• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

6 2.1.1 Pengertian slow deep breathing

Latihan slow deep breathing adalah tindakan yang dilakukan secara sadar untuk mengatur pernafasan secara lambat dan dalam sehingga menimbulkan efek relaksasi (Tarwoto, 2011).

Deep breathing merupakan latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Smeltzer, et al, 2008).

Relaksasi dapat diaplikasikan sebagai terapi non farmakologis untuk mengatasi stress, hipertensi, ketegangan otot, nyeri dan gangguan pernafasan. Terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya aktivitas otak dan fungsi tubuh lain pada saat terjadinya relaksasi. Respon relaksasi ditandai dengan penurunan tekanan darah, menurunnya denyut nadi, jumlah pernafasan serta konsumsi oksigen (Potter & Perry, 2006 dalam Tarwoto, 2011).

Latihan slow deep breathing terdiri dari pernafasan abdomen (diafragma) dan purse lip breathing dapat digunakan sebagai asuhan keperawatan mandiri dengan mengajarkan melakuakan nafas dalam (menahan inspirasi secara maksimal), nafas lambat dan cara menghembuskan nafas secara perlahan dengan metode bernafas fase ekshalasi yang panjang (Smeltzer & Bare, 2008).

Latihan slow deep breathing juga berdampak pada vasodilitasi pembuluh darah otak yang memungkinkan suplai oksigen otak lebih

(2)

banyak sehingga perfusi jaringan otak diharapkan lebih adekuat.

Latihan nafas dalam dan lambat secara teratur akan meningkatkan respon saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiovaskular, mengurangi efek stress, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. (Denise, 2007 dalam Downey, 2009).

2.1.2 Mekanisme slow deep breathing

Busch,V. ed al (2012) dalam jurnalnya yang dilaksanakan di Jerman menyelidiki dua tekhnik pernafasan slow deep breathing berbeda pada tingkat respirasi yang sama dan kedalaman persepsi nyeri, aktivitas otonom, suasana hati pada 16 subjek sehat, menunjukkan bahwa cara bernafas tegas mempengaruhi saraf otonom dan pengelolaan rasa nyeri sehingga slow deep breathing erat hubunganya dengan relaksasi sebagai fitur penting dalam modulasi gairah simpatik dan perpsepsi nyeri.

Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari hari untuk mengatasi berbagai masalah misalnya stress, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernafasan, dan lain-lain. Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku. Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya pengiriman impuls saraf ke otak, menurunnya aktifitas otak, dan fungsi tubuh yang lain. Karakteristik dari respon relaklisasi ditandai oleh menurunnyav denyut nadi, jumlah pernafasan, penurunan tekanan darah, dan konsumsi oksigen.

Dalam penelitian Tarwoto (2011) mengemukakan bahwa mekanisme penurunan metabolisme tubuh pada pernafasan dalam dan lambat masih belum jelas, namun menurut hipotesanya nafas dalam dan lambat yang disadari akan mempengaruhi sistem saraf otonom melalui pengahambatan sinyal reseptor peregangan dan arus hiperpolarisasi

(3)

baik melalui jaringan saraf dan non-saraf dengan mensinkronisasikan elemen saraf di jantung, paru-paru, sistem limbik, dan korteks serebral.

Selama inspirasi, peregangan jaringan paru menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat yang mengakibatkan adaptasi reseptor peregangan lamimbbat atau slowly adapting stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada fibroblast.

Terapi slow deep breathing menjadi alternatif untuk mengatasi nyeri karena secara fisiologis menimbulkan efek relaksasi sehingga dapat menurunkan metabolism otak. Slow deep breathing merupakan tindakan yang didasari untuk mengatur pernafasan secara dalam dan lambat. Pengendalian pengaturan pernafasan secara sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan pernafasan yang spontan dan automatic dilakukan oleh medulla oblongata. Nafas dalam dan lambat dapat menstimulasi respon saraf otonom yaitu dengan menurunkan respon saraf simpatis dan meningkatkan respon saraf parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktvitas tubuh, sedangkan respon parasimpatis lebih banyak menurunkan aktivitas tubuh sehingga dapat menurunkan aktivitas metabolik (Martini, 2008).

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara simultan.

Maka ini menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormone kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga meningkatkan konsentrasi dan membuat klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan secara teratur. Hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan PaCO2 dan akan menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah.

(4)

2.1.3 Tujuan

Tujuan latihan slow deep breathing adalah untuk meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Selain itu tekhnik relaksasi juga merupakan metode yang efektif untuk mengurangi nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Relaksasi sempurna dapat mengurangi ketegangan otot, rsa jenuh dan kecemasan sehingga dapat menghambat stimulasi nyeri (Potter & Perry, 2010)

Hal ini sesuai denngan penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2010) tentang “Pengaruh tekhnik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat nyeri pada pasien pasca operasi abdomen di RS Telogerejo Semarang” bahwa hubungan antara sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi nafas dalam terhadap tingkatan nyeri pada pasien paska operasi bedah abdomen mempunyai pengaruh yang kuat.

Latihan slow deep breathing memiliki pengaruh pada peningkatan volume tidal sehingga mengaktivasi reflex hering breur yang memiliki efek pada penurunan aktifitas kemorefleks dan menigkatkan sensitivtas barorefleks, melalui mekanisme inilah yang dapat menurunkan aktivitas simpatis dan tekanan darah (Joseph, 2005 dalam Sepdianto, dkk. 2013).

2.1.4 Prosedur pelaksanaan latihan slow deep breathing

Prosedur yang dilakukan saat latihan slow deep breathing dengan melakukan pernafasan diafragma dan purse lip breathing selama inspirasi mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara yang masuk selama inspirasi.

