• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KADAR S100β DAN KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KADAR S100β DAN KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENINGKATAN KADAR

S100β

DAN

KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN

TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI

YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH

YOSEF SAMON SUGI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

PENINGKATAN

KADAR S100β DAN

KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN

TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM

PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT

DI RSUP SANGLAH

YOSEF SAMON SUGI NIM 1014048107

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

PENINGKATAN

KADAR S100β DAN

KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN

TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM

PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT

DI RSUP SANGLAH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

YOSEF SAMON SUGI NIM 1014048107

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL……….

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. R.A.Tuty Kuswardhani,SpPD-KGER.MARS dr. I.G.P. Suka Aryana, SpPD-KGER NIP. 195911041989032003 NIP. 197103292006041001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.SC, Prof.Dr.dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) SpGK

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal………….

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No…………, Tanggal……….

Ketua : Dr. dr. R.A.Tuty Kuswardhani,SpPD-KGER.MARS

Anggota :

1. dr. I Gusti Putu Suka Aryana, Sp.PD-KGER 2. dr. Nyoman Astika, Sp.PD-KGER

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa, karena hanya atas karunia dan izin Nya tesis yang berjudul “Peningkatan Kadar

S100β dan Kadar Interleukin-6 Serum Berkorelasi dengan Tingkat Keparahan Delirium

pada Pasien Geriatri yang Dirawat di RSUP Sanglah” dapat diselesaikan dalam rangka

menyelesaikan pendidikan di Program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Kedokteran

Biomedik Universitas Udayana.

Tulisan ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang dijalani Penulis

untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran

Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat, rasa kagum dan

penghargaan serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, SpPD-KGER.MARS selaku Pembimbing I, yang telah

memberikan banyak sekali masukan dan bimbingan serta semangat kepada penulis selama

penyusunan tesis ini.

2. dr. I Gusti Putu Suka Aryana, SpPD-KGER selaku pembimbing II, yang telah banyak

memberikan bimbingan, banyak sumber masukan dan dorongan serta semangat kepada

penulis selama penyusunan tesis ini.

3. Bapak Rektor Universitas Udayana saat itu, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada

Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana.

(7)

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada

Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana.

5. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT. M.Kes

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister

pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana

6. Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka

Sudewi, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana.

7. Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.SC, SpGK selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran

Biomedik Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas

Udayana.

8. Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK

Universitas Udayana, atas kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

9. Kepala Program Studi Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD KGEH atas

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

10.dr. Nyoman Astika, SpPD-KGER, Dr. dr. Wayan Sudhana, SpPD-KGH, dan Dr. dr. Desak

Made Wihandani, M.Kes, selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan

masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

11.Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit

(8)

mantan Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada

masanya telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi.

12.Para dosen pengajar dan rekan-rekan residen Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan

doa dan dorongan.

13.Ayahanda Drs. Yoseph Sugi, MSc beserta ibunda Petronela Neno atas doa, dukungan dan

pengertiannya selama menempuh pendidikan

14.Kakak dan adik, Fransiska V. Sugi, Antonius R.B. Ola, Maria D.N Sugi, Felix Sugi dan

Gavriel A. Sugi atas doa, dukungan dan pengertiannya selama menempuh pendidikan.

15.dr. Petrus Irianto, dr. Anselmus Ake, dr. Yohanes SP, teman-teman “IRB 2010” dan

teman-teman lainnya, terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian berikan selama ini.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam

pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang

Maha Esa, senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada mereka semua.

Akhir kata, tiada gading yang tidak retak, untuk itu penulis berharap dengan segala

kekurangan dalam tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi, bagi program

pendidikan Magister Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Denpasar, April 2016

Penulis,

(9)

ABSTRAK

PENINGKATAN KADAR S100β DAN

KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI

YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH

Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Pasien-pasien yang mengalami delirium, ketika dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak mengalami delirium, menjalani perawatan yang lebih lama. S100β merupakan

calcium-binding protein yang disekresi oleh astrosit dibawah pengaruh kondisi metabolik stres dan merupakan biomarker yang menandakan kerusakan dari sistem saraf pusat. Sedangkan peningkatan kadar IL-6 (penanda neuroinflamasi) berhubungan dengan risiko terjadinya delirium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara kadar S100β dan kadar interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri.

Rancangan penelitian ini merupakan penelitian potong lintanganalitik untuk mengetahui korelasi antara kadar S100β serum dan kadar interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium.Tingkat keparahan delirium diukur menggunakan kuesioner. Setiap subyek penelitian akan dilakukan pemeriksaan kadar S100β dan kadar IL-6 serum dengan menggunakan metode ELISA.

Penelitian ini melibatkan 72 subyek penelitian, laki-laki 38 (52,8%) dan perempuan 34 (47,25%). Rerata usia subyek adalah 68 ± 6,96. Median S100B 5520 pg/ml (950,87-7741,89 pg/ml). Median IL-6 86,19 pg/ml (1,03-376,80 pg/ml). Median MDAS 17 (13-24). Tidak didapatkan korelasi antara kadar S100B serum dengan tingkat keparahan delirium (r = -0,038, p = 0,752). Tetapi, pada penelitian ini didapatkan korelasi antara kadar IL-6 dan Charlson’s age -comorbidity index dengan tingkat keparahan delirium (r = 0.421, p = 0.000; r = 0,483, p = 0,000,).

Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara kadar S100B serum dengan tingkat keparahan delirium, tetapi didapatkan korelasi antara kadar IL-6 dan skor CACI dengan tingkat keparahan delirium.

(10)

ABSTRACT

INCREASING LEVELS OF S100β AND INTERLEUKIN-6 SERUM CORRELATE WITH DELIRIUM SEVERITY IN GERIATRIC PATIENTS

THAT ADMITTED IN SANGLAH HOSPITAL

Delirium is a complex neuropsychiatric syndrome with acute onset and fluctuating. Patients who experienced delirium, when compared with patients who did not experience delirium, have longer hospital stay. S100β is a calcium-binding protein secreted by astrocytes under the influence of metabolic stress conditions and a biomarker that indicates damage of the central nervous system. While increased levels of IL-6 (a marker of neuroinflamasi) associated with risk of delirium. Aim of this study is to investigate the correlation between levels of S100β and levels of interleukin-6 with the severity of delirium in elderly patients.

