• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Diri

Stella Duce 1 Yogyakarta. Alasan peneliti mengambil subjek penelitian para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta karena siswa-siswa kelas XI merupakan bagian dari kelompok masa remaja yang rentang usianya 16-17 tahun. Pada usia

tersebut, pada umumnya remaja sudah cukup mampu membangun konsep diri mengenai dirinya sendiri, seperti konsep diri berperanan penting untuk mencapai keberhasilan dalam prestasi belajar. Selanjutnya, peneliti dapat menyusun atau menentukan topik-topik bimbingan yang relevan untuk menumbuhkembangkan konsep diri para siswa yang positif. Guru pembimbing memiliki kewajiban untuk memberi bimbingan dalam menemukan, menumbuhkan dan mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri tiap siswa. Bimbingan yang diberikan guru pembimbing atau konselor sekolah kepada para siswa diharapkan mampu membantu siswa untuk memahami diri dan lingkungannya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?

2. Topik-topik bimbingan klasikal apa sajakah yang sesuai bagi para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

2. Untuk mengetahui topik-topik bimbingan klasikal yang sesuai bagi para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi: 1. Para Siswa

Diharapkan para siswa mempunyai pemahaman mengenai konsep dirinya, sehingga siswa dapat mengembangkan konsep dirinya secara positif. 2. Guru Pembimbing

Hasil ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi guru pembimbing dalam meningkatkan layanan bimbingan di sekolah, terutama bimbingan pribadi-sosial untuk mengembangkan konsep diri para siswa. 3. Guru Bidang Studi

Hasil ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas dan membantu para siswa mengembangkan konsep diri secara positif.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Konsep diri para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan dan penghargaan, perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Hurlock, 1990: 58) dan diukur dengan menggunakan Kuesioner Konsep Diri yang disusun sendiri oleh peneliti.

2. Para siswa kelas XI SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009 adalah siswa-siswa yang terdaftar sebagai siswa kelas XI di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009.

3. Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang diberikan kepada kelompok siswa dalam satuan kelas pada tingkatan kelas tertentu, pada jenjang pendidikan tertentu dan pada waktu yang telah ditetapkan dalam jadwal pelajaran (Winkel dan Sri Hastuti, 2004: 563-564).

4. Topik-topik bimbingan klasikal adalah dasar penyusunan pokok bahasan sebagai pedoman layanan bimbingan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEP DIRI 1. Arti Konsep Diri

Konsep diri adalah keseluruhan gambaran, pandangan, keyakinan dan penghargaan, perasaan seseorang tentang dirinya sendiri (Hurlock 1990: 58). Pendapat ini hampir sama seperti yang dikemukakan oleh Djaali (2007: 129) yang mengartikan konsep diri sebagai pandangan seseorang tentang dirinya sendiri mengenai apa yang ia ketahui dan ia rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilaku itu berpengaruh terhadap orang lain. Hal ini dipertegas oleh Sinurat (1991) yang berpendapat bahwa konsep diri adalah keseluruhan pandangan dan penghargaan atau perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.

Sedangkan Burns (1993: 66) mengatakan konsep diri dapat dipandang sebagai seperangkat sikap-sikap terhadap diri dan penghargaan diri atau evaluasi tentang diri. Suatu sikap merupakan organisasi dari keyakinan-keyakinan yang relatif abadi di satu situasi yang memberi kecenderungan kepada seseorang untuk memberi respons di dalam suatu cara yang istimewa (Rokeach dalam Burns, 1993: 66). Sikap terdiri dari komponen kognitif dan komponen afektif. Demikian pula konsep diri sebagai seperangkat sikap terhadap diri terdiri dari komponen kognitif, komponen afektif dan evaluasi diri.

Komponen kognitif merupakan pengetahuan seseorang untuk mempersep-sikan keadaan dirinya atau dapat dikatakan sebagai gambaran seseorang tentang keadaan dirinya sendiri. Keadaan diri sebagai yang gemuk, kurus, berkulit putih, berkulit hitam, dapat menimbulkan pelepasan secara emosional dan evaluasi diri. Evaluasi diri merupakan tingkatan dimana seseorang merasa positif maupun negatif mengenai karakteristik-karakteristik yang khusus mengenai dirinya (Burns, 1993: 15). Evaluasi diri tersebut memberi kecenderungan bagi seseorang untuk memberi respons ataupun bertingkah laku. Konsep diri bukan merupakan unsur bawaan. Setiap orang tidak dilahirkan dengan konsep diri. Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh peristiwa belajar dan pengalaman, terutama yang berhubungan dengan dirinya seperti harga diri, kegagalan atau sukses yang dicapai (Surakhmad, 1980: 40).

