BAB II
PENGATURAN TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Bab ini akan membahas mengenai pengaturan tentang pertanggung jawaban
korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup. Seperti diketahui bahwa tindak
pidana biasanya dilakukan oleh perseorangan (inpersoon), atau dengan kata lain, tindak pidana biasanya dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, seiring dengan
perkembangan zaman sekarang ini telah dikenal pertanggung jawaban korporasi yaitu
pertanggung jawaban bagi badan hukum (korporasi) yang telah melakukan
pelanggaran hukum, dalam hal ini hukum lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
A. Ketentuan Hukum Pertanggung Jawaban Korporasi 1. Pengertian Kejahatan Korporasi
Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak lahir, warisan),
juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak kejahatan bisa dilakukan siapapun,
baik wanita maupun pria, dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan
bisa dilakukan tertentu secara sadar benar. Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang
bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali akibatnya
saja.62
62
Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan
tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat merugikan
masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum
tercantum).63
Kejahatan (rechtdelicten) menurut Memorie van Toelichting (M.v.T) yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan
pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.64 Menurut M.A. Elliot, kejahatan adalah problem dalam masyarakat
modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dan dapat dijatuhi
hukuman yang bisa berupa hukuman penjara, hukuman mati, hukuman denda, dan
lain-lain.65
Pengertian korporasi menurut Rochmat Soemitro adalah suatu badan yang
dapat mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti seorang pribadi.66
63
Ibid., hal. 126.
64
Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1987), hal. 71.
65
M.A. Elliot dalam Hari Saherodji, Pokok-Pokok Kriminologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1995), hal. 14.
66
R. Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung : Eresco, 1993), hal. 159, menjelaskan tentang Korporasi sudah dikenal sejak tahun 1882, penjelasan lengkap, sebagai berikut : “Yayasan sebagai badan hukum telah diterima dalam suatu yurisprudensi tahun 1882.
Hoge Raad yang merupakan badan peradilan tertinggi di negeri Belanda bependirian bahwa Yayasan sebagai badan hukum adalah sah menurut hukum dan karenanya dapat didirikan. Pendapat Hoge Rad
ini diikuti oleh Hooggerechtshof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam putusannya dari tahun 1884. Sejak tahun 1956 Nederland sudah mengubah dasar hukumnya (Burgerlijk Wetboek)-nya bahkan untuk Yayasan sudah terdapat ketentuan khusus dalam BW-nya yakni Wet op Stichtingen Stb. No. 327”.
Menurut
Satjipto Rahardjo, korporasi adalah badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari
animusyang membuat badan mempunyai kepribadian.67
Menurut Henry Campbell Black dalam kamus Black’s Law Dictionary
mengartikannya “Coporation is an artificial or legal created by or under the authority of the laws of state or nation, composed, in some rar instances, of a single person an his successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous individuals”,
Oleh karena badan hukum itu
merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya, kematiannya ditentukan oleh
hukum.
68
Kejahatan korporasi menurut Marshall B. Clinard dan Peter C Yeager adalah
setiap tindakan korporasi yang bias, dimana diberi hukuman oleh Negara, entah
dibawah hukum administrasi Negara, hukum perdata, atau hukum pidana. yang dalam terjemahannya
adalah sebagai berikut “Korporasi adalah suatu yang disahkan tiruan yang diciptakan
oleh atau dibawah wewenang hukum suatu negara atau bangsa, yang terdiri, dalam
beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi pejabat
kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak individu”.
69
67
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 23-24. Lihat pula : Lu Sudirman dan Feronica, “Pembuktian Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan dan Korupsi Korporasi di Indonesia dan Singapura dalam Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 2, Juni 2011, hal. 295.
68
Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hal. 1032.
69
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005), hal. 3.
Kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan kerah putih, namun lebih
spesifik merupakan kejahatan terorganisasi dalam hubungan yang kompleks dan
juga berbentuk sebagai perusahaan keluarga, namun tetap dalam kejahatan kerah
putih.70
Menurut Henry Campbell Black dalam kamus Black’s Law Dictionary
menyebutkan “Corporate Crime is any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g. price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”,71
Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau
pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk
melakukan kejahatan.
yang
dalam terjemahannya yaitu : Kejahatan korporasi adalah segala tindak pidana yang
dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada sebuah korporasi karena
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dan karyawannya (contohnya :
Penetapan harga, pembuangan limbah), sering dikenal sebagai kejahatan kerah putih.