Langkah-langkah latihan slow deep breathing adalah sebagai berikut:

2.1.4.1 Atur pasien dengan posisi duduk.

2.1.4.2 Kedua tangan pasien letakkan di atas perut.

2.1.4.3 Anjurkan pasien untuk melakukan tarikan nafas secara perlahan dan dalam melalui hidung.

(5)

2.1.4.4 Tarik nafas dalam selama 3 detik dan rasakan abdomen mengembang selama menarik nafas.

2.1.4.5 Tahan nafas selama 3 detik.

2.1.4.6 Kerutkan bibir dan keluarkan nafas melalui mulut, hembuskan secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke bawah.

2.1.4.7 Ulangi langkah pertama sampai kelima selama 15 menit, lakukan slow deep breathing dengan frekuensi 3 kali sehari.

(Prasetyo, 2010)

Jadi, slow deep breathing adalah relaxation atau relaksasi nafas dalam merupakan teknik relaksasi yang dapat menurunkan nyeri dengan cara merangsang susunan saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang untuk memproduksi endorfrin yang berfungsi sebagai penghambat nyeri yaitu dengan menarik nafas melalui hidung selama 3 detik kemudian tahan lagi selama 3 detik dan hembuskan selama 6 detik secara perlahan. Hasil penelitian Syamsudin (2015) membuktikan bahwa terapi relaksasi napas dalam secara bermakna dapat menurunkan intensitas nyeri pada anak dengan post operasi (p=0,001, α = 0,05).

2.2 Konsep nyeri 2.2.1 Deinisi nyeri

2.2.1.1 Secara medis

Nyeri adalah pengalaman sensori yang dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau kerusakan jaringan, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah ketika seseorang terluka (secara fisik) (Prasetyo, 2010).

International Association for Study of Pain (1979) dalam Zakiyah (2015) mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjek dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan

(6)

berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana teradi kerusakan.

Nyeri adalah persepsi sensori dari rangsangan psikis atau fisik maupun lingkungan yang diinterprestasikan oleh otak sehingga menimbulkan reaksi terhadap rangsangan tersebut (Atoilah &

Kosnadi, 2013).

Long (1996) dalam Saputra (2013) menyebutkan bahwa nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut.

2.2.1.2 Secara psikologis

Sternbach (2009) mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang abstrak, dimana nyeri terdapat padanya:

a. Personality, dimana sensasi terhadap nyeri yang dirasakan individu bersifat pribadi (subjektif), artinya antara individu satu dengan yang lainnya mengalami sensasi yang berbeda.

b. Adanya stimulus yang merugikan sebagai peringatan terhadap kerusakan jaringan.

c. Pola respon dari individu terhadap nyeri, sebagai alat proteksi untuk melindungi dirinya dari kerugian yang ditimbulkan oleh nyeri.

McCaffery (1980) dalam Zakiyah (2015) menyatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena hanya pasienlah

(7)

yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran yang objektif padanya, sehingga hanyalah orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat dalam mendefinisikan nyeri.

Definisi di atas membantu perawat untuk lebih memahami nyeri yang dialam seorang pasien dan sebagai dasar di dalam melakukan pengkajian keperawatan terhadap pasien yang mengalami nyeri, serta membangun suatu konsep/nilai yang berkaitan dengan nyeri:

1) Nyeri hanya dapat dirasakan dan digambarkan secara akurat oleh individu yang mengalami nyeri itu sendiri.

2) Apabila seorang pasien mengatakan bahwa dia nyeri, maka dia benar merasakan nyeri walaupun mungkin anda tidak menemukan adanya kerusakan pada tubuhnya. Semua nyeri yang dikatakan pasien adalah nyata.

3) Nyeri mencakup dimensi psikis, emosional, kognitif, sosiokultural dan spiritual.

4) Nyeri sebagai peringatan terhadap adanya ancaman yang bersifat actual maupun potensial.

2.2.2 Persepsi nyeri dan ambang nyeri

Pengalaman nyeri yang dirasakan oleh seseorang dipengaruhi oleh persepsi nyeri dan ambang nyeri. Persepsi nyeri merupakan kesadaran seseorang tentang nyeri yang menyangkut proses pengindraan bilamana terdapat rangsangan untuk merasa sakit. Hal tersebut dikarenakan terdapat sel-sel di dalam limbik yang diyakini dapat mengontrol emosi, khususnya ansietas.Dengan demikian, sistem limbic berperan aktif dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi, klien akan mempersepsikan nyeri (Prasetyo,2010).

(8)

Ambang nyeri adalah intensitas terendah suatu rangsangan yang menyebabkan klien sadar bahwa ia merasa sakit. Persepspi nyeri dan ambang nyeri berhubungan terbalik (Sherwood, 2011).

Jika persepsi seseorang tinggi, maka ambangnya rendah dan sebaliknya.

Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai persepsi nyeri yang tinggi pada saat melakukan pencabutan gigi yang dimanifestasikan dengan rasa takut, maka dengan stimulus yang sedikit pada saat pencabutan gigi, ia akan merasakan nyeri yang lebih kuat dibandingkan dengan orang yang mempunyai persepsi yang rendah (Prasetyo,2010).

2.2.3 Fisiologi nyeri 2.2.3.1 Stimulus

Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu ujung-ujung saraf bebas pada kulit berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik.

Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya:

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Stimulus Nyeri

No Faktor penyebab Contoh

1 Mikroorganisme (virus,

bakteri, jamur dll) Meningitis

2 Kimia Tersiram air keras

3 Tumor Ca mamae

4 Iskemi jaringan Jaringan miokard yang mengalami iskemi karena gangguan aliran darah pada arteri koronaria

5 Listrik Terkena sengatan listrik

6 Spasme Spasme otot

7 Obstruksi Batu ginjal, batu ureter, obstruksi usus

8 Panas Luka bakar

9 Fraktur Fraktur femur

10 Salah urat Keseleo

11 Radiasi Radiasi untuk pengobatan kanker

(9)

12 Psikologis Berduka, konflik dll (Prasetyo, 2010)

2.2.4 Reseptor nyeri

Reseptor nyeri merupakan organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang nyeri dan dalm hal ini organ tubuh yang berfungsi sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang hanya berespons pada stimulus yang kuat yang secara potensial merusak.

