• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

1.5.1.1 Teori Keadilan

15

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memberikan informasi dalam memahami asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.5Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger15 sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.

Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan Teori Kehendak, sedangkan asas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Asas Kepatutan dan Prinsip Rasionalitas serta konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Jual Beli.

1.5.1.1Teori Keadilan

Transaksi jual beli tanaj mempersyaratkan adanya itikad baik antara penjual dan pembeli. Itikad baik penjual dengan menunjukkan kejujuran mengenai tanah yang dijualnya meskipun ada cacat yang tersembunyi yang

15

Fred N. Kerlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-17.

16

mungkin tidak mudah untuk diketahui pembeli, sedangkan itikad baik pembeli ditunjukkan dengan sikap percaya dari pembeli atas penawaran yang diajukan oleh penjual. Adanya itikad baik antara penjual dan pembeli itu dapat mewujudkan keadilan dalam transaksi jual beli tanah yang berarti juga tidak ada pihak baik penjual ataupun pembeli yang dirugikan. Oleh karena itu, Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama yaitu cara mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang berarti juga mewujudkan keadilan diantara pihak penjual dan pembeli..

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,16 yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.17 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

16

Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.

17

Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.

17

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.18 Oleh karena itu hukum diciptakan untuk menggapai keadilan melalui peraturan perundang-undangan yang adil sehingga dapat memberi kemanfaatan bagi orang banyak. Dengan demikian dari 3 tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan, keadilan didudukan pada urutan yang pertama dan utama.

Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.19

18

Achmad Ali,Op.Cit., hal. 69 19

Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, hal. 95-96.

18

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.

Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.20 Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.21 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

Pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato,

20

E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.96.

21

Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.

19

menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.22

Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law)23. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.

Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut).24

22

W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. 23

Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54.

24

John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Mahendra, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 11.

20

Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).25

Dokumen terkait