2.3.1 Definisi fraktur
Fraktur adalah diskontinuitas atau terganggunya kesinambungan jaringan tulang dan atau tulang rawan karena adanya trauma. Fraktur terjadi bila daya traumanya lebih besar dari daya lentur tulang. Fraktur dapat terjadi karena peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang fraktur patologis.
(Hardisman, 2014)
2.3.2 Etiologi
2.3.2.1 Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring (Wahid, 2013).
2.3.2.2 Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan (Wahid, 2013).
2.3.2.3 Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan (Wahid, 2013).
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Fraktur 2.3.3.1 Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur (Wahid, 2013).
2.3.3.2 Faktor Instrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan tulang (Wahid, 2013).
2.3.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusuk. Pendarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuknya hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma, dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Rosyidi, 2013).
2.3.5 Klasifikasi fraktur
Menurut Rosyidi (2013) penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
2.3.5.1 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragman tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound, bila terdapat
hubungan antara hubungan fragman tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2.3.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
a. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang, tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
2.3.5.3 Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
a. Fraktur Transversal : Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi : Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
2.3.5.4 Berdasarkan jumlah garis patah
a. Fraktur Komunikatif : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
2.3.5.5 Berdasarkan pergeseran fragman tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : Garis patah lengkap tetapi kedua fragman tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser) : Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terjadi atas:
1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu)
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
3) Dislokasi ad letus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)
2.3.5.6 Berdasarkan posisi fraktur
Satu batang tulang terbagi menjadi tigas bagian : a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial c. 1/3 distal
2.3.5.7 Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
2.3.5.8 Fraktur Patologis
Fraktur yang di akibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindrom kompartement.
2.3.6 Manifestasi klinik
Menurut Rosyidi (2013) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
2.3.6.1 Deformitas 2.3.6.2 Bengkak/edema 2.3.6.3 Echimosis (memar) 2.3.6.4 Spasme otot 2.3.6.5 Nyeri
2.3.6.6 Kurang/hilang sensasi
2.3.6.7 Krepitasi
2.3.6.8 Pergerakan abnormal 2.3.6.9 Rontgen abnormal
2.3.7 Pemeriksaan diagnostik
Menurut Wahid (2013) pemeriksaan diagnostik fraktur sebagai berikut:
2.3.7.1 Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya trauma, akan tulang.
2.3.7.2 Temogram, scan CI : memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2.3.7.3 Hitung darah lengkap : Hb mungkin meningkat/menurun.
2.3.7.4 Peningkatan jumlah sop adalah respons stress normal setelah trauma.
2.3.7.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
2.3.7.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple, atau cedera hati.
2.3.8 Prinsip penatalaksanaan fraktur
Pada prinsipnya penatalaksanaan fraktur adalah 4R (Hardisman, 2014):
2.3.8.1 Rekognisi adalah mengenali kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan lunak maupun jaringan tulang serta mekanisme trauma
2.3.8.2 Reduksi adalah mengembalikan jaringan atau fragmen keposisi semula (reposisi)
2.3.8.3 Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi atau imobilisasi
2.3.8.4 Rehabilitation adalah mengembalikan kemampuan bagian tubuh yang sakit agar dapat berfungsi kembali
2.3.9 Proses penyembuhan tulang
Menurut Wahid (2013) tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dbentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
2.3.9.1 Stadium satu-fase inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekspresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2-3 minggu.
2.3.9.2 Stadium dua-fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel perisoteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut
dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2-3 setelah terjadi fraktur dan berakhir pada minggu ke 4-8.
2.3.9.3 Stadium tiga-fase pembentukan kallus
Fase pembentukan kallus merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrisit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenvone. Pertumbuhan jaringan brlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrosa, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragman tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous.
2.3.9.4 Stadium empat-konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven bone) di ubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah diantara fragman dengan tulang yang baru.
Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan
sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal.
2.3.9.5 Stadium lima-remodelling
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk selamanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.
2.3.10 Pertolongan pertama dilapangan
Menurut Hardisman (2014) pertolongan pertama yang dapat dilakukan dilapangan sebagai berikut :
2.3.10.1 Live saving : Cek ABCD
2.3.10.2 Limb saving : mencegah kerusakan lanjut bagian yang fraktur Caranya :
a. Pembalutan Tujuan :
1) Mencegah kontaminasi
2) Penekanan untuk menghentikan pendarahan 3) Pemasangan bidai
4) Memperbaiki suhu tubuh b. Pemasangan bidai
Tujuan : 1) Imobilisasi
2) Mengurangi rasa nyeri
3) Mencegah terjadinya komplikasi
4) Memudahkan transportasi korban c. Prinsip pemasangan bidai :
1) Panjang bidai mencakup 2 sendi
2) Bidai tidak mudah patah dan tidak terlalu lentur 3) Ikatan bidai mantap (dengan sistem roll on) d. Hal yang harus diperhatikan
1) Sensorik : memberikan rangsangan pada bagian distal 2) Motorik : dengan menggerakan pada sendi distal 3) Refilling kapiler : pengisian kembali kapiler yang
telah dihambat dengan memencet kuku. Normal apabila pengisian < 2 detik.
e. Pembagian bidai
1) Bidai anatomis/body splint : menggunakan bagian yang sehat sebagai bidai terhadap bagian yang lain.
2) Bidai kayu/rigid splint. Prosedur pemasangan rigid splint:
a) Sesuaikan ukuran bidai dengan panjang tangan atau kaki (melewati 2 sendi)
b) Periksa fungsi sensorik (peraba), motorik (pergerakan) dan nadi di ujung bagian yang cedera.
c) Letakan dua belah bidai di kanan dan kiri bagian yang cedera.
d) Balut bidai dengan kasa menggunakan system roll on sampai melewati dua sendi.
e) Periksa ulang fungsi sensorik, motorik serta nadi di bagian ujung yang cedera.
2.3.11 Komplikasi fraktur 2.3.11.1 Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh: tidak adanya nadi, CRT (Capillary Refill Time) menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan (Wahid, 2013).
b. Kompartement sydrom
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang (Helmi, 2012)
c. Fat embolism syndrome
Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome-FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam (Wahid, 2013).
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat (Wahid, 2013).
e. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Wahid, 2013).
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi, ini biasanya terjadi pada fraktur (Wahid, 2013).
2.3.11.2 Komplikasi dalam waktu lama a. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan waktu dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsilidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang lebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkaan karena aliran darah berkurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Jadi, fraktur adalah diskontinuitas atau terganggunya kesinambungan jaringan tulang dan atau tulang rawan karena adanya trauma. Pada penelitian
Desiartama dan Aryana (2017) menunjukkan karakteristik dari fraktur femur pada orang dewasa akibat kecelakaan lalu lintas di RSUP Sanglah tahun 2013 lebih banyak terjadi pada pria, dengan usia paling banyak 18-30 tahun, jenis fraktur terbanyak adalah fraktur tertutup, serta lokasi terbanyak pada daerah tengah.