalam arti luas baik sengaja atau karena kealpaan c. Tidak adanya alasan pemaaf.

Selain pandangan monistis, ada juga pandangan dualistis yang pertama kali diperkenalkan oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1993 melalui bukunya

yang berjudul “Tut und Schuld”. Menurut Herman, untuk adanya

“Strafvoraussetzungen” yaitu syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat

37

Mahrus Ali, op., cit., hlm. 94. 38

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungja waban Pidana Korpora si, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 61.

39

(33)

diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana) kemudian harus dibuktikan pula schuld (kesalahan subjektif pembuat)40.

Berdasarkan kedua pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan oleh Idema bahwa membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana berarti membicarakan mengenai jantungnya hukum pidana. Bersamaan dengan hal tersebut, Sauer memberikan tiga pengertian dasar dalam hukum pidana yaitu41:

1. Sifat melawan hukum (unrecht) 2. Kesalahan (schuld)

3. Pidana (strafe)

(34)

memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat unsur kesalahan dari perbuatan pelaku. Hal ini sejalan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Sehubungan dengan masalah pertangungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.44 Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dapat dinyatakan sebagai pembuat dari suatu tindak pidana. Pembuat atau subjek tindak pidana merupakan bagian dari masalah pertanggungjawaban pidana yang meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana adalah pembuat, akan tetapi tidak selalu demikian. Dalam hal tindak pidana korporasi, perbuatan yang dilakukan oleh pengurus dapat dilimpahkan kepada korporasi mengenai pertanggungjawaban pidananya.

Banyak perbuatan ilegal yang dilakukan oleh korporasi yang berakibat buruk terhadap masyarakat. Tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara nonfisik dan penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau harta benda dan memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Motivasi korporasi melakukan berbagai bentuk pelanggaran dibidang usaha adalah untuk mencapai tujuan dan keuntungan yang menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, negara, dan lingkungan. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana

44

(35)

sebagai reaksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukannya. Maka untuk memunculkan pertanggungjawaban korporasi atas tindakan yang dilakukannya, perlu ditingkatkan fungsi hukum pidana dengan cara menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana.

Sehubungan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu 45:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah46:

1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

45

Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungja waban Pidana Korpora si di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm. 53.

46

(36)

4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat adalah sebagai berikut47:

a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

b. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini

akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi

tangan”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.

c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.

Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka

47

(37)

pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut :

“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus,

anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar

tanggungannya”.

Dari isi Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.

Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas “societas delinquere non potest” dan “actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas “societas delinquere non

potest” atau “universitas delinquere non potest” berarti bahwa badan-badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia.48 Sehingga kesalahan korporasi tidak diakui dalam hukum pidana. Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas “actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau “nulla poena sine

48

(38)

culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act does not make a man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Jika diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.49

Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya baik dalam perilaku maupun pikirannya. Azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena kelalaiannya.

Berkaitan dengan azas tersebut di atas, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana yang disebut actus reus dan sikap batin jahat/tercela yang disebut mens rea.50

Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:51

1. Perbuatan dari si terdakwa (the conduct of the accused person).Perbuatan ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi (commisions) dan omisi (omissions).

2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its result/consequences); dan

49

Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98. 50

Mahrus Ali, op. cit., hlm. 93. 51

(39)

3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana

(surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the

offence).

Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:52

a. Intention (kesengajaan)

b. Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut juga dengan istilah

willful blindness. Dikatakan terdapat recklessness jika seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.

c. Criminal negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian).

Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan perbuatan tertentu atau sebagai tidak berbuat sesuatu, tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.

Bagi korporasi, unsur kesalahan sangat sulit diterapkan karena korporasi bukanlah manusia. Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk mengetahui niatnya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan

52

(40)

terjadi kekebalan hukum terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.

Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil, dengan demikian apabila perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut sudah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi maka sudah dapat disangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana maka tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian: 1. Jenis Penelitian

(41)

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah.

Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian ini mencakup53 :

a. Penelitian inventarisasi hukum positif b. Penelitian terhadap asas-asas hukum c. Penelitian hukum klinis

d. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan

e. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan

f. Penelitian perbandingan hukum g. Penelitian sejarah hukum 2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut54:

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintahan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi seperti seminar hukum, majalah, karya tulis

53

Amiruddin dan Zainal Asikin, Penganta r Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 29.

54

(42)

ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, biografi dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah metode kepustakaan (library research). Yakni metode yang menggunakan data sekunder yang tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga mengumpulkan data-data dari bahan-bahan referensi yang berasal dari mass media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari V (lima) Bab, dimana masing-masing berisikan tentang :

(43)

terdiri dari pengertian tindak pidana, pengertian pertanggungjawaban, pengertian korupsi, pengertian korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi), metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana dalam Bab ini akan dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi.

BAB III : Pembahasan tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana terutama dalam tindak pidana korupsi

BAB IV : Berisi posisi kasus dan analisis putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/ Pid.Sus/ 2011/ PT BJM.

(44)

BAB II

PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Asal mula adanya korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi terlihat dengan adanya pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.55

Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya semakin kompleks pada negara-negara Eropa misalnya di negara Inggris.56 Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana ringan. Sedangkan Amerika baru mengakuinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan. Setelah itu banyak negara-negara yang mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa negara di Eropa.57

55

Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35. 56

Ibid., hlm. 36 57

(45)

Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah semakin luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama.58 Perkembangan dan pertumbuhan korporasi dapat menimbulkan efek negatif, sehingga kedudukannya mulai bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam kongres PBB VII pada tahun 1985

telah dibicarakan tentang jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan

dalam konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Sebelumnya pertanggungjawaban korporasi secara kolektif telah dikenal dalam hukum adat Indonesia.59 Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun 1988 tentang permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan bahwa, di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh, ada kewajiban mambayar denda atau kerugian kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian60.

Hal tersebut didukung pula oleh Zainal Abidin yang menyatakan bahwa disebagian daerah di Indonesia dahulu kala dikenal hukum pidana adat yang mengancam pidana bagi keluarga atau kampung seseorang yang dipersalahkan

58

Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41. 59

Ibid., hlm. 41. 60

(46)

melakukan kejahatan.61 Jadi, hukum pidana adat Indonesia sudah mengenal pertanggungjawaban kolektif yang mirip dengan pertanggungjawaban korporasi pada zaman sekarang ini.

Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tetapi merupakan akibat dari kecenderungan formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya melalui peran pengadilan. Hakim di dalam sistem hukum common law melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya.62

Para hakim yang pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat korporasi dengan mengajukan pertanyaan apakah suatu korporasi dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. Berdasarkan pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab hanya pada kejahatan-kejahatan ringan. Konsep ini bertahan hingga akhir abad ke-19. Pada abad ke-19 berkembang suatu

61

A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50. 62

(47)

pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi, bahwa korporasi juga bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pengurus.63

Setelah munculnya pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi atas tindakan pengurus, para ahli mencari dasar pembenar perlunya korporasi dibebani pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Hal ini didasari alasan yang sedemikian rupa misalnya karena korporasi merupakan pelaku utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pengurus korporasi.64 Selain itu, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilaman korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan. Sanksi pidana diperlukan dalam hal ini. Tindakan korporasi melalui pengurus-pengurusnya pada satu sisi sering kali menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari pengulangan tindakannya tersebut.65

Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak terlepas dari modernisasi sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harsu diakui bahwa semakin modern masyarakat itu akan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politiknya, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin terorganisasi, jelas, dan

63

Ibid., hlm. 99. 64

Ibid., hlm. 100. 65

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

bahwa korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana, dilakukan untuk kepentingan korporasi, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, tidak

“hubungan lain”. c) Pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan oleh : korporasi, pengurus

dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya; 2 Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila ndak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan

Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, yaitu dalam Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, penentuan

Perumusan tindak pidana dalam Bab II Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tenang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah : “Setiap orang dikategorikan melawan hukum, melakukan

Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi menurut undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.,