Reseptor nyeri disebut nosiseptor, secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen.

Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic) dan pada daerah viseral. Oleh karena perbedaan letak nosiseptor inilah menyebabkan nyeri yang timbul memiliki sensasi yang berbeda.

Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri pada daerah ini biasanya mudah dilokalisasikan dan didefinisikan (Porth, 2008).

2.2.4.1 Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen :

a. Serabut delta A

Serabut nyeri aferen cepat dengan kecepatan transmisi 6-30 m/detik yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

Impuls yang dihasilkan oleh serabut ini sifatnya tajam dan memberikan sensasi yang akut.

b. Serabut delta C

Serabut nyeri aferen lambat dengan kecepatan trasmisi 0,5- 2m/detik yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya lebih tumpul dan sulit di lokalisasikan. Nyeri biasanya pertama kali dirasakan sebagai sensasi tertusuk tajam yang singkat dan mudah diketahui lokasinya, sensasi tersebut melibatkan serabut delta A atau jalur cepat.

(10)

Perasaan tersebut akan diikuti dengan sensasi yang tumpul dan lokasinya tidak jelas dan menetap lebih lama disertai rasa tidak nyaman, sensasi tersebut melibatkan serabut delta C sebagai jalur lambat.

(Sherwood, 2011).

2.2.4.2 Reseptor nyeri (serabut delta A dan C) akan bereaksi menimbulkan nyeri jika distimuli oleh beberapa faktor, diantaranya:

a. Faktor mekanis

Berespon terhadap kerusakan akibat trauma sehingga reseptornya disebut sebagai “mekanosensitif”.

Contoh: pada saat kita jatuh dan terluka, mata kita akan merasakan nyeri pada daerah yang luka karena reseptor terstimulasi oleh trauma mekanik.

b. Faktor termis

Berespon terhadap suhu yang ekstrim, baik karena panas yang berlebihan atau suhu dingin yang berlebihan, sehingga reseptor ini disebut “termoreseptor/

termosensitif”.

Contoh: ketika seseorang memegang es batu beberapa menit, atau tangannya tersiram air panas, maka akan terasa nyeri. Hal tersebut dikarenakan reseptor yang terdapat pada tangan terstimulasi oleh suhu yang ekstrim.

c. Faktor kimia

Zat kimia yang merangsang reseptor ini adalah bradikinin, histamin, ion K, dan asetilkolin. Reseptor ini disebut sebagai “kemoreseptor atau polimodal”.

(11)

d. Listrik

Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.

2.2.5 Neuroregulator

Neuroregulator merupakan subtansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf yang memegang peranan penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan pada lokasi nosiseptordan di ujung saraf pada lokasi kornu dorsalis medulla spinalis.n Neuroregulator dibagi menjadi dua, yaitu neurotransmitter dan neuromedulator.

2.2.5.1 Neurotransmitter

Bertugas mengirim inpuls listrik meleawati celah sinaps di antara dua serabut saraf. Neurotransmitter terdiri atas:

a. Subtasnsi P

1) Terdapat di neuron kornu dorsalis.

2) Dibutuhkan untuk mentransmisikan nyeri dari perifer ke pusat otak yang lebih tinggi.

3) Menyebabkan vasodilatasi dan edema.

4) Serotonin.

5) Di lepas dari batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri.

b. Prostaglandin

1) Dihasilkan oleh pemecahan fosfolipid dalam membran sel.

2) Diyakini dapat meningkatkan sensitivitas nyeri.

2.2.5.2 Neuromodulator

Bertugas memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri. Neuromodulator

(12)

diyakini tidak bekerja secara langsung tetapi dapat meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmitter tertentu.

Neuromodulator terdiri atas:

a. Endorphin dan dinorfin

1) Endorphin dalam bahasa Yunani disebut enkafelin yang artinya di dalam kepala.

2) Merupakan suplai alamiah tubuh beberapa substansi seperti morfin.

3) Diaktifkan oleh stress dan nyeri.

4) Diloklisasi dalam otak, medulla spinalis, dan saluran pencernaan.

5) Memberikan efek analgesia apabila agen ini menyatu dengan reseptor opiad di otak.

6) Terdapat dalam kadar yang lebih tinggi pada klien yang tidak terlalu merasakan nyeri dibanding yang lainnya dengan cedera yang sama.

7) Cara kerja endorphin: pada saat neuron nyeri perifer mengirimkan yang menuju otak tempat seharusnnya substansi P akan menghantarkan impuls (sebagai neurotransmitter). Pada saat tersebut, endorphin akan memblokir lepasnya substansi P dari neuron sensorik.

b. Bradikinin

1) Dilepas dari plasma yang keluar dari pembuluh darah di jaringan sekitar jaringan yang cedera.

2) Terikat pada reseptor saraf perifer, meningkatkan stimulus nyeri.

3) Terikat pada sel-sel yang menyebabkan reaksi rantai yang menghasilkan prostaglandin.

(Potter & Perry, (2005) dalam Zakiyah, (2015))

(13)

2.2.6 Mekanisme nyeri

Suatu rangkaian proses elektrofisiologis terjadi antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai nyeri yang secara kolektif disebut nosiseptif. Terdapat empat proses yang terjadi pada suatu nosiseptif, yaitu sebagai berikut:

2.2.6.1 Proses transduksi

Proses transduksi merupakan proses di mana suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri)

2.2.6.2 Proses transmisi

Transmisi merupakan fase di mana stimulus dipindahkan dari saraf perifer melalui medulla spinalis menuju otak.