72
Pada awalnya rechtpersoon)
adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata.73
70
Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom : Cambridge University Press, 2002), hal. 6, menjelaskan bahwa : “Kejahatan korporasi atau
corporation crime adalah salah satu bentuk dari white collar crime atau kejahatan kerahputih. Edwin Sutherland sebagaimana dikutip dari Sally S. Simpson, merupakan orang yang memperkenalkan konsep perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seseorang dalam status sosial yang tinggi serta menggunakan posisi dari jabatannya untuk melanggar hukum. Sebagai sub-kategori dari white collar crime, terdapat banyak definisi dari kejahatan korporasi. Salah satunya dikemukakan oleh Braithwaite sebagaimana dikutip dari Simpson, yang mengatakan bahwa kejahatan korporasi adalah “conduct of corporation, or of employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law”.
71
Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hal. 1121.
72
Ningrum Natasya Sirait, “Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal. 16.
Apa yang dinamakan
73
Muladi dan Dwija Prijatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hal. 14, menyatakan bahwa : “Corporatio
badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada
adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek
hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon).74
Dengan berjalannya
waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana
memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya
mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia.
Pada tahun
terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik
kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan
penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Efek
dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun. Tragedi Bhopal hanyalah
sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan
korporasi. Di
munculnya sumber
pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT.
Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam
terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakannya menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara . Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir”.
74
lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup
akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan
pekerjaannya.75
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan
korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai
mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salah satunya
dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik).
Sebenarnya corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu
kerah putih (white collar crime). White Collar Crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H
bersejarahnya yang dipresentasikan “...at the thirty-fourth annual meeting of the
American Sociological Society ini
banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.76
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai
menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di
hukum pidana, ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin
pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah
fiksimind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral
yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal,
75
Ali Azhar Akbar, Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo, (Jakarta : Galangpress, 2007), hal. 34.
76
dalam suatu delik/tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain
adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal denga
77
Namun, masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang
pro terhadap pemikiran corporate crime. Menur
hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu,
pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan
sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut
pendapat dia, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan
pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” .
Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi,
diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal
yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku
tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan
oleh pembuat (fysieke dader), namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional”(functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam
perbuatan korporasi yang bersangkutan, maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.78
77
Actus Reus adalah tindakan nyata, baik seluruh atau sebagian dalam peristiwa pidana. Actus reus adalah menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawfull act). Teori ini pertama kali dikembangkan dalam sistem hukum common law di Inggris. Sumber : Rocky Marbun, et.al., Kamus Hukum Lengkap, Cet. Ke-1, (Jakarta : Visimedia, 2012), hal. 7.
78
Di negara-negar upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate
criminal liability) sudah dilakukan pada saat
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine
of strict liability dan strict
liability pelaku
disyaratkannya adanya kesalahan, sedangkan menurut ajaran vicarious liability
dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana
yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.79
Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan
karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka
ruang lingkup kejahatan korporasi yang dikutip dari tulisan Steven Box adalah
sebagai berikut80
1. “Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.
:
2. Criminal corporation yakni korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation yakni kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban”.
79
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti Pers, 2006), hal. 78-80.
80
Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan Cohen ,
yaitu :“A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan Cohen who finds that an organization possesses functional structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision making structures”.81
Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi
menurut Dan Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi,
memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan.Eratnya keterkaitan antara hukum pidana,
persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek
hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan
usaha tidak sehat.Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana selanjutnya
diperdebatkan kemampuannya dalam bertanggung jawab terhadap kejahatan yang
diperbuatnya.
2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Korporasi di dalam KUH Pid yang digunakan saat ini belum mencantumkan
korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya, akan
tetapi di dalam RUU KUHP 2012 disebutkan : “Korporasi merupakan subjek tindak
pidana”.
Korporasi yang pada awalnya hanya menjadi subjek hukum dalam hukum
perdata, kini juga dibahas dan dirancang sebagai subjek hukum dalam hukum pidana.
