• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

B. ANALISA KASUS

5. Perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di Persidangan baik dari keterangan saksi-saksi maupun berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di Persidangan, terdakwa telah mengambil keuntungan dari pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin sejak tahun 1998 sampai tahun 2008. Hal ini dilakukan dengan tidak membayar subsidi pengganti retribusi, subsidi penggantian uang sewa selama 25 tahun, dan juga hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari. Selain itu, terdakwa juga melakukan kredit modal kerja (KMK) dari Bank Mandiri yang tidak dilunasi. Kredit itu dilakukan dengan beberapa tahapan permohonan kredit.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbuatan itu merupakan serangkaian perbuatan yang berhubungan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut.

Berdasarkan penjelasan dan pertimbangan di atas, maka unsur-unsur Pasal pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan primair telah terpenuhi. Sehingga unsur-unsur Pasal pidana yang didakwakan didalam dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi. Maka jika diperhatikan secara seksama kasus yang diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim telah menerapkan hukum sebagaimana mestinya sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di Persidangan, karena telah memenuhi unsur-unsur Pasal yang didakwakan.

Majelis hakim telah menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa, yaitu sebesar Rp. 1. 317. 728.129, 00 (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu seratus dua puluh sembilan rupiah), dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan. Denda yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penutut Umum. Hakim dapat menjatuhkan pidana melebihi tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum. Hal ini tentu terkait dengan praktek bahwa seringkali tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum tidak selalu sama dengan maksimal ancaman pidana (berikut pemberatannya) yang tercantum dalam bunyi pasal perundangan yang mengancamkan pidana bagi yang melanggarnya. Berdasarkan hal tersebut, tentu dengan memperhatikan fakta

yang terungkap di persidangan berikut hal-hal yang memberatkan dan meringankan hakim dalam menjatuhkan pidana melebihi tuntutan pidana. Hakim diberi kewenangan dari minimum ancaman pidana sampai dengan maksimum ancaman pidana. Dalam kasus ini, Hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 1. 317. 782. 129,00 kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana karena masih ada kekurangan/selisih kehilangan uang hasil dari pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan uang pengganti yang telah dijatuhkan kepada Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu ST. Widagdo. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 908/Pid. B/PN. Bjm pada tanggal 18 Desember 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi No. 02/Pid. Sus/2009/PT. Bjm tanggal 25 Februari 2009 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 936 K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009, ST. Widagdo telah dijatuhi hukuman penjara selama 6 (enam) tahun dan harus membayar uang pengganti sebesar Rp 6. 332. 361. 516, 00 (enam milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah). Dalam kasus ini, pemerintah kota Banjarmasin mengalami kerugian sebesar Rp. 7. 650. 143. 645, 00 (tujuh milyar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah) atas pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari, yang seharusnya masuk ke kas daerah. Dengan demikian masih ada kekurangan sebesar Rp. 1. 317. 728. 129, 00 (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu seratus dua puluh sembilan rupiah), sehingga Majelis Hakim membebankan tanggung jawab untuk membayar kekurangan tersebut kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana.

Tindak pidana korupsi yang diakukan oleh korporasi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga perlu untuk menjatuhkan pidana kepada korporasi untuk memberikan efek jera. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan kerugian perekonomian negara dalam hal ini secara khusus Pemerintah kota Banjarmasin, sehingga majelis hakim berdasarkan beberapa pertimbangan telah menjatuhkan pidana yang sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana. Dengan menggunakan doktrin

vicarious liability atau pertanggungjawaban pengganti yang artinya tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya dapat dimintai pertanggungjawabannya kepada atasannya selama tindak pidana itu dilakukan memberikan manfaat dan keuntungan bagi korporasi, maka korporasi dapat dijatuhi pidana. Dalam kasus ini, tindak pidana dilakukan oleh Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, namun pertanggungjawaban pidananya juga dibebankan kepada PT Giri Jaladhi Wana.

Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli dalam kasus ini yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni. Saksi ahli mengatakan bahwa jika yang diajukan sebagai pelaku tindak pidana adalah korporasi maka yang bertanggungjawab adalah korporasi dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi, yang memiliki posisi sebgai directing mind dari korporasi

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak mempunyai alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Saksi ahli juga mengatakan jika kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasarnya, maka perbuatan pengurus tersebut dapat dibebankan kepada korporasi.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, perjanjian kerja sama pembangunan Pasar Sentra Antasari yang ditandatangani oleh Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu ST. Widagdo merupakan perbuatan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi dan untuk memberikan manfaat bagi korporasi. Sehingga pertanggungjawaban pidana dapat juga dibebankan kepada korporasi.

Berdasarkan hal tersebut, Hukum indonesia telah berani menjerat tindakan korporasi sebagai suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Jika dilihat dalam undang-undang tindak pidana korupsi, bahwa yang

menjadi subjeknya bukan hanya orang tetapi juga termasuk korporasi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo. Pasal 20 undang-undang No 31 tahun 1999 jo. undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum pidana. Pada umumnya secara garis besar perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dibedakan dalam beberapa tahap

Pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi.

2. Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Ada tiga model pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab

b. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab c. Korporasi sebagai pembuat danyang bertanggung jawab.

Dalam model pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pembuat, di samping manusia alamiah. Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi ada beberapa doktrin tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain :

a. Doktrin Identifikasi;

b. Doktrin Pertanggungjawab Pengganti (vicarious liability);

c. Doktrin Pertanggungjawaban Yang Ketat Menurut Undang-Undang (strict liability).

Jika melihat Pasal 20 ayat (7) di atas, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana pokok berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Disamping pidana denda, sebenarnya telah diatur beberapa jenis pidana tambahan dalam Pasal 18 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999.

3. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap kasus dimana PT Giri Jaladhi Wana sebagai pelakunya, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh korporasi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara. Semua unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal yang didakwakan terhadap terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dijatuhi

pidana denda sebesar Rp. 1. 317. 728.129, 00 (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu seratus dua puluh sembilan rupiah), dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT. Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan. Berdasarkan beberapa pertimbangan, Majelis Hakim telah menjatuhkan pidana yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh PT Giri Jaladhi Wana.

B. Saran

1. Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian yang besar bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang serius. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.

2. Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi baik yang dilakukan oleh orang-perorangan maupun korporasi. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diharapkan dapat mencegah korporasi dari keterlibatan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan pidana terutama undang-undang tindak pidana korupsi dan juga dapat meminimalisir terjadinya kerugian negara akibat dari adanya tindak pidana korupsi.

3. Dalam penjatuhan hukum pidana denda bagi korporasi, perlu diatur tentang ketentuan khusus bagaimana jika denda tidak dibayar oleh korporasi.