• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Keabsahan Akta

1.5 Landasan Teoritis

1.5.4 Konsep Keabsahan Akta

Ukuran keabsahan suatu akta adalah akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku) dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang

30

Budi Agus Riswandi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, Persada, Jogjakarta, hal. 200.

menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka keabsahan akta Notaris tersebut tidak tercapai. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.

Keabsahan akta Notaris tercapai jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka keabsahan akta menjadi diragukan.

Keabsahan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,31 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu :32

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu.

Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

31

Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, hal. 125.

32Philipus M. Hadjon, 2001, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik,” Post, Surabaya, hal. 3.

Menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).

4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.

Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat

(2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihakyang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.33

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.34

33

G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 51. 34

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka :

a. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.

b. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan secara tanggung gugat terhadap akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.

2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De

Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.35 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notarismendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.36

3) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :

a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Kewenangan Notaris yang lainnya

35

Tan Thong Kie, 1994, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 362.

36

yaitu (1) Notaris berwenang pula : (a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; (b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; (d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; (e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; (f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) Membuat akta risalah lelang; (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut.

b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri

sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

c) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyaitempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :

(a) Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat.

(b) Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.

(c) Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara

waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN).

Karakter yuridis akta Notaris, yaitu:37

1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undangundang (UUJN).

2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris.

3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.

4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.

5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.