81
Ada beberapa sarjana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek
hukum pidana dengan alasan sebagai berikut82
1. “Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan yang terdapat pada persona alamiah.
:
2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya ; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal : bigami, perkosaan, sumpah palsu”.83
3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi, “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, missal pidana penjara atau pidana mati”.84
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
5. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana”.
Sedangkan sarjana yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum
pidana menyatakan :
1. “Mengingat di dalam kehidupan sosial ekonomi, korporasi semakin memainkan perananan yang penting pula.85
2. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat dan menegakkan norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.86
82
H. Setiyono, Op.cit., hal. 10.
83
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 45-46.
84
Ibid.
85
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.cit., hal. 18.
86
3. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri.87
4. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, atau pengurus saja”.88
Subjek hukum yang dirumuskan oleh Soenawar Soekowati yaitu manusia
yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan
kewajiban.89 Menurut Achmad Ichsan, subjek hukum adalah pembawa hak dan
kewajiban (dragger van rechten en plichten).90
Menurut Ridwan Syahrani membedakan badan hukum dari segi wujudnya,
yaitu91
1. “Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang dalam pergaulan hukum, bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri, karena itu korporasi itu merupakan badan yang beranggota. Akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para anggotanya, misalnya Perusahaan Terbatas (PT).
:
2. Yayasan (stichting) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu, jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi subjek
hukum adalah orang atau manusia saja, hal ini terlihat dari bunyi Pasal 59 KUHP,
87
Muladi dan Dwija Priyatno, Op.cit., hal. 47.
88
Ibid.
89
Soenawar Soekowati dalam Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni,Bandung, 1987, hlm. 7.
90
yaitu : “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota-anggota dan pengurus atau komisaris-komisaris, yang ternyata
tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana”.
RUU KUHP 2012 mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,
dengan demikian, maka kejahatan korporasi (corporate crime) dapat dikenakan pertanggungjawaban pidan dan merupakan subjek tindak pidana. Kejahatan korporasi
adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang atas nama perusahaan, maka
perusahaannya yang harus memikul resiko.92 Adapun korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.93
Mengenai pertanggung jawaban korporasi, Braithwaite mengemukakan :
“….is defined here as any act punishable by the state, regardless of whether it is punished by administrative or civil law, more specifically, corporate crime has been defined as the conduct of corporation, or individual acting on behalf of the corporation, that is proscribed by law”.94
Korporasi selaku subjek hokum dapat dikenakan sanksi secara administratif,
hukum perdata, maupun hukum pidana, dan korporasi bertanggung jawab atas
92
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 176.
93
Korporasi selaku subjek tindak pidana diatur dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus, misalnya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003.
94
perbuatan yang dilakukan oleh anggogatanya yang berhubungan dengan ruang
lingkup kerjanya. Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno, sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah95
1. “Pidana Denda;
:
2. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim;
3. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang berwajib;
4. Sanksi perdata (ganti kerugian)”.
Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada
korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. 96
1. Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang yang
menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat
dipertanggung-jawabkan antara lain:
2. Undang-Undang No.6 Tahun 1984 tentang Pos.
3. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
4. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
6. Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
95
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (STH Bandung, 1991), hal. 113.
96
7. Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
9. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
10.Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Teori atau Ajaran Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana juga memerlukan kajian
yang mendalam terhadap kesengajaan dan kealpaan pada korporasi, yaitu sebagai
berikut :
1. Kesengajaan dan Kealpaan Pada Korporasi
Sangat sulit untuk menentukan unsur kesalahan dalam tindak pidana korporasi
dan mempertahankan asas tiada pidana tanpa kesalahan (green straf zonder schuld) khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi.Menurut Remmelik, bahwa
pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai
kesengajaan badan hukum itu apabila mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan
bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, apabila
dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.97
Menurut Daniela Holler Branco, menyatakan bahwa98
97
Muladi dan Dwija Priyatno, Op.cit., hal. 126.
98
Daniela Holler Branco, Towards a New Paradigm for Corporate Criminal Liability in Brazil : Lessons From Common Law Development, University of Saskatchewan.
