• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

1

OLEH CAMAT

NI MADE BUDIANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

NI MADE BUDIANI NIM. 1292462019

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

NI MADE BUDIANI NIM. 1292462019

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iv

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 07 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs, SH, MH Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH.

NIP. 19551126 198511 1 001 NIP. 19590923 198601 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

(5)

v

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 0136/ UN14.4/HK/2016

Tanggal : 5 Januari 2016

Ketua : Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs, SH, MH Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH

Anggota : 1. Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH., M.Hum., LLM 2. I Made Puryatma, SH., M.Kn

(6)

vi Nama : Ni Made Budiani

NIM : 1292462019

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Kedudukan Hukum Akta Tanah yang Dibuat oleh Camat. Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 9 Oktober 2015 Yang membuat pernyataan,

(7)

vii

Hyang Widhi Wasa, dengan selesainya tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah ”Kedudukan Hukum Akta Tanah yang Dibuat oleh Camat.” Tesis ini disusun untuk memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs, SH, MH, pembimbing pertama dan Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH, pembimbing kedua, yang telah memberikan bimbingan dan ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum., atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, kepada panitia penguji tesis, yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

(8)

viii

tercinta serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas dukungan dan sarannya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

(9)

ix

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bisa saja seorang Camat ditunjuk menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tanpa mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai PPAT, sementara seorang Notaris yang merangkap sebagai PPAT dipersyaratkan harus seorang sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan (Pasal 3 huruf e dan Pasal 15 Undang-Undang Tahun 2014 tentang jabatan Notaris). Perbedaan persyaratan pengangkatan PPAT untuk Camat dan untuk Notaris ini menunjukkan bahwa terdapat norma kabur dalam hal persyaratan pengangkatan PPAT.

Berdasarkan norma kabur tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara dan akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang menganalisa kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik interpretatif, evaluatif, argumentatif dan deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara secara yuridis adalah sah atau (legal), karena ada dasar hukumnya dalam menerbitkan pembuatan akte tanah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun akta yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara menjadi tidak sah jika dalam jual beli tanahnya tidak disertai sertifikat atau Camat yang bersangkutan merubah tata cara pembuatan akta peralihan hak atas tanah dalam formulir yang ditentukan yang memang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; dan (2) akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara, bila dilakukan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, akta yang dibuat oleh Camat tersebut sah dan memiliki kekuatan hukum kuat dan tegas. Namun bila dilakukan tanpa bukti alas hak kepemilikan/hak menguasai atas tanah, maka akta peralihan tersebut hanya sebagai akta di bawah tangan bukan sebagai akta otentik, meskipun dibuat di hadapan PPAT Sementara. Akibat hukum yang lebih serius bila dalam membuat akta tanah Camat sebagai PPAT Sementara lalai tidak melakukan pemeriksaan Sertipikat asli sebelum pembuatan akta. Terhadap kelalaian ini berakibat batal demi hukum atas akta yang dibuat oleh PPAT Sementara tersebut, jika ternyata Sertipikat tersebut tidak terdaftar di Kantor Partanahan.

(10)

x

year 2006 on the Implementation of Provisions of Government Regulation No. 37 1998 stated that the Sub District Head could be appointed as Land Certificate Issuer Officer (PPAT) without PPAT’s education and training, while a Notary who serves as PPAT required to be a law graduate and notary master graduate (Article 3 letter e and Article 15 of Law No. 2 year 2014 on Notary Officers). The difference of requirements of PPAT appointment for Sub District Head and Notary shows that there is a scure of norms in terms of the PPAT appointment requirements.

Regarding these a scure of norms the first issue in this research is about the legal position of the land deed made by Sub District Head as Temporary PPAT. A second issue is the legal consequences of a land deed made by Head as Temporary PPAT.

This type of research is a normative legal research, which analyzes. The research approach consists of statute approach, conceptual approach and historical approach. Sources of legal materials in this study consisted of: primary, secondary and tertiary legal materials. The analysis technique used in this research are interpretative, evaluative, argumentative and descriptive techniques.