2.2.6.3 Proses modulasi

Proses modulasi adalah proses dari mekanisme nyeri di mana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Jadi, proses ini merupakan proses desenden yang dikontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkafelin, endorphin, serotonin dan nonadrenalin; memiliki efek yang dapat menekan inpuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbuka yang dipengaruhi oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas.

Proses modulasi ini juga memengaruhi subjektivitas dan derajat nyeri yang dirasakan seseorang.

2.2.6.4 Persepsi

Hasil dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi dan transmisi pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Pada saat klien menjadi sadar akan nyeri, maka

(14)

akan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor psikologis dan kognitif akan bereaksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dakam mempresepsikan nyeri. Meinhart dan Mc caffery (1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri sebagai sensori diskriminatif, motivasi afektif, dan kognitif evaluative.

Persepsi menyadarkan klien dan mengartikan nyeri sehingga klien dapat bereaksi atau berespon.

(Tymbi, (2009) dalam Carol dan Taylor, (2011))

2.2.7 Teori nyeri

Terdapat berbagai macam teori yang menjelaskan proses terjadinya atau yang menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri, diantaranya :

2.2.7.1 Teori Intensitas (The Intensity Theory)

Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor.

Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat (Saifullah, 2015).

2.2.7.2 Teori Kontrol Pintu (The Gate Control Theory)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang system saraf pusat, dimana impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup (Andarmoyo, 2013).

2.2.7.3 Teori Pola (Pattern theory)

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider (1989), teori ini menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola dari impuls saraf (Saifullah, 2015). Teori pola adalah rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal medulla spinalis dan rangsangan aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan

(15)

suatu respon yang merangsang bagian yang lebih tinggi yaitu korteks serebri dan menimbulkan persepsi, lalu otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T (Margono, 2014).

2.2.7.4 Endogenous Opiat Theory

Teori ini dikembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan bahwa terdapat subtansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam tubuh, subtansi ini disebut endorphine yang mempengaruhi transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine mempengaruhi transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri.

Endorphine kemungkinan bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator yang menghambat transmisi dari pesan nyeri (Hidayat, 2014).

2.2.8 Reaksi atau respon terhadap nyeri

Reaksi terhadap nyeri terdiri atas respon fisiologis, psikologis, dan perilaku yang terjadi setelah mempeprsepsikan nyeri.

2.2.8.1 Reaksi fisiologis

Pasda saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri superficial menimbulkan reaksi “flight or fight” dan ini merupakan sindroma adaptasi umum.

Table 2.2 Reaksi Psikologis Terhadap Nyeri

No. Respons Penyebab/efek

Stimulasi parasimpatik

1. Dialatasi saluran bronchial dan

peningkatan laju napas (respiration rate) Menyebabkab peningkatan asupan oksigen

2. Peningkatan frekuensi jantung Menyebabkan

(16)

peningkatan transpor oksigen

3. Vasokontriksi perifer (pucat, penigkatan tekanan darah)

Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplay darah dari perifer dan visceral ke otot rangka serta otak.

4. Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan

5. Diaphoresis Mengatur temperature

tubuh selama stress 6. Peningkatan ketegangan otot Mempersiakan otot

untuk melakukan aksi

7. Dilatasi pupil Memungkinkan

pengelihatan yang lebih baik,

8. Pucat Disebabkan suplay

darah menjauhi perifer

9. Ketegangan otot Akibat keletihan

10. Penurunan denyut jantung dan tekanan darah

Akibat stimulasi vagal 11. Pernafasan cepat dan tidak teratur Menyebabkan

pertahanan tubuh

12. Mual dan muntah Gagal akibat stress

dan nyeri yang terlalu lama

13. Kelemahan atau kelelahan Mengembalikan fungsi saluran cerna akibat pengeluaran energy fisik yang berlebihan.

(Potter & Perry, (2005); Sherwood, (2011)

2.2.8.2 Respon psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien tentang nyeri. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi marah atau frustasi. Sebaliknya, bagi klien yang memilki persepsi yang “positif” cenderung menerima nyeri yang di alaminya.

Nyeri bagi masing-masing klien mempuyai makna yang berbeda, antara lain:

a. Bahagia atau merusak b. Komplikasi seperti infeksi

(17)

c. Penyakit baru

d. Penyakit yang berulang dan fatal e. Peningkatan ketiakmampuan f. Kehilangan mobilitas g. Menjadi tua

h. Sembuh

i. Perlu untuk penyembuhan j. Hukuman karena berdosa k. Tantangan

l. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sanngat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, perpsepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor social budaya.

(Zakiyah, 2015) 2.2.8.3 Respon perilaku

Meinhart dan Mc Caferry (1983) dalam Zakiyah (2015) mendeskripsikan tiga fase pengalaman nyeri, yaitu:

a. Fase antisipasi

Fase antisipasi ini terjadi sebelum seseorang mempersepsiakn nyeri. Fase ini merupakan fase yang penting karena dapat mempengaruhi dua fase lain.

Antisipasi memungkinkan klien untuk belajar tentang nyeri dan berupaya untuk menghilangkannya dengan instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi.

b. Fase sensasi

Sensasi nyeri terjadi ketika klien mengalami nyeri. Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi: menggertakan gigi, memegang tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membunkuk, dan ekspresi wajah

(18)

yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh dan gelisah.Perawat perlu membatu klien untuk mengomunikasinya respons nyeri secara afektif.

c. Fase akibat

Fase ini terjadi katika nyeri berkurang atau berhenti. Nyeri merupakan suatu krisis sehingga setelah klien mengalami nyeri, klien mungkin masih menunjukkan gejala-gejala fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah atau depresi.Jika klien mengalami serangkaian episode nyeri yang berulang, maka periode “aftermath” dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

2.2.9 Klasifikasi nyeri

Menurut Hanley& Belfus (2008), nyeri diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

2.2.9.1 Nyeri akut

Nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.

2.2.9.2 Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.

