• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

1.5.1.5 Konsep Jual Beli

25

mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality ofopportunity.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakn bahwa keadilan hanya dapat dicapai apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank tersebut di atas dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan maka hubungan antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi konsep justice asfairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.

1.5.1.5Konsep Jual Beli

Dalam Teori Jual Beli, jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian atau persetujuan khusus yang ada dalam BW mulai Pasal 1457 BW sampai dengan Pasal 1540 BW. Sedangkan untuk definisi dari jual beli sendiri disebutkan dalam Pasal 1457 BW.33

Jadi perjanjian jual beli adalah perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana si penjual berjanji akan menyerahkan hak sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar harga barang tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara penjual dan pembeli.

33

Salim, H. S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 49.

26

Dari pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 BW tersebut, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam pihak yang satu (penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga barang yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.34

Disamping jual beli yang diatur oleh BW (yang tertulis) di dalam pergaulan masyarakat di Indonesia juga dikenal suatu pengertian jual beli yang diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis).

Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang artinya bahwa jual beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya bahwa jual beli itu dianggap telah dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga yang belum dibayar (masih berhutang). Jadi menurut Hukum Adat yangdinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka yang dilakukan antara kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan pembayaran harga pembelian. Maka selama penyerahan belum terjadi, belumlah

34

27

ada terjadi jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si pembeli.35

Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka lahirlah jual beli yang sah dan mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 BW). Pasal 1458 BW ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang dirumuskan dalam Pasal 1457 BW.

Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 1457 BW dan Pasal 1458 BW pengertian jual beli yang dianut oleh BW adalah harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Persetujuan/kata sepakat

2. Kewajiban menyerahkan barang

3. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang.

Apabila diteliti unsur-unsur tersebut sifatnya terbatas, sehingga berdasarkan unsur-unsur tersebut dapat dikatakan jual beli menurut BW hanya mempunyai sifat ”obligatoir” (mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke werking,” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya.36

35

A. B Loebis, 1976, Jual Beli Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hal. 5.

36

Djoko Prakoso dan Bambang Riyani Lany, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu Di Indonesia, Jakarta, hal. 3

28

Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenarnya adalah hak dan kewajiban si penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si pembeli. Perihal kewajiban yang utama terdapat pada Pasal 1474 BW, yaitu ia mempunyai kewajiban utama yaitu menyerahkan barangnya dan menanggung. Sedangkan dalam Pasal 1516 BW, adalah memberikan hak kepada pembeli untuk menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya.

1. Kewajiban pihak penjual

Dalam sistematika BW, kewajiban si penjual diatur dalam Buku III, Bab Kelima, Bagian Kedua mulai dari Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512 BW. Menurut BW, bagi pihak penjual ada dua kewajiban, yaitu :

a. Kewajiban menyerahkan barangnya

Kewajiban penjual dalam penyerahan barang yang diartikan sebagai suatu penyerahan pemegangan barang secara nyata, sekaligus juga dengan hak milik atas barang-barang yang diperjualbelikan. Kewajiban menyerahkan hak milik, meliputi perbuatan yang menurut hukum diperlakukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

BW, mengenal 3 (tiga) macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, sehingga menurut BW, terdapat tiga macam penyerahan hak milik yang masingmasing barang itu :

1) Barang bergerak

Untuk barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan atas barang itu. Dalam Pasal 612 BW disebutkan : “penyerahan kebendaan

29

bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila. Kebendaan yang harus diserahkan dengan alas an hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.”

2) Barang tetap (tak bergerak)

Untuk barang tetap (tak bergerak) penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “nama”melalui pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpanan hipotik, yaitu Pasal 616 BW: ”Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 BW.” Pasal 620 BW: “dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga Pasal lalu, pengumuman tersebut di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari salinan akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke Kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukannya dalam register. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik, sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau Keputusan itu agar penyimpan mencatat dari register yang bersangkutan”.

30

3) Barang tak bertubuh

Barang tak bertubuh penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 BW yang berbunyi : “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan tiaptiap piutang surat bawa, dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan piutang karena surat tunjuk, dilakukan dengan menyerahkan surat disertai dengan endorsement’.

Sehingga berdasarkan BW, hak milik belum berpindah dengan perjanjian jual beli. Hak milik baru berpindah dengan levering atau penyerahan. Maka dalam BW, levering merupakan suatu perbuatan hukum guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari macam barang yang dipindahkan, seperti diterangkan di atas.

b. Kewajiban menanggungnya

Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si pembeli tidak akan diganggu dalam menikmati barang yang ia sudah beli dan sudah di terimanya.

Menurut Pasal 1491 BW, penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalah:

1) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram

2) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. 2. Kewajiban pihak pembeli

Sebenarnya hanya ada satu kewajiban si pembeli, yaitu untuk membayar harga barang yang dibelinya seperti yang disebutkan dalam Pasal

31

1513 BW yaitu: kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana di tetapkan menurut perjanjian.

“Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu Pasal Undang-undang namun sudah dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak maka akan merubah perjanjian itu sendiri. Misalnya apabila harga itu berupa barang maka perjanjiannya adalah “tukar menukar” atau apabila harganya adalah jasa maka perjanjiannya adalah perjanjian kerja.