The research result indicated that (1) the legal position of the land deed made by Sub District Head as Temporary PPAT juridically is legitimate or (legal), because there is a legal basis in issuing land deed i.e Government Regulation No. 24 year 1997 on Land Registration. But the deed made by Sub District Head as Temporary PPAT becomes illegible if the sale and purchase of land is not accompanied by a certificate or the concerned Sub District Head modify a deed transfer of land rights in the prescribed form which is not in accordance with the provisions of Government Regulation No. 24 year 1997 on Land Registration; and (2) the legal consequences of a land deed made by Head as Temporary PPAT, when done according to Government Regulation No. 24 year 1997 on Land Registration, the deed made by the Sub District Head arevalid and enforceable strong and resolute. However, if done without evidence from title/lands right, so the transfer deed just as the under the hand deed, not as an authentic deed, though made before Temporary PPAT. More serious legal consequences when making land deed the Sub Distrik as Temporary PPAT negligent not examine the original Certificate prior deed issuance. Against this neglect result null and void over the deed made by Temporary PPAT, if it is not registered certificate at Land Office.

(11)

xi

akta peralihan hak atas tanah oleh Camat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik itu disebabkan oleh kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan maupun kurangnya penguasaan Camat tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di Kantor Pertanahan dan kesalahan pembuatan bagian-bagian akta dalam formulir akta otentik yang kadangkala tidak sesuai dan menyalahi ketentuan yang digariskan baik oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, sehingga pada akhirnya menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Meskipun telah memenuhi syarat-syarat baik formal maupun material dalam praktek pembuatan akta tanah tersebut, namun kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka. Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek (bidang tanah) yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum tentang pejabat pembuat akta tanah dan Camat sebagai pejabat pembuat akta tanah. Bab ini terdiri dari 4 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama tentang Tinjauan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Dasar Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Tugas dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Kewajiban dan Tanggungjawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Macam-Macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Pengangkatan, Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); dan Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sub Bab kedua tentang Tinjauan tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara yang terdiri dari Pengertian dan Dasar Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara; dan Hubungan Hukum Camat dengan Pendaftaran Tanah. Sub Bab ketiga tentang Tinjauan tentang Pendaftaran Tanah yang terdiri dari Pengertian Cara, Manfaat dan Tujuan Pendaftaran Tanah; Pelaksanaan Pendaftaran Tanah; Pemeliharaan Data Objek dan Sistem Pendaftaran Tanah; dan Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah. Sub Bab keempat mengenai Tinjauan tentang Akta yang terdiri dari Pengertian Akta Otentik PPAT; Kekuatan Pembuktian Akta Otentik sebagai Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Sertipikat sebagai Akta Otentik.

(12)

xii

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara. Bab ini dibagi menjadi 2 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama tentang Proses Pembuatan Akta Tanah di Hadapan Camat Selaku PPAT. Sub Bab kedua membahas Akibat Hukum dari Akta Tanah yang Dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

(13)
(14)

xiv

PRASYARAT GELAR ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

RINGKASAN ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.3.1 Tujuan Umum ... 14

1.3.2 Tujuan Khusus ... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 15

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 15

1.4.2 Manfaat Praktis ... 15

1.5 Landasan Teoritis ... 15

1.5.1 Konsep Negara Hukum ... 15

1.5.2 Teori Wewenang ... 19

1.5.2.1 Pengertian Wewenang ... 19

1.5.2.2 Jenis Wewenang ... 21

1.5.2.3 Pembatasan Wewenang ... 23

1.5.2.4 Karakter Wewenang ... 25

(15)

xv

1.6.2 Jenis Pendekatan ... 44

1.6.3 Sumber Bahan Hukum ... 45

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 46

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 47

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 2.1 Tinjauan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 49

2.1.1 Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 49

2.1.2 Dasar Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 50

2.1.3 Tugas dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 51 2.1.4 Kewajiban dan Tanggungjawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 52