The study design was cross-sectional analytical study on the correlation between levels of S100β and levels of interleukin-6 with severity of delirium. Delirium severity was measured using a Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) questionnaire. Levels of S100β and IL-6 will be measured using the ELISA.

The study involved 72 study subjects, 38 males (52.8%) and 34 women (47.25%). The mean age of subjects was 68 ± 6.96. Median S100B 5520 pg / ml (950.87 to 7741.89 pg / ml). Median IL-6 63.58 pg / ml (1.03 to 376.80 pg / ml). Median MDAS 17 (13-24). In this study, there is no correlation between levels of S100B with severity of delirium (r = -0.038, p = 0.752). However, there is significant correlation between levels of IL-6 and Charlson's age-comorbidity index with the severity of delirium (r = 0.421, p = 0.000; r = 0,483, p = 0,000).

In this study, there is no correlation between levels of S100B with the severity of delirium, but levels of IL-6 and scores of CACI have correlation with the severity of delirium.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ...i

PRASYARAT GELAR ...ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……… ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5

(12)

2.1.1 Definisi Delirium ... 5

2.1.2 Epidemiologi ... 5 2.1.3 Etiologi 6 2.1.4 Patogenesis ... 8

2.1.5 Gambaran Klinis ... 9

2.1.6 Diagnosis... 14

2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium ... 17

2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan terjadinya delirium ... 17

2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak ... 19

2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi 19

2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak ... 20

2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-Molekul dalam Sirkulasi Sistemik ... 21

2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi .... 22

2.3 Peranan Proses Penuaan pada Delirium………. 25

2.4 Biomarker Delirium ... 26

2.4.1 S100 Calcium Binding Protein B (S100β) ... 29

2.4.2 Interleukin-6 ... 30

2.5 Instrumen Diagnosis Delirium ... 30

2.5.1 Confusion Assesment Scale (CAM) ... 31

(13)

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .... 35

3.1 Kerangka Berpikir ... 35

3.2 Konsep Penelitian ... 37

3.3 Hipotesis ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 38

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 38

4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian ... 38

4.5 Sampel dan Besar Sampel ... 39

4.6 Variabel Penelitian ... 40

4.7 Definisi Operasional Variabel ... 40

4.8 Alat dan Bahan Penelitian ... 41

4.9 Prosedur Penelitian ... 42

4.10 Alur Penelitian ... 43

4.11 Analisis Data ... 43

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 45

5.2 Hubungan antara Kadar S100B dengan Tingkat Keparahan Delirium . 47 5.3 Hubungan antara Kadar IL-6 dengan Tingkat Keparahan Delirium ... 51

(14)

Keparahan Delirium ... 54

5.5 Keterbatasan Penelitian ... 57

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1 Simpulan ... 58

6.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Beberapa Instrumen Klinis untuk Diagnosis Delirium... 24

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 47

5.2 Hasil Uji Korelasi antara Kadar S100B, Kadar IL-6 dan Charlson’s Age Comorbidity Index

dengan Tingkat Keparahn Delirium ... 48

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Model Multifaktorial dari Delirium ... 8

2.2 Teori-teori Terjadinya Delirium ... 9

2.3 Pengenalan dan Propagasi dari Rangsangan Imun Perifer pada SSP .... 22

3.1 Kerangka Berpikir ... 34

3.2 Konsep Penelitian ... 35

4.1 Alur Penelitian ... 41

5.1 Korelasi antara kadar S100B dengan Tingkat Keparahan Delirium…... 48

5.2 Grafik Perbandingan rerata kadar S100B pada kelompok delirium ringan,

sedang dan berat………... 51

5.3 Korelasi antara kadar IL-6 dengan Tingkat Keparahan Delirium……… 52

5.4 Grafik Perbandingan rerata kadar IL-6 pada kelompok delirium

ringan, sedang dan berat……… ... 54

5.5 Korelasi antara CACI dengan Tingkat Keparahan Delirium ... 55

5.6 Grafik Perbandingan rerata skor CACI pada kelompok delirium

(17)

DAFTAR SINGKATAN

Apo : Apolipoprotein

AMTS : Abbreviated Mental Test Score

BDNF : Brain-derived Growth Factor

CACI : Charlson’s Age-Comorbidity Index

CAM : Confusion Assesment Scale

CD : Class of Differentiation

CRP : C-reactive protein

DOSS : Delirium Observational Screening Scale

DRS : Delirium Rating Scale

DSM : Diagnostic and Statistic Manual

EEG : Elektroensefalografi

FDA : Food and Drug Asociation

GABA : Gamma Aminobutyric Acid

GAR : Global Attentiveness Rating

HELP : Hospital Elder Life Program

MDAS : Memorial Delirium Assesment Scale

MMSE : Mini Mental Scale Examination

MRI : Magneting Resonance Imaging

NICE : National Institute for Health and Care

Excellence

(18)

NSE : Neuro-specific Enolase

ROS : Reactive Oxygen Species

S100 Calcium Binding Protein B : S100β

SAA : Serum Aktivitas Antikolinergik

SN : Substantia Nigra

SSP : Sistem Saraf Pusat

TLR : Toll-like Receptor

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance……… 62

Lampiran 2. Informed Consent………... 64

Lampiran 3. Formulir Persetujuan….………..…... 66

Lampiran 4. Rencana Jadwal Penelitian ……….. 67

Lampiran 5. Anggaran Biaya Penelituan ……… 68

Lampiran 6. Formulir Pengumpulan Data……….. 69

Lampiran 7. Prosedur Pemeriksaan S100B Serum ……….. 77

Lampiran 8. Prosedur Pemeriksaan IL-6 Serum……….. 78

(20)

1 B A B I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Delirium yang dikenal juga dengan sebutan acute confusional state adalah

sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan

berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang

mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu delirium juga

mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang mengalami gangguan

depresi (Mittal dkk, 2011).

