Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian 3.3 Hipotesis
1. Kadar MDA serum berkorelasi positif dengan Melasma Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma.
2. Kadar MDA serum lebih tinggi pada subyek melasma dibandingkan dengan bukan melasma.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Subjek diambil dari penderita yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar.
Gambar 4.1 Rancangan cross-sectional
Gambar 4.1 Rancangan cross-sectional 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi RSUP Sanglah Denpasar, mulai Maret 2014 hingga April 2014. Penelitian juga akan melibatkan Laboratorium Prodia Denpasar, sebagai laboratorium rujukan pemeriksaan kadar MDA.
POPULASI SAMPEL
Melasma --- Bukan Melasma Kadar MDA Kadar MDA Nilai MASI
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi target
Semua penderita dengan melasma.
4.3.2 Populasi terjangkau
Penderita melasma yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Maret 2014 hingga April 2014.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a. Semua penderita melasma yang berkunjung di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar.
b. Warga Negara Indonesia (WNI).
c. Penderita adalah laki-laki dan perempuan.
d. Keadaan umum baik.
e. Bersedia untuk mengikuti penelitian dan menandatangani lembar informed consent.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi
a. Subyek adalah seorang perokok.
b. Subyek adalah seorang wanita hamil.
c. Subyek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis.
d. Subyek sedang menderita penyakit peradangan kronis pada kulit.
e. Subyek sedang mengkonsumsi antioksidan dalam satu bulan terakhir
4.3.3 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, yaitu pengunjung Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Maret 2014 hingga April 2014, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dijadikan subjek penelitian sampai memenuhi jumlah sampel yang diperlukan.
4.3.4 Besar sampel
Penentuan besar sampel penelitian dengan menggunakan rumus Ronald Fisher’s classis z transformation sebagai berikut (Dahlan, 2008; Madiyono, et al., 2010) :
Pada penelitian ini menggunakan koefisien korelasi (r = 0,4), interval kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% (α = 0,05; Zα = 1,645), dan power penelitian sebesar 80% (β = 0,20; Zβ = 1,282). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan untuk rancangan ini adalah 51 orang.
4.4 Variabel Penelitian
1. Variabel tergantung : melasma.
2. Variabel bebas : malondialdehid (MDA).
3. Variabel kontrol :.kehamilan, perokok, penyakit sistemik yang kronis, peradangan kronis pada kulit, penggunaan obat antioksidan
4.4.1 Definisi operasional variabel
1. Melasma adalah hipermelanosis ireguler berwarna coklat terang sampai coklat gelap pada daerah yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, terutama di dahi, kedua pipi, hidung, di atas bibir, dagu dan kadang-kadang leher. Diagnosis melasma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa lampu Wood. Kedalaman lesi dapat ditentukan dengan lampu Wood dimana lesi epidermal akan tampak semakin jelas bila terkena sinar lampu Wood sedangkan lesi dermal akan tampak semakin tidak jelas, dan tipe campuran merupakan campuran dari keduanya.
2. Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan biomarker dari stres oksidatif, dimana kadar MDA satuannya μM/L, ditentukan dengan melakukan pemeriksaan spektrofotometrik dari bahan sampel plasma yang diambil dari pembuluh darah vena subyek penelitian sebanyak 6 cc.
3. Melasma Area and Severity Index (MASI) adalah derajat keparahan melasma ditentukan berdasarkan skor Melasma Area and Severity Index (MASI) yang diperkenalkan pertama kali oleh Kimbrough-Green et al.
Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H)
4. Bukan melasma adalah individu yang tidak memiliki tanda-tanda melasma..
5. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam tubuh seorang wanita yang ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turur dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT).
6. Perokok adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi rokok 5 batang per hari dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
7. Penyakit sistemik yang kronis adalah subjek sedang menderita penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, penyakit keganasan, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
8. Peradangan kronis pada kulit adalah suatu kelainan pada kulit yang timbul karena proses peradangan yang kronis seperti psoriasis, vitiligo, dermatitis atopi dan akne, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
9. Pengguna antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi antioksidan dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.
4.5 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subjek penelitian.
4.6 Instrumen Penelitian 4.6.1 Alat-alat
1. Lampu Wood.
2. Kamera digital.
3. Sarung tangan.
4. Tourniket.
5. Spuit.
6. Spektrofotometer.
7. Kuvet spektrofotometer dengan panjang jalur optik 1cm.
8. Water bath atau heat block untuk mengontrol suhu pada 45oC ± 1oC.
9. Tube disposable dan stopper (kaca atau polietilen).
10. Micro-centrifuge.
4.6.2 Reagen
1. Reagen R1 : N-metil-2-phenylindole dalam acetonitrit.
2. Reagen R2 : asam hidroklorit terkonsentrasi.
3. Standart MDA : 1,1,3,3-tetramethoxypropane (TMOP) dalam tris-HCl.
4. Butylated Hydroxytoluene (BHT) dalam acetonitrit.
5. Probucol dalam metanol.
6. Metanol
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Alur penelitian
1. Penderita yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Anamnesis meliputi : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu (dermatitis kontak karena kosmetik,
epilepsi, dan keganasan), riwayat pengobatan, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat sosial.
b. Pemeriksaan fisik, meliputi : tanda-tanda vital, status general, dan status dermatologi.
2. Penderita yang telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diminta untuk menandatanagani informed consent sebagai persetujuan keikutsertaan dalam penelitian.
Sedangkan penderita yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dikeluarkan dari subjek penelitian.
3. Pemeriksaan tipe melasma, dengan menggunakan lampu Wood.
4. Pemeriksaan nilai MASI.
5. Pengambilan darah vena subjek penelitian.
6. Pemeriksaan kadar MDA.
Gambar 4.2. Protokol penelitian DATA PENELITIAN
Nilai MASI
Kadar MDA Populasi target Semua penderita melasma
Populasi terjangkau
Semua penderita melasma yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Maret 2014-April 2014
Sampel penelitian
Pemeriksaan nilai MASI Pengambilan darah vena
Analisis statistik
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Informed consent
4.7.2 Pengambilan data
Prosedur pengukuran kadar MDA meliputi pengambilan spesimen penelitian dan pemeriksaan kadar MDA yang akan dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar.
4.7.2.1 Pengambilan spesimen
Spesimen yang diambil adalah darah yang diambil dari vena lengan subjek penelitian, dengan prosedur sebagai berikut :
1. Lengan subjek diikat dengan tourniket dan subjek diminta menggenggam tangannya untuk memudahkan identifikasi vena.
2. Desinfeksi daerah sekitar vena yang dituju dengan menggunakan alkohol swab.
3. Penusukan vena yang dituju dengan menggunakan spuit yang telah tersedia, hingga tampak darah mengalir dalam spuit.
4. Melepas tourniket pada lengan, dan subjek dapat membuka genggaman tangannya.
5. Menutup bekas tusukan dengan menggunakan plester.
4.7.2.2 Pemeriksaan kadar MDA
Pemeriksaan kadar MDA dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar, dengan prosedur sebagai berikut :
1. Menambahkan 10 μL probucol pada masing-masing tube assay.
2. Menambahkan 20 μL sampel atau standart pada tube assay tersebut.
3. Menambahkan 640 μL reagen R1 yang telah dilarutkan ke dalam masing-masing tube.
4. Mencampur dengan memusingkan masing-masing tube.
5. Menambahkan 150 μL reagen R2.
6. Stopper masing-masing tube dan mencampur secara merata.
7. Menginkubasikan pada suhu 45oC selama 60 menit.
8. Men-centrifuge sampel yang keruh (misal 10.000 x selama 10 menit) untuk mendapatkan supernatan yang jernih.
9. Memindahkan supernatan ke dalam kuvet.
10. Mengukur absorbance-nya pada 586 nm.
4.8 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data untuk penelitian observasional analitik:
1. Analisis statistik deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik umum subyek dengan melasma yaitu: jenis kelamin, umur, pola melasma, tipe melasma dan rata-rata MASI.
2. Uji normalitas dan homogenitas data
Uji normalitas data pada subyek melasma menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov karena sampel lebih dari 30, sedangkan pada subyek bukan melasma menggunakan uji Shapiro-Wilk (jumlah sampel kurang dari 30). Data berdistribusi nomal bila nilai p > 0,05 pada uji normalitas. Sedangkan uji homogenitas data menggunakan uji Lavene, varian data berbeda jika nilai p < 0,05.
3. Analisis komparasi
a. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada subyek perempuan dan laki-laki menggunakan uji T tidak berpasangan (distribusi data normal).
b. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada masing-masing kelompok umur menggunakan metode One-way Anova (distribusi data normal).
c. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada masing-masing pola melasma menggunakan uji T tidak berpasangan (distribusi data normal).
d. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada masing-masing tipe melasma menggunakan uji One-way Anova (distribusi data normal). Analisis dilanjutkan dengan uji Post Hoc metode LSD untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA antar kelompok tipe melasma.
e. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum antara subyek dengan melasma dengan bukan melasma dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney karena data tidak berdistribusi normal.
4. Analisis korelasi
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI dilakukan analisis korelasi menggunakan uji Spearman’s rho karena data tidak berdistribusi normal.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Data karakteristik subyek dengan melasma dan bukan melasma yang meliputi jenis kelamin, umur, pola melasma dan tipe melasma disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik subyek penelitian
Pada penelitian ini digunakan 51 subyek melasma dan 29 bukan melasma.
Pada subyek melasma berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa perempuan
lebih banyak yaitu 47 orang (92,16%) dibandingkan laki-laki sebanyak 4 orang (7,84%). Pada subyek bukan melasma didapatkan perempuan sebanyak 27 orang (93,1%) dan laki-laki sebanyak 2 orang (6,9%) seperti terlihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Distribusi pasien perempuan dan laki-laki pada sampel
penelitian
Kelompok umur subyek dengan melasma yang paling banyak adalah 41-50 tahun sebanyak 21 orang (41,2%). Rerata umur subyek melasma adalah 41,6 tahun, umur minimum adalah 23 tahun dan umur maksimum adalah 56 tahun.
Kelompok umur subyek bukan melasma yang paling banyak didapatkan adalah 31-40 tahun sebanyak 12 orang (41,4%) seperti tampak pada Gambar 5.2 berikut ini. Rerata umur subyek bukan melasma adalah 39,97 tahun, umur minimum adalah 22 tahun dan umur maksimum adalah 55 tahun.
74
Gambar 5.2 Distribusi kelompok umur (tahun) sampel penelitian Pola melasma berdasarkan gambaran klinisnya yang terbanyak adalah bentuk sentrofasial sebanyak 42 orang (86,27%) dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Tipe melasma yang paling banyak ditemukan adalah tipe campuran sebanyak 27 orang (52,94%) dapat dilihat pada Gambar 5.3. Nilai rerata MASI pada subyek
Gambar 5.4 Distribusi tipe melasma pada sampel penelitian 5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Pada data penelitian kadar MDA serum dan nilai MASI pada subyek melasma dilakukan uji normalitas seperti disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil uji normalitas data untuk korelasi
p = nilai signifikansi
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa data kadar MDA tidak berdistribusi normal karena nilai p < 0,001 (p < 0,05), sedangkan data MASI serum menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, berdistribusi normal karena nilai p = 0,200 (p > 0,05).
Pada data penelitian kadar MDA serum pada subyek dengan melasma dan bukan melasma dilakukan uji normalitas data seperti disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hasil uji normalitas data untuk beda rerata
Berdasarkan data 5.3 didapatkan bahwa data kadar MDA pada subyek melasma (p = 0,002) dan bukan melasma (p < 0,001) tidak berdistribusi normal (p < 0,05).
Uji homogenitas data menggunakan uji Lavene, varian data berbeda jika nilai p <
0,05.
5.3 Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan Tipe Melasma
Data rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin, umur, pola dan tipe melasma disajikan pada tabel 5.4 berikut ini. Perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin diuji dengan menggunakan uji T tidak berpasangan sedangkan uji one-way Anova digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan kelompok umur. Uji T tidak berpasangan juga digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan pola melasma sedangkan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan tipe melasma menggunakan uji one-way Anova.
Tabel 5.4 Rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin, umur, pola dan tipe melasma
No Karakteristik Kadar MDA Serum (μM/L) P Rerata ± Simpang Baku IK 95%
1. Jenis kelamin
Perempuan 0,3895 ± 0,18927 0,4117 ± 0,18280 didapatkan adanya perbedaan kadar MDA serum yang signifikan antara masing-masing kelompok umur dengan nilai p = 0,394. Perbedaan kadar MDA serum berdasarkan pola melasma juga tidak signifikan dengan nilai p = 0,294. Berbeda dengan tipe melasma, didapatkan perbedaan kadar MDA serum yang signifikan pada tipe melasma epidermal (0,3830 ± 0,06208) dengan tipe campuran (0,5359 ± 0,22647) dan tipe dermal (0,5075 ± 0,12685).
5.4 Korelasi antara Kadar MDA serum dengan Nilai MASI
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA dengan nilai MASI pada penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena salah satu data tidak berdistribusi normal yaitu data MDA. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif sangat kuat (r = 0,913; p < 0,001) antara kadar MDA serum dengan MASI seperti disajikan pada Tabel 5.5, artinya semakin besar kadar MDA serum diikuti dengan nilai MASI yang semakin tinggi.
Tabel 5.5 Korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI
r = nilai korelasi, p = nilai signifikansi, n = jumlah
Gambaran scatter plot hasil korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI disajikan pada Gambar 5.5. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar MDA serum maka nilai MASI semakin tinggi
Gambar 5.5 Scatter plot korelasi antara kadar MDA serum dengan MASI 5.5 Kadar MDA Serum pada Subyek Melasma dan Bukan Melasma Analisis perbedaan rerata kadar MDA serum subyek melasma dan bukan melasma menggunakan uji Mann-Whitney karena data tidak berdistribusi normal.
Tabel 5.6 Beda rerata kadar MDA serum subyek melasma dan bukan melasma Variabel Melasma
n = jumlah, SD = standard deviation, p = nilai signifikansi, IK = interval kepercayaan
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5.6 didapatkan bahwa beda rerata kadar MDA serum antara subyek melasma dan bukan melasma pada penelitian ini adalah 0,2278 μM/L. Rerata kadar MDA pada subyek dengan melasma (0,4737 μM/L) ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan subyek bukan melasma (0,2459 μM/L).
Setelah dilakukan uji Mann-Whitney didapatkan bahwa kadar MDA serum pada subyek MASI
r = 0,913, p< 0,001
melasma berbeda secara signifikan dengan subyek bukan melasma dengan nilai p <
0,001. Hasil perbedaan rerata ini ditunjukkan pada Gambar 5.6, tampak bahwa rerata kadar MDA serum pada kelompok subyek melasma (kanan) lebih tinggi daripada bukan melasma (kiri).
Gambar 5.6 Box plot kadar MDA serum pada subyek melasma dan bukan melasma
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 51 subyek melasma yang masuk dalam kriteria inklusi dan 29 subyek bukan melasma, tidak ada subyek yang hilang dalam penelitian.
Pada subyek melasma dan bukan melasma dilakukan pengambilan darah vena untuk pengukuran kadar MDA serum serta pemeriksaan nilai MASI pada subyek melasma.
Pada penelitian ini didapatkan frekuensi yang lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 47 orang (92,2%) dibandingkan laki-laki sebesar 4 orang (7,8%) dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 11,75:1. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya.
Penelitian oleh Armini et al. (2012) di RSUP Sanglah Denpasar ditemukan kejadian melasma selama tahun 2009-2011 didapatkan jenis kelamin perempuan lebih banyak menderita melasma daripada laki-laki, yaitu perempuan 485 orang (99,59%) dan 2 orang laki-laki (0,41%). Penelitian ini didukung oleh penelitian Argentina et al. (2012) di RS. Dr. Moh. Hoesin/ FK Unsri Palembang tahun 2007-2010, distribusi pasien melasma berdasarkan jenis kelamin, wanita 128 pasien (98,46%) dan pria 2 orang (1,53%).
Melasma umumnya dijumpai pada perempuan usia reproduksi (child bearing age), sedangkan pada laki-laki hanya ditemukan 10% kasus (Nicolaidou et al., 2007. Di Indonesia perbandingan kasus perempuan dan laki-laki adalah
24:1 (Soepardiman, 2009), Pada banyak kasus, terdapat hubungan yang erat dengan aktivitas hormonal, dimana melasma sering muncul pada kehamilan dan penggunaan pil kontrasepsi. Faktor lain yang diduga terlibat adalah penggunaan obat-obatan yang bersifat fofosensitif, tumor ovarium jinak, disfungsi tiroid, dan kosmetik (Lin et al., 2009).
Berdasarkan kategori umur, pada penelitian ini didapatkan kejadian melasma lebih banyak pada kelompok rentang umur 41-50 tahun sebanyak 21 orang (41,2%) seperti terlihat pada Tabel 5.1. Rerata umur subyek melasma 41,6 tahun, umur minimum adalah 23 tahun dan umur maksimum 56 tahun. Penelitian ini didukung oleh penelitian Armini et al. (2012) distribusi umur terbanyak adalah kelompok umur 41-50 tahun. Penelitian di Turki pada 50 pasien melasma yang datang ke Dermatology Outpatient Clinic of Gaziosmanpasa University Medical Faculty selama periode September 2011-September 2012 didapatkan rata-rata kelompok umur melasma adalah 36,34 ± 7,61 (Seckin et al., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Ortonne et al. (2009) di sembilan klinik yang tersebar di seluruh dunia didapatkan rata-rata kelompok umur melasma adalah 42,9 ± 9,6, di Amerika Serikat 45,0 ± 10,7, di Perancis 41,0 ± 7,46, di Jerman 35,1 ± 7,18, di Belanda 40,7 ± 8,86, di Meksiko 39,5 ± 7,77, di Italia 41,3 ± 5,91, di Singapura 48,7 ± 6,71, di Korea Selatan 37,5 ± 9,33 dan di Hong Kong 48,7 ± 7,83.
Melasma biasanya mengenai wanita umur 30-50 tahun, namun dapat pula terjadi pada wanita dewasa muda yaitu wanita usia belasan tahun yang hamil atau menggunakan kontrasepsi atau dengan riwayat pajanan sinar matahari yang berlebihan (Lee et al., 2006).
Melasma sering dijumpai pada daerah yang terpapar sinar matahari seperti atas bibir, hidung, pipi, dagu dan dahi. Paparan sinar matahari sebagai pencetus yang utama karena dapat menimbulkan peroksidasi lipid pada membran seluler menghasilkan radikal bebas yang menstimulasi melanogenesis. Selain itu, keratinosit setelah paparan sinar ultraviolet menghasilkan beberapa mediator seperti interleukin alfa (IL-alfa) dan endothelin-1 (ET-1) yang menstimulasi melanogenesis (Seckin et al., 2013 ; Park dan Yaar, 2012).
Berdasarkan gambaran klinis, melasma dibagi menjadi tiga bentuk yaitu bentuk sentrofasial, malar, dan mandibular. Pada bentuk sentrofasial, lesi meliputi pipi, dahi, hidung, atas bibir, dan dagu (63%). Bentuk malar, lesi mengenai daerah pipi dan hidung (21%), sedangkan pada bentuk mandibular, lesi mengenai ramus mandibularis (16%) (Baumann dan Saghari, 2009). Manifestasi tipe klinis yang diperoleh pada penelitian ini yang terbanyak adalah bentuk sentrofasial 42 orang (82,4%). Sesuai dengan penelitian Armini et al. (2012) yang mendapatkan hasil pola melasma terbanyak adalah tipe sentrofasial pada 273 pasien (56,06%), yang diikuti oleh tipe malar pada 209 pasien (42,92%) dan hanya didapatkan 5 pasien (1,02%) dengan tipe mandibular. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Argentina et al. (2012) di RS. Dr. Moh. Hoesin Palembang, pola melasma terbanyak tipe malar 84 pasien (64,61%) sedangkan sentrofasial 10 pasien (7,69%).