“Ascriptions of criminal liability require that the agent had acted intending to do wrong, or in a reckless or negligent way. The maxim actus non facit reum nisi mens sit rea which can be translated as an act is not criminal in the absence of a guilty mind is a distinctive feature of criminal law. There are only few exceptions to this principle, usually statutory offences and often in the field of regulatory offences. It prevails in both common law and civil law legal systems that to characterize an offence, mens rea must bepresent and contemporanous to the actus reus. Accordingly, in order to attribute criminal liability to a corporate entity corporate mens rea must be found”.
Sulitnya mengetahui dan menentukan kapan suatu korporasi melakukan
kesengajaan kelalaian menyebabkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak dapat
berlaku mutlak terhadap korporasi. Ketika sebuah korporasi, pengurusnya melakukan
rapat-rapat, maka di dalam rapat tersebut diketahui dan dikehendaki adanya
pembakaran hutan. Selanjutnya, di dalam rapat pasti ada notulen rapat yang dapat
dijadikan sebagai bukti tentang siapa-siapa saja yang mengajukan rencana
pembakaran hutan, siapa yang tidak setuju juga akan kelihatan. Oleh karena itu, di
dalam sebuah rapat korporasi jelas dipimpin oleh seorang pimpinan rapat, sehingga
diketahui directing mind siapayang mengajukan rencana pembakaran hutan.
2. Alasan Penghapusan Pidana Korporasi
Seperti halnya subjek hukum alamiah (natuurlijk person), badan hukum/korporasi juga memiliki alasan penghapusan pidana sebagai konsekuensi
diterimanya asas kesalahan pada korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum pidana
pada dasarnya dapat menunjuk alasan-alasan penghapusan pidana kecuali yang
berkaitan dengan keadaan kejiwaan tertentu (Pasal 44, Pasal 48 s/d 51 KUHP).Sesuai
korporasi itu sendiri. Mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan
penghapus pidana, tetapi tidak demikian halnya pada korporasi.99
Vicarious liability adalah suatu pertanggung-jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).100 Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability
adalah suatu konsep pertanggung-jawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan
oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang
lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment).101 Sutan Remy Sjahdeini menterjemahkan vicarious liability menjadi pertanggung-jawaban vikarius atau pertanggung-pertanggung-jawaban pengganti.102
Contoh kasus untuk vicarious liability, sebagai berikut103
Lain halnya, jika misalnya X sebagai pemilik restoran telah menyatakan kepada pelayannya Y, untuk tidak menjual minuman keras kepada
:
“X adalah seorang pemilik tempat menjual makanan dan minuman telah melarang Y (manajer rumah makan/minum tersebut) untuk mengizinkan atau menyediakan di tempat itu, tetapi Y telah melanggarnya. X tetap dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan. Dasar pertimbangannya antara lain dikontstruksikan sebagai berikut : X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y sebagai manajer. Ia telah melimpahkan pelaksanaan dari kebijaksanaan tindakan di bidang perdagangan itu kepada manajer, ini berarti hanya ada suatu kesimpulan yaitu bahwa pengetahuan si manager adlaah pengetahuan dari si pemilik rumah makan/minum itu.
99
Muladi dan Dwija Priyatno, Loc.cit., hal. 131.
100
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hal. 93.
101
Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 118.
102
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti Pers, 2006), hal. 84.
103
orang yang tidak membeli makanan. Dalam hal Y, si pelayan, telah melanggar, X tidak dapat dinyatakan bersalah atas pelanggaran uu”.
Berdasarkan uraian ahli-ahli hukum di atas dan ilustrasi contoh kasus tersebut,
maka alasan penghapusan pidana bagi korporasi hanya berlaku kepada orang yang
melarang perbuatan melawan hukum tersebut. Namun, pelarangan tersebut harus
dilihat lagi apakah melanggar hukum atau tidak, apabila tidak melanggar hukum,
maka orang yang melarang tidak akan dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Dengan kata lain, hapuslah pidananya karena telah mengingatkan orang lain di dalam
suatu korporasi tersebut. Akan tetapi, apabila larangannya tersebut melanggar hukum,
malah dirinya-lah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan dari
orang lain (vicarious liability) di dalam korporasi tersebut, malah orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut tidak dapat dimintai
pertanggung-jawabannya.
Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa dalam menentukan ada atau tidak
adanya alasan penghapusan pidana pada korporasi tak selalu dapat dicari secara
terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu
korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan.104
Terhadap alasan pembenar dan pemaaf terdapat dalam Konsep Rancangan
KUHP Tahun 2004 Pasal 50 yang menyatakan : “Alasan pemaaf atau alasan
pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas
nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung
berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi”. Alasan pemaaf
104
yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi akan
meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Bagi korporasi alasan
pemaaf tersebut juga berlaku sepanjang hal itu diajukan terlebih dahulu oleh
korporasi.
Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi ada dikenal beberapa teori atau
doktrin yaitu :
1. Identification Theory/Direct Liability Doctrine
Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah
salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana
korporasi, meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut
doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui
“pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan/korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan dipandang sebagai
perbuatan korporasi, sehingga pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi.
Teori ini disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori organ”105 a. Arti sempit (Inggris) :
:
Hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi
b. Arti luas (Amerika Serikat) :
105
Tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen dibawahnya.
2. Doktrin Strict Liability
Doktrin Strict Liability disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault) yaitu prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
pada pelakunya, cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah
melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai
kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.106
3. Doktrin Vicarious Liability
Doktrin ini didasarkan pada “employment principle”, yaitu bahwa majikan (“employer”) adalah merupakan penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan : jadi “the servant’s act is the master act in law”. Prinsip ini dikenal
106
juga dengan istilah the agency principle (the company is liable for the wrongful acts of all its employees).107
Vicarious Liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another)
Ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana,
yaitu tentang perbuatan melawan hukum (the law of tort), berdasarkan doctrine of respondeat superior, dimana ada hubungan antara master dan servant atau antara
principal dan agent, berlaku maxim qui facit per alium per se, artinya seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.
108
Menurut Remy Sjahdeini
atau sering diartikan
“pertanggungjawaban pengganti”.
109
bahwa kalangan ahli hukum dan para pembuat
undang-undang masih mencari-cari doktrin-doktrin lain. Dan untuk keperluan itu,
telah dikembangkan beberapa doktrin atau ajaran, yaitu Doctrin of Delegation,
Doctrine of Identification, Doctrine of Aggregation, The Corporate Culture Model
dan Relative Corporate Fault.110
Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaannya yaitu, baik strict liability
maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana.“in general, the process of judicial interpretation of
107
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hal. 249.
108
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 41.
109
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit.,hal. 80-87.
110
the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory offences, especially those offences which did not require proof of mens rea or a mental element”.111
4. Doctrine of Delegation
Yang mana pengertian dari kalimat diatas yaitu : pada umumnya penafsiran
hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea
atau unsur kejiwaan.
Sedangkan yang menjadi perbedaan antara strict liability dengan vicarious liability yaitu pertanggung jawaban pada strict liability bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, akan tetapi pada vicarious liability, pertanggungjawaban pidananya bersifat tidak langsung.
Atau sering juga disebut The Delegation Principle (prinsip pendelegasian) merupakan salah satu asas pembenaran untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan pegawainya kepada korporasi. Menurut
doktrin ini, yang menjadi alasan agar dapat diberikan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi yaitu adanya pendelegasian kewenangan dari seseorang kepada
orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.112
Sehingga oleh karenanya, “a guilty mind” dari buruh/karyawan dapat dihubungkan kepada majikannya apabila ada pendelegasian kewenangan dan
111
Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, hal. 4 dari 10.
112
kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and duties”)menurut undang-undang.113
5. The Corporate Culture Model
Menurut doktrin/teori ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari
prosedur, sistem kerjanya, atau budanya (the procedures, operating systems, or culture of a company). Oleh sebab itu, maka teori budaya ini sering juga disebut teori/model sistem atau model organisasi (organizational or systems model).114
Pendekatan model budaya kerja perusahaan memfokuskan pada kebijakan
korporasi yang tersurat dan tersirat, yang mempengaruhi cara korporasi melakukan
kegiatan usahanya.115
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi,
apabila berhasil menemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini bahwa anggota
korporasi tersebut memiliki kewenangan, telah diberikan wewenang, atau
mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut untuk kepentingan korporasi, maka
korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab
karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang
telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggungjawab.116
113
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hal. 250.