Pada penelitian yang terbaru di Inggris, prevalensi delirium sebesar 20% pada

pasien yang dirawat di rumah sakit. Beberapa penelitian menunjukkan sekitar

14%-24% pasien usia lanjut dirawat di rumah sakit karena delirium dan delirium sendiri

terjadi pada 50% pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit (Saxenal, 2009).

Pasien-pasien yang mengalami delirium, ketika dibandingkan dengan

pasien-pasien yang menderita penyakit yang sama tetapi tidak mengalami delirium,

menjalani perawatan yang lebih lama, rata-rata 5-10 hari lebih lama meskipun telah

dilakukan kontrol terhadap beberapa kovariat (Boettger, 2014).

Penyebab delirium merupakan multifaktorial. Adanya interaksi antara faktor

presipitasi (infeksi, inflamasi, pembedahan, trauma dan obat-obat psikoaktif) , faktor

predisposisi (usia, gangguan kognitif dan sensoris, penyakit komorbid) dan faktor

protektif menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan neurotransmiter di otak. Pada

pasien geriatri biasanya menggunakan Charlson’s Age Comorbidity Index untuk

menilai pengaruh usia dan penyakit komorbid terhadap angka morbiditas dan angka

(21)

2

sawar darah otak yang ditandai dengan peningkatan kadar S100 Calcium Binding

Protein β (S100β) dan perubahan pada transmisi sinaptik, tingkat eksitabilitas sel

saraf dan aliran darah otak, yang menyebabkan gejala neurobehavioral dan kognitif

(Cerejeira, 2010). Pada sebuah penelitian case–control tahun 2011 menemukan

hubungan antara aktivitas mikroglia, sel astrosit dan interleukin (IL)-6 dengan

delirium, dimana peningkatan kadar IL-6 berhubungan dengan risiko terjadinya

delirium (Van Munster, 2011).

Protein S100β merupakan calcium-binding protein yang disekresi oleh

astrosit dibawah pengaruh kondisi metabolik stres dan merupakan biomarker yang

menandakan kerusakan dari sistem saraf pusat (SSP) (Maldonado, 2013). Beberapa

penelitian menunjukkan peningkatan kadar serum S100β pada pasien-pasien yang

mengalami delirium dan berhubungan dengan tingkat keparahan dari delirium

(Stoicea, 2014).

Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh tenaga medis

profesional dimana sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak

terdiagnosis. Studi terbaru di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di

unit gawat darurat melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini

berhubungan dengan beberapa faktor seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang

tindih dengan demensia dan depresi, jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif

secara formal di rumah sakit umum, kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis,

dan gagal memikirkan pentingnya diagnosis tersebut (Han, 2010).

Secara klinis penegakan diagnosis delirium dapat menggunakan beberapa alat

bantu yaitu Confusion Assesment Method (CAM), Diagnostic and Statistic Manual

(22)

3

(DRS), Delirium Observational Screening Scale (DOSS), Nursing Delirium

Screening Scale dan Global Attentiveness Rating (GAR). CAM merupakan

instrumen skrining delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R.

CAM dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis

nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Sedangkan untuk

mengukur severitas dari delirium, pemeriksaan MDAS dan DRS merupakan alat

bantu yang paling sering dipakai (Adamis, 2010; Grover, 2012).

1.2Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

Apakah peningkatan kadar S100β dan kadar IL-6 serum berkorelasi dengan

tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri?

1.3Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan

delirium pada pasien geriatri.

1.3.2 Tujuan khusus

Untuk membuktikan adanya korelasi antara kadar S100β dan kadar

interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat akademik/ilmiah

Jika peningkatan kadar S100β serum dan kadar IL-6 terbukti berkorelasi

dengan tingkat keparahan delirium, maka dapat memberikan kontribusi

(23)

4

1.4.2 Manfaat praktis

Memberikan masukan untuk stratifikasi tingkat keparahan delirium, sehingga

bermanfaat untuk diagnosis dan pengobatan dini delirium pada pasien

(24)

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Delirium

2.1.1 Definisi

Kata delirium berasal dari istilah latin delirareyang berarti menjadi “gila atau

marah”. Istilah ini telah didokumentasikan di dalam literatur medis selama lebih dari

2000 tahun. Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan

istilah phrenitis (gila) dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtipe

hiperaktif dan hipoaktif. Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh

Celsus di abad pertama setelah Masehi untuk mendeskripsikan gangguan mental

yang berhubungan dengan demam atau trauma kepala ( Mittal dkk., 2011) .

Berbagai istilah telah digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan

delirium, meliputi acute confusional state, acute brain syndrome, acute cerebral

insufficiency, dan toxic-metabolic encephalopathy. Namun, delirium sekarang

menjadi istilah yang dipilih dan disarankan untuk menerima istilah acute confusional

syndrome sebagai sinonim untuk sindrom ini (Fong., 2009; Mittal dkk., 2011).

Delirium merupakan adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks

dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan

fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain

itu delirium juga mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang

mengalami gangguan depresi (Mittal dkk., 2011).

2.1.2 Epidemiologi

Delirium adalah kondisi yang sering terjadi dan bersifat serius, terutama pada

lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dan menyerang sekitar 30% diantaranya.

(25)

2

Studi terbaru melaporkan prevalensi delirium sebesar 10-31% saat pasien masuk dan

insiden 3-29% selama masa rawat (Boettger, 2014).

Risiko meningkat secara eksponensial di ruang rawat intensif, dengan

prevalensi mencapai 80% dan di unit rawat paliatif dimana prevalensi dilaporkan

sebesar 85%. Angka yang lebih tinggi juga ditemukan di kondisi bedah dengan

insiden dilaporkan 10-70% setelah pembedahan, terutama pada pasien yang

menjalani operasi kardiotoraks, prosedur ortopedi emergensi (perbaikan fraktur

panggul), bedah vaskuler, atau operasi katarak (Munster, 2009). Studi pada lanjut

usia yang datang ke unit gawat darurat melaporkan prevalensi 5-30% (Han, 2009).