Sikap dan perilaku orang lain terhadap dirinya akan sangat mempengaruhi seseorang dalam menilai dan memandang dirinya. Jadi dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan kombinasi dari apa yang dilihat seseorang tentang diri (citra diri), seberapa kuat seseorang merasakan bermacam segi perasaannya (intensitas afektif), apakah seseorang mempunyai pendapat menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang dirinya (evaluasi diri) dan apa yang kemungkinan besar diperbuat seseorang di dalam memberi respons kepada evaluasi tentang dirinya (Burns, 1993: 73-74).

2. Perkembangan Konsep Diri

Konsep diri dapat berkembang melalui suatu proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Diri (self) berkembang ketika individu merasakan bahwa dirinya memiliki keunikan diri sendiri (Agustiani, 2006: 143). Selama periode awal kehidupan, konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi tentang diri sendiri. Kemudian dengan pertambahan usia, pandangan tentang diri ini menjadi lebih banyak didasari oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Agustiani, 2006: 143).

Perkembangan konsep diri dimulai dari masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak peran orang tua menjadi sangat dominan dalam proses perkembangan konsep dirinya (Hurlock, 1990:234). Konsep diri yang berkembang pertama-tama adalah konsep diri primer. Konsep diri primer adalah konsep diri yang terbentuk dalam diri anak dengan didasarkan atas pengalaman anak di rumah dan dibentuk dari berbagai konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari pengalaman dengan anggota keluarga (Hurlock, 1989: 121).

Seiring dengan proses perkembangan dalam fase kehidupannya, interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya turut mempengaruhi perkembangan konsep diri anak. Selama masa pertengahan dan akhir, anak mulai memainkan peran yang dominan dengan kelompok teman sebaya, menggantikan orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh pada konsep dirinya (Agustiani, 2006: 144). Hal tersebut memunculkan istilah konsep diri sekunder yaitu konsep diri yang terbentuk pada diri anak berdasarkan pada pengalaman anak dengan lingkungan di sekitarnya atau bagaimana anak melihat dirinya di mata orang lain.

Pada akhir masa anak atau biasa disebut masa remaja, konsep diri yang terbentuk sudah mulai stabil. Tetapi dengan dimulainya masa pubertas maka terjadi perubahan drastis pada konsep diri remaja. Agustiani mengatakan, bahwa remaja yang masih muda mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, walaupun ketidaktergantungannya dari orang dewasa masih belum mungkin terjadi dalam beberapa tahun, remaja mulai terarah pada pengaturan tingkah laku sendiri (Agustiani, 2006: 144). Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa remaja cenderung menetap dan relatif merupakan pengatur tingkah laku yang bersifat permanen.

Kehidupan remaja tidak terlepas dari peran seorang guru pembimbing di sekolah, karena pada dasarnya seseorang yang disebut remaja masih tergolong siswa atau pelajar. Peran guru pembimbing adalah memberi bimbingan dalam menemukan, menumbuhkan dan mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri tiap siswa. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran konselor atau guru pembimbing di sekolah sangatlah penting bagi proses perkembangan konsep diri siswa khususnya dalam membantu siswa mengembangkan konsep diri yang positif.

3. Aspek-Aspek Konsep Diri

Beberapa aspek yang mendasari konsep diri menurut Berzonsky (1981: 328-329) dan Fitts (Agustiani, 2006:139-141) yaitu:

a. Diri fisik (physical self)

Diri fisik merupakan penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki oleh individu seperti bentuk tubuh (positif, pendek, gemuk, kurus), pakaian, benda yang dimiliki, kesehatan, dan penampilan diri (cantik, jelek, menarik, tidak menarik). Gambaran tentang tubuh merupakan hal penting dari diri fisik yang mendasari individu berpikir dan menilai keadaan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan.

b. Diri sosial (social self)

