• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan (welfare) adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu (Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain (Pengemanan, 1994 dalam Elidawati, 2003).

Kesejahteraan mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro memandang bahwa kesejahteraan dapat dinyatakan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara ilmiah. Sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat. Pendekatan ini mencakup lingkupan yang sangat luas yaitu negara atau wilayah propinsi dan lebih dikenal dengan pendekatan makro objektif. Pendekatan mikro lebih dikenal juga dengan pendekatan mikro subjektif yang memandang bahwa kesejahteraan itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sebagai keadaan sejahtera (Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003).

Konsep kesejahteraan identik dengan terpenuhinya kebutuhan individu (yang beragam), dimana makna ”Terpenuhinya Kebutuhan” antara satu individu dengan individu lain berbeda dan bersifat sangat relatif. Oleh karena untuk mengetahui kesejahteraan individu/keluarga/rumahtangga bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga diperlukan beberapa kriteria dan indikator (Rahmadona, 2004).

Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar propinsi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dalam mengembangkan indikator kesejahteraan rakyat tidak hanya menyajikan indikator dampak (output indicators) untuk menunjukkan hasil upaya pembangunan, tetapi juga menyajikan indikator masukan (input indicators) dan indikator proses (process indicators). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berikut ini akan dibahas satu per satu mengenai indikator kesejahteraan rakyat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, sebagai berikut:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Disamping

itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Kesehatan dan Gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian utama. Upaya tersebut antara lain pemberdayaan sumberdaya manusia secara berkelanjutan pengadaan atau peningkatan sarana prasarana dalam bidang medis termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau masyarakat.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka pembangunan dibidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Titik berat pendidikan formal adalah penigkatan mutu pendidikan dan perluasan pendidikan dasar. Selain itu ditingkatkan pula kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasaan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Di Indonesia, usia kerja yang digunakan untuk keperluan pengumpulan data ketenagakerjaan adalah usia 15 tahun ke atas.

5. Taraf dan Pola Konsumsi

Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasi menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

6. Perumahan dan Lingkungan

Manusia dan alam lingkungannya baik lingkungan fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan fisik bisa berupa alam sekitar yang alamiah dan yang buatan manusia. Untuk mempertahankan diri dari keganasan alam, maka manusia berusaha membuat tempat perlindungan, yang pada akhirnya disebut rumah atau tempat tinggal. Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumahtangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7. Sosial Budaya

Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

Menurut Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan Republik Indonesia Nomor 06/Men/1999 mengenai tata cara perhitungan tingkat perkembangan transmigrasi dan kesejahteraan transmigran, dapat dilihat dari empat parameter yang memiliki nilai standar yang telah ditetapkan sesuai

dengan tahun bina yang sedang dilaksanakan pada masing-masing UPT. Berikut ini empat parameter dalam menentukan tingkat perkembangan transmigrasi dan kesejahteraan transmigran yaitu:

1. Ekonomi, dengan indikator pendapatan, pemerataan, ketenagakerjaan, kontribusi permukiman transmigrasi dan keberhasilan KUD.

2. Sosial dan budaya, dengan indikator tingkat kebetahan, keamanan, pendidikan, kesehatan, KB dan partisipasi masyarakat.

3. Integrasional, meliputi tingkat konflik, perdagangan

4. Dinamika dan pelayanan oleh lembaga-lembaga sosial yang ada. 3.1.2 Definisi dan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sementara batas kemiskinan absolut yang dapat dipergunakan yakni suatu kondisi dimana tingkat pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik untuk makan, pakaian, dan perumahan (Mardinus, 1995). Sedangkan seseorang dikatakan miskin jika pendapatan per kapitanya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan. Kebutuhan minimum non pangan merupakan kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (Biro Pusat Statistik, 2004).

Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan berdasarkan indikator objektif dan indikator subjektif. Indikator objektif untuk pengukuran kemiskinan dibedakan menurut indikator moneter dan indikator bukan moneter. Indikator moneter menggunakan peubah pendapatan atau pengeluaran (sebagai aproksi) dan mengukur kemiskinan absolut. Sedangkan indikator bukan moneter memberikan pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan untuk hidup layak dan indikator ini untuk mengukur kemiskinan relatif. Pengukuran kemiskinan di Indonesia dapat diukur berdasarkan garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan yang merupakan indikator moneter, dihitung berdasarkan peubah pengeluaran makanan dan non makanan (Sumargo, 2002).

Pengukuran kemiskinan absolut membutuhkan pengetahuan untuk menentukan tingkat kebutuhan minimum. Oleh karena itu, harus diketahui dengan rinci apa saja yang termasuk kebutuhan dasar dari individu atau rumahtangga. Laporan PBB yang menyebutkan terdapat 12 komponen kebutuhan dasar, yaitu: (1) Kesehatan; (2) makanan dan gizi; (3) pendidikan; (4) kondisi pekerjaan; (5) situasi kesempatan kerja; (6) konsumsi dan tabungan; (7) pengangkutan; (8) perumahan; (9) sandang; (10) rekreasi dan hiburan; (11) jaminan sosial; (12) kebebasan (Guhardja, dkk, 1993 dalam Pudjirahaju, 1999).

Kemiskinan diklasifikasikan sekurang-kurangnya dalam lima kelas, yaitu (1) Kemiskinan absolut; apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. (2) Kemiskinan relatif; apabila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, tetapi

relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. (3) Kemiskinan kultural; mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu. (4) Kemiskinan kronis; disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian dan rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan pekerjaan dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. (5) Kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat (Sumodiningrat, 1999).

Oleh karena itu, berdasarkan pengertian kemiskinan di atas, maka untuk mengetahui seseorang atau rumahtangga miskin diperlukan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan itu sendiri. Secara umum tingkat kemiskinan di suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita nasional dan tingkat pemerataan pendapatan nasional. Maka untuk setiap tingkat pendapatan per kapita, jika semakin besar ketimpangan pendapatan akan semakin besar pula tingkat kemiskinan. Dipihak lain untuk setiap tingkat pemerataan, makin rendah pendapatan per kapita akan semakin tinggi tingkat kemiskinan.

Faktor-faktor kemiskinan lainnya yang mempengaruhi kemiskinan salah satunya yaitu jumlah anggota rumahtangga. Rumahtangga miskin pada tahun 1993 di Indonesia rata-rata mempunyai 5,9 anggota rumahtangga, sedangkan jumlah rata-rata anggota rumahtangga tidak miskin sebesar 4,3. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibandingkan rumahtangga yang tidak miskin. Terlebih lagi rumahtangga miskin di daerah pedesaan rata-rata mempunyai 6,1 anggota rumahtangga dibandingkan dengan 4,1 pada rumahtangga yang tidak miskin (Kartasasmita, 1996). Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah pedesaan ternyata lebih besar lagi dibandingkan dengan rumahtangga pada umumnya. Dari segi lain dapat dilihat bahwa corak lama masyarakat yang menginginkan banyak anak untuk membantu mencari nafkah, masih mewarnai masyarakat miskin.

Kelompok masyarakat miskin dan keterbelakangan pada dasarnya dapat dicirikan oleh rendahnya konsumsi gizi minimal per kapita, pemilikan lahan yang sempit, pendapatan per kapita yang rendah, pemilikan lahan yang sempit, pendapatan per kapita yang rendah, kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin, serta partisipasi rakyat yang minim di dalam pembangunan. Beberapa faktor penyebab antara lain adalah kurangnya modal bagi pengemban usaha dan sumberdaya alam, kurangnya pengembangan usaha, langkanya lapangan kerja serta struktur masyarakat yang menghambat (Mangkuprawira, 1993).

Kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab. (1) Rendahnya taraf pendidikan dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan

sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. (2) Rendahnya derajat kesehatan, taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. (3) Terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu. (4) Kondisi keterisolasian, banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Penduduk tersebut hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya(Kartasasmita, 1996).

Dokumen terkait