2.1.5 Macam-Macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 57

2.1.6 Pengangkatan, Pemberhentian dan Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 58

2.1.7 Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 61

2.2 Tinjauan tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara ... 63

2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara ... 63

2.2.2 Hubungan Hukum Camat dengan Pendaftaran Tanah ... 65

2.3 Tinjauan tentang Pendaftaran Tanah ... 66

2.3.1 Cara, Manfaat dan Tujuan Pendaftaran Tanah ... 66

(16)

xvi

2.4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik sebagai Alat Bukti ... 82

2.4.3 Kekuatan Pembuktian Sertipikat sebagai Akta Otentik ... 84

BAB III KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT SEBAGAI PPAT SEMENTARA ... 89

3.1 Fungsi dan Kedudukan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara ... 89

3.2 Larangan Membuat Akta oleh Camat Selaku PPAT ... 91

3.3 Kedudukan Akta PPAT dalam Pendaftaran Tanah ... 94

3.4 Status Hukum Akta Tanah yang Dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara ... 106

BAB IV AKIBAT HUKUM DARI AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT SEBAGAI PPAT SEMENTARA ... 113

4.1 Proses Pembuatan Akta Tanah di Hadapan Camat Selaku PPAT ... 113

4.2 Akibat Hukum dari Akta Tanah yang Dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara ... 124

BAB V PENUTUP ... 129

5.1 Simpulan ... 129

5.2 Saran ... 130

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah. Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

(18)

sengketa tata usaha negara penerbitan sertifikat tanah, serta perbuatan melawan hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian negara.1

Dalam pengelolaan bidang pertanahan, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), mempunyai peran yang begitu penting, karena PPAT merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Selain itu, untuk melaksanakan tugas pokok sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998), seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa tugas pokok PPAT adalah:

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :

1

(19)

a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah;

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian hak bersama;

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan;

h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 4, bahwa kecuali ada ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta.

(20)

angka 24, PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Apabila dilihat, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1 angka 4 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

(21)

pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan ada 3 (tiga) macam PPAT, yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.

Dengan demikian, menurut Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, kategori PPAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :

1. PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau penasehat hukum).

(22)

3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor Pertanahan).

Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan definisi dari Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta- akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud PPAT adalah suatu jabatan (ambt) dalam tata susunan hukum agraria nasional kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran tanah. Dapat diartikan juga “orang” yang menjabat jabatan tersebut. Berdasarkan pengertian di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa, PPAT adalah “Pejabat Umum“.2

Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat\umum di bidang kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud di atas diantaranya untuk membuat Akta.3

Peralihan hak atas tanah, baik karena jual-beli, maupun karena hal-hal lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud beralih dan dialihkan.

Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa :

“Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah

2

Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 44.

3

(23)

atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus : “Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara”. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998, tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan, bahwa “karena fungsinya di bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.

Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Daerah yang jumlah Pejabat Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi formasi yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah baru, Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara.

Dari pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus pergi ke kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya, Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah.

(24)

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh Camat antara lain tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di Kantor Pertanahan dan kesalahan dalam pembuatan bagian-bagian akta dalam formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. kesalahan-kesalahan yang dilakukan Camat ini dapat menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Oleh karena itu kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka, meskipun Camat yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan telah berpraktek sebagai PPAT.

Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek (bidang tanah) yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Oleh karena itu keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali.

Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengamanatkan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai kata “sementara” dan juga tidak menyebut “sementara”-nya itu sampai kapan. Hal ini menunjukan adanya norma kosong dalam penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara.

(25)

memberikan penugasan wajib bagi lulusan magister kenotariatan, sebagai halnya wajib tugas bagi dokter, untuk ditugaskan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Melalui cara ini dengan sendirinya Camat tidak lagi dibutuhkan sebagai PPAT Sementara.