Dalam perjanjian “jual beli” sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dipihak lain ada uang. Tergantung macamnya uang tidak harus dalam bentuk rupiah karena terjadinya di Indonesia tetapi para pihak bisa menentukan lain.

Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seorang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak yang ketiga ini tidak mampu untuk perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu pembelian (Pasal 1465 BW).

Hal ini berarti, bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adealah suatu perjanjian dengan “syarat tangguh”, karena perjanjian baru akan jadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh orang tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli

32

harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan (levering) barangnya dilakukan (Pasal 1514 BW).

Transaksi jual beli menurut hukum perdata menganut asas konsensualitas, yang berarti kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini adalah suatu asas dalam perjanjian yang timbul sejak tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila telah tercapai mengenai hal-hal yang pokok, yakni adanya kesepakatan, kedua belah belah pihak cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dalam hal ini tidak diperlukan suatu formalitas.37

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.38

Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang

37

R. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 15. (Selanjutnya disebut Subekti III).

38

Muchtar Rudianto, 2010, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai Perjanjian Pendahuluan, Rajawali Press, Jakarta, hal.38

33

sering timbul adalah persyaratan yang lahir kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan di sisi lain misalnya, pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua harga hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.39

Pengertian Perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkan Pengikatan Jual Beli pengertiannya menurut R. Subekti40 dalam bukunya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.41

Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan

39 Ibid. 40

R. Subekti I, Op.Cit, hal.75. 41

Herlien Budiono, 2004, “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Artikel Majalah Renvoi, edisi Tahun I, No 10, Bulan Maret, hal. 57.

34

maka perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya.

Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam klausul perjanjiannya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat agar perjanjian pokoknya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli tersebut dapat ditanda tangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti janji untuk melakukan pengurusan sertipikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya.Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.42

42

Kamaluddin Patradi, 2010, Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, Gamma Press, Yogyakarta, hal.20

35

Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.

Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris adalah suatu perjanjian pengikatan jual beli atas objek tanah yang dibuat antara calon penjual dan calon pembeli yang dibuat sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB). Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang bersertipikat hak milik dapat dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan pembuatan akta jual beli wajib dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena objek yang diperjualbelikan yakni tanah merupakan benda yang tidak bergerak yang pengalihan haknya melalui suatu perbuatan hukum jual beli harus dibuat melalui suatu akta PPAT maka sebelum dibuat, akta jual beli tersebut pada umumnya perlu dilakukan pemenuhan sejumlah persyaratan baik oleh penjual maupun oleh pembeli.43 Pemenuhan persyaratan dari pihak penjual pada umumnya berhubungan dengan surat-surat sebagai tanda bukti hak milik atas tanah tersebut maupun surat keterangan hak waris yang masih dalam pengurusan apabila tanah yang akan dijual tersebut merupakan harta warisan.44

Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan

43

Aditya Sudarnanto, 2009, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Antara Kewenangan Dan Kewajiban, Pelita Ilmu, Semarang, hal.21.

44

36

jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.45

Selanjutnya mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.46 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA), di negara kita masih terdapat “dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat (tanah Eropah).47

Dalam pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli.

Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan

45

Ibid, hal. 57. 46

Harun Al Rashid, 1987, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50.

47

A.P. Parlindungan, 1973, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, hal. 40.

37

bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).48

Sehubungan dengan hal tersebut Boedi Harsono berpendapat bahwa dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual beli, tukar-manukar, hibah) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam arti pembeli telah menjadi pemegang haknya yang baru.49

Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem yang dianut BW. Menurut sistem BW jual beli hak atas tanah dilakukan dengan membuat

akta perjanjian jual beli hak dihadapan notaris, dimana masing-masing pihak saling

berjanji untuk melakukan suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan

tanahnya kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya.50

Perjanjian jual beli yang dianut BW tersebut bersifat obligatoir, karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam sistem BW tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of ownership”).51

48

K. Wantjik Saleh, 1973, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 30. 49

Boedi Harsono, 1983, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Bandung-Jakarta, hal. 14. (selanjutnya disebut Boedi Harsono I)

50

Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung, hal. 86.

51

38

Sedangkan pengertian jual beli tanah yang tercantum dalam Pasal 1457 BW menyatakan bahwa jual beli tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disetujui.52

Selanjutnya Pasal 1458 BW mengatakan : “Jual beli telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang benda dan harganya, walaupun benda itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.” Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 BW: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612 BW, Pasal 613 BW dan Pasal 616 BW”.

Berkaitan dengan hal tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat, bahwa jual beli menurut hukum barat terdiri atas dua bagian yaitu : perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya. Yang keduanya itu terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga walaupun yang pertama sudah selesai, biasanya dengan suatu akta notaris, tetapi kalau yang kedua belum dilakukan, maka status tanah masih milik penjual, karena disini akta notaris hanya bersifat obligatoir.53 Setelah Berlakunya UUPA sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA, hanya manyatakan, jual beli, penukaran, penghibahan, penberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

52

Wiryono Prodjodikoro I, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, hal. 13. (selanjutnya disebut Prodjodikoro, Wiryono I).

53

39

Sehubungan dengan hal tersebut, Boedi Harsono berpendapat mengingat bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan

Dokumen terkait