Diri sosial merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya meliputi bagaimana struktur, peran dan status sosial yang dimainkan oleh individu atau remaja khususnya dan sejauh mana penilaian individu terhadap baik buruknya perilaku atau perbuatan mereka. Setiap peranan yang dimainkan individu akan dapat memunculkan adanya suatu penghargaan sosial dari orang lain tentang bagaimana menilai setiap perbuatan dan tingkah lakunya. Bagi remaja sendiri, adanya penerimaan dan pengakuan sosial dari kelompok teman sebaya misalnya, menjadi suatu dasar untuk perkembangan setiap perilakunya.

c. Diri moral (moral self)

Diri moral merupakan pandangan individu terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan dan nilai-nilai moral yang dipegang meliputi batasan baik dan buruk seperti nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberi arti dan arah tujuan bagi kehidupan individu.

d. Diri psikis (psychological self)

Diri psikis meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri. Diri psikis berkaitan pula dengan bagaimana seseorang dalam memandang dirinya berdasarkan pada sifat, karakter maupun perasaan-perasaan yang dimunculkan ketika menghadapi stimulus tertentu.

e. Diri keluarga (family self)

Diri keluarga merupakan perasaan dan harga diri individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh individu merasa berharga terhadap dirinya sebagai anggota keluarga dan terhadap peran atau fungsi yang dijalankannya sebagai anggota keluarga.

4. Penggolongan Konsep Diri

Penggolongan konsep diri secara umum menurut Burns (1993: 234): a. Konsep diri positif

Konsep diri positif bersinonim dengan evaluasi diri positif, penghargaan diri positif, perasaan harga diri positif dan penerimaan diri yang positif. Memiliki konsep diri positif yaitu jika seseorang mampu menerima, menghargai dan menilai keadaan diri apa adanya secara positif dan orang lain menerima, menilai dan memandang dirinya secara positif pula (Burns, 1993: 234). Senada dengan pernyataan di atas, jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita (Rakhmat, 2005: 101).

Seseorang yang memiliki konsep diri positif selalu berusaha untuk menilai dan menerima keadaan diri apa adanya. Konsep diri positif akan selalu

mendorong seseorang untuk berpikir positif, optimis, tidak mudah menyerah atau berputus asa. Konsep diri positif diperoleh melalui kasih sayang, penerimaan dan penghargaan yang diberikan oleh tokoh-tokoh di sekitarnya (Sinurat, 1991: 2).

Orang yang memiliki konsep diri positif menurut Brooks & Emmert (Rakhmat, 2005: 105-106) ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Individu yakin akan kemampuannya untuk mengatasi masalah artinya jika individu merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah, maka masalah apapun yang dihadapi pada akhirnya individu dapat mengatasinya bahkan saat individu menghadapi kegagalan atau kemunduran. Kemampuan-kemampuan yang perlu dimiliki individu untuk mengatasi masalah (Staf Yayasan Cipta Loka Caraka, 1989: 149) misalnya yaitu:

a. Bersikap tenang dan obyektif.

Hindari mengatasi masalah dengan terburu-buru, dalam keadaan bingung atau perasaan terganggu. Seorang remaja sering membiarkan perasaan mengaburkan pertimbangan akal sehat, maka sebaiknya untuk sementara remaja melepaskan diri dari persoalan guna memikirkannya dengan lebih tenang dan obyektif.

b. Mempertimbangkan untung rugi atau akibat-akibat yang ditimbulkan. Telitilah berbagai cara pemecahan, misalnya berapa banyak waktu yang digunakan untuk menimbang-nimbang pemecahan berdasarkan pada penting tidaknya masalah itu serta memperhitungkan akibat-akibat yang baik dan yang buruk dari berbagai tindakan untuk saat sekarang dan waktu yang akan datang bagi diri sendiri maupun orang lain.

c. Bersikap kreatif dan luwes.

Masalah-masalah yang dihadapi mungkin menuntut pemecahan baru serta kreatif. Jangan selalu menggunakan cara yang itu-itu saja dalam menghadapi tantangan hidup. Bersikap luwes berarti berani mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang perlu dalam sepanjang kehidupan. Jika individu bersikeras dan tetap berpegang pada satu pandangan atau rencana yang tidak jalan, individu akan kehilangan kesempatan untuk berkreasi dalam mengatasi masalah-masalahnya. Maka, diharapkan individu bersikap luwes, mau menggunakan alternatif lain dalam pemecahan masalahnya.

d. Bersikap optimis.

