• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM

A. Sistem Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga model pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu96:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab

2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah97:

1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

96

Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 53 97

Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hlm. 58. 66

4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana

Model pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana yang ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon), sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi di lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus. 98 Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi, sehingga pada model ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan oleh karena itu, penguruslah yang diancam dan dijatuhi pidana.99

Ketentuan yang mengatur hal tersebut di atas terdapat di dalam KUHP, seperti dalam Pasal 169, Pasal 398, dan Pasal 399 KUHP.100

Pasal 169 KUHP berbunyi:

a. Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun

98

Mahrus Ali, op. cit., hlm. 133. 99

Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 83. 100

b. Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran, diancam dengan pidana penjara plaing lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

c. Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat ditambah sepertiga.

Tindak pidana dalam Pasal 169 KUHP merupakan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang. Apabila dilakukan oleh pengurus atau pendiri perkumpulan/korporasi tersebut, maka ada pemberatan pemidanaan. Dengan demikian, yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana adalah orang/pengurusnya dan bukan korporasi itu sendiri.

Pasal 398 KUHP berbunyi:

Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan:

1. Jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar kerugian diderita oleh perseroan maskapai atau perkumpulan

2. Jika yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman uang dengan syarat-syarat yang

memberatkan, padahal diketahuinya tak dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesaiannya

3. Jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang diterangkan dalam Pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Pasal 27 ayat pertama ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia, bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan- catatan dan tulisan-tulisan yang menurut Pasal tadi, tidak dapat diperlihatkan dalam keadaan tak diubah.

Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab pidana pada korporasinya, tetapi kepada pengurus atau komisarisnya, hal serupa juga terdapat dalam ketentuan Pasal 399 KUHP, yaitu merupakan tindak pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.101

Dari ketentuan yang diatur di dalam KUHP, dapat dilihat bahwa subjek dalam hukum pidana adalah orang, hal ini telah ditegaskan di dalam Pasal 59 KUHP. Pertanggungjawaban korporasi belum dikenal, karena pengaruh yang sangat kuat dari asas universitas delinquere non potest, artinya badan hukum tidak dapat dipidana.102

Model pertanggungjawaban yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi. Secara

101

Ibid., hlm. 86.

102

perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila lalai dalam memimpin korporasi secara sungguh-sungguh. Dalam model pertanggungjawaban ini korporasi bisa menjadi pembuat tindak pidana, tetapi yang bertanggung jawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan secara tegas dalam sebuah peraturan.103

Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab, yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari korporasi tersebut. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab dalam hal pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.

Model pertanggungjawaban yang ketiga merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam model ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Hal-hal yang bisa dipakai sebagai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggung jawab adalah karena dalam

103

berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporsasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi berdasarkan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan.104

Dalam model pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pembuat, di samping manusia alamiah. Jadi, penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional.105

Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, maka berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi ada beberapa doktrin tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain :106

1. Doktrin Identifikasi ;

2. Doktrin Pertanggungjawab Pengganti (vicarious liability); 3. Doktrin Pertanggungjawaban Ketat (strict liability).

104 Ibid., hlm. 134. 105 Ibid., hlm. 135. 106 http://eprints.undip.ac.id/18651/1/ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf

1. Doktrin Identifikasi

Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di negara Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat

pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini juga dikenal dengan nama “the identification doctrin” atau doktrin identifikasi.107

Pertanggungjawaban pidana menurut doktrin ini, asas “mens rea” tidak

dikesampingkan, dimana menurut doktrin ini perbuatan atau sikap batin dari

pejabat senior korporasi yang memiliki “directing mind” dapat dianggap sebagai

sikap korporasi. Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Chard, bahwa sikap batin tersebut diidentifikasikan sebagai korporasi, dan dengan demikian korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara langsung. Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban ketat (strict liability), dimana pada doktrin identifikasi ini,

asas “mens rea” tidak dikesampingkan, sedangkan pada doktrin vicarious liability

dan doktrin strict liability tidak disyaratkan asas mens rea, atau asas mens rea tidak berlaku mutlak.108

107

Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 89.

108

Perusahan dapat bertanggungjawab jika apa yang diketahui secara bersama-sama oleh para pejabat perusahaan tersebut sudah cukup merupakan

“mens rea”. Sehubungan dengan pejabat senior, para pejabat senior biasanya

terdiri dari “dewan direktur, direktur pelaksana dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk

perusahaan”.

Menurut Hanafi, sikap batin orang tertentu yang mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan urusan korporasi dipandang sebagai sikap batin korporasi, orang-orang itu dapat disebut sebagai “senior officers” dari perusahan. Pejabat senior “senior officers” adalah seseorang yang dalam kenyataannya

mengendalikan jalannya perusahan atau ia merupakan bagian dari para pengendali, dan ia tidak bertanggungjawab pada orang lain dalam perusahan itu. Oleh karena itu maka perbuatan manager cabang tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan korporasi (seperti putusan House Of Lord atas kasus Tesco).109

Prinsip identifikasi dapat menimbulkan beberapa masalah antara lain:110 a. Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah perusahan, maka

besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut akan menghindar dari tanggung jawab. Contoh kasus Tesco, yang memiliki lebih dari 800 cabang

yang dituntut melakukan tindak pidana berdasarkan “the Trade

Description Act 1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut.