Selain sebagai tempat rawat jangka panjang, penghuni panti jompo

merepresentasikan kelompok yang rentan, dan diperkirakan prevalensi delirium

sekitar 3,4-33,3%. Di masyarakat, sesuai perkiraan, prevalensi rendah, berkisar

antara 1-2% (Miller, 2008).

2.1.3 Etiologi

Etiologi delirium biasanya multifaktorial. Namun, penelitian telah berhasil

mengidentifikasi faktor risiko konsisten untuk delirium yang diklasifikasikan

menjadi dua kelompok yakni faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor

predisposisi adalah faktor yang membuat orang lanjut usia lebih rentan terhadap

delirium dan faktor presipitasi terdiri dari faktor akut yang mencetuskan terjadinya

delirium. Kombinasi kedua faktor itu harus ada pada orang lanjut usia yang delirium.

Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia lanjut, jenis kelamin pria,

demensia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual dan pendengaran,

ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan malnutrisi,

polifarmasi (terutama obat psikoaktif), penyalahgunaan alkohol dan kondisi medis

(26)

3

Adapun beberapa faktor risiko terkait dengan delirium diantaranya usia yang

lebih dari 65 tahun, adanya riwayat delirium, riwayat trauma/pembedahan, adanya

komorbid demensia, depresi, gagal ginjal, penyakit hati, penurunan fungsi

penglihatan dan pendengaran, serta adanya pengobatan spesifik (antikolinergik,

narkotika, benzodiazepines, hipnotiks, anti inflamasi, beta bloker, diuretiks, dan

antidepresan). Selain itu faktor risiko lain yang memicu delirium yakni adanya

multifarmaka, stimulus lingkungan yang berlebihan, ketergantungan alkohol/obat,

abnormalitas metabolik (elektrolit,kadar gula), infeksi akut (infeksi saluran kemih,

pneumonia), serta ketidakadekuatan kontrol rasa nyeri (Maldonado, 2013). Setelah

bertambah tuanya usia, demensia menjadi faktor risiko paling sering kedua untuk

terjadinya delirium. Menurut Inouye pada tahun 2006, kerentanan yang mendasari

otak pada pasien demensia dapat menjadi predisposisi bagi mereka untuk mengalami

delirium, sebagai akibat gangguan yang berhubungan dengan penyakit medis akut,

obat, serta faktor lingkungan (Inouye, 2006). Menurut Saxena dan Lawley pada

tahun 2009, faktor presipitasi yang paling sering adalah: penyakit yang terjadi

bersamaan (misalnya infeksi), komplikasi iatrogenik, gangguan metabolik, kondisi

neurologis primer (misalnya stroke akut), operasi, obat (terutama benzodiazepin,

analgetik narkotik, dan obat dengan efek antikolinergik). Nyeri yang tak terkontrol

juga berhubungan dengan terjadinya delirium. Faktor lingkungan seperti masuk

ruang rawat intensif, pasien dalam kondisi terikat, atau kateterisasi kandung kemih

juga berkontribusi pada terjadinya delirium. Dalam konteks ini, Inouye dan

Charpentier pada tahun 1996 menyajikan suatu model untuk memprediksikan

terjadinya delirium pada pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dengan

(27)

4

penggunaan lebih dari tiga obat pada hari sebelumnya, penggunaan kateter kandung

kemih, dan kejadian iatrogenik), berhubungan dengan sejumlah faktor presipitasi

(Cerejeira, 2010).

Gambar 1.

Model Multifaktorial dari Delirium (Maldonado, 2013)

2.1.4 Patogenesis Delirium

Walaupun prevalensi dan angka morbiditasnya yang tinggi, mekanisme

patogenesis dari delirium masih belum jelas sampai saat ini. Selama beberapa tahun

ini, proses metabolik telah diperkirakan sebagai penyebab dari delirium. Sekitar lima

puluh tahun lalu, Engel dan Romano mengatakan bahwa terganggunya fungsi

metabolik mendasari terjadinya delirium dan hal ini digambarkan dengan terjadinya

gangguan pada berbagai fungsi kognisi. Oleh karena itu, delirium merupakan

sindrom neurobehavioral yang disebabkan oleh disregulasi aktivitas sel saraf akibat

gangguan sistemik (Maldonado, 2013).

Dalam beberapa tahun ini, beberapa teori telah dikemukan telah mencoba

menjelaskan proses yang menyebabkan terjadinya delirium. Setiap teori yang

(28)

5

spesifik. Beberapa teori telah diusulkan sebagai penyebab dari delirium, diantaranya

adalah teori neuroinflamatory, neuronal aging, stres oksidatif, defisiensi

neurotransmiter, neuroendokrin, disregulasi diurnal dan network conectivity. Sampai

saat ini belum ada mekanisme patofisiologi tunggal yang telah didentifikasi sebagai

penyebab delirium. Hampir semua teori-teori ini saling melengkapi bukan saling

bersaing dalam menjelaskan terjadinya delirium. Oleh karena itu, teori-teori ini

tampaknya tidak ada yang mampu menjelaskan secara sendiri-sendiri penyebab

ataupun gejala delirium. Tetapi dua atau lebih teori-teori ini bersama-sama

menyebabkan gangguan biokimiawi yang kemudian menyebabkan terjadinya

delirium (Maldonado, 2013).

Gambar 2.

Gambaran skematik yang menunjukkan interrelationship dari teori-teori ini dalam patofisologi terjadinya delirium (Maldonado, 2013).

2.1.5 Gambaran Klinis

Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya

sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi,

Faktor presipitasi delirium

(infeksi, trauma, obat – obat anestesi,

(29)

6

dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang

bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi,

gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh

demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau

temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis

langsung dari suatu kondisi medis umum, atau intoksikasi/withdrawal senyawa, atau

karena berbagai penyebab (Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).

Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar

pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak

memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap

lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi kesadaran.

Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma.

Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap

dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran

dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran

tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).

Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal,

yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada

pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim

untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti

mengantuk atau gangguan tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak

(30)

7

Ektrim yang berlawanan, sangat waspada, juga dapat terjadi, terutama pada kasus

withdrawal alkohol atau obat sedatif (lebih jarang pada lanjut usia).

Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus

yang relevan dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku

terhadap stimulus tersebut, dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang

lebih baru, mengorientasi ulang perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus.

Perhatian merupakan fungsi yang berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat

dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat perhatian masih mungkin ditemukan

pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan konsentrasi penuh tidak mungkin

ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya, perhatian dapat menurun secara

patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan kesadaran tertentu

(Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).

Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah

satu dari gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan

perhatiannya oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa

yang dikatakan pada anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus

diulang karena perhatian subyek menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau

multipel dalam hal kognitif, meliputi gangguan memori dan disorientasi. Faktanya,

karena penurunan perhatian, registrasi informasi baru dapat terganggu sehingga

mempengaruhi memori dan fungsi orientasi tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011;

Martins dan Fernandes, 2012).

Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya

informasi yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak

(31)

8

Disorientasi biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya

terhadap tempat. Namun, disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap

dengan sakit berat yang lama, tanpa acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara

menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat terganggu pada kondisi delirium

tertentu (Martins dan Fernandes, 2012).

Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih

berhubungan dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab

spesifik, atau tetap masih tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses.

Pada kasus gangguan global yang berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga

hanya ada sedikit kemungkinan untuk menilai bahasa, memori, dan isi pikiran.

Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup membaca, hanya sedikit terpengaruh

dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau stadium awal. Sejumlah hal

spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan delirium. Dalam satu

studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan yang ditemukan

pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam bentuk

gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat

dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan

(sehingga menjadi perseverasi), bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat

ditemukan atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah

penggunaan kata yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan

sehingga tidak berhubungan dengan konteks, tidak seperti parafasia (Maldonado,

2013).

Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes

(32)

9

atau tidak logis. Pasien mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau

melakukan tugas sederhana. Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul

delusi pada sekitar 30% kasus, terutama dengan sifat paranoid atau persekutor

(Popeo, 2011).

Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium

yang meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus

yang sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa

bayangan dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi

juga dapat meliputi halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual

merupakan yang paling sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah

kasus dapat terjadi di siang hari segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi

cenderung sederhana, kadang hanya berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga

dapat meliputi hewan yang berbahaya atau gambar aneh (Martin dan Fernandes,

2012).

Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium

yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan

siklus tidur-bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di

malam hari, fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar

terbalik. Sejumlah studi telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama

gangguan irama sirkadian dan fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting

pada sindrom sundowning. Fenomena ini ditemukan pada pasien delirium yang

bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore atau malam hari. Sindrom ini juga

dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input sensorik di malam hari

(33)

10

Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium,

dengan aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien

dapat mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain,

pasien juga dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor.

Gangguan emosi seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan

euforia juga dapat terjadi. Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti kondisi medis atau bedah, karakteristik personal, gangguan psikiatrik

premorbid, atau peristiwa hidup terbaru (Boettger, 2012).

Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih

luas. Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling

berat sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme

akinetik, kondisi sadar minimal, delirium/kondisi konfusional. Taksonomi tersebut

akan menjadi satu kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang

membatasi antara satu derajat dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan

memungkinkan kesatuan beratnya penyakit tersebut terkait delirium itu sendiri, yang

saat ini telah ditinggalkan pada DSM-IV (Boettger, 2013).

2.1.6 Diagnosis

Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis.

Sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru

di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat

melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor

seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi,

jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum,

(34)

11

diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk tidak dikenalinya delirium

oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan penglihatan, dan

demensia (Han, 2010).

Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang

fluktuatif. Penting untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta

perjalanan perubahan kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat

jika sebelumnya terdapat pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis,

penting untuk mencari informasi dari anggota keluarga/caregiver, dan/atau staf

medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus diperiksa lebih dari satu kali sehari di

siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi gejala ( Mittal dkk., 2011).

Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis delirium yakni diantaranya pemeriksaan neurologi,

pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan

fungsi kognitif dengan alat yang sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental

test score (AMTS). Disamping itu perlu dievaluasi adanya kondisi demam dan

ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk

mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,

kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar gula darah, foto polos dada,

elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis ( Mittal dkk., 2011).

Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan

kognitif harus meliputi alat skrining kognitif global (misalnya: Mini Mental State

Examination,MMSE) serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang

dapat mendeteksi penurunan perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan

yaitu Digit Span Test dan Trail Making Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk

(35)

12

kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan, berdasarkan beratnya delirium, tugas

kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh perhatian yang dibutuhkan pada

tugas tersebut (Grover., 2012).

Berdasarkan pedoman internasional terbaru (NICE 2010), semua orang tua

yang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining

untuk mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif

menggunakan uji kognitif singkat (misalnya MMSE). Jika teridentifikasi perubahan

baru atau fluktuasi pada fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial

pada mereka yang berisiko, pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria

DSM-IV atau Confusion Assesment Method (CAM) untuk menegakkan diagnosis.

Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional medis yang terlatih baik (Grover,

2012).

Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang

banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan

mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat

dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik,

berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan

fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan

tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2,

disertai 3 atau 4 (Vietarra DW., 2012). Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit,

ICU) atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat

berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi

review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM

(36)

13

Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu,

pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit

infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler.

Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen.

Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu,

pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal.

Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar

ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein (CRP), fungsi

hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan

senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada

penyakit ini (Mittal dkk, 2011).

Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih

akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk

mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat

dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi (EEG)

bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan

pemeriksaan klinis (misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada

kepala) atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat

dilakukan pemeriksaan fisik (Choi, 2012)

2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium

2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan

terjadinya Delirium

Inflamasi sistemik sering merupakan gambaran yang nyata dari beberapa

(37)

14

ini melibatkan kerusakan jaringan dan atau infeksi. Oleh karena itu, delirium

merupakan manifestasi yang paling sering dari disfungsi multiorganik. Misalnya

pada kondisi sepsis, yang merupakan gambaran klinis dari infeksi saluran kemih atau

pneumonia (khususnya pada pasien lansia yang mengalami dementia) (Siami dkk.,

2008) atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor (O’Keeffe, Chonchubair,

1994).