Apabila individu yang bersikap optimis, ia tidak akan mundur karena halangan dan tidak melamunkan sesuatu yang tidak ada. Sebaliknya, apabila individu menghadapi masalahnya dimulai dengan keyakinan bahwa tidak akan sanggup menyelesaikannya maka individu tersebut sudah pesimis terhadap suatu masalah, sehingga menanggapi masalah tersebut dengan tidak wajar. Hal ini menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi masalah sudah diperlemah. Maka diperlukan sikap yang optimis, bahwa masalah tersebut bisa diselesaikan.

2. Individu merasa setara dengan orang lain artinya individu merasa sama dengan orang lain, tidak menganggap dirinya lebih positif atau lebih negatif dari orang lain. Ia tidak menganggap dirinya lebih berharga dari pada orang lain dan mengusahakan agar setiap orang tidak dirugikan tetapi mengusahakan

agar kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, meskipun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang budaya, atau sikap yang dimiliki orang lain.

3. Individu mampu mengungkapkan perasaan, pikiran maupun kebutuhannya secara langsung dan jujur kepada orang lain. Setiap individu mampu mengungkapkan hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain apa adanya, dengan cara berbagi perasaan dan pikiran dengan orang lain. Kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran tersebut akan membantu dalam memenuhi kebutuhannya. Ia sanggup mengutarakan ketidaksetujuan, amarah, persahabatan dan bersikap spontan.

4. Individu menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat artinya individu dapat mengaku pada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, perasaan sedih sampai bahagia, kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.

5. Individu mampu memperbaiki diri karena ia menyadari hal-hal yang negatif dalam diri dan berusaha mengubahnya. Hal-hal negatif individu turut menentukan konsep diri positif atau konsep diri negatif. Individu membutuhkan bantuan dan informasi dari orang lain dan tidak sungkan untuk mengatakan hal-hal negatif dalam diri kepada orang lain dan berusaha mengubah hal-hal negatif menjadi hal-hal positif. Demikian juga sebaliknya, jika orang lain membutuhkan bantuan ia bersedia membantunya.

Swan (Hay dkk, 1999) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif memiliki kecenderungan keadaan diri yang stabil dan biasanya hal itu terkait dengan konsep diri positif. Seseorang yang memiliki konsep diri positif akan memiliki perilaku yang bersifat positif, seperti kepercayaan diri yang positif, motivasi yang positif, optimis, kontrol diri yang baik, terbuka pada orang lain secara apa adanya, merasa dihargai atau diperhatikan oleh lingkungan. Di samping itu, seseorang yang memiliki konsep diri positif mampu merasakan adanya dukungan dari orang-orang sekitarnya, mampu mencintai dan dicintai, memiliki pendirian yang teguh, berusaha mematuhi etika lingkungan, berkeinginan untuk terus maju dan belajar serta menghargai pelajaran atau pengajar.

b. Konsep diri negatif

Konsep diri negatif dapat disamakan dengan evaluasi diri negatif, membenci diri, perasaan negatif diri dan tidak adanya perasaan menghargai sebagai pribadi dan penerimaan diri (Burns, 1993: 72). Konsep diri negatif dapat terbentuk apabila seseorang tidak menyukai keadaan dirinya dan pesimis untuk bisa menjadi pribadi yang diidam-idamkan orang lain. Bila orang tua, guru, dan teman-teman sebaya memperolok-olok, menolak, mengkritik, mengenai tingkah laku seseorang ataupun keadaan fisiknya, maka penghargaan terhadap diri atau harga diri kecil yang kemungkinan muncul (Burns, 1993: 234).

Memiliki konsep diri negatif membawa banyak dampak dalam kehidupan seseorang. Hardjana (1993: 26) mengemukakan beberapa dampak konsep diri negatif dalam hidup kita, antara lain:

1. Konsep diri negatif membuat seseorang cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal yang negatif dalam diri.