114
Ibid., hal. 251.
115
Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 68.
116
6. Doctrine of Aggregation
Adalah doktrin yang mengkombinasikan kesalahan dari sejumlah orang secara
kolektif yang terikat kewenangan korporasi (struktur organisasi perusahaan),
bertindak dan atas nama, kepentingan, manfaat korporasi untuk diatributkan kepada
korporasi sehingga dapat dibebani pertanggungjawaban.117
Menurut ajararn ini, semua perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang
yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan
dilakukan oleh satu orang saja.118
Kelemahan dari teori ini adalah : Tidak dapat digunakan ketika suatu tindak
pidana memerlukan pembuktian mengenai adanya kesalahan subjektif dan
mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja
bukan berupa penyatuan dari suatu perbuatan yang salah, atau bukan berupa
penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh masing-masing orang, tetapi fakta
bahwa suatu perusahaan tidak memiliki struktur organisasi atau tidak memiliki
kebijakan untuk dapat mencegah seseorang dalam perusahaan itu melakukan
perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu tindak pidana.119
Adapun keuntungan dari ajaran ini adalah : banyak kasus tidak mungkin untuk
mengisolasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan tempat ia bekerja, maka
117
Ibid., hal. 67.
118
Ibid., hal. 67.
119
ajaran ini mencegah perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggungjawabnya
dalam struktur korporasi.120
7. Doctrine of Reactive Corporate Fault
Fisse dan Braithwaite menyatakan bahwa apabila actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka pengadilan sepanjang
telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada
perusahaan untuk121
a. “Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggungjawab di dalam organisasi perusahaan itu.
:
b. Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggungjawab.
c. Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang telah diambil perusahaan”.
Apabila perusahaan memenuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan
laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah-langkah yang telah diambil
oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang bertanggungjawab, maka
pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada korporasi yang
bersangkutan.122
Apabila tanggapan dari korporasi terhadap pemerintah pengadilan dianggap
tidak memadai, maka perusahaan atau pimpinan perusahaan akan dibebani dengan
120
Ibid., hal. 68.
121
Ibid., hal. 69.
122
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pejabat
pemerintah.123
B. Tindak Pidana Lingkungan Hidup
1. Pengertian Tindak Pidana dan Lingkungan Hidup a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht)dikenal dengan istilah
strafbaar feit dan di dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering digunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.124
Tindak pidana adalah merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam istilah hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai
pengertian yang abstrak dari peristiwa hukum pidana, yang mempunyai pengertian
yang abstrak dari peristiwa-peristiwa kongkrit dalam lapangan hukum pidana,
sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan
dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat.125
Seperti yang telah diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana,Moeljatno,
yang memberikan pengertian tindak pidana atau yang menurut istilah beliau adalah
123
Ibid., hal. 69.
124
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), hal. 90.
125
perbuatan pidana yaitu : “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.126
Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan
pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut :“Bahwa perbuatan pidana
adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.
Sehingga, bila berdasarkan pendapat tersebut, maka pengertian dari tindak
pidana adalah bahwa perbuatan pidana ataupun tindak pidana senantiasa merupakan
suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan
yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana, yang mana
aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancamannya atau sanksi
pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan tersebut.Akan tetapi, haruslah
diingat bahwasanya aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat,
dan oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula.
127
Dalam perumusan tersebut mengandung kalimat “aturan hukum pidana”
dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal
kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang
126
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal. 54.
127
Poernomojuga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang
dinyatakan hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.128
Adapun maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan
pidana, ataupun peristiwa hukum pidana dan sebagainya adalah untuk mengalihkan
bahasa asing dari istilah strafbaar feit, akan tetapi belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa tersebut dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan
pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan
terperinci menerangkan pengertian istilah ataukah sekedar mengalihkan bahasanya
saja, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan.Selain itu juga, di
tengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian
perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan
hakim agar dijatuhi pidana.129
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum
itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, atau dalam bahasa
latin dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), ucapan itu berasal dariAnselm von
128
Ibid., hal. 130
129
Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Asas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu130
1. “Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
:
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut”.