Infeksi perifer mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan

komponen spesifik dari mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) dari

bakteri gram negatif, oleh fagosit dalam sirkulasi (Sheng dkk., 2003). Banyak sekali

faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan, kehilangan darah, nyeri dan anestesi

dapat mempengaruhi fungsi dari sel imunokompeten dan menghasilkan mediator

inflamasi. Bahkan pada kondisi yang steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan

jaringan dengan pelepasan ligan endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan,

β-defensin dan kristal asam urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag

dan monosit, termasuk tumor necrosis alpha (TNF-α) dan IL-1 akan merangsang

ekspresi dari beberapa mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi

lainnya yang akan merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon

imun lokal kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik

akan meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung,

cardiopulmonal bypass tampaknya merupakan faktor risiko utama yang

mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang berkontribusi

terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar mediator inflamasi

juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada pembedahan nonkardiak

(38)

15

Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium paling banyak

terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam sirkulasi merupakan

bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara langsung membuktikan

keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya delirium berasal dari beberapa

penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-6, IL-8 dan TNF-α tinggi pada

pasien yang mengalami delirium postoperasi dibandingkan dengan yang tidak

mengalami delirium (Van Munster dkk., 2008).

2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak

2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi

Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun

perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator inflamasi

lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi

hypothalamus-pituitary-adrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks. Respon imun alamiah ini

merupakan mekasime adaptasi yang penting karena mengatur respon sentral untuk

melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam respon ini adalah

(Hopkins, 2007):

1. Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada

daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada.

2. Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada energi

(energy-dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di dalam sawar

darah otak.

3. Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang membawa

(39)

16

2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak

Penelitian-penelitian pada binatang menunjukkan bahwa rangsangan

inflamasi perifer berhubungan dengan perubahan fungsi dan molekuler sawar darah

otak. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan perubahan ekspresi protein

tight-junctional dilaporkan pada tiga model inflamasi yang berbeda. Injeksi LPS

merangsang kaskade inflamasi pada fase awal yang menyebabkan kerusakan sawar

darah otak, over-expresion dari molekul adhesi di sel endotel, perekrutan dan

infiltrasi dari derivat sel darah putih ke dalam jaringan otak (Nishioku, 2009).

Penelitian postmortem pada jaringan otak manusia juga menunjukkan hubungan

antara inflamsi sistemik dengan aktivasi sel sel endotel dan sel perivaskular.

Walaupun konfirmasi neuropatologi dari kerusakan sawar darah otak pada manusia

sangat sulit untuk dibuktikan, namun peningkatan kadar S100B dapat

dipertimbangkan sebagai bukti terjadinya peningkatan permeabilitas sawar darah

otak (Munster dkk, 2010). Oleh karena itu, beberapa kondisi yang berhubungan

dengan inflamasi sistemik akut (misalnya syok sepsis dan pembedahan jantung)

mungkin berhubungan dengan disfungsi sawar darah otak. Demikian juga, kerusakan

sawar darah otak selama episode delirium dapat disimpulkan dari penelitian yang

menunjukkan peningkatan kadar S100B serum pada pasien lansia yang menderita

penyakit medis. Begitu pula delirium yang terjadi pada fase awal syok sepsis,

berhubungan dengan leucoencephalopathy pada otak. Hal inilah yang diperkirakan

sebagai penyebab terjadinya kerusakan sawar darah otak. Sebagai tambahan, faktor

lain yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sawar darah otak adalah hipoksia,

(40)

17

2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-molekul dalam

Sirkulasi Sistemik

Pada SSP, bermacam-macam molekul, seperti LPS dapat berinteraksi secara

langsung dengan reseptor yang terdapat dalam sel endotel dan sel parenkim otak. Sel

mikroglia merupakan sel yaang paling bisa mendeteksi perubahan pada lingkungan

SSP melalui banyak resptor inti dan reseptor permukaan. Oleh karena itu, pada SSP

tikus, sel yang terletak pada pembuluh darah besar dan mikroglia mengekspersikan

Toll-like Recptor 4 (TLR4; reseptor dari LPS). Aktivasi TLR4 merupakan kunci

utama dalam respon inflamasi SSP terhadap LPS perifer. Ada juga bukti yang

menyatakan bahwa mediator lainya juga berpengaruh terhadap komunikasi antara sel

perifer dengan otak, termasuk TNF-α dan protein chemoattractant monosit. Sekali

teraktivasi, mikroglia mengalami perubahan morfologi dan bersamaan dengan itu,

mikroglia mengekspresikan beberapa molekul seperti MHC klas I, CD45, CD4,

ICAM-1, VLA-4, LFA-4 dan Fas. Setelah terstimulasi, beberapa mikroglia

mengekspersikan MHC klas II dan molekul B7. Perubahan ini bergabung dengan

produksi dari sitokin proinflamasi oleh mikroglia (TGF-B1, IL-1B, TNFa, IGF-1),

spesies oksigen reaktif (Reactive Oksigen Species, ROS) dan ekspansi dari populasi

mikroglia melalui proliferasi dari sel dan perekrutan dari sekitarnya atau melalui

darah (Block dkk., 2007).

Pengenalan awal rangsangan inflamasi di sawar darah otak diikuti oleh

aktivasi kaskade inflamasi yang mengakibatkan pergerakan sel-sel berdekatan dan

unit struktural neurovaskular. Sel endotel, astrosit, mikroglia, sel periset dan lamina

basal berinterkasi melalui perantaraan mediator inflamasi, termasuk sitokin, kemokin

(41)

18

mengantarkan sinyal di dalam unit neurovaskular kepada bagian otak lainnya dengan

menggunakan kontrol multimodal dari transmisi sinaptik, eksitabilitas sel saraf dan

aliran darah otak (Block dkk., 2007).

