• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Asal mula adanya korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi terlihat dengan adanya pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.55

Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya semakin kompleks pada negara-negara Eropa misalnya di negara Inggris.56 Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana ringan. Sedangkan Amerika baru mengakuinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan. Setelah itu banyak negara-negara yang mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa negara di Eropa.57

55

Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35.

56

Ibid., hlm. 36

57

Mahrus Ali, op. cit., hlm. 98.

Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah semakin luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama.58 Perkembangan dan pertumbuhan korporasi dapat menimbulkan efek negatif, sehingga kedudukannya mulai bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam kongres PBB VII pada tahun 1985 telah dibicarakan tentang jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan

dalam konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan

suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Sebelumnya pertanggungjawaban korporasi secara kolektif telah dikenal dalam hukum adat Indonesia.59 Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun 1988 tentang permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan bahwa, di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh, ada kewajiban mambayar denda atau kerugian kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian60.

Hal tersebut didukung pula oleh Zainal Abidin yang menyatakan bahwa disebagian daerah di Indonesia dahulu kala dikenal hukum pidana adat yang mengancam pidana bagi keluarga atau kampung seseorang yang dipersalahkan

58

Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41.

59

Ibid., hlm. 41.

60

melakukan kejahatan.61 Jadi, hukum pidana adat Indonesia sudah mengenal pertanggungjawaban kolektif yang mirip dengan pertanggungjawaban korporasi pada zaman sekarang ini.

Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tetapi merupakan akibat dari kecenderungan formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya melalui peran pengadilan. Hakim di dalam sistem hukum common law melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya.62

Para hakim yang pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat korporasi dengan mengajukan pertanyaan apakah suatu korporasi dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. Berdasarkan pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab hanya pada kejahatan-kejahatan ringan. Konsep ini bertahan hingga akhir abad ke-19. Pada abad ke-19 berkembang suatu

61

A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50.

62

pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi, bahwa korporasi juga bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pengurus.63

Setelah munculnya pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi atas tindakan pengurus, para ahli mencari dasar pembenar perlunya korporasi dibebani pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Hal ini didasari alasan yang sedemikian rupa misalnya karena korporasi merupakan pelaku utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pengurus korporasi.64 Selain itu, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilaman korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan. Sanksi pidana diperlukan dalam hal ini. Tindakan korporasi melalui pengurus-pengurusnya pada satu sisi sering kali menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari pengulangan tindakannya tersebut.65

Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak terlepas dari modernisasi sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harsu diakui bahwa semakin modern masyarakat itu akan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politiknya, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin terorganisasi, jelas, dan 63 Ibid., hlm. 99. 64 Ibid., hlm. 100. 65 Ibid., hlm. 100.

terperinci. Sekalipun cara-cara seperti itu mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dengan disertai persoalan-persoalan yang banyak pula.66

Selanjutnya, dikemukakan oleh A. Z. Abidin yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:

“pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Roling dimasukkan functioneel daderschaap, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-lain.”67

Selanjutnya dalam hukum positif diberbagai negara mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seperti di negara Belanda yang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam perkembangannya dicantumkan dalam Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb. 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, yang kemudian diubah isinya dalam Pasal 51 W.v.S. sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek hukum pidana umum, dengan menghapus Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950.68

Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi bagi Amerika Serikat adalah “to deter the corporation from permitting wrongfull acts”. Pada tahun 1909, Amerika Serikat menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat dimintai

66

Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 43.

67

A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 51.

68

pertanggungjawaban pidana melalui putusan Supreme Courts dalam kasus New York Cental and Hudson Riwer R.R.v. United States.69

Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana dikenal sejak tahun 1951 yang dicantumkan dalam Undang-Undang penimbunan barang-barang. Akan tetapi mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam Pasal 17 ayat 1 UU No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi, dan Pasal 49 Undnag-Undang No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-Undang tindak pidana narkotika, Undang-Undang lingkungan hidup, Undang-Undang tentang psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan Undang-Undang tindak pidana pencucian uang.70 Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum pidana.

Pada awalnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior, yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban suatu korporasi merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lain/pengurus (vicarious liability), dimana ia bertanggung jawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para pengurus. Doktrin ini diambil dari hukum perdata yang kemudian diterapkan dalam hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata

69

Ibid., hlm. 45.