Dalam kasus ini House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak perusahaan,

109

http://eprints.undip.ac.id/18651/1/ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf 110

belum ada pelimpahan oleh direksi berupa pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan dengan urusan perusahaan dengan manager cabang itu. Dia harus memenuhi aturan umum dari perusahan dan menerima perintah dari atasannya pada tingkat regional dan distrik, karenanya perbuatannya atau kelalaiannya bukan kesalahan perusahan.

b. Bahwa perusahan hanya bertanggungjawab kalau orang itu diidentifikasikan dengan perusahan, yaitu dirinya sendiri, yang secara

perorangan /individual bertanggungjawab karena dia memiliki “mens rea” untuk melakukan tindak pidana. Apabila terdapat beberapa “superior officers” yang terlibat, maka masing-masing mungkin tidak memiliki

tingkat pengetahuan yang disyaratkan agar merupakan “mens rea” dari

tindak pidana tersebut.

Menurut teori „identification‟, tanggung jawab perusahaan sering

didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan. Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatan melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakan terhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan. Perusahaan bertindak melalui individu tetapi

individu juga bertindak melalui perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan kejahatan yang dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada perusahaan. Begitu juga sebaliknya.

2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)

Pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi yang bertanggungjawab atas tindakan orang lain (a vicarious liability is one where in one person, though without personal fault, is more liable for the conduct of another). Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain.

Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan sebagai

pertanggungjawaban hukum atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.111

Menurut doktrin ini, majikan atau employer adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawannya yang telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya. Pengadilan telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengenai doktrin vicarious liability, salah satunya

adalah “employment principle”. Menurut prinsip ini, majikan (employer) adalah penanggung jawab utama dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan yang melakukan perbuatan itu dengan ruang lingkup tugas/pekerjaannya. Di Australia

tidak ada keraguan, bahwa “the vicar’s criminal act” (perbuatan dalam delik vicarious) dan “the vicar’s guilty mind” (kesalahan/sikap batin jahat dalam delik

111

vicarious) dapat dihubungkan dengan majikan atau pembuat (principal). Berlawanan dengan di Inggris “a guilty mind” hanya dapat dihubungkan dengan

majikan apabila ada delegasi kewenangan dan kewajiban yang relevan (a relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.112

Selanjutnya dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, dapat dilihat dari ketentuan sebagai berikut:113

a. Ketentuan umum yang berlaku menurut common law ialah, bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya.

Hal ini terlihat dalam kasus R.v.Huggins (1730), dimana Huggins (X) seorang sipir penjara dituduh membunuh seorang narapidana (Y), yang sebenarnya dibunuh oleh pelayan Huggins (Z). Dalam kasus ini Z yang dinyatakan bersalah, sedangkan X tidak karena perbuatan Z itu dilakukan tanpa sepengetahuan X. Dari kasus ini terlihat bahwa pada prinsipnya seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya. Namun ada perkecualiannya yaitu dalam hal public nuisance (yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan gangguan substansial terhadap penduduk atau menimbulkan bahaya terhadap kehidupan, kesehatan dan harta benda), dan juga criminal libel. Dalam kedua tindak pidana ini seorang majikan bertanggungjawab atas perbuatan pelayan/buruhnya sekalipun secara langsung tidak bersalah.

112

Ibid., hlm. 101 113

b. Menurut Undang-Undang (statute law), vicarious liability dapat dipertanggungjawabkan dalam hal-hal:

1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan (the delegation principle). Contoh kasus Allen V.Whitehead (1930), X adalah pemilik rumah makan. Pengelolaan rumah makan itu diserahkan kepada Y (manager). Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah menginstruksikan/melarang Y untuk mengijinkan pelacuran di tempat itu yang ternyata dilanggar Y. X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan police act 1839 (Pasal 44). Konstruksi hukumannya

demikian “X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y (manager).

Dengan telah melimpahkan kebijaksanaan usahanya itu kepada manager, maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si

pemilik rumah makan itu ”. Dalam hal ini X dinyatakan tidak bersalah,

karena telah mendelegasikan kewenangannya untuk mengelola restoran kepada Y.

2. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s act is the mater’s act in law). Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat materil/fisik (auctor fisicus) dan majikan sebagai pembuat intelektual (actor intellectualis).

Dalam perkara pidana ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut adalah :114

a. Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan dan pegawai/pekerja;

b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

c. Adanya pendelegasian (the delegation principle) wewenang dari majikan kepada pegawai/pekerja

d. Prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan (the servant’s act

is the mater’s act in law).

Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dengan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak selalu dapat diketahui

114

dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya.115

3. Doktrin Pertanggungjawaban ketat (Strict Liability)

Doktrin “strict liability” (pertanggungjawaban yang ketat), adalah pertanggungjawaban dimana seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (Mens rea). Secara singkat strict liabilitydiartikan sebagai “liability without fault”

(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).116

Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain

menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act without a blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip pertanggungjawaban mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes.117 Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum. Termasuk ke dalam kategori ini pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas ialah118 :

a. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan;

b. Criminal libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang; dan

115

Mahrus Ali, op.cit., hlm. 121. 116

Ibid., hlm. 112.

117

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 76.

118

c. Public nuissance atau mengganggu ketertiban masyarakat (umum).

Di Inggris, prinsip pertanggungjawaban mutlak atau “strict liability crimes” berlaku hanya terhadap perbuatan yang bersifat pelanggaran ringan dan tidak terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Pertanggungjawaban pidana ketat ini dapat juga semata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

Sefullah Wiradipraja menyatakan bahwa prinsip tanggungjawab (liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau “strict liability”. Dengan prinsip tanggungjawab tanpa keharusan

untuk membuktikan adanya unsur kesalahan atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.119

Dianutnya strict Liabillity dalam hukum pidana didasarkan pada tiga premis, ketiga premis tersebut menurut L.B. Curzon adalah sebagai berikut120 :

a. Sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;

b. Pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat;

c. Tingginga tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan.

119

Dwija Priyatno, op. cit., hlm 107. 120

Menurut doktrin strict liability, sudah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana apabila orang tersebut secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.

B. Pengaruh Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dalam

Dokumen terkait