2.2.10 Faktor faktor yang mempengaruhi nyeri 2.2.10.1 Usia

Usia merupakan variable yang penting dalam mempemgaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih

(19)

kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri.

Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata- kata juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua orang tuamya ataupun pada perawat. Sebagian anak-anak terkadang segan untuk mengungkapkan keberadaan nyeri yang ia alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang harus mereka terima nantinya.

Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindiaksi serangan jantung, nyeri dada dapat timbul karena gejala arthtritis pada spinal dan gejala ganggguan abdomen.

Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekkuensi penuaan yang tidak bias dihindari.

2.2.10.2 Jenis kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang menganggap bahwa seorang anak laki laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri. Akan tetapi dari penelitian terakhir memperlihatkan hormone seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosterone menaikan ambang nyeri pada percobaan

(20)

binatang, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri. Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial budaya dan lain-lain.

2.2.10.3 Kebudayaan

Perawat seringkali berasumsi bahwa cara berespon pada setiap individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehingga mereka mencoba mengira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri. Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintah mengindikasikan suatu ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri, akibatnya pemberian terapi bias jadi tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko-Amerika.

Seorang klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempresepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan intervensi.

2.2.10.4 Makna nyeri

Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.

Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul oleh suaminya.

2.2.10.5 Lokasi dan tingkat keparahan nyeri

Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bias jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar dan lain-lain, sebagai contoh individu

(21)

yang tertusuk jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.

2.2.10.6 Perhatian

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, tekhnik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase.

2.2.10.7 Ansietas (kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas. Sebagai contoh seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya.

2.2.10.8 Keletihan

Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu.

2.2.10.9 Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri.

(22)

2.2.10.10 Dukungan keluarga dan sosial

Indivdu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.

2.2.11 Pengkajian nyeri

Pengkajian nyeri yang factual (terkini), lengkap dan akuraat memudahkan perawat di dalam menetapkan data dasar, dalam menegakkan diagnose keperawatan yang tepat, merencanakan terapi pengobatan yang cocok, dan memudahkan perawat dalam mengevaluasi respon klien terhadap terapi yang diberikan.

Tindakan perawat yang perlu dilakukan dalam mengkaji pasien selam nyeri akut adalah, perasaan klien (respon psikologis yang muncul), menetapkan respon fisiologis klien terhadap nyeri dan lokasi nyeri dan mengkaji tingkat keparahan dan kualitas nyeri.

Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang perawat dalam memulai mengkaji respon nyeri yang di alami oleh klien, diantaranya :

2.2.11.1 Penentuan ada tidaknya nyeri

Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata. Sebaliknya, ada beberapa pasien yang terkadang justru menyembunyikan rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan.

2.2.11.2 Karakteristik nyeri (metode P,Q,R,S,T) a. Faktor pencetus (P:Provocate)

(23)

Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus- stimulus nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan observasi bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan nyeri.

b. Kualitas (Q:Quality)

Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat-kalimat tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih, tertusuk-tusuk dan lain-lain, di mana tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.

c. Lokasi (R: Region)

Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien untuk menunjukkan semua bagian/daerah yang diarasakan tidak nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar).

d. Keparahan (S:Severe)

Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini klien dimintai untuk menggambarkan nyeri yang ia rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau nyeri berat. Namun kesulitannya adalah makna dari

(24)

istilah

serta tidak adanya batasan

membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.

Hal ini juga bias disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada masing

berbeda

Skala numerik

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri den skala 0

(nyeri ringan), 4 terkontrol

Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik.

e. Durasi

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan : “kapan nyeri mulai dirasakan?”,

“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terajadi pada waktu yang sama setia

dengan kata

istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dank lien serta tidak adanya batasan

membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.

Hal ini juga bias disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada masing

berbeda-beda.

Gambar 2.1 Skala numerik

Skala numerik

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri den skala 0 sampai 10

(nyeri ringan), 4

terkontrol) dan 10 (nyeri berat tidak terkontrol) Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik.

Durasi (T:Time

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan : “kapan nyeri mulai dirasakan?”,

“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terajadi pada waktu yang sama setiap hari?”, “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau dengan kata-kata lain yang semakna.

istilah ini berbeda bagi perawat dank lien serta tidak adanya batasan

membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.

Hal ini juga bias disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada masing

beda.

Gambar 2.1 Skala numerik

Skala numerik (numerical rating scale,

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri den

sampai 10 dengan 0 (tidak ada nyeri), 1 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri sedang), 7

dan 10 (nyeri berat tidak terkontrol) Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi

Time)

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan : “kapan nyeri mulai dirasakan?”,

“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terajadi pada waktu yang sama p hari?”, “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau

kata lain yang semakna.

istilah ini berbeda bagi perawat dank lien serta tidak adanya batasan-batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.

Hal ini juga bias disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada masing-m

Gambar 2.1 Skala numerik

numerical rating scale,

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri den

dengan 0 (tidak ada nyeri), 1 6 (nyeri sedang), 7

dan 10 (nyeri berat tidak terkontrol) Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan : “kapan nyeri mulai dirasakan?”,

“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terajadi pada waktu yang sama p hari?”, “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau

kata lain yang semakna.

istilah ini berbeda bagi perawat dank lien batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.

Hal ini juga bias disebabkan karena memang masing individu

Gambar 2.1 Skala numerik

numerical rating scale, (NRS digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri den

dengan 0 (tidak ada nyeri), 1 6 (nyeri sedang), 7-9 (nyeri berat dan 10 (nyeri berat tidak terkontrol) Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan : “kapan nyeri mulai dirasakan?”,

“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terajadi pada waktu yang sama p hari?”, “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau

kata lain yang semakna.

istilah ini berbeda bagi perawat dank lien batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat.

Hal ini juga bias disebabkan karena memang asing individu

NRS)) digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan dengan 0 (tidak ada nyeri), 1-3 9 (nyeri berat dan 10 (nyeri berat tidak terkontrol).

Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan : “kapan nyeri mulai dirasakan?”,

“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terajadi pada waktu yang sama p hari?”, “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau

(25)

f. Faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.

Perawat perlu mengkaji faktor-faktor yang dapat memperberat nyeri pasien, misalnya peningkatan aktivitas, perubahan suhu, stress dan yang lainnya, sehingga dengan demikian perawat dapat memberikan tindakan yang tepat untuk mengetahui apakah klien mempunyai cara-cara sendiri yang efektif untuk menghilangkan atau menurunkan nyerinya, seperti mengubah posisi, melakukan tindakan ritual, menggosok/massage bagian tubuh yang sakit, meditasi, atau mengompres bagian tubuh yang nyeri dengan kompres dingin dan hangat.

(Prasetyo, 2010) 2.2.11.3 Respon fisiologis

Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ visceral ( misal Infark Miokard, kolik akibat kandung emopedu, atau batu ginjal) maka sistem saraf simpatis menghasilkan suatu aksi.

Respon fisiologis yang timbul akibat nyeri antara lain :

Tabel 2.3 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri Respon fisiologis terhadap nyeri

Respon simpatik Peningkatan frekuensi pernafasan Dilatasi saluran bronkiolus

Peningkatan frekuensi denyut jantung Vasokontriksi perifer

Peningkatan kadar glukosa darah Diaphoresis

Peningkatan tegangan otot Dilatasi pupil

Penurunan motilitas saluran cerna

(26)

Respon parasimpatik Pucat

Ketegangan otot

Penurunan denyut jantung/tekanan darah Pernafasan cepat dan tidak teratur Mual dan muntah

Kelemahan dan kelelahan Prasetyo, 2010

Perawat perlu untuk mengkaji klien berkaitan dengan adanya perubahan-perubahan pada respon fisiologis terhadap nyeri di atas untuk mendukung diagnose dan membantu dalam

memberikan terapi yang tepat.

2.2.11.4 Respon perilaku

Respon perilaku yang ditunjukkan klien yang mengalami nyeri bermacam macam. Perawat perlu belajar dan mengenal berbagai respon perilaku tersebut untuk memudahkan dan membantu dalam mengidentifikasi masalah nyeri yang dirasakan pasien.

Respon perilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien antara lain: mengubah posisi tubuh, mengusap bagian tubuh yang sakit, menggeretekkan gigi, menunjukkan ekspresi wajah yang meringis, mengerang, mengaduh, menjerit atau meraung.

2.2.11.5 Respon afektif

Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seseorang perawat di dalam melakukan pengkajian terhadap pasien dengan gangguan rasa nyeri. Ansietas (kecemasan) perlu digali dnegan menanyakan pada pasien seperti ini : “apakah anda saat ini merasakan cemas?”. Selain itu juga adanya depresi, ketidaktarikan pada aktivitas fisik dan perilaku menarik diri dari lingkungan perlu diperhatikan.

(27)

2.2.11.6 Pengaruh nyeri terhdap kehidupan klien

Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan dalam kegiatan sehari-harinya. Pengkajian pada perubahan aktivitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari, sehingga perawat juga mengetahui sejauh mana dia dapat membantu dalam program aktivitas pasien. Perubahan-perubahan yang perlu dikaji antara lain: perubahan pola tidur, pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari misalnya makan, minum, mandi BAK atau BAB, serta perubahan pola interaksi terhadap orang lain disekitarnya.

2.2.11.7 Persepsi klien tentang nyeri

Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap nyeri, bagaimana klien menghubungkan antara nyeri yang ia alami dengan proses penyakit atau hal lain dalam diri atau lingkungan disekitarnya.

2.2.11.8 Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri

Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji cara-cara apa saja yang biasa klien gunakan untuk menurunkan nyeri yang ia alami, mengkaji kefektifan cara tersebut dan apakah bisa digunakan saat klien menjalani perawatan di Rumah Sakit. Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat memasukkannya dalam rencana tindakan

2.2.12 Manajemen nyeri pada fraktur 2.2.12.1 Terapi farmakologi

Terapi menggunakan obat analgetik, obat analgetik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri,

(28)

mempengaruhi emosi sehingga mempengaruhi persepsi atau mengubah persepsi modalitas nyeri, sehingga obat analgetik mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri tanpa disertai kehilangan kesadaran fungsi sensasi. Transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi sinyal nyeri menyebabkan penafsiran nyeri oleh otak. Analgetik bertujuan untuk menghambat sinyal nyeri pada beberapa titik sepanjang jalur penjalaran nyeri. Analgetik dapat menghentikan pembentukan prostaglandin, menghambat transmisi nyeri disepanjang saraf, atau mengubah persepsi nyeri di dalam korteks serebral (Kneale & Davis, 2008)

Berdasarkan aksinya, obat obat analgesik dibagi menjadi 2 golongan yaitu analgesik non-opoid analgesik opoid.

Analgesik non-opoid contohnya aspirin, asitaminofen, ibuprofen, ketorolac, ketoprofen, dan tramadol memiliki durasi masa kerja obat selama 4-6 jam sekali. Sedangkan analgesik opoid contohnya morfin dan metadon durasi masa kerja obat selama 6-8 jam sekali (Zakiyah, 2015) 2.2.12.2 Terapi nonfarmakologi

Pendekatan secara farmakologik lebih banyak digunakan dalam apenatalaksanaan rasa nyeri, namun pendekatan non farmakologik merupakan pengobatan yang efektif untuk rasa nyeri yang ringan dan sedikit terjadi efek samping, serta lebih murah. Masase, relaksasi dan guide imagery, stimulasi saraf dengan listrik transkutan, penggunaan kompres panas dan dingin, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnotis dan akupresur, TENS (Transcutaneus Electrical Nerve stimulation). Tehnik- tehnik ini pada umumnya aman, tersedia dengan mudah

(29)

dan dapat dilakukan di rumah atau dalam lingkungan fasilitas perawatan akut (Suharko, 2008).

