• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Pustaka

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Masalah pertanggungjawaban pidana pada dasarnya membahas tentang penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana sebagai akibat dari perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.34 Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Tanggung Jawab” artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Dalam hal ini berarti bahwa masalah pertanggungjawaban pidana korporasi

33

Ibid., hlm. 6. 34

merupakan masalah dalam penentuan dapat atau tidaknya suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.

Dalam ilmu hukum pidana kemampuan bertanggungjawab merupakan masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan kehendaknya.35 Van Hamel berpendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan, sehingga seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu36:

1. Mampu mengerti maksud perbuatannya

2. Mampu menyadari bahwa perbuatannya tidak dapat diberikan oleh masyarakat

3. Mampu menentukan kehendak dalam melakukan perbuatannya.

Kemampuan bertanggungjawab juga diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.

Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal yang berkaitan

35

Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara

Baru, 1983), hlm. 185. 36

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia

(Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 84.

dengan masalah pertanggungjawaban pidana.37 Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan ahli yang berbeda yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan monistis diperkenalkan oleh Simon yang merumuskan „strafbaar feit‟ sebagai berikut:

Strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang

yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya)”.38

Menurut pandangan monistis unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan (unsur objektif), maupun unsur pembuat (unsur subjektif), dimana unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi hal-hal dibawah ini39:

a. Kemampuan bertanggungjawab

b. Kesalahan dalam arti luas baik sengaja atau karena kealpaan c. Tidak adanya alasan pemaaf.

Selain pandangan monistis, ada juga pandangan dualistis yang pertama kali diperkenalkan oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1993 melalui bukunya

yang berjudul “Tut und Schuld”. Menurut Herman, untuk adanya

Strafvoraussetzungen” yaitu syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat

37

Mahrus Ali, op., cit., hlm. 94.

38

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010), hlm. 61. 39

diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana) kemudian harus dibuktikan pula schuld (kesalahan subjektif pembuat)40.

Berdasarkan kedua pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan oleh Idema bahwa membicarakan unsur kesalahan dalam hukum pidana berarti membicarakan mengenai jantungnya hukum pidana. Bersamaan dengan hal tersebut, Sauer memberikan tiga pengertian dasar dalam hukum pidana yaitu41:

1. Sifat melawan hukum (unrecht) 2. Kesalahan (schuld)

3. Pidana (strafe)

Berbeda dengan Roeslan Saleh yang memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana tergantung pada kesalahannya42. Jika orang yang melakukan perbuatan pidana mempunyai kesalahan maka dia dapat dipidana. Berhubungan dengan hal itu, Sudarto juga menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum43. Jadi meskipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan perbuatannya tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum 40 Ibid., hlm. 64. 41 Ibid., hlm. 68. 42 Ibid., hlm. 68. 43 Ibid., hlm. 69.

memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat unsur kesalahan dari perbuatan pelaku. Hal ini sejalan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Sehubungan dengan masalah pertangungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.44 Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dapat dinyatakan sebagai pembuat dari suatu tindak pidana. Pembuat atau subjek tindak pidana merupakan bagian dari masalah pertanggungjawaban pidana yang meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana adalah pembuat, akan tetapi tidak selalu demikian. Dalam hal tindak pidana korporasi, perbuatan yang dilakukan oleh pengurus dapat dilimpahkan kepada korporasi mengenai pertanggungjawaban pidananya.

Banyak perbuatan ilegal yang dilakukan oleh korporasi yang berakibat buruk terhadap masyarakat. Tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara nonfisik dan penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau harta benda dan memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Motivasi korporasi melakukan berbagai bentuk pelanggaran dibidang usaha adalah untuk mencapai tujuan dan keuntungan yang menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, negara, dan lingkungan. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana

44

sebagai reaksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukannya. Maka untuk memunculkan pertanggungjawaban korporasi atas tindakan yang dilakukannya, perlu ditingkatkan fungsi hukum pidana dengan cara menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana.

Sehubungan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu 45:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah46:

1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

45

Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm. 53. 46

Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,

4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat adalah sebagai berikut47:

a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

b. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi.

c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.

Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka

47

pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut :

“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya”.

Dari isi Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.

Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas “societas delinquere non potest” dan “actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non potest” berarti bahwa badan-badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia.48 Sehingga kesalahan korporasi tidak diakui dalam hukum pidana. Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas “actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau “nulla poena sine

48

culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act does not make a man guilty of crime,

unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Jika diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.49

Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya baik dalam perilaku maupun pikirannya. Azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena kelalaiannya.

Berkaitan dengan azas tersebut di atas, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana yang disebut actus reus dan sikap batin jahat/tercela yang disebut mens rea.50

Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:51

1. Perbuatan dari si terdakwa (the conduct of the accused person).Perbuatan ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi (commisions) dan omisi (omissions).

2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its result/consequences); dan

49

Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98.

50

Mahrus Ali, op. cit., hlm. 93.

51

3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana

(surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the offence).

Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:52

a. Intention (kesengajaan)

b. Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut juga dengan istilah

willful blindness. Dikatakan terdapat recklessness jika seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.

c. Criminal negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian).

Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan perbuatan tertentu atau sebagai tidak berbuat sesuatu, tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.

Bagi korporasi, unsur kesalahan sangat sulit diterapkan karena korporasi bukanlah manusia. Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk mengetahui niatnya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan

52

terjadi kekebalan hukum terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.

Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil, dengan demikian apabila perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut sudah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi maka sudah dapat disangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana maka tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana.