TESIS
KADAR MALONDIALDEHID SERUM
BERKORELASI POSITIF DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
A. A. I. A. NINDYA SARI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
KADAR MALONDIALDEHID SERUM
BERKORELASI POSITIF DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
A. A. I. A. NINDYA SARI NIM 0914088202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2014
KADAR MALONDIALDEHID SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
A. A. I. A. NINDYA SARI NIM 0914088202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 13 MEI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV
NIP. 19520101 198003 1 003 NIP. 19530811 198102 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP 19461213 197107 1 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 13 Mei 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, No. : 1331/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 9 Mei 2014
Ketua : Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV Sekretaris : Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV
Anggota :
1. dr. I Gusti Ayu Sumedha Pindha, Sp.KK(K) 2. dr. I Gusti Ketut Darmada, Sp.KK(K)
3. Dr.dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Anak Agung Istri Agung Nindya Sari
NIM : 0914088202
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul : Kadar Malondialdehid Serum Berkorelasi Positif dengan Melasma Area and Severity Index
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undang yang berlaku.
Denpasar, 9 Mei 2014 Yang membuat pernyataan,
(dr. A. A. I. A. Nindya Sari)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis inidapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para penguji karya akhir ini, yaitu dr. I.G.A. Sumedha Pindha, SpKK(K), dr. I.G.K.
Darmada, Sp.KK(K) serta Dr.dr.A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga karya akhir ini dapat terwujud.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu astawa, Sp.OT(K), M.Kes. yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr.
Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Laboratoriun Prodia Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menggunakan prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran penelitian ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya untuk semua kepala Divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, juga untuk semua dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis sehingga membantu penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid atas bimbingannya berkaitan dengan analisis statistika dalam penelitian ini serta dr. I Dewa Ayu Supriantini, M.Biomed, SpKK atas bimbingan dan sarannya.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat PPDS I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang baik selama masa pendidikan ini.Begitu pula untuk seluruh tenaga paramedis dan non medis poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah yang telah membantu dan memberikan dukungan berupa suasana kerja yang baik sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tulus dan adik-adik serta Bapak, Ibu mertua yang selalu memberi semangat kepada penulis hingga pendidikan ini dapat diselesaikan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada suami tercinta dr. I.G.N. Arta Pasca Suputra serta anakku tersayang I.G.N. Agung Satria Suniantara atas segala pengertian, kesabaran dan pengorbanannya selama ini serta semangat yang tiada hentinya selama penulis
menjalani program pendidikan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat kepada penulis sampai tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penyelesaian karya akhir ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini sangat jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis tetap mohon petunjuk kearah perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Denpasar, 25 April 2014
A. A. I. A. Nindya Sari
ABSTRAK
KADAR MALONDIALDEHID SERUM BERKORELASI POSITIF DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
Melasma adalah gangguan hiperpigmentasi yang terjadi pada kulit di daerah paparan sinar matahari. Kondisi ini seringkali memberikan dampak yang besar akibat lesi wajah yang sangat jelas dan dapat mempengaruhi psikologi seseorang, menurunkan fungsi sosial, produktivitas serta hilangnya rasa percaya diri.
Penyebab melasma tidak diketahui, meskipun faktor-faktor etiologi multipel berpengaruh baik eksogen maupun endogen. Faktor etiologi yang paling signifikan adalah radiasi ultraviolet. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan peroksidasi lipid pada membran seluler, menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan stimulasi pada melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya melasma. Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan biomarker dari stres oksidatif.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan studi cross sectional. Jumlah subyek melasma yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 51 orang sedangkan jumlah subyek bukan melasma adalah 29 orang. Pada subyek melasna dan bukan melasma dilakukan pengambilan darah vena sebagai bahan pemeriksaan kadar MDA dan pada subyek melasma dilakukan penghitungan nilai MASI.
Pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi positif sangat kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI (r = 0,913; p < 0,001). Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaaan bermakna rerata kadar MDA pada subyek dengan melasma dibandingkan subyek bukan melasma dengan nilai p < 0,001.
Kata kunci: MDA, MASI, melasma
ABSTRACT
POSITIVE CORRELATION BETWEEN MALONDIALDEHYDE SERUM WITH MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
Melasma is a common acquired hypermelanotic disease developing especially in the sun-exposed areas of the face. Melasma causes a very disturbing cosmetic problem. Etiology and pathogenesis has not been completely understood.
However, some factors external and internal have been blamed for pathogenesis.
The ultraviolet exposure is considered as a major factor for melasma where sun light can cause peroxidation of lipid in cellular membranes leading to generation of free radicals which could stimulate melanogenesis. Malondialdehyde (MDA) is one end-product of lipid peroxidation and therefore can be used as an indicator of free oxygen radicals mediated tissue damage.
This study is observational analytic cross-sectional study. The number of melasma subject that qualify inclusion and exclusion criteria were 51 people, while non-melasma subjects were 29 people. Blood sample taken from the melasma and non-melasma subject to know the level of MDA serum, while examination of MASI score was done on melasma subject only.
This study suggests that there is a positive correlation between the serum MDA levels with MASI score (r = 0.913 , p < 0.001). This study shows that there were significant difference between MDA level average on melasma subject and non-melasma subject with p-value p < 0,001.
Keywords: MDA, melasma, MASI .
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM………
PRASYARAT GELAR……….
LEMBAR PERSETUJUAN………..
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………..
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………..
UCAPAN TERIMA KASIH………..
ABSTRAK……….
ABSTRACT………...
DAFTAR ISI……….
DAFTAR GAMBAR………
DAFTAR TABEL……….
DAFAR SINGKATAN……….
DAFTAR LAMPIRAN……….
i ii iii iv v vi ix x xi xv xvi xvii ix
BAB I PENDAHULUAN………..
Latar Belakang………
Rumusan Masalah………
Tujuan Penelitian………
1
1.1 1
1.2 4
1.3 4
1.3.1Tujuan umum………..
1.3.2Tujuan khusus……….
4 4 1.4 Manfaat Penelitian………..
1.4.1 Manfaat teoritis………..
1.4.2 Manfaat praktis………
5 5 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA………...
Melasma………
6
2.1 6
2.1.1 Definisi………
2.1.2 Epidemiologi………
2.1.3 Biosintesis Melanin……….
2.1.4 Etiopatogenesis melasma………
6 6 7 8
2.1.4.1 Faktor eksternal……….. 9
2.1.4.2 Faktor internal………. 15
2.1.5 Gambaran klinis………. 2.1.6 Pemeriksaan penunjang……….. 2.1.7 Penilaian derajat melasma………. 2.1.8 Penatalaksanaan……….. 16 17 19 20 2.1,8.1 Aspek pencegahan………... 21
2.1.8.2 Aspek pengobatan………... 2.1.8.3 Antioksidan dalam terapi melasma………. 22 24 2.2 Reactive Oxygen Species (ROS), Stres Oksidatif dan Malondialdehid (MDA)………. 2.2.1 Reactive Oxygen Species (ROS)……… 2.2.2 Stres Oksidatif……… 2.2.3 Malondialdehid (MDA)……….. Hubungan Stres Oksidatif dan Melasma……….. 25 2.3 25 27 29 31 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 34 3.1 Kerangka Berpikir……… 34
3.2 Konsep………. 35
3.3 Hipotesis……….. 35
BAB IV METODE PENELITIAN………. 36
4.1 Rancangan Penelitian……… 36
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……… 37
4.3 Penentuan Sumber Data……… 37
4.3.1 Populasi target………. 4.3.2 Populasi terjangkau………. 37 37 4.3.2.1 Kriteria inklusi………. 37
4.3.2.2 Kriteria eksklusi……….. 37 4.3.3 Tehnik pengambilan sampel………
4.3.4 Besar sampel………
38 38
4.4 Variabel Penelitian……… 39
4.4.1 Definisi operasional variabel……….. 39
4.5 Bahan Penelitian……….. 40
4.6 Instrumen Penelitian………. 41
4.6.1 Alat-alat………... 41
4.6.2 Reagen………. 41
4.7 Prosedur Penelitian……….. 42
4.7.1 Alur penelitian………. 42
4.7.2 Pengambilan data………. 44
4.7.2.1 Pengambilan spesimen……… 44
4.7.2.2 Pemeriksaan kadar MDA……… 44
4.8 Analisis Data………. 45
BAB V HASIL PENELITIAN……….
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian……….
5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data………
5.3 Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan Tipe Melasma……….
5.4 Korelasi antara Kadar MDA Serum dengan Nilai MASI………..
5.5 Kadar MDA Serum pada Subyek Melasma dan Bukan Melasma……….
BAB VI PEMBAHASAN………
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian……….
6.2 Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan Tipe Melasma………
6.3 Korelasi Kadar Malondialdehid Serum dengan Melasma Area and Severity Index………...
6.3 Kadar MDA Serum pada Subyek dengan Melasma dan Bukan Melasma……
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………....
7.1 Simpulan………...
47 47 50
51 53 54
56 56
59
61 64
66 66
7.2 Saran………
DAFTAR PUSTAKA………...
LAMPIRAN………..
66 67 73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Biosintesis melanin……….. 8
2.2 Mekanisme hiperpigmentasi yang diinduksi sinar UV..……….. 11
3.1 Bagan kerangka konsep penelitian... 35
4.1 Rancangan cross-sectional ... 36 4.2
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Protokol penelitian ...
Distribusi pasien perempuan dan laki-laki pada sampel penelitian….
Distribusi kelompok umur (tahun) sampel penelitian...
Distribusi pola melasma pada sampel penelitian...
Distribusi tipe melasma pada sampel penelitian...
Scatter plot korelasi antara kadar MDA serum dengan MASI...
Box plot kadar MDA serum pada subyek melasma dan bukan melasma...
43 48 49 49 50 54 55
DAFTAR TABEL
Hal.
2.1 Biomarker Kerusakan Oksidatif………. 29 5.1 Karakteristik subyek penelitian………. ……….. 47 5.2 Hasil uji normalitas data untuk korelasi...……….……… 50 5.3
5.4
Hasil uji normalitas data untuk beda rerata………...
Rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin, umur, pola dan tipe melasma………..
50
52 5.5
5.6
Korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI………
Beda rerata kadar MDA serum pada subyek melasma dan bukan melasma………
53
54
DAFTAR SINGKATAN
CPD : Cyclobutan pyrimidine dimmer DAG : Diacetyl glycerol
DHI : Dihidroksiindol
DHICA : 5,6-dihydroxyindole-2-carboxylic acid (DHICA) DNA : Deoxyribonucleic Acid
DOPA : Dihidroksiphenylalanin HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir IPL : Intense pulsed light
KB : Keluarga Berencana
L-DOPA : 3,4 Dihidroksiphenylalanin
LT : Lekotrien
MASI : Melasma Area and Severity Index MDA : Malondialdehid
MED : Minimal Erythema Dosage MSH : Melanin Stimulating Hormon NCAP : N-acetyl-4-S-cysteaminylphenol O2 : singlet oksigen
O2•- : superoksida
•OH : radikal hidroksil H2O2 : hidrogen peroksida PABA : Para Amino Benzoic Acid PLC : Phospholipase-C
pH : power of hydrogen PG : Prostaglandin
PUFA : Poly Unsaturated Fatty Acid ROS : Reactive Oxygen Species SPF : Sun Protecting Factor TBA : Thiobarbituric acid TS : Tabir Surya
TYR : Tirosinase UVA : Ultraviolet A UVB : Ultraviolet B
UVR : Ultraviolet Radiation YAG : Yttrium Aluminium Garnet
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1 Ethical Clearance ………. 73
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ……….. 74
Lampiran 3 Penjelasan Penelitian ... 75
Lampiran 4 Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian ... 77
Lampiran 5 Formulir Penelitian ………... 78
Lampiran 6 Melasma Area and Severity Index (MASI)………... 81
Lampiran 7 Data Sampel Penelitian ……… 82
Lampiran 8 Hasil SPSS Penelitian ………... 85
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melasma atau disebut masyarakat dengan flek merupakan kelainan kulit hiperpigmentasi yang banyak dijumpai dan sangat menonjol di masyarakat, karena dapat memberikan penampilan yang kurang baik bagi penderita terutama kaum perempuan. Kondisi ini seringkali memberikan dampak yang besar akibat lesi wajah yang sangat jelas dan dapat mempengaruhi psikologi seseorang, menurunkan fungsi sosial, produktivitas serta hilangnya rasa percaya diri. Seorang perempuan yang menderita flek sedikit saja pada wajah akan berusaha kemana- mana dan mencoba obat apa saja untuk menghilangkannya.
Melasma berasal dari bahasa Yunani, ‘melas’ yang berarti hitam adalah hipermelanosis ireguler berwarna coklat terang sampai coklat gelap pada daerah yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, terutama di dahi, kedua pipi, hidung, di atas bibir, dagu dan kadang-kadang leher (Baumann dan Saghari, 2009). Melasma merupakan kelainan kulit hiperpigmentasi yang lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, terutama pada usia produktif dan berkulit gelap (tipe IV-VI berdasarkan klasifikasi Fitzpatrick) (Lee et al., 2006).
Pola distribusi lesi terbagi menjadi tiga yaitu sentrofasial yang mengenai dahi, hidung, atas bibir dan dagu (63%), malar yang mengenai hidung dan pipi (21%) serta mandibular (16%) (Baumann dan Saghari, 2009).
Melasma sering dijumpai pada wanita Hispanik, Asia dan Afrika-Amerika (Ortonne et al., 2009). Angka prevalensi yang pasti pada setiap negara belum diketahui. Di Amerika Serikat sendiri kira-kira 5 sampai 6 juta individu menderita melasma. Di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia diperkirakan sekitar 0,25%-4% kejadian melasma dari seluruh pasien yang datang ke spesialis kulit (Lin et al., 2009; Lee et al., 2006). Angka insiden melasma di RS. Dr. Moh.
Hoesin/ FK Unsri Palembang adalah 6,48%, prevalensi 5,47% (Argentina et al., 2012). Jumlah kejadian melasma di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah tahun 2009-2011 didapatkan 487 kasus baru melasma (485 perempuan, 2 laki- laki) dengan insiden 7,91% dari seluruh kunjungan baru (Armini et al., 2012).
Penyebab melasma bersifat multifaktorial, mulai dari faktor genetik, paparan sinar matahari, perubahan hormonal baik akibat kehamilan maupun pemberian kontrasepsi oral atau pengobatan hormon, pemakaian kosmetika, obat fotosensitizer, anti kejang sampai faktor ras. Patogenesisnya belum diketahui secara pasti (Shweta et al., 2011).
Radiasi ultraviolet (UV) penting dalam patogenesis melasma. Paparan radiasi UV yang terus-menerus pada kulit dapat menghasilkan reactive oxygen species (ROS) dan ini meningkatkan stres oksidatif secara signifikan pada sel.
Generasi radikal bebas yang dihasilkan oleh stres oksidatif berinteraksi dengan semua komponen penting dalam sel seperti lipid, protein, DNA, karbohidrat dan enzim. Interaksi dengan lipid pada membran plasma menghasilkan peroksidasi lipid pada membran seluler yang melepaskan diacylglycerol (DAG) kemudian mengaktivasi protein kinase C beta (PKC-β) untuk menstimulasi melanogenesis
dan kemudian menstimulasi melanogenesis oleh aktivasi tirosinase (Park dan Yaar, 2012 ; Shweta et al., 2011).
Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir lipid peroksidase. Kadar MDA dalam eritrosit dan plasma telah digunakan sebagai marker kerusakan jaringan yang dihasilkan dari radikal bebas in vivo. Pada beberapa penelitian oleh Ismailov dan Galdava serta Seckin et al. didapatkan kadar MDA serum lebih tinggi secara signifikan pada kelompok melasma dibandingkan kelompok kontrol.
Penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kadar MDA pada pasien melasma dapat dihasilkan dari peningkatan stres oksidatif dan kerusakan jaringan (Ismailov dan Galdava, 2004; Seckin et al., 2013).
Derajat keparahan melasma ditentukan berdasarkan nilai Melasma Area and Severity Index (MASI). Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H) (Bhor dan Pande, 2006). Penelitian sebelumnya oleh Hamadi et al. (2009) menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI. Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif yang signifikan kuat antara rendahnya nilai MASI dan rendahnya kadar MDA (r=0,78, p<0,01). Penelitian yang dilakukan oleh Seckin et al. tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai p > 0,05) antara stres oksidatif dengan MASI (Seckin et al., 2013).
Berdasarkan data–data tersebut, maka peneliti ingin mengetahui hubungan antara stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA, dengan
derajat keparahan melasma berdasarkan Melasma Area and Severity Index (MASI).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MDA serum dengan Melasma Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma?
2. Apakah kadar MDA serum pada subyek melasma lebih tinggi dibandingkan dengan bukan melasma?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA serum dengan Melasma Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA serum dengan Melasma Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma.
2. Untuk mengetahui kadar MDA serum pada subyek melasma.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang korelasi antara kadar MDA serum dengan Melasma Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma.
2. Mengetahui peran stres oksidatif dalam etiopatogenesis penyakit melasma.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Dengan penghitungan Melasma Area and Severity Index (MASI) dapat memperkirakan kadar MDA.
2. Sebagai dasar pertimbangan pemberian antioksidan dalam terapi melasma.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Melasma 2.1.1 Definisi
Melasma atau sering disebut juga kloasma adalah gangguan kulit yang sering terlihat pada wanita usia produktif. Gangguan kulit ini bersifat kronik dan sering menyebabkan frustasi pada pasien dan juga dokternya karena sangat sulit untuk ditangani (Baumann dan Saghari, 2009; Lin et al., 2009). Melasma adalah gangguan kulit hiperpigmentasi yang menjadi masalah utama di Asia diantara gangguan pigmentasi kulit yang lain (Lee et al., 2006).
Melasma berasal dari bahasa Yunani, ‘melas’ yang berarti hitam, merupakan kelainan kulit hiperpigmentasi didapat yang sering terjadi, ditandai dengan adanya makula coklat terang hingga gelap yang ireguler (Bandyopadhyay, 2009). Melasma sering dijumpai di daerah yang terpapar sinar matahari seperti atas bibir, hidung, pipi, dagu, dahi dan terkadang pada leher (Baumann dan Saghari, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa melasma umumnya terjadi pada ras kulit gelap (tipe IV-VI berdasarkan klasifikasi Fitzpatrick), dengan paparan radiasi ultraviolet yang berlebihan, walaupun gangguan ini dapat terjadi pada semua ras. Melasma sering dijumpai pada wanita Hispanik, Asia dan Afrika- Amerika (Ortonne et al., 2009). Angka prevalensi yang pasti pada setiap negara
belum diketahui. Di Amerika Serikat sendiri kira-kira 5 sampai 6 juta individu menderita melasma. Di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia diperkirakan sekitar 0,25%-4% kejadian melasma dari seluruh pasien yang datang ke spesialis kulit (Lin et al., 2009; Lee et al., 2006). Melasma lebih sering dijumpai pada perempuan dibanding laki-laki, angka prevalensinya lebih dari 40%
pada perempuan dan 20% pada laki-laki. Biasanya mengenai wanita umur 30-50 tahun (Lee et al., 2006). Hubungan yang kuat antara melasma dan hormon ditunjukkan dengan meningkatnya insiden melasma pada kehamilan, pada kasus ini melasma diistilahkan juga dengan chloasma atau mask of pregnancy.
Penggunaan pil KB atau terapi sulih hormon estrogen, gangguan fungsi ovarium atau tiroid, dan tumor-tumor ovarium juga berhubungan dengan onset melasma (Lin et al., 2009).
2.1.3 Biosintesis melanin
Dua tipe melanin disintesis dalam melanosom, yaitu eumelanin dan feomelanin.
Eumelanin gelap, berwarna hitam kecoklatan dan tidak larut, sedangkan feomelanin terang, berwarna kuning kemerahan dan dapat larut. Melanin merupakan tiruan indol dari DOPA dan dibentuk dalam melanosom melalui rangkaian langkah-langkah oksidatif, pH melanosom mempengaruhi aktivitas enzim melanogenik dan polimerasi melanin. Sintesis dari 2 tipe melanin tersebut melibatkan langkah katalisis rate-limiting, dimana asam amino tirosin dioksidasi oleh enzim tirosinase (disebut juga tyrosine oxidase, DOPA oxydase, monophenol, L-DOPA: oxygen oxydoreductase) menjadi L-DOPA, suatu reaksi
yang dikenal sebagai Raper-Mason Pathway (lihat gambar 2.1) (Park dan Yaar, 2012).
Gambar 2.1. Biosintesis melanin
Biosintesis melanin. Biosintesis ini dimulai dari asam amino tirosin yang dikonversikan menjadi L-DOPA (3,4 dihdroksifenilalanin) pada tahap biosintesis melanin terbatas yang dikatalisis tirosinase. Setelah itu L- DOPA diubah menjadi DOPA kuinon oleh beberapa enzim. DHI (5,6-dihidroksiindol) dan DHICA dibentuk untuk menghasilkan eumelanin hitam atau coklat. Melalui penggabungan glutation atau sistein, DOPAquinon
dapat membentuk feomelanin (Park dan Yaar, 2012).
Warna kulit manusia, rambut dan mata ditentukan oleh proporsi kedua tipe melanin ini. Klasifikasi tipe kulit berdasarkan reaksi yang terjadi bila terpapar sinar matahari dalam waktu yang sama dibagi menjadi tipe I-VI berdasarkan Fitzpatrick. Tipe I-II orang Kaukasia, tipe III-IV orang Mongoloid, tipe IV-V orang Polinesia dan tipe VI orang Negro (Baumann dan Saghari, 2009).
2.1.4 Etiopatogenesis melasma
Warna coklat atau coklat kehitaman yang bertambah dikulit pada melasma disebabkan bertambahnya melanin di epidermis. Jumlah melanin yang bertambah ini dapat disebabkan karena peningkatan produksi melanosom, bertambahnya
ukuran melanosom, meningkatnya melanisasi melanosom, peningkatan transfer melanosom ke keratinosit, dan lebih lamanya melanosom di keratinosit (Park dan Yaar, 2012).
Patofisiologi melasma belum diketahui, teori paling banyak berasal dari faktor-faktor risiko yang diketahui (Lin et al., 2009). Banyak faktor yang menjadi penyebab meningkatnya pigmentasi kulit pada melasma. Berikut adalah faktor eksternal dan internal yang menyebabkan melasma. Faktor eksternal antara lain:
paparan sinar matahari, penggunaan kontrasepsi hormonal, obat-obatan dan kosmetika. Faktor internal antara lain: genetik, hormonal, kehamilan dan ras.
Hasil penelitian di Singapura, dari 205 pasien dengan melasma, 55 (26,8%) karena paparan sinar matahari, 25 (12,1%) karena kehamilan, dan 27 (13,1%) karena kontrasepsi oral sebagai faktor pencetus. Ada riwayat dalam keluarga yang menderita melasma sebanyak 21 (10,2%) pasien. Penelitian di Thailand menyatakan 34% wanita dengan melasma mengkonsumsi kontrasepsi oral, tetapi kira-kira setengah dari mereka mempunyai melasma sebelum mulai mengkonsumsi obat-obat kontrasepsi oral. Hal tersebut menunjukkan bahwa pil kontrasepsi atau kehamilan tidak signifikan memberikan kontribusi pada melasma (Lee et al., 2006).
2.1.4.1 Faktor eksternal a) Paparan sinar UV
Paparan sinar ultraviolet mempunyai hubungan yang kuat dengan melasma, ditunjukkan dengan lokasi melasma yang biasanya merupakan daerah yang terpapar sinar matahari pada wajah. Baik UVA dan UVB berperanan dalam
patoogenesis ini (Lin et al., 2009). Penelitian di Thailand menyebutkan bahwa 72% dari pasien melasma yang diteliti, karena paparan sinar matahari. Pathak melaporkan bahwa sinar matahari mengeksaserbasi semua melasma (Lee et al, 2006). Melasma paling sering ditemukan di Timur Tengah, Karibia atau Asia dengan paparan sinar matahari yang tinggi. Pada kenyataannya melasma ditemukan sedikit pada bulan-bulan musim dingin ketika paparan sinar matahari berkurang (Baumann dan Saghari, 2009).
Efek langsung : radiasi sinar UV (UVR) akan mencetuskan beberapa reaksi biologik pada kulit kita. Foton-foton dari sebagian besar sinar UV A akan diserap oleh prekursor-prekursor melanin (termasuk cellular Chromophores), sehingga menjadi fotosensitizer dan menyebabkan terbentuknya radikal bebas, yang akan meningkatkan aktifitas tirosinase dan memacu proses melanogenesis (Park dan Yaar, 2012). Sinar UV B akan diabsorpsi langsung oleh DNA seluler sehingga terbentuk lesi-lesi DNA. Sistim perbaikan kerusakan DNA juga diaktifkan terutama protein p53 yang menekan tumor (tumor suppressor p53).
UVR juga mempengaruhi lipid (komponen membran sel), yang akan melepaskan diasilgliserol (DAG) yang mengaktifkan enzim tirosinase, sehingga terjadi peningkatan melanogensis. Efek tidak langsung: UVR merangsang sintesa dan sekresi faktor-faktor parakrin keratinosit. Melanosit beradaptasi dengan meningkatkan jumlah dan perubahan fungsinya. Ini semua merupakan perlindungan alami terhadap pajanan sinar matahari (Park dan Yaar, 2012). Dalam produksi kemokin dan induksi respon inflamasi, ROS merupakan mediator yang penting (gambar 2.2) (Costin dan Hearing, 2007). Respon inflamasi diharapkan
akan efektif pengaturannya, apabila ada keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan (Kang et al., 2011).
Gambar 2.2 Mekanisme hiperpigmentasi yang dinduksi sinar UV
Respon tanning dipengaruhi oleh proses pengaturan kompleks yang terdiri dari efek langsung UVR pada melanosit dan efek tidak langsung melalui pelepasan keratinocyte-derived factor (Costin dan Hearing, 2007).
Reaktivitas individu terhadap sinar UV bergantung pada warna kulit konstitutif serta tipe kulit yang diturunkan secara genetik. Insiden melasma pada wanita–wanita memakai kontrasepsi oral di Amerika Serikat adalah 29%, ini lebih rendah dibandingkan dengan wanita – wanita yang memakai kontrasepsi oral di Australia yaitu sebanyak 50 %. Hal ini disebabkan oleh faktor sinar matahari (Costin dan Hearing, 2007).
b) Aksi obat-obatan, bahan kimia, dan lain-lain
Banyak obat-obatan yang dapat menstimulasi hiperpigmentasi kulit manusia seperti antibiotika tertentu (sulfonamid dan tetrasiklin), diuretik, obat- obatan anti inflamasi non steroid, penghilang nyeri dan beberapa obat psikiatri (Costin dan Hearing, 2007). Beberapa mekanisme yang terlibat dalam perubahan pigmentasi kulit yang diinduksi obat-obatan. Mekanisme tersebut antara lain:
peningkatan sintesis melanin, sintesis lipofuscin, endapan bahan obat-obatan dan hiperpigmentasi pasca inflamasi. Sebagai contoh phenothiazine, khususnya chlorpromazine, bereaksi dengan melanin untuk membentuk kompleks obat- pigmen. Perbedaannya dengan melanin, kompleks chlorpromazine-melanin tidak dimetabolisme oleh tubuh. Pada penghentian penggunaan chlorpromazine dan phenothiazine yang terkait, pigmentasi kadang-kadang menghilang pelan-pelan, tetapi lebih sering permanen. Pigmentasi biru-abu-abu pada daerah kulit terpapar sinar matahari tampak dalam persentasi kecil pada pasien-pasien yang mendapat resep chlorpromazine dosis tinggi untuk waktu yang panjang (Anstey, 2010).
Banyak obat-obatan menginduksi hipermelanosis dengan perubahan pasca inflamasi tidak spesifik. Pigmentasi yang mengikuti fixed drug eruption termasuk jenis ini. Obat-obatan yang lain menginduksi pigmentasi lebih langsung, pada kasus arsenic disebabkan oleh kombinasi yang kerap dengan kelompok sulphydryl pada sel-sel epidermis dan peningkatan aktivitas tirosinase (Anstey, 2010). Produk merkuri menginaktifkan TYR mungkin dengan menggantikan tembaga pada tempat ensimatik protein (Costin dan Hearing, 2007).
Beberapa bahan kemoterapi juga dapat menyebabkan hiperpigmentasi, yang paling sering antara lain: cyclophosphamide, 5-fluorouracil, doxorubicin, daunorubicin, dan bleomycin (Costin & Hearing, 2007). Obat-obat sitostatik topikal yang menyebabkan hiperpigmentasi lokal antara lain: carmustine, mechlorethamine dan fluorouracil (Anstey, 2010). Mekanismenya belum diketahui tetapi dapat melibatkan toksisitas langsung, menstimulasi melanosit dan/atau inflamasi (Costin dan Hearing, 2007).
Obat anti epilepsi tertentu (terutama hidantoin) juga dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit. Penggunaan jangka waktu lama menginduksi warna kecoklatan pada wajah dan leher, mirip dengan kloasma pada kehamilan, yang menghilang beberapa bulan setelah obat tersebut dihentikan (Costin dan Hearing, 2007, Anstey, 2010). Hal tersebut menunjukkan penggunaan hidantoin berefek langsung pada melanosit, menginduksi pemecahan granul melanin pada kulit, juga peningkatan pigmentasi pada epidermis basal (Anstey, 2010).
Sekitar 25% pasien yang mendapatkan kloroquin atau hidrokloroquin untuk beberapa tahun mengalami pigmentasi abu-abu kebiruan pada wajah dan leher, kadang-kadang pada tungkai bawah dan lengan bawah. Bila terapi dilanjutkan, daerah tersebut menjadi lebih gelap, khususnya bercak oval pada betis, dengan ukuran yang lebih besar, dapat berkembang menjadi hitam kebiruan.
Bercak juga menjadi lebih berpigmen pada daerah yang terpapar sinar (Anstey, 2010). Kloroquin dapat berikatan dengan melanin dan dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit. Penelitian berbeda telah menemukan melanin pada dermis
pasien yang sedang menjalani pengobatan dengan kloroquin (Costin dan Hearing, 2007).
Levodopa sering digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson, juga menginduksi hiperpigmentasi kulit. DOPA biasanya diubah menjadi melanin, dalam melanosom, sehingga terapi dengan DOPA (diaplikasikan sebagai terapi levodopa) mungkin meningkatkan biosintesis melanin, mungkin terjadi dengan oksidasi ekstraseluler, meskipun kepustakaan belum mempunyai bukti kuat untuk mendukung hipotesis ini (Costin dan Hearing, 2007).
Beberapa penulis menyatakan melasma paling sering tampak pada wanita muda yang menggunakan kontrasepsi oral (Baumann dan Saghari, 2009).
Pengaruh kontrasepsi oral dihubungkan dengan perubahan warna kulit pada pipi, dahi dan hidung yang mirip dengan kloasma pada penggunanya. Pemeriksaan mikroskopis pada epidermis memperlihatkan peningkatan melanogenesis dan adanya melanosit besar (Costin dan Hearing, 2007). Penghentian kontrasepsi jarang membersihkan pigmentasi dan dapat berakhir bertahun-tahun setelah penghentian tersebut (James et al., 2006). Jarangnya melasma pada pasien wanita monopaus yang mendapat terapi sulih hormon estrogen dan fakta bahwa laki-laki dapat terkena menunjukkan estrogen sendiri tidak sebagai agen penyebab.
Penelitian dengan mikroskop cahaya, ultrastruktur dan imunofluoresensi, kondisi ini masih menjadi teka-teki (Anstey, 2010). Pengukuran β-melanocyte-stimulating hormone plasma adalah normal (Marks dan Miller, 2006).
Kosmetika atau bahan-bahan topikal lain berperan penting juga untuk terjadinya melasma. Penelitian yang dilakukan oleh Kariosentono di RSU
Muwardi Surakarta, ditemukan bahwa terjadinya melasma akibat pemakaian kosmetika sebesar 15%. Kosmetika yang mengandung parfum (minyak bergamot, metoksisitroners, minyak ylang-ylang, minyak kenanga, minyak yasmin), zat warna tertentu (Sudan III, brilliant lake red yang mengandung Sudan I dan anilin), dan bahan pengawet akan merangsang melanogenesis apabila terpajan sinar UV (Kariosentono, 2009).
2.1.4.2 Faktor internal a) Hormonal
Hiperpigmentasi kadang-kadang tampak selama kehamilan dan kondisi ini disebut melasma, kloasma atau mask of pregnancy. Kondisi ini terjadi terutama pada pipi, di atas bibir, dagu dan dahi. Penelitian terbaru menunjukkan daerah hiperpigmentasi yang tampak pada melasma menunjukkan peningkatan deposisi melanin pada epidermis dan dermis. Jumlah melanosit tidak mengalami peningkatan pada area tersebut, tetapi melanosit lebih besar, lebih dendritik dan menunjukkan peningkatan melanogenesis yang memproduksi khususnya eumelanin. Selama kehamilan (khususnya pada trimester ketiga), peningkatan kadar estrogen, progesteron dan MSH sering ditemukan berhubungan dengan melasma (Miot et al., 2010). Hormon estrogen paling jelas pengaruhnya dalam meningkatkan sintesis melanin. Estrogen meningkatkan jumlah melanin dalam sel, sedangkan progesteron menyebabkan peningkatan penyebaran melanin dalam sel (Jang et al., 2010), ditambah lagi jumlah sel melanosit terbanyak di daerah wajah dan merupakan daerah yang menerima paparan sinar matahari langsung maksimal, ini semua bertanggung jawab menentukan lokasi melasma
(Soepardiman, 2009). Pada wanita menopaus yang diberikan terapi estrogen jarang sekali terjadi melasma, hal ini mendasari dugaan bahwa estrogen bukanlah faktor penyebab (Shweta et al., 2011).
b) Faktor genetik dan ras
Sekitar 20-70% pasien melasma mempunyai riwayat keluarga dengan melasma.
Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivasi tirosinase, tipe sintesis melanin di bawah pengaruh genetik (Kang et al., 2011).
Melasma banyak dijumpai pada golongan hispanik dan kulit berwarna gelap. Orang-orang berkulit coklat seperti India, Ceylon, Pakistan, Filipina dan dari negara-negara Timur Tengah cenderung menderita melasma pada usia muda (Perez et al., 2011).
C) Hiperpigmentasi pasca inflamasi
Keadaan peradangan atau inflamasi setempat pada kulit misalnya dermatitis atopik, fixed drug eruption, urtikaria pigmentasi dan dermatitis lainnya, akne, trauma fisik dan radiasi, menyebabkan aktifnya mediator inflamasi seperti metabolit asam arakidonat yaitu prostaglandin (PG) EI, E2, G2; thromboxane B2, lekotrien (LT) C4 dan D4, serta pelepasan histamin. Semua ini dapat memicu melagonesis lebih aktif (Soedarwoto, 2009).
2.1.5 Gambaran klinis
Melasma tampak sebagai makula coklat muda sampai coklat tua, hitam biru, dan biru berbatas tegas dengan tepi tidak teratur, terutama di pipi, dahi, hidung, lengkungan alis mata, atas bibir, dagu dan kadang-kadang di leher, serta lengan atas, biasanya simetris (Soepardiman, 2009).
Hiperpigmentasi dapat berbentuk liniar ( “streaming” down the cheeks) atau gutata. Lesi dapat tunggal, tetapi sering berupa makula yang multipel. Warna lesi melasma umumnya coklat terang sampai coklat gelap. Berdasarkan gambaran klinis letak lokasi melasma dibedakan tiga pola/bentuk melasma (Soepardiman, 2009) :
1. Pola sentrofasial : meliputi daerah pipi bagian medial, dahi, hidung, pelipis, diatas bibir dan dagu.
2. Pola malar : meliputi pipi bagian lateral dan hidung.
3. Pola mandibular : meliputi mendibula dan sekitarnya.
Pola sentrofasial merupakan bentuk melasma yang terbanyak didapatkan yaitu sekitar 63% kasus, disusul dengan pola malar sekitar 21%, dan terakhir pola mandibular 16% (Baumann dan Saghari, 2009).
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
Pembantu diagnosis melasma dapat dilakukan dengan pemeriksaan histopatologik, pemeriksaan mikroskop elektron, pemeriksaan dengan sinar Wood (Soepardiman, 2009).
Berdasarkan pemeriksaan histopatologik terdapat tiga tipe melasma (Park dan Yaar, 2012; Soepardiman, 2009) :
1. Tipe epidermal : deposit melanin terutama terdapat di lapisan basal dan suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai stratum korneum.
2. Tipe dermal : deposit melanin didalam melanofag, disekitar pembuluh darah dermis bagian atas dan tengah.
3. Tipe campuran : deposit melanin di epidermis dan dermis.
Penilaian secara histopatologik ini paling tidak disukai oleh penderita oleh karena harus dibuat sayatan biopsi dimuka (Soepardiman, 2009).
Demikian juga dengan pemeriksaan mikroskop elektron, dibutuhkan pula biopsi kulit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron ini adalah gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan aktivitas melanosit meningkat (Soepardiman, 2009).
Pemeriksaan pembantu diagnosis yang lainnya adalah dengan sinar Wood. Lampu Wood merupakan suatu alat yang dapat menyaring sinar UV dengan panjang gelombang antara 340 – 400 nm, dengan suatu filter dari nikel oksida dan silika sehingga dihasilkan panjang gelombang 365 nm. Alat ini secara klinis dapat membedakan pigmentasi epidermal atau dermal dan membantu mengetahui luasnya pigmentasi epidermal atau dermal, kecuali pada tipe kulit V dan VI. Pemakaian lampu Wood ini dilakukan di ruangan gelap. Fenomena ini disebabkan oleh sifat optik kulit yang pada setiap lapisan kulit sinar akan dipantulkan kembali kepermukaan, dihamburkan, atau diserap oleh jaringan. Sinar yang dipancarkan oleh lampu Wood diserap oleh melanin (Shweta et al., 2011).
Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar Wood, klasifikasi melasma ada empat tipe yaitu :
1. Tipe epidermal : dengan sinar matahari terlihat gambaran kontras atau yang berbeda jelas antara melasma dan kulit sekitarnya. Lesi melasma berwarna coklat terang. Dengan lampu Wood melasma akan berwarna gelap dan berbatas tegas, sedangkan kulit normal terlihat lebih terang.
2. Tipe dermal : pada tipe ini sinar matahari yang diserap melanin dihamburkan dan dipancarkan kembali sehingga lesi tampak berwarna biru atau abu-abu kebiruan dan tidak terlihat batas jelas antara kulit melasma dan kulit normal, sedangkan dengan lampu wood melasma tampak kurang jelas.
3. Tipe campuran : dengan sinar matahari lesi berwarna coklat gelap, sedangkan dengan lampu wood ada bagian yang berbatas tegas dan ada yang tidak. Kulit tipe V dan VI sering dengan melasma tipe campuran.
4. Tipe yang tidak jelas (indeterminate) : dengan lampu Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa lesi jelas terliihat. Tipe ini sukar dinilai karena terjadi pada warna kulit yang gelap (kulit tipe V dan VI).
Penilaian melasma dengan menggunakan sinar Wood ini mempunyai keuntungan karena mudah dilakukan, murah biayanya , dan cepat hasilnya (Shweta et al., 2011).
2.1.7 Penilaian derajat melasma
Derajat melasma ditentukan berdasarkan nilai Melasma Area and Severity Index (MASI). Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H) (Bhor dan Pande, 2006).
Persentase total area terlibat (A) terbagi menjadi : 0 = tidak ada ; 1 =
<10% area, ; 2 = 10-29% area ; 3 = 30-49% area ; 4 = 50-69% area ; 5 = 70-89%
area ; dan 6 = 90-100% area. Tingkat kegelapan melasma (D) dibandingkan dengan kulit normal dan dinilai dengan skala dari 0 sampai 4 : 0 = warna kulit
normal tanpa bukti hiperpigmentasi ; 1 = hampir terlihat hiperpigmentasi ; 2 = hiperpigmentasi ringan ; 3 = hiperpigmentasi moderat ; 4 = hiperpigmentasi berat (Taylor, 2007).
Homogenitas hiperpigmentasi (H) juga dinilai dengan skala 0 sampai 4 : 0
= warna kulit normal tanpa adanya hiperpigmentasi ; 1 = terdapat titik-titik hiperpigmentasi (specks) ; 2 = area kecil (small patchy) dengan diameter < 1,5 cm
; 3 = area yang terlibat dengan diameter > 2 cm ; 4 = kulit yang terlibat sama tanpa daerah yang jernih (Bhor dan Pande, 2006).
Nilai MASI dihitung dengan jumlah tingkat kegelapan (D) dan homogenitas (H) dikalikan dengan nilai numerik area yang terlibat (A) dan dengan persentase keempat daerah wajah (10-30%). Nilai total MASI : Dahi 0.3 (D+H)A + malar kanan 0.3 (D+H)A + malar kiri 0.3 (D+H)A + dagu 0.1 (D+H)A (Taylor, 2007).
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan melasma memerlukan waktu yang cukup lama. Perlu kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang menanganinya oleh karena penyakit melasma ini bersifat khronis dan residif. Pengobatan yang sempurna adalah pengobatan kausal, maka penting mencari etiologinya. Seperti telah disebutkan diatas bahwa banyak faktor yang saling mempengaruhi sebagai penyebab melasma, sehingga penatalaksanaan melasma harus meliputi beberapa aspek, yaitu : aspek pencegahan dan pengobatan (Situm, et al., 2011).
2.1.8.1 Aspek pencegahan
Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasien melasma. Pasien perlu diterangkan bahwa pengobatan melasma memerlukan kesabaran, ketekunan, disiplin, kerjasama yang baik antara pasien dan dokter, memerlukan waktu yang cukup lama dan perlu kontrol secara teratur, termasuk biaya perawatan (Sheth dan Pandya, 2011).
Pencegahan terhadap timbulnya atau bertambah berat serta kambuhnya melasma adalah melindungi kulit terhadap paparan sinar matahari langsung.
Pasien diharuskan menghindari pajanan langsung sinar ultra violet terutama antara pukul 09.00-16.00. Jika keluar rumah sebaiknya memakai payung atau topi yang lebar serta kaca mata pelindung. Pemakaian tabir surya (TS) selama dan sesudah pengobatan, diperlukan untuk memperoleh hasil yang maksimal. TS yang ideal yaitu yang berspektrum luas, diterima secara kosmetik dan tidak menimbulkan gangguan kulit. Pemakaian tabir surya sebaiknya 30 menit sebelum terpajan sinar matahari, oleskan merata dan dibiarkan mengering sebelum memakai make up.
Pasien perlu disarankan untuk menghindari atau menghilangkan semua faktor yang dapat merangsang timbulnya hiperpigmentasi antara lain menghindari obat- obatan, kontrasepsi sistemik (oral, injeksi, implant) yang dapat menimbulkan hiperpigmentasi atau bahan yang dapat menimbulkan iritasi, kosmetika yang wangi dan atau mengandung bahan pewarna (Baumann, et al., 2009).
2.1.8.2 Aspek pengobatan A. Pengobatan topikal :
1. Hidrokuinon : merupakan bahan pemutih yang paling banyak dipakai.
Hidrokuinon menghambat tirosinase dan mempunyai efek toksik terhadap melanosit (melanositotoksik). Derivat hidroquinon antara lain mequinol dan arbutin. (Scherdin et al., 2010).
2. Retinoid : antara lain tretinoin, mempunyai kemampuan keratolitik. Cara kerja retinoid juga menghambat enzim tirosinase, dispersi butir-butir pigmen di keratinosit, serta mempercepat hilangnya pigmen akibat akselerasi epidermal turnover (Situm et al., 2011).
3. Asam Azeleat : adalah asam lemak jenuh C9 dikarboksilat yang menghambat secara kompetitif enzim tirosinase dan bekerja secara selektif pada melanosit abnormal (hiperaktif) (Kim et al., 2012).
4. Kortikosteroid topikal : Mekanisme kerja kortikosteroid adalah menghambat sintesis mediator-mediator seperti prostaglandin dan leukotrien yang berefek pada melanogenesis (Gupta et al., 2006).
5. N-acetyl-4-S-cysteaminylphenol (NCAP): suatu phenolic yang menghambat aktivitas enzim tirosinase, bahan ini kurang iritatif dan lebih stabil dibandingkan dengan hidrokuinon (Shweta et al., 2011).
6. Asam Kojik : suatu metabolit jamur yang diproduksi oleh Aspergillus oryzae. Asam menghambat tirosinase dengan melepaskan tembaga (Shweta et al, 2011; Situm et al., 2011). .
Melasma tipe epidermal paling berhasil diterapi dengan kombinasi hidroquinon, steroid dan tretinoin (Majid, 2010). Formula Kligman’s yang diperkenalkan pada tahun 1975 (hidroquinon 5%, tretinoin 0,1% dan dexametason 0,1%) telah digunakan secara luas (Pratchyapruit et al., 2011).
Formula ini walaupun efektif, namun mempunyai banyak efek samping (Rajaratnam et al., 2010). Formula baru dengan efek samping yang kurang berat adalah hidroquinon 2%, tretinoin 0,05%, betametason valerat 0,1%, satu kali seminggu selama 10 hari atau kombinasi hidroquinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01% tidak menyebabkan atrofi kulit atau penipisan, rosasea atau hipopigmentasi (Arellano et al., 2011; Grimes et al., 2010).
B. Pengobatan dengan tindakan khusus (menggunakan alat) :
1. Laser : Singkatan dari Light Ampliification by the Stimulated Emission of Radiation. Penetrasi sinar laser bervariasi dalam kedalamannya sehingga mempunyai efek berbeda pada setiap jaringan, tergantung panjang gelombangnya. Penggunaan laser resurfasing erbium:YAG memberikan perbaikan pada melasma, tetapi karena efek hiperpigmentasi pasca inflamasi direkomendasikan hanya untuk melasma refrakter (Kroon et al., 2011).
2. Pengelupasan kimiawi (chemical peeling) : Bahan-bahan yang umumnya dipakai antara lain adalah fenol 88%, asam trikloroasetat 25% - 50%, pasta resorsinol, larutan Jessner (asam salisilat 14 gr, resorsinol 14 gr, asam laktat 85% 14 gr, ethanol sampai 100 cc), dan asam alfa hidroksi
20% - 70% (asam glikolat) (Kodali et al, 2010. Bahan –bahan ini semua dapat menyebabkan pengelupasan kulit (Kumar dan Thappa, 2010).
3. Intense pulsed light therapy (IPL) : pilihan terapi yang efektif untuk melasma epidermal, tetapi proteksi terhadap sinar matahari jangka panjang dan krim pemutih semestinya digunakan setelah terapi pada pasien dengan melasma campuran (Goldman et al., 2011).
4. Dermabrasi: dermabrasi bukan merupakan modalitas terapi standar karena efek samping seperti hiperpigmentasi post inflamasi, milia, pruritus, pembentukan keloid, meskipun pada beberapa penelitian melasma dapat disembuhkan tanpa kekambuhan (Situm et al., 2011).
2.1.8.3 Antioksidan dalam terapi melasma
Antioksidan antara lain alpha tocopherol, vitamin C (asam askorbat), methimazole, hydrocoumarin, thioctic acid dan phenol/catechol. Secara umum antioksidan memberikan efek hipopigmentasi melalui interaksi dengan o-quinone yang melawan polimerisasi melanin, atau dengan copper pada tempat aktif tirosinase.Antioksidan dapat mengatur proses signaling dengan mengambil ROS pada kulit. Sebagai contoh, alpha tocopherol dan derivatnya dapat mengatur melanogenesis, berefek pada peroksidasi lipid membran dan meningkatkan kandungan glutathione intraseluler. Asam askorbat sebagai antioksidan berefek pada melanogenesis dengan mengurangi dopaquinine menjadi DOPA, mencegah produksi radikal bebas dan menyerap radiasi ultraviolet (Shweta et al., 2011;
Handog et al., 2009).
Banyak penelitian menunjukkan suplementasi vitamin efektif melindungi kulit terhadap paparan sinar matahari, yang menjadi masalah adalah penentuan dosis. Dosis vitamin yang digunakan secara umum lebih tinggi daripada yang dikonsumsi dari diet sehari-hari. Selain itu, kombinasi antioksidan yang berbeda memberikan efek yang sinergis. Vitamin C dapat mengaktifkan antioksidan lain seperti vitamin E melalui pengaktifan kembali ɑ-tokoferol dari radikal tokoferol.
Vitamin E yang diberikan 400 IU/hari secara oral selama 6 bulan tidak signifikan meningkatkan proteksi terhadap UV. Asupan vitamin C secara oral memperlihatkan bioavaibilitas sempurna tercapai pada dosis 200 mg/hari.
Sedangkan untuk pemakaian secara topikal, kadar vitamin C di kulit meningkat 20-40 kali lipat. Penelitian dengan 12 orang sukarelawan, vitamin C diberikan 500 mg/hari selama delapan minggu, tidak mempunyai efek terhadap eritema yang diinduksi sinar UV (Pandel et al., 2013).
2.2 Reactive Oxygen Species (ROS), Stres Oksidatif dan Malondialdehid (MDA)
2.2.1 Reactive Oxygen Species (ROS)
Reactive oxygen species adalah molekul yang mengandung oksigen, bersifat sangat reaktif, yang secara alami didapatkan dalam jumlah kecil akibat dari reaksi metabolik tubuh, dan dapat bereaksi serta merusak biomakromolekul seperti lipid, protein, atau DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Istilah ROS digunakan untuk mendeskripsikan beberapa molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen (Turrens, 2010). Radikal bebas adalah suatu spesies atau senyawa independen yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada
orbital atom atau molekulnya. Keadaan ini menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya sehingga mengakibatkan kaskade rantai reaksi dan memicu kerusakan sel dan penyakit (Gabrielli et al., 2012).
Macam-macam ROS adalah sebagai berikut (Kooter, 2004) : 1. Radikal ion superoksida (O2•-).
2. Radikal Peroksil (•OOH).
3. Hidrogen Peroksida (H2O2).
4. Radikal Hidroksil (•OH).
5. Oksigen Singlet (O2).
ROS akan terbentuk setiap saat dalam berbagai kegiatan, bahkan ketika kita sedang bernafas. Radikal bebas dapat terbentuk melalui 2 cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel, misalnya rantai respirasi, fagositosis, sintesis prostaglandin dan sistim sitokrom P450 dan secara eksogen (misalnya merokok, sinar ultraviolet, obat-obatan, pestisida, pelarut industri, polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Kumar, 2011 ; Winarsi, 2007).
Kadar ROS yang rendah penting untuk fungsi fisiologi normal, seperti misalnya ekspresi gen, pertumbuhan sel dan pertahanan terhadap infeksi. Aktivasi makrofag dan netrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Enzim oksidase dan oksigenase akan membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorit (HOCI), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau bakteri. Namun di
sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya, karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Kunwar dan Priyadarsini, 2011 ; Winarsi, 2007).
ROS bersifat toksik terhadap sel karena dapat bereaksi dengan makromolekul, seperti lipid, protein, dan DNA (Wu dan Cederbaum, 2003).
Target yang paling rentan adalah asam lemak tidak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acids/ PUFA). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika radikal bebas bereaksi dengan senyawa PUFA. Jembatan metilen yang dimiliki PUFA merupakan sasaran utama bagi radikal bebas, yang akan membentuk radikal alkil, peroksil, dan alkoksil. Reaksi berantai yang ditimbulkan oleh peroksidasi lipid bersifat sangat merusak, dan menyebabkan baik efek secara langsung maupun secara tidak langsung. Selama terjadi kerusakan oleh peroksidase lipid, akan dilepaskan produk-produk toksik yang dapat merusak pada area yang jauh dari area terbentuknya reaksi peroksidasi lipid, bertindak sebagai second messenger.
Bentuk radikal asam lemak tersebut adalah diena terkonjugasi, termasuk di dalamnya hidroperoksida, alkohol, aldehid, ataupun alkana (Winarsi, 2007).
2.2.2 Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan. Hal ini disebabkan oleh pembentukan ROS yang melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan, atau menurun atau menetapnya kemampuan antioksidan. Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai sistem pertahanan dalam tubuh dapat melindungi sel dan jaringan melawan ROS ini (Winarsi, 2007).
Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu : antioksidan enzimatis (misalnya Superoksida Dismutase/SOD, katalase, dan glutation peroksidase), dan antioksidan non-enzimatis (misalnya tokoferol, karotenoid, dan asam askorbat). Menurut Belleville-Nabet (1996), secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh, yaitu :
1. Sistem pertahanan preventif, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder atau disebut juga dengan antioksidan non-enzimatis. Dalam hal ini, terbentuknya ROS dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya, sehingga tidak akan bereaksi dengan komponen seluler.
2. Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan primer atau antioksidan enzimatis.
Pada kondisi–kondisi tertentu, terjadi masalah ketika produksi ROS melebihi eliminasinya, yang bisa disebabkan karena produksi berlebihan selama terjadi trauma atau karena kerusakan sistem antioksidan alami. Keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, disebut dengan stres oksidatif (Sies, 1997).
Sebuah postulat ‘Teori Radikal Bebas’ menyatakan bahwa, dengan terakumulasinya kerusakan akibat radikal bebas dan stres oksidatif, maka sejumlah proses biokimia dan proses seluler mulai berjalan secara ‘tidak normal’
(DeHaven, 2007).
Radikal bebas selain memiliki reaktivitas yang sangat tinggi, juga bersifat tidak stabil dan berumur sangat singkat (Winarsi, 2007). Oleh karena itu, maka
pengukuran stres oksidatif dilakukan berdasarkan pengukuran biomarker dari kerusakan oksidatif pada makromolekul seperti lipid, protein, dan DNA. Secara tidak langsung, stres oksidatif juga dapat diukur dengan mengestimasi kapasitas pertahanan antioksidan pada serum, plasma, atau cairan tubuh lainnya (Deverts, 2007).
Berikut ini tabel yang menunjukkan biomarker daripada kerusakan oksidatif pada makromolekul :
Tabel 2.1. Biomarker Kerusakan Oksidatif (Deverts, 2007)
Biomarker Availabilitas
1. Peroksidasi lipid
Malondialdehid (MDA) Plasma, serum, saliva, urine, kondensat ekshalasi nafas 2. Oksidasi Protein
Karbonil protein Plasma, serum
3. Oksidasi DNA
8-hidroksi-2-deoksiguanosin Plasma, serum, urine
2.2.3 Malondialdehid (MDA)
Oksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya, sehingga reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari stres oksidatif (Winarsi, 2007).
Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA merupakan indikator peroksidasi lipid (Fuchs et al, 2001). Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2. MDA dapat bereaksi dengan komponen
nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan aminofosfolipid secara kovalen (Winarsi, 2007).
MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas, sehingga konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Winarsi, 2007).
Kadar MDA serum didapatkan dengan metode yang berdasarkan reaksi dengan thiobarbituric acid (TBA) pada suhu 90-1000C. Pada reaksi tes TBA, MDA atau MDA-like substances bereaksi bersama untuk memproduksi pigmen merah muda yang mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang 532 nm. Reaksi terbentuk pada pH 2-3 dengan suhu 900C selama 15 menit. Sampel dicampur dengan dua volume dingin 10% (w/v) asam trikloroasetik untuk mengendapkan protein. Endapan tersebut dipisahkan dengan sentrifugasi, dan supernatant direaksikan dengan volume yang sama 0,67% (w/v) TBA dalam air mendidih selama 10 menit. Setelah didinginkan, absorbs dibaca dengan panjang gelombang 523 nm. Hasilnya dinyatakan dengan μmol/L sesuai dengan grafik standar, yang dipersiapkan dengan dilusi serial dari 1,1,3,3-tetramethoxypropane (Seckin et al., 2013).
Penelitian yang menganalisa hubungan MDA dengan jenis kelamin dan usia, mendapatkan hasil bahwa dengan analisa varian menunjukkan tidak ada interaksi dengan jenis kelamin dan usia, tetapi analisa berbeda menunjukkan efek
independen jenis kelamin (p = 0,03), tetapi tidak usia (p = 0,11). Perokok mempunyai konsentrasi rata-rata MDA yang sedikit lebih timggi daripada bukan perokok (p = 0,05). Korelasi positif juga ditunjukkan antara MDA serum dengan konsumsi alkohol mingguan. Pada kehamilan normal terdapat peningkatan stres oksidatif, peroksidasi lipid pada sirkulasi darah maternal dan jaringan plasenta, disertai pula dengan peningkata antioksidan (Nielsen et al., 1997).
2.3 Hubungan Stres Oksidatif dan Melasma
Melasma merupakan bentuk epidermal melanotic hyperpigmentation namun penelitian pada akhir-akhir ini membuktikan bahwa terjadi peningkatan aktivitas dan jumlah melanosit pada penderita melasma (Kang et al, 2011).
Sintesis melanin dapat terjadi karena pajanan sinar matahari secara langsung maupun tidak langsung. Efek oksidatif radiasi ultraviolet berkontribusi dalam aktivasi melanogenesis. Radiasi ultraviolet dapat memproduksi reative oxygen species (ROS) pada kulit yang dapat menginduksi melanogenesis dengan aktivasi tirosinase sebagai enzim yang lebih menyukai radikal anion superoksida (O2-) lebih dari O2. Agen redoks dapat juga mempengaruhi pigmentasi kulit melalui interaksi dengan tembaga (copper) sebagai lokasi aktif tirosinase atau O- quinon untuk menghalangi polimerasi oksidatif intermediat melanin (Gillbro dan Olsson, 2011).
Faktor lain yang berperan pada timbulnya melasma adalah faktor lokal yaitu pemakaian kosmetika. Beberapa bahan yang ada dalam kosmetika wajah seperti pewangi, mulai dari benzyl alcohol sampai lavender oil, juga hidroquinon, antiseptik, PABA dan berbagai pengawet bersifat sebagai photo sensitizer yang
dapat meningkatkan pembentukan ROS dan memicu aktivitas melanosit.
Hidroquinon yang banyak digunakan sebagai pemutih kulit, selain dapat menyebabkan hipermelanosis, justru berperan sebagai sumber ROS yang dapat merusak sel dan DNA, sehingga pada pasien yang diberi obat pemutih kadang- kadang dapat terjadi reaksi sebaliknya, kulit menjadi lebih hitam. Penggunaan pemutih untuk mencegah sintesis melanin dapat menghilangkan fungsi proteksi melanin dan pada tingkat seluler terjadi kerusakan DNA yang apabila mekanisme repair tidak berhasil, sangat berisiko menghasilkan gen mutan yang akhirnya menimbulkan keganasan atau kanker kulit (Kariosentono, 2009).
Penelitian kasus kontrol oleh Ismailov dan Galdava mendapatkan hasil peningkatan kadar malondialdehid (MDA) pada pasien melasma dibandingkan dengan kontrol (p < 0,05). Kadar yang tinggi lipid peroksidase mengurangi proteksi antioksidan pada pasien dengan melasma (Ismailov dan Galdava, 2004).
Penelitian oleh Hamadi et al. (2009) menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI. Pada penelitian ini kadar MDA dan nilai MASI diukur sebelum pemberian terapi melatonin suatu antioksidan kuat. Kemudian kadar MDA diukur setelah 45, 90 dan 120 hari terapi. Nilai MASI diukur kembali setelah 15 dan 120 hari terapi. Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif yang signifikan kuat antara penurunan nilai MASI dan penurunan kadar MDA (r=0,78, p<0,01). Hal ini semakin menguatkan bukti peranan stres oksidatif dimana MDA sebagai salah satu indikatornya dalam hal timbulnya dan parahnya derajat melasma yang diukur menggunakan MASI (Hamadi et al., 2009).
Penelitian oleh Seckin dan kawan-kawan mengukur kadar MDA serum 50 orang penderita melasma dan 50 sukarelawan sehat. Diagnosis melasma secara klinis dan dievaluasi berdasarkan Melasma Area Severity Index (MASI).
Penelitian tersebut mendapatkan hasil rata-rata skor MASI adalah 21,54 ± 8,84, kadar MDA serum lebih tinggi secara signifikan (p < 0,001) pada penderita melasma dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian tersebut menunjukkan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan telah terganggu dan stres oksidatif meningkat pada melasma. Hal ini meningkatkan pengertian tentang etiologi dan patogenesis melasma dan pengobatannya (Seckin et al, 2013).