70

tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin respondeat superior. Dalam hal ini ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya pertanggungjawaban korporasi, yaitu:71

1. Pengurus melakukan suatu tindak pidana (commits a crime)

2. Tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (within a scope of employement)

3. Dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi (with intent to benefit corporation)

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan sebagai subjek hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi.

Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu, konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia.72

Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem hukum pidana di banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari

71

Mahrus Ali, op. cit., hlm. 100.

72

abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya merupakan kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).73 Dalam konteks KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi munculnya Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya”.

Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Pasal 59 KUHP tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh seseorang/manusia, fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP. Secara lebih rinci Van Bemmelen menyatakan bahwa Pasal itu tidak membicarakan tindak pidana korporasi, tetapi hanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurus atas suatu pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.74

Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan semakin melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil

73

Ibid., hlm. 65.

74

kejahatan yang dilakukan. Begitu juga dengan kerugian yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan korporasi tersebut.75 Oleh karena itu,dianggap tidak adil jika korporasi tidak dilekatkan hak dan kewajiban baginya seperti halnya manusia. Kenyataan inilah yang kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Pada umumnya secara garis besar perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap.

a. Tahap Pertama

Dimulai dari tahap pertama, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Tahap ini merupakan dasar perumusan Pasal 51 W.v.S. Belanda atau Pasal 59 KUHP.76

Para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dahulu dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potetast, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Menurut Enschede, ketentuan universitas delinquere non potest adalah contoh yang khas dari pemikiran secara dogmatis dari abad 19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Pada tahap pertama ini, pengurus yang tidak memenuhi

75

Ibid., hlm. 66.

76

kewajiban, yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.77

b. Tahap Kedua

Tahap kedua, ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul sesudah perang Dunia I dalam perumusan Undang-Undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi.78 Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh pimpinan atau karena suatu korporasi maka tuntutan pidana dan pidananya dijatuhkan terhadap anggota pimpinan tersebut. Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan atau kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.79 Dalam tahap ini, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut. Dalam tahap ini, pertanggungjawaban korporasi secara nyata belum muncul.

Contoh peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tahap ini, misalnya:80

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, LN. 1951-2, Undang-Undang tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang kerja tahun 1948 No. 12 dari RI untuk seluruh Indonesia.

77 Ibid., hlm. 53. 78 Ibid., hlm. 54. 79 Ibid., hlm., 54. 80 Ibid., hlm. 55.

Pasal 19 ayat (1) : jikalau majikan suatu badan hukum, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap pengurus badan hukum itu.

Pasal 19 ayat (2) : jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan hukuman dijalankan kepada pengurus badan hukum yang mengurusnya.

2. Undang- Undang No. 2 Tahun 1951, LN. 1951-3, Undang-Undang tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang kecelakaan Tahun 1947 No. 33 dari RI untuk seluruh Indonesia.

Pasal 30 ayat (1) : jikalau perbuatan yang dapat dikenakan hukuman menurut Pasal 27 dilakukan oleh bdan hukum, maka yang dituntut di muka pengadilan dan yang dikenakan hukuman ialah anggota pengurus yang berkedudukan di daerah Negara RI atau jikalau anggota itu tidak ada wakil badan hukum itu yang berkedudukan di daerah RI.

Pasal 30 ayat (2) : yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku pula dalam hal-hal jikalau badan hukum itu bertindak sebagai pengurus atau wakil dari badan hukum lain.

c. Tahap Ketiga

Tahap ketiga, merupakan permulaan dari adanya tanggungjawab langsung dari korporasi, yang dimulai pada waktu dan sesudah perang dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya adalah jika misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan

mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan lain, bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan demikian, memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan.81

Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah:82

1. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Drt 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, yaitu:

Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap keduanya.

2. Undang-Undang No. 6 tahun 1984 LN. 1984-28, yaitu UU tentang pos dalam Pasal 19 ayat (3).

3. Undang-Undang lingkungan hidup Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)

81

Ibid., hlm. 56.

82

4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1) tentang tindak pidana korupsi

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 4 ayat (1).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dapat melakukan maupun mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana adalah orang dan/atau korporasi. Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana. Akan tetapi, pengaturan tanggung jawab langsung korporasi hanya terbatas dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP. Walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian yaitu83:

a. Dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi misalnya : bigami, Perkosaan, sumpah palsu;

b. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara dan pidana mati.

B. Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum dalam Tindak Pidana