Berdasarkan paparan tersebut, menjadi sangatlah menarik untuk dikaji tentang : “KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT”

Penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat” ini merupakan penelitian baru, yang belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Keaslian (originalitas) penelitian ini, dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun hasil dari pembahasannya berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah :

1. Tesis yang ditulis oleh Didik Ariyanto, dengan judul : “Pelaksanaan Fungsi dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara di Kabupaten Grobogan” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2006). Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah :

a. Bagaimanakah Penerapan Tugas Camat sebagai PPAT Sementara di Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi dan kedudukannya dalam era otonomi daerah.

(26)

Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai berikut :

a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara dalam era otonomi daerah ditemukan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara, kemudian Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan yang lemah, serta sikap Notaris/PPAT yang terkesan menutup mata terhadap penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara sehingga mengakibatkan masyarakat dalam memandang penyimpangan-penyimpangan tersebut dibenarkan yang berakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara

b. Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan juga ada perbedaan.

2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : “Peranan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara”

sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2010). Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah : a. Mengapa Camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak

(27)

b. Bagaimanakah peran Camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara dalam proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara ?

c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara?

Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu :

a. Tidak semua Camat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara, disebabkan karena faktor : 1) sistem birokrasi dan pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih bermasalah, seperti pungutan liar; 2) banyak calo dan pengguna jasa yang bebas keluar masuk kantor BPN; dan 3) Tidak hanya kasus percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN yang telah melakukan permintaan uang terhadap Camat yang mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara.

(28)

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, harus berlaku juga terhadap Camat, misalnya dalam hal pemasangan papan nama, pembuatan akta, laporan bulanan dan penyampaian akta ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow.

c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan peran dan fungsinya adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah tanah. Tingkat pendidikan yang tidak berhubungan dengan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara menyebabkan pelayanan kepada masyarakat umumnya di bidang pertanahan dan khususnya tentang pendaftaran tanah kurang maksimal sehingga memungkinkan timbulnya masalah-masalah baru dan timbulnya penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah

3. Tesis ditulis oleh Ni Made Asri Asti, dengan judul : “Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah” sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014). Rumusan masalah yang diangkat adalah :

a. bagaimanakah kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah.

(29)

Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah :

a. Camat sebagai PPAT sementara mengandung konsekuensi hukum pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi.

b. Tanggung jawab Camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal demi hukum atau dapat dibatalkan adalah tanggung jawab pribadi (fautes personalles). Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pihak akan dikenakan sanksi perdata.

(30)

proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1) keabsahan wewenang; dan 2) akibat hukum dari akta yang dibuat tidak sesuai dengan keotentikannya. Dengan demikian, 2 (dua) permasalahan dalam proposal ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini berhubungan dengan paradigma science is proces

dan paradigma science is product, yang selanjutnya dapat diidentifikasi tujuan dimaksud sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan konsep, asas dan teori tentang hukum pertanahan umumnya dan peralihan hak atas tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

1.3.2 Tujuan Khusus

(31)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang “Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat” ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, dalam artian sebagai sumbangan pemikiran, baik untuk tujuan teoritis maupun untuk tujuan praktis. Manfaat hasil penelitian penelitian dimaksud, dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat Teoritis

Pengembangan teori, konsep dan doktrin hukum pertanahan pada umumnya dan peralihan hak atas tanah berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam penyelesaian masalah pertanahan, terutama dalam peralihan hak atas tanah melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

1.5Landasan Teoritis

1.5.1 Konsep Negara Hukum

(32)

bangsa, ideologi negara dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika dan sejarahnya masing-masing.

Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum antara lain Peraturan Perundang-undangan.

Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang

rechtstaats. Hal ini dapat dimengerti dalam banyak hal, antara lain Indonesia merupakan negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide rechtstaats,4 Terkait dengan asas dalam negara hukum, Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan asas pokok negara hukum ada tiga, yakni : 1) asas monopoli paksa

(zwangmonopoli); 2) asas persetujuan rakyat; dan 3) asas persekutuan hukum

(rechtsgemeenschap). Selanjutnya asas pokok negara hukum dimaksud, dijelaskan sebagai berikut :

4

Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum

(33)

1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang mentaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