• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA

2.1 Delirium .1 Definisi .1 Definisi

2.1.5 Gambaran Klinis

Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya

sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi,

Faktor presipitasi delirium

(infeksi, trauma, obat – obat anestesi,

pembedahan, hipoksia, hipoglikemia, gangguan metabolik)

Neuroinflamasi Stress oksidatif

Gangguan tidur / disregulasi melatonin

Penuaan Kelainan neuroendokrin

Disregulasi neurotransmiter Network Disconnectivity

6

dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang

bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi,

gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh

demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau

temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis

langsung dari suatu kondisi medis umum, atau intoksikasi/withdrawal senyawa, atau

karena berbagai penyebab (Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).

Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar

pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak

memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap

lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi kesadaran.

Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma.

Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap

dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran

dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran

tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).

Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal,

yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada

pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim

untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti

mengantuk atau gangguan tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak

7

Ektrim yang berlawanan, sangat waspada, juga dapat terjadi, terutama pada kasus

withdrawal alkohol atau obat sedatif (lebih jarang pada lanjut usia).

Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus

yang relevan dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku

terhadap stimulus tersebut, dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang

lebih baru, mengorientasi ulang perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus.

Perhatian merupakan fungsi yang berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat

dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat perhatian masih mungkin ditemukan

pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan konsentrasi penuh tidak mungkin

ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya, perhatian dapat menurun secara

patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan kesadaran tertentu

(Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).

Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah

satu dari gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan

perhatiannya oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa

yang dikatakan pada anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus

diulang karena perhatian subyek menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau

multipel dalam hal kognitif, meliputi gangguan memori dan disorientasi. Faktanya,

karena penurunan perhatian, registrasi informasi baru dapat terganggu sehingga

mempengaruhi memori dan fungsi orientasi tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011;

Martins dan Fernandes, 2012).

Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya

informasi yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak

8

Disorientasi biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya

terhadap tempat. Namun, disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap

dengan sakit berat yang lama, tanpa acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara

menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat terganggu pada kondisi delirium

tertentu (Martins dan Fernandes, 2012).

Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih

berhubungan dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab

spesifik, atau tetap masih tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses.

Pada kasus gangguan global yang berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga

hanya ada sedikit kemungkinan untuk menilai bahasa, memori, dan isi pikiran.

Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup membaca, hanya sedikit terpengaruh

dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau stadium awal. Sejumlah hal

spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan delirium. Dalam satu

studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan yang ditemukan

pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam bentuk

gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat

dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan

(sehingga menjadi perseverasi), bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat

ditemukan atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah

penggunaan kata yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan

sehingga tidak berhubungan dengan konteks, tidak seperti parafasia (Maldonado,

2013).

Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes

9

atau tidak logis. Pasien mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau

melakukan tugas sederhana. Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul

delusi pada sekitar 30% kasus, terutama dengan sifat paranoid atau persekutor

(Popeo, 2011).

Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium

yang meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus

yang sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa

bayangan dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi

juga dapat meliputi halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual

merupakan yang paling sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah

kasus dapat terjadi di siang hari segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi

cenderung sederhana, kadang hanya berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga

dapat meliputi hewan yang berbahaya atau gambar aneh (Martin dan Fernandes,

2012).

Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium

yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan

siklus tidur-bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di

malam hari, fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar

terbalik. Sejumlah studi telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama

gangguan irama sirkadian dan fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting

pada sindrom sundowning. Fenomena ini ditemukan pada pasien delirium yang

bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore atau malam hari. Sindrom ini juga

dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input sensorik di malam hari

10

Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium,

dengan aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien

dapat mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain,

pasien juga dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor.

Gangguan emosi seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan

euforia juga dapat terjadi. Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti kondisi medis atau bedah, karakteristik personal, gangguan psikiatrik

premorbid, atau peristiwa hidup terbaru (Boettger, 2012).

Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih

luas. Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling

berat sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme

akinetik, kondisi sadar minimal, delirium/kondisi konfusional. Taksonomi tersebut akan menjadi satu kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang membatasi antara satu derajat dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan

memungkinkan kesatuan beratnya penyakit tersebut terkait delirium itu sendiri, yang

saat ini telah ditinggalkan pada DSM-IV (Boettger, 2013).

2.1.6 Diagnosis

Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis.

Sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru

di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat

melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor

seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi,

jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum,

11

diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk tidak dikenalinya delirium

oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan penglihatan, dan

demensia (Han, 2010).

Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang

fluktuatif. Penting untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta

perjalanan perubahan kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat

jika sebelumnya terdapat pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis,

penting untuk mencari informasi dari anggota keluarga/caregiver, dan/atau staf

medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus diperiksa lebih dari satu kali sehari di

siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi gejala ( Mittal dkk., 2011).

Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis delirium yakni diantaranya pemeriksaan neurologi,

pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan

fungsi kognitif dengan alat yang sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental

test score (AMTS). Disamping itu perlu dievaluasi adanya kondisi demam dan

ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk

mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,

kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar gula darah, foto polos dada,

elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis ( Mittal dkk., 2011).

Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan

kognitif harus meliputi alat skrining kognitif global (misalnya: Mini Mental State

Examination,MMSE) serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang

dapat mendeteksi penurunan perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan

yaitu Digit Span Test dan Trail Making Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk

12

kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan, berdasarkan beratnya delirium, tugas

kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh perhatian yang dibutuhkan pada

tugas tersebut (Grover., 2012).

Berdasarkan pedoman internasional terbaru (NICE 2010), semua orang tua

yang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining

untuk mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif

menggunakan uji kognitif singkat (misalnya MMSE). Jika teridentifikasi perubahan

baru atau fluktuasi pada fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial

pada mereka yang berisiko, pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria

DSM-IV atau Confusion Assesment Method (CAM) untuk menegakkan diagnosis.

Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional medis yang terlatih baik (Grover,

2012).

Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang

banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan

mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat

dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik,

berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan

fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan

tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2,

disertai 3 atau 4 (Vietarra DW., 2012). Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit,

ICU) atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat

berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi

review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM

13

Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu,

pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit

infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler.

Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen.

Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu,

pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal.

Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar

ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein (CRP), fungsi

hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan

senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada

penyakit ini (Mittal dkk, 2011).

Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih

akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk

mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat

dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi (EEG)

bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan

pemeriksaan klinis (misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada

kepala) atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat

dilakukan pemeriksaan fisik (Choi, 2012)

Dokumen terkait