Jadi nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman bukan hanya membatasi nyeri sebagai bentuk dari kerusakan jaringan tubuh, padahal tidak setiap nyeri mengindikasikan adanya kerusakan jaringan tubuh. Misalnya pada pasien fraktur menurut penelitian Mandagi (2017) menunjukkan terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin, pekerjaan dan faktor yang mempengaruhi nyeri dengan tingkat nyeri pada pasien fraktur di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum GMIM Bethesda Tomohon.

2.3 Konsep fraktur

2.3.1 Definisi fraktur

Fraktur adalah diskontinuitas atau terganggunya kesinambungan jaringan tulang dan atau tulang rawan karena adanya trauma. Fraktur terjadi bila daya traumanya lebih besar dari daya lentur tulang. Fraktur dapat terjadi karena peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang- ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang fraktur patologis.

(Hardisman, 2014)

2.3.2 Etiologi

2.3.2.1 Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring (Wahid, 2013).

2.3.2.2 Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan (Wahid, 2013).

(30)

2.3.2.3 Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.

Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan (Wahid, 2013).

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Fraktur 2.3.3.1 Faktor Ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur (Wahid, 2013).

2.3.3.2 Faktor Instrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan tulang (Wahid, 2013).

2.3.4 Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusuk. Pendarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuknya hematoma di rongga medula tulang.

Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.

Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma, dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang

(31)

merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Rosyidi, 2013).

2.3.5 Klasifikasi fraktur

Menurut Rosyidi (2013) penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

2.3.5.1 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragman tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound, bila terdapat

hubungan antara hubungan fragman tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

2.3.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur

a. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang, tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

b. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

1) Hair Line Fraktur (patah retak rambut)

2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

2.3.5.3 Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma

(32)

a. Fraktur Transversal : Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik : Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.

c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.

d. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.

e. Fraktur Avulsi : Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

2.3.5.4 Berdasarkan jumlah garis patah

a. Fraktur Komunikatif : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

b. Fraktur Segmental : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

2.3.5.5 Berdasarkan pergeseran fragman tulang.

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : Garis patah lengkap tetapi kedua fragman tidak bergeser dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser) : Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terjadi atas:

1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu)

2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)

(33)

3) Dislokasi ad letus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)

2.3.5.6 Berdasarkan posisi fraktur

Satu batang tulang terbagi menjadi tigas bagian : a. 1/3 proksimal

b. 1/3 medial c. 1/3 distal

2.3.5.7 Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang- ulang.

2.3.5.8 Fraktur Patologis

Fraktur yang di akibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

c. Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindrom kompartement.

2.3.6 Manifestasi klinik

Menurut Rosyidi (2013) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:

2.3.6.1 Deformitas 2.3.6.2 Bengkak/edema 2.3.6.3 Echimosis (memar) 2.3.6.4 Spasme otot 2.3.6.5 Nyeri

2.3.6.6 Kurang/hilang sensasi

(34)

2.3.6.7 Krepitasi

2.3.6.8 Pergerakan abnormal 2.3.6.9 Rontgen abnormal

2.3.7 Pemeriksaan diagnostik

Menurut Wahid (2013) pemeriksaan diagnostik fraktur sebagai berikut:

2.3.7.1 Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya trauma, akan tulang.

2.3.7.2 Temogram, scan CI : memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

2.3.7.3 Hitung darah lengkap : Hb mungkin meningkat/menurun.

2.3.7.4 Peningkatan jumlah sop adalah respons stress normal setelah trauma.

2.3.7.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal

2.3.7.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple, atau cedera hati.

2.3.8 Prinsip penatalaksanaan fraktur

Pada prinsipnya penatalaksanaan fraktur adalah 4R (Hardisman, 2014):

2.3.8.1 Rekognisi adalah mengenali kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan lunak maupun jaringan tulang serta mekanisme trauma

2.3.8.2 Reduksi adalah mengembalikan jaringan atau fragmen keposisi semula (reposisi)

2.3.8.3 Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi atau imobilisasi

(35)

2.3.8.4 Rehabilitation adalah mengembalikan kemampuan bagian tubuh yang sakit agar dapat berfungsi kembali

2.3.9 Proses penyembuhan tulang

Menurut Wahid (2013) tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dbentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

2.3.9.1 Stadium satu-fase inflamasi

Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekspresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2-3 minggu.

2.3.9.2 Stadium dua-fase proliferasi

Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel perisoteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut

(36)

dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2-3 setelah terjadi fraktur dan berakhir pada minggu ke 4- 8.

2.3.9.3 Stadium tiga-fase pembentukan kallus

Fase pembentukan kallus merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrisit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenvone. Pertumbuhan jaringan brlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrosa, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragman tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous.

2.3.9.4 Stadium empat-konsolidasi

Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven bone) di ubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah diantara fragman dengan tulang yang baru.

Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan

(37)

sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

2.3.9.5 Stadium lima-remodelling

Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk selamanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.

2.3.10 Pertolongan pertama dilapangan

Menurut Hardisman (2014) pertolongan pertama yang dapat dilakukan dilapangan sebagai berikut :

2.3.10.1 Live saving : Cek ABCD

2.3.10.2 Limb saving : mencegah kerusakan lanjut bagian yang fraktur Caranya :

a. Pembalutan Tujuan :

1) Mencegah kontaminasi

2) Penekanan untuk menghentikan pendarahan 3) Pemasangan bidai

4) Memperbaiki suhu tubuh b. Pemasangan bidai

Tujuan : 1) Imobilisasi

2) Mengurangi rasa nyeri

3) Mencegah terjadinya komplikasi

(38)

4) Memudahkan transportasi korban c. Prinsip pemasangan bidai :

1) Panjang bidai mencakup 2 sendi

2) Bidai tidak mudah patah dan tidak terlalu lentur 3) Ikatan bidai mantap (dengan sistem roll on) d. Hal yang harus diperhatikan

1) Sensorik : memberikan rangsangan pada bagian distal 2) Motorik : dengan menggerakan pada sendi distal 3) Refilling kapiler : pengisian kembali kapiler yang

telah dihambat dengan memencet kuku. Normal apabila pengisian < 2 detik.

e. Pembagian bidai

1) Bidai anatomis/body splint : menggunakan bagian yang sehat sebagai bidai terhadap bagian yang lain.