Gambar 3. Pengenalan dan propagasi dari rangsangan imun perifer pada SSP. Interakasi awal dari mediator inflamasi (sitokin proinflamasi dan LPS) dengan unit neurovaskular terjadi melalui beberapa reseptor dan berkaitan dengan peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Cerejeira dkk, 2010).

2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi

Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium

tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi

eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap

fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami

peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS (0.2 ng/KgBB) dan

perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori (Qin., 2007). Yang

terbaru adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging (MRI)

yang mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata

(42)

19

ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra (SN) kiri (Brydon,

2008).

Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut

diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis pada

bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin

proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan mempunyai

peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori, dan modulasi

plastisitas sinaptik. 6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus. Sebaliknya,

IL-10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara menghambat pengaruh

inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan perilaku. Demikian juga,

penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth factor (BDNF) dan

peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga berpengaruh pada

defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan dengan neuroinflamasi.

Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak untuk menghasilkan ROS,

sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida (NO) dan kemokin

menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian mempengaruhi

beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka panjang, dan dapat

mengganggu memori dan proses belajar.

Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer

dapat mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel

intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk

melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik di

otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan

(43)

20

mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi.

Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi

sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-α dapat

menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar 27%

dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan setelah

paparan pertama.

Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa paparan akut terhadap

inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis neurokognisi yang dapat disamakan

dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi

fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan

homeostasis otak, dimana proses neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik

yang berkaitan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya

dopamin, serotonin dan norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat

menjelaskan secara lengkap mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan

struktural, fungsional dan neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan

emosional. Data dari bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama

delirium melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian

mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui

diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian juga,

perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian otak yang

berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan kewaspadaan.

Kemudian, mekanisme neuroinflamasi ini juga mungkin terlibat dalam beberapa

(44)

21

2.3 Peranan Proses Penuaan pada Delirium

Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan

faktor risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak

misalnya pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik,

penurunan aliran darah otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf

(terutama pada locus cereleus dan substantia nigra) dan penurunan transduksi

intraseluler. Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa proses penuaan berkaitan

dengan beberapa gangguan defisist kognitif dan peningkatan risiko dementia.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan resiprokal antara delirium dan

penurunan fungsi kognitif. Dementia merupakan faktor risiko utama delirium pada

pasien-pasien usia lanjut dan kelanjutan proses delirium itu sendiri tampaknya

meningkatkan risiko penurunan fungsi kognisi, termasuk dementia.

Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di

dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang

disebakan oleh respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia ini

menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan imunologi.

Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan (immunosenescence)

menyebabkan peningkatan sekresi sitokin oleh jaringan adiposit. Hal ini merupakan

penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih dikenal sebagai “inflammaging”.

Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi terhadap progresifitas penyakit melalui

produksi mediator inflamasi. Proses penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai

baseline dua sampai empat kali mediator inflamasi termasuk sitokin dan protein fase

akut. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap delirium pada pasien usia lanjut

(45)

22

sensitivitas terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-obat

antikoloinergik.

Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko

terjadinya delirium pada usai lanjut:

1. Kehilanagn sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra.

2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter.

3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia.

4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal

ganglia bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian

temporal superior kiri, dan korteks insular.

5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak.

6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia).

7. Berkurangnya metabolism oksidatif otak.

2.4 Biomarker Delirium

Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan delirium, beberapa

biomarker telah diteliti sebagai alat penunjang untuk stratifikasi, diagnosis,

monitoring dan prognosis delirium. Penelitian-penelitian telah direview dan tidak

ditemukan evidence yang menyokong kegunaan klinis dari biomarker delirium,

walaupun beberapa biomarker seperti S100B, insulin-like growth factor (IGF)-1 dan

beberapa marker inflamasi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk

dievaluasi pada penelitian-penelitian berikutnya. Untuk meningkatkan diagnosis dan

perawatan, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa biomarker yang mungkin

membantu dalam diagnosi, severitas, perkembangan terapi terbaru, monitoring

(46)

23

Patofisiologi delirium belum bisa dijelaskan dengan pasti dan mungkin

menunjukkan respon otak terhadap stres lokal atau sistemik yang melibatkan

interaksi jalur biologi sentral dan perifer yang menimbulkan gejala klinis delirium.

Ada dua hipotesis utama untuk menjelaskan mekanisme terjadinya delirium, yaitu:

teori neurotransmiter dan teori inflamasi. Teori neurotransmiter menggambarkan

kelebihan atau kekurangan beberapa neurotransmiter mengakibatkan timbulnya

gejala yang berhubungan dengan delirium. Seperti yang sudah dikemukan bahwa

delirium merupakan akibat dari interaksi yang kompleks antara berbagai faktor

presiposisi dan faktor presipitasi. Interaksi ini mengakibatkan ketidakseimbangan

neurotransmiter yang mengakibatkan terjadinya delirium, dimana terjadi pelepasan

dopamin yang berlebihan, defisiensi sintesis asetilkolin dan tinggi atau rendahnya

kadar serotonin dan gamma-amino-butiric-acid (GABA) (Cerejeira, 2012).

Teori inflamasi menekankan pada peran dari sitokin sebagai respon terhadap

adanya stressor pada delirium, termasuk diantaranya IL-1, IL-6, interferon

danTNF-α. Teori ini menggambarkan kesamaan gangguan berikut yang disebabkan oleh

pelepasan sitokin dan delirium. Berdasarkan penelitian pada binatang, kedua teori ini

tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain dalam

menjelaskan terjadinya delirium. Beberapa biomarker telah dihubungkan dengan

risiko terjadinya delirium, menilai aktivitas penyakit dan juga dihubungkan dengan

derajat severitas delirium itu sendiri. Genetik marker seperti Apolipoprotein (Apo)-E,

marker inflamasi (IL-6, IL-8, Kortisol, CRP) dan IGF-1 telah dihubungkan dengan

risiko terjadinya delirium pada pasien usia lanjut. Alel Apo-E merupakan faktor

risiko terjadinya delirium dan durasi delirium yang lebih lama. Tingginya kadar IL-8,

(47)

24

rendahnya kadar IGF-1. Dalam hal diagnosis dan penilaian aktivitas penyakit, serum

aktifitas antikolinergik (SAA), mediator inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan IGF-1 juga

berkorelasi sangat kuat dengan delirium (Cerejeira dkk, 2012). Sedangkan kadar

S100B dan neuro-specific enolase (NSE) berhubungan dengan derajat severitas

delirium, dimana S100B merupakan faktor yang paling konsisten berhubungan

dengan delirim setelah dilakukan adjustmen terhadap beberapa variabel perancu (Aly

dkk., 2014).