Tindak pidana merupakan bagian dasar daripada suatu kesalahan yang
dilakukan seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan
(schuld) hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan, haruslah berupa kesengajaan (dolus)atau kealpaan (culpa).Dikatakan bahwa dolus
dan culpa adalah bentuk schuld, sedangkan kesalahan (schuld) adalah yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah
melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, sehingga atas
perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk pidana
yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa
telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka
dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang
mengaturnya.131
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
Belanda, yaitu : “strafbaar feit”, yang terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu : straf, baar dan
feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah
130
Moelyatno, Op.cit., hal. 25. Lihat juga : Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1998), hal. 36.
131
digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, sebagai berikut132 1. “Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No.20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya.
:
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya : R. Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, H.J. van Schravendijk dalam bukunya “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, A. Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)].
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
straftbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.Utrecht, walaupun beliau menggunakan istilah lain, yakni peristiwa pidana (dalam buku “ Hukum Pidana I”. Moeljatno juga pernah menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana.
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang berjudul “ Pokok-Pokok Hukum Pidana”.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau “ Ringkasan tentang Hukum Pidana”, begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”.
132
Beberapa pengertian dari tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli yang
dapat digolongkan menganut pandangan dualisme133
1. “Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan yang dapat dihukum”.
:
134
Pompe mengatakan bahwa “ strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.135
2. Menurut Prof. Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”.136
3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh undang-undang.137
4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.138Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut139
a. Harus ada suatu perbuatan manusia.
:
b. Perbuatan harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hokum.
c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang”.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 182.
R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), hal. 27.
139
Selain pandangan dualism, ada juga pandangan lain, yakni pandangan
monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat ahli monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana yaitu sebagai berikut140
1. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian
:
141 :
a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang
b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers142, sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini, ternyata definisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers, hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat.
2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
3. H.J. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.
4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang
140
Adami Chazawi, Op.cit., hal. 75.
141
Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 91.
142
dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari Simons apa sebabnya
“Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena : a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang-Undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan
c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.143
5. Menurut Jan Remmelink144 bahwa sekilas tampak bahwa membatasi pengertian “ bahaya “ ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris
tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum
(rechtsgoederen) yang dilindungi oleh hukum.
6. J. Baumann dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.145
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggungjawab
yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh
undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk
membedakan suatu perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi
pidana.
143
P.A.F. Lamintang,Op.cit., hal. 176.
144
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 64-65.
145
b. Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup terdiri dari dua kata yaitu lingkungan dan hidup. Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia lingkungan berarti daerah, golongan, kalangan, dan
semua yang mempengaruhi pertumbuhan manasia dan hewan146 Sedangkan hidup
berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya.147
Secara umum, lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Jika kedua
kata tersebut digabungkan, maka lingkungan hidup berarti daerah atau tempat dimana
makhluk hidup untuk bertahan dan bergerak sebagaimana mestinya.
148
1. Menurut Emil Salim, lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda,
kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati
dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia.
Definisi lingkungan hidup menurut beberapa ahli dan pakar lingkungan, yaitu:
149
2. Munadjat Danusaputro, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar
Lingkungan Universitas Padjajaran mengartikan lingkungan hidup sebagai
semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah
146
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hal. 675.
147
Ibid., hal. 400
148
A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta : Rineka Cipa, 2000), Cet. Ke-2, hal. 6.
149
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan
mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.150
3. Otto Suemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi) mendefinisikan
lingkungan hidup yaitu jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam
ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis
ruang itu tidak terbatas jumlahnya, namun secara praktis ruang itu selalu
diberi batas menurut kebutuhan yang dapat ditentukan.
Istilah lingkungan hidup merupakan hal yang baru di Indonesia. Dimana
istilah lingkungan hidup baru muncul sekitar tahun 1970-an seiring dengan adanya
Konferensi Stockholm mengenai lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan
di tahun 1972.151
Menurut pengertian yuridis, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat
(1)Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup mengartikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perkehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.152
150
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta : Erlangga,2004), hal.4.
151
Ahmad Faqih Syarafaddin, “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009”, Skripsi, Konsentrasi Perbandingan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011, hal. 30.