2. Konsep diri negatif mendorong seseorang untuk membuat perbandingan negatif dengan orang lain.

3. Konsep diri negatif menciptakan ingatan yang pilih-pilih, selektif, meneguhkan perasaan diri tak berharga.

4. Konsep diri negatif menciptakan sikap memihak dalam pandangan seseorang mengenai apa yang terjadi pada diri.

5. Konsep diri negatif cenderung membawa seseorang pada kegelapan.

Brooks & Emmert (dalam Rakhmat, 2005: 105) serta Calhoun & Acocella (1995) menguraikan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu:

1. Individu peka terhadap kritikan. Individu ini sangat tidak tahan terhadap kritikan yang diterimanya, mudah marah atau naik pitam. Penilaian terhadap dirinya seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. 2. Responsif sekali terhadap pujian meskipun individu berpura-pura menghindari

pujian, individu tidak dapat menyembunyikan antusiasnya pada waktu menerima pujian apapun.

3. Bersikap hiperkritis. Individu selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apa pun dan dengan siapa pun, individu merasa tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan terhadap kelebihan orang lain.

4. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Individu merasa tidak diperhatikan karena individu bereaksi kepada orang lain sebagai musuh sehingga tidak dapat menciptakan kehangatan dan keakraban persahabatan. 5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keenganannya

untuk bersaing dengan orang lain dalam hal prestasi. Individu merasa tidak berdaya melawan persaingan yang dapat merugikan dirinya.

Swan (Hay dkk, 1999) mengemukakan bahwa orang yang secara umum memiliki konsep diri negatif cenderung memiliki perilaku-perilaku yang bersifat negatif seperti kepercayaan diri yang negatif, pesimistis, motivasi yang negatif, kurang dapat mengontrol diri, tidak teguh pendirian, dan mudah terpengaruh. Di samping itu, orang yang memiliki konsep diri negatif juga cenderung bersikap tertutup dan manipulatif, merasa kurang dihargai dan kurang diperhatikan, merasa kurang mencintai dan dicintai, cenderung menyimpang dari etika yang berlaku, tidak memiliki keinginan untuk maju (malas), serta kurang menghargai pekerjaan atau pengajar.

Furhmann (1990) menyatakan bahwa seseorang yang memandang negatif terhadap dirinya, menandakan bahwa ia memiliki konsep diri yang negatif dalam diri dan gagal dalam menghargai diri, kurangnya penghargaan diri akan menimbulkan pengasingan diri serta penyesuaian diri negatif. Konsep diri positif mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi sedangkan konsep diri negatif tidak mampu mengatasi permasalahan dan memiliki kecenderungan mencari jalan keluar yang salah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif antara lain yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah, memiliki kepercayaan diri yang positif, motivasi yang positif, optimistis dan berusaha untuk terus maju dalam menghadapi masa depan. Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain memiliki kepercayaan diri yang negatif, kurang memiliki motivasi, pesimistis dan tidak memiliki keinginan untuk maju sehingga tidak mampu mengatasi permasalahan, serta cenderung mencari jalan keluar yang salah.

B. SISWA SMA 1. Arti Siswa SMA

Siswa SMA dalam penelitian ini adalah siswa-siswa yang terdaftar sebagai siswa kelas XI di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta tahun ajaran 2008/2009. Para siswa SMA tersebut tergolong dalam usia remaja yaitu 15-17 tahun. Istilah remaja atau adolesence berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari bahasa Inggris) mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu mulai berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, misalnya dalam masalah hak, perubahan intelektual, transformasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa.

Selanjutnya, Kartono (1990) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Para remaja mengalami perubahan-perubahan yang diawali dengan perubahan fisik yaitu berkembangnya tanda-tanda kelamin sekunder, perubahan peranan dari ketergantungan pada orang tua menuju kemandirian, memiliki kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri, seperti mulai meyakini kemampuan, potensi dan cita-citanya. Dengan kesadaran itu, remaja berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai hidup misalnya kebaikan, keluhuran, keindahan, dan lain-lain (Jersild dalam Pudjijogyanti, 1985: 24).

2. Tugas Perkembangan Siswa SMA

Siswa SMA yang masih tergolong remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi. Menurut Hurlock (1999) semua tugas perkembangan itu terpusat pada peralihan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja (Hurlock, 1999) adalah:

1. Mencapai peranan sosial sebagai pria atau wanita.

2. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

3. Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya.

5. Mempersiapkan karier ekonomi untuk masa yang akan datang. 6. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etika sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

Apabila remaja berhasil menjalankan tugas perkembangan tersebut, ia

Dokumen terkait