Biomarker memegang peranan penting dalam menjelaskan patofisologi

delirium. Diagnosis, prognosis dan pengaruh jangka panjang dari delirium.

Biomarker dapat sangat berguna untuk perkembangan terapi delirium dan secara

tidak langsung bermanfaat untuk menilai severitas delirium. Secara umum biomarker

dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu biomarker yang berhubungan

dengan risiko terjadinya delirium dan biomarker yang menggambarkan delirium itu

sendiri, dalam hal ini diagnosis, severitas dan lama delirium terjadi (Khan dkk.,

2011).

Keadaan tumpang tindih ditemukan antara marker inflamasi pada delirium

dan sistem kolinergik pasien. Asetilkolin bersifat menghambat pelepasan sitokin

proinflamasi IL-6 sehingga mengontrol inflamasi pada otak. Oleh karena itu,

proses-proses yang menyebabkan sistem kolinergik gagal dengan berkurangnya simpanan

asetilkolin mungkin akan menyebabkan kontrol yang inadekuat terhadap kaskade

inflamasi dan mempengaruhi terjadinya delirium. Delirium juga dapat dilihat sebagai

perilaku penyakit yang diakibatkan oleh sitokin. Sitokin-sitiokin ini menyebabkan

terjadinya demam, kelemahan dan letargi sehingga menyebabkan gangguan

(48)

25

terutama pada usia lanjut dengan penyakit neurodegenratif misalnya penyakit

Alzheimer. Siklus berulang ini terus berlangsung, regulasi yang tidak adekuat dari

inflamasi karena menurunnya aktivitas kolinergik. Regulasi yang tidak adekuat ini

menjelaskan interaksi yang kompleks anatar teori inflamasi dan teori neurtransmiter

(Cerejeira dkk., 2012).

2.4.1 S100 Calcium Binding Protein B (S100B)

S100 merupakan protein dengan berat molekul 20kDa termasuk pada

superfamili S100/calmodulin/troponin C dari protein calcium binding EF-hand. S100

diisolasi dari otak manusia dan diperkirakan sebagai protein spesifik pada sel glia.

Sampai saat ini, ada 20 monomer family S100 yang telah teridentifikasi berdasarkan

kesamaan fungsi dan struktur. Hampir semua protein S100 dalam bentuk dimer dan

diakspresikan oleh sel-sel yag khusus. Dua monomer S100 (S100A1 dan S100B)

terdapat pada sel glia sistem saraf pusat dan pada beberapa sel perifer, misalnya: sel

Schwan, sel melanosit, sel adiposit dan sel kondrosit. Disamping itu, kedua monomer

ini juga ditemukan pada beberapa penyakit keganasan seperti melanoma, glioma,

karsinoma tiroid dan renal cell carcinoma (Macedo dkk., 2014). Pengukuran kadar

S100B pada serum telah menunjukkan kegunaan klinik untuk monitoring terapi dan

prognosis pasien dengan melanoma maligna. Beberapa penelitian juga menyatakan

bahwa kadar S100B serum berguna dalam manajemen pasien dengan cedera kepala,

henti jantung, pembedahan jantung dan stroke (Heizmann, 2002).

S100B merupakan biomarker yang menunjukkan injuri secara langsung pada

sel saraf, misalnya cedera kepala dan penyakit cerebrovascular. S100B menunjukkan

hal yang menjanjikan untuk menilai tingkat keparahan delirium. Astrosit melepaskan

Gambar

Gambar 1.  Model Multifaktorial dari Delirium (Maldonado, 2013)
Gambaran skematik yang menunjukkan Gambar 2. interrelationship dari teori-teori ini
Gambar 3. Pengenalan dan propagasi dari rangsangan imun perifer pada SSP. Interakasi awal dari mediator inflamasi (sitokin proinflamasi dan LPS) dengan unit neurovaskular terjadi melalui beberapa reseptor dan berkaitan dengan peningkatan permeabilitas sawa
Tabel 1. Beberapa Instrumen Klinis untuk Diagnosis Delirium (Grover dan  Kate, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

diberi pengampunan dan dibukakan pintu hidayah oleh Alla SWT. Dengan demikian, penjelasan Abdullah Azzam tersebut terlihat sangat kontradiktif dengan gagasannya tentang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh harga eksekusi dan employee stock ownership program terhadap kinerja perusahaan yang dimoderasi oleh

Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pendapatan dalam hal ini pejabat yang ditunjuk dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari

Berdasarkan hasil analisis data tingkat kedisiplinan belajar siswa kelas V SD Inpres Ana Gowa Kabupaten Gowa paling banyak berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 37 siswa dari

Maka, meskipun akun modal (ekuitas) tidak disesuaikan pada awal proses likuidasi, jika seluruh sekutu tercak dalam tahap pertama, tahap pembayaran bertahap yang akan datang

Akan tetapi pada ikan buntal mas betina menunjukkan bahwa peningkatan panjang total tubuh tidak mempengaruhi rasio berat lambung/berat tubuh karena semakin

Hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara langsung mendapatkan bahwa mahasiswa yang memiliki kainginan untuk menjadi seorang guru yang professional sebesar 40

Pengolahan limbah ampas tahu menjadi kompos akan mengurangi permasalahan sampah dan meningkatkan nilai ekonominya, akan tetapi pengomposan dari bahan baku kaya N