152
Dari definisi-definisi tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
lingkungan hidup adalah suatu rangkaian atau suatu sistem yang saling
mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan, baik terhadap manusia,
hewan, tumbuhan maupun terhadap benda mati lainnya.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana atau strafbaar feit menurut Prof. Simons adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.153
Menurut Simons merumuskan tindak pidana seperti diatas adalah karena154
1. “Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dalam hal ini pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
:
2. Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang.
3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum”.
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUH Pid meliputi unsur-unsurnya,
yang dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan
153
P.A.F. Lamintang, Op.cit., hal. 185.
154
diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya.155
Unsur subjektif terdiri dari156
1. “Hal dapat dipertanggungjawabkannya seorang terhadap perbuatan yang telah
dilakukan.
:
2. Kesalahan seseorang”.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu
harus dilakukan.157Dikatakan unsur objektif, adalah jika unsur tersebut terdapat di
luar si pembuat, yaitu berupa158
1. “Suatu perbuatan, perbuatan mana dapat berupa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
:
2. Suatu akibat.
3. Masalah-masalah, keadaan-keadaan, yang mana semuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang”.
Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur
objektif, yakni :
1. Unsur Subjektif
Unsur subjektif yaitu unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum
pidana menyatakan “tidak ada hukum kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus not facit reum nisi mens sit
155
Ibid., hal. 193.
156
P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus, (Bandung : Tarsito, 1995), hal. 16.
157
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.cit., hal. 194.
158
rea). Kesalahan disini yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opset/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga)
bentuk, yakni :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk).
b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn). c. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantalis).
2. Unsur Objektif.
Merupakan unsur dari luar pelaku yang terdiri atas :
a. Perbuatan manusia, berupa :
1) Act, yakni berupa aktif atau perubahan positif;
2) Omission, yakni perubahan pasif atas perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
b. Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawanya,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan kebahagian.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si
pelaku dari hukuman. Adapun sikap melawan hukum adalah apabila perbuatan itu
bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah.
Menurut Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi
unsur-unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut159
1. “Menurut Van Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seseorang pembuat (dader) mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid)
terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu. :
2. Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari Straftbaar feit
dapat dibedakan menjadi :
a. Elementen voor de strafbaar feit van het feit, yang terletak dalam objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum.
b. Mengenai elementen woor strafbaarheid van dedader, yang terletak dalam subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap batin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan”.
Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksudkan ke dalam “aliran monistis”,
yaitu160
1. “Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah : :
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
b. Diancam dengan pidana (satbaar gesteld). c. Melawan hukum (onrechtmatig).
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand).
159
Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 103.
160
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit).
a. Unsur objektif , yaitu : 1) Perbuatan orang.
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUH Pid sifat “openbaar” atau “di muka umum”.
b. Unsur subjektif :
1) Orang yang mampu bertanggung jawab.
2) Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbutan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
2. Van Hamel memberikan defenisi straftbaar feit adalah : “eem wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten”.
Jadi unsur-unsurnya adalah :
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang. b. Melawan hukum.
c. Dilakukan dengan kesalahan. d. Patut dipidana.
3. E. Mezger, menurutnya unsur-unsur tindak pidana ialah :
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan). b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun yang subjektif). c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang.
d. Diancam dengan pidana
4. Karni memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut : Bahwa delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya beberapa ahli yang dimasukkan sebagai golongan yang
mempunyai pandangan dualistis tentang syarat-syarat pemidanaan adalah161
1. “H.B. Vos, menyatakan Strafbaar Feit berunsurkan :
:
a. Kelakuan manusia.
b. Diancam pidana dalam undang-undang.
2. W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif straafbaar feit
adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. (volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets anders date en feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Memang beliau mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
3. Moeljatno, menyatakan unsur-unsur perbuatan pidana adalah : a. Perbuatan (manusia).
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil). c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)”.
Syarat formil itu harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam
Pasal 1 KUHP. syarat materil itu harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula
betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut
dilakukan karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dicita-citakan dan kemampuan bertanggungjawab dari si
pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena hal-hal tersebut melekat
pada orang yang berbuat.
1. Unsur-unsur tindak pidana menurut Tresna adalah sebagai berikut162
a. “Harus ada perbuatan manusia.
:
b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, maksudnya adalah bahwa kalau seseorang itu
161
Ibid.,hal. 42-43.
162