2) Bidai kayu/rigid splint. Prosedur pemasangan rigid splint:

a) Sesuaikan ukuran bidai dengan panjang tangan atau kaki (melewati 2 sendi)

b) Periksa fungsi sensorik (peraba), motorik (pergerakan) dan nadi di ujung bagian yang cedera.

c) Letakan dua belah bidai di kanan dan kiri bagian yang cedera.

d) Balut bidai dengan kasa menggunakan system roll on sampai melewati dua sendi.

e) Periksa ulang fungsi sensorik, motorik serta nadi di bagian ujung yang cedera.

2.3.11 Komplikasi fraktur 2.3.11.1 Komplikasi awal

a. Kerusakan arteri

(39)

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh: tidak adanya nadi, CRT (Capillary Refill Time) menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan (Wahid, 2013).

b. Kompartement sydrom

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang (Helmi, 2012)

c. Fat embolism syndrome

Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome-FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam (Wahid, 2013).

d. Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat (Wahid, 2013).

(40)

e. Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Wahid, 2013).

f. Shock

Shock terjadi karena kehilangan darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi, ini biasanya terjadi pada fraktur (Wahid, 2013).

2.3.11.2 Komplikasi dalam waktu lama a. Delayed union

Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan waktu dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.

b. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsilidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang lebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkaan karena aliran darah berkurang.

c. Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

Jadi, fraktur adalah diskontinuitas atau terganggunya kesinambungan jaringan tulang dan atau tulang rawan karena adanya trauma. Pada penelitian

(41)

Desiartama dan Aryana (2017) menunjukkan karakteristik dari fraktur femur pada orang dewasa akibat kecelakaan lalu lintas di RSUP Sanglah tahun 2013 lebih banyak terjadi pada pria, dengan usia paling banyak 18-30 tahun, jenis fraktur terbanyak adalah fraktur tertutup, serta lokasi terbanyak pada daerah tengah.

2.4 Kerangka teori

Gambar 2.2 Kerangka teori

(Sumber : Tarwoto, (2011). Prasetyo, (2010). Rosyidi, (2013). Zakiyah, (2015).

Faktor yang

mempengaruhi nyeri:

- Usia, - Jenis kelamin - Kebudayaan - Makna nyeri - Lokasi nyeri - Perhatian - Ansietas - Keletihan - Pengalaman

sebelumnya - Dukungan

keluarga

Nyeri Fraktur

Farmakologi Non

farmakologi

Slow Deep Breathing

Meningkatkan hormon endorphin

Menurunkan hormone kortisol dan adrenalin Masase

Kompres hangat & dingin Meditasi

Hipnotis TENS

Tetap Berkurang

(42)

2.5 Kerangka konsep

Gambar 2.3 Kerangka konsep Keterangan :

= diteliti = tidak diteliti

Sebelum dilakukan perlakuan terlebih dahulu dilakukan pengukuran intensitas nyeri baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

Hal ini sebagai data dasar untuk mengetahui efek dari perlakuan, sesudah perlakuan kembali diukur intensitas nyeri, kemudian hasil dari kelompok intervensi maupun kontrol dibandingkan untuk menilai pengaruh dari perlakuan. Namun ada beberapa faktor yang tidak diteliti oleh peneliti yaitu

Slow Deep Breathing Nyeri

Nyeri sebelum Kelompok kontrol

Tanpa SDB

Kelompok intervensi

Dengan SDB 1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Suku

4. Jenis fraktur 5. Ansietas 6. Keletihan 7. Pengalaman

sebelumnya 8. Dukungan

keluarga

Nyeri sesudah

Nyeri sebelum

Nyeri sesudah

(43)

usia, jenis kelamin, suku, jenis fraktur, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya dan dukungan keluarga.

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2013).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh slow deep breathing terhadap intensitas nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Ulin Banjarmasin.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tinggi badan diukur dari titik tertinggi pada kepala (cranium) yang disebut vertex, ke titik yang paling rendah dari tumit yang merupakan bagian terendah dari tulang

Saluran air berupa lekukan yang berada di atas ataupun bawah permukaan tanah disebut drainanse. Menurut sejarah terbentuknya bisa secara alamiah dan buatan

merupakan tempat kawat (konduktor) dari tiga kumparan tiga phasa yang disebut kumparan stator, yang masing-masing kumparan mendapatkan suplai arus tiga phasa. Stator terdiri

Disebut boiler paket sebab sudah tersedia sebagai paket yang lengkap. Pada saat dikirim ke pabrik, hanya memerlukan pipa steam, pipa air, suplai bahan bakar dan

Secara selektif memodulasi serabut saraf C dan Aδ Morfin bersifat hidrofilik Efek sinergistik dengan anestesi lokal Koaktivasi reseptor alpha 2 adrenergik Dosis rendah efek

Beberapa minggu setelah terpapar virus HIV, beberapa orang mengalami penyakit yang disebut sindrom HIV akut. Indikator fase pertama infeksi meliputi demam, sakit kepala,

Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah ia mendapatkan zat kekebalan tubuh (imunoglobulin) dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan turun setelah

2.2.2 Teori Sistem informasi 2.2.2.1 Pengertian Sistem Kata “sistem” berasal dari bahasa yunani, yaitu “systema” yang artinya himpunan bagian atau kompenen yang saling berhubungan