Berdasarkan Tabel 5.1 didapatkan tipe melasma yang terbanyak pada penelitian ini adalah melasma tipe campuran 27 pasien (52,94%), diikuti tipe epidermal 20 pasien (39,22%) dan tipe dermal 4 pasien (7,84%). Penelitian yang
dilakukan Armini et al. (2012) juga mendapatkan tipe campuran sebagai tipe melasma terbanyak dijumpai pada 282 pasien (57,90%), diikuti oleh tipe epidermal pada 179 pasien (36,76%) dan tipe dermal yang dijumpai pada 26 pasien (5,34%). Hal ini sedikit berbeda dengan sebuah penelitian di Singapura yang menyatakan bahwa lebih dari 2/3 kasus merupakan melasma tipe epidermal (Goh et al., 1999). Penelitian oleh Al-Hamdi et al. (2008) mendapatkan tipe melasma terbanyak adalah tipe epidermal sebesar 60,5% (118/196), tipe campuran sebesar 23,9% (47/196) dan tipe dermal sebesar 15,8% (31/196).
Pemeriksaan dengan lampu Wood digunakan untuk mengetahui tipe melasma. Melasma tipe epidermal lebih mudah untuk diobati daripada melasma tipe dermal karena melanin kadarnya lebih tinggi pada kulit sehingga lebih mudah dicapai oleh obat topikal., Penentuan tipe ini menjadi sulit karena tingginya jumlah pasien yang mempunyai melasma tipe campuran epidermal/dermal, namun konsensus menyatakan pasien yang mempunyai melasma epidermal yang dominan berespon lebih baik terhadap pengobatan daripada yang mempunyai komponen dermal yang luas (Baumann dan Saghari, 2009).
Rerata nilai MASI dari 51 subyek dengan melasma dalam penelitian ini adalah 22,5 ± 2,1 tidak jauh berbeda dengan penelitian Seckin et al. (2013) pada 50 subyek dengan melasma mendapatkan rerata nilai MASI adalah 21,54 ± 8,84.
6.2 Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan Tipe Melasma
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA serum yang signifikan berdasarkan jenis kelamin, umur dan pola melasma. Rerata kadar MDA
serum pada subyek perempuan (0,3895 ± 0,18927) dan laki-laki (0,4117 ± 0,18280) dengan nilai p = 0,783. Perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan kelompok umur tidak signifikan (nilai p = 0,394), begitu juga beda rerata kadar MDA serum tidak signifikan berdasarkan pola melasma dengan nilai p = 0,294.
Penelitian Nielsen et al. (1997) yang menganalisa hubungan kadar MDA dengan jenis kelamin dan usia, mendapatkan hasil bahwa dengan analisa varian menunujukkan tidak ada interaksi dengan jenis kelamin dan usia. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Seckin et al. (2013) yang mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan kadar MDA yang bermakna berdasarkan jenis kelamin, umur dan pola melasma (p > 0,05).
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan kadar MDA serum yang signifikan pada tipe melasma epidermal (0,3830 ± 0,06208) dengan tipe campuran (0,5359 ± 0,22647) dan tipe dermal (0,5075 ± 0,12685). Peningkatan kadar MDA serum pada pasien melasma tipe campuran dan dermal dapat dihasilkan dari peningkatan stres oksidatif dan kerusakan jaringan (Seckin et al., 2013). Melasma tipe epidermal lebih mudah diobati daripada tipe dermal karena komponen epidermal lebih mudah dijangkau pengobatan sedangkan komponen dermal tidak dapat. Tipe campuran antara epidermal dan dermal juga sering terjadi.
Pemeriksaan dengan lampu Wood untuk mengetahui tipe melasma dapat juga membantu melihat perluasan melasma ke komponen dermal sehingga dapat memprediksi respon pasien terhadap pengobatan (Baumann dan Saghari, 2009).
6.3 Korelasi Kadar Malondialdehid Serum dengan Melasma Area and Severity Index
Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif sangat kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI seperti disajikan pada Tabel 5.3 dengan hasil r = 0,913 dengan nilai p < 0,001. Hal ini berarti ada hubungan bermakna yang sangat kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI, yaitu semakin tinggi kadar MDA serum maka nilai MASI menjadi semakin tinggi. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini lebih kuat (r = 0,913) dibandingkan hipotesisnya (r = 0,4).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Hamadi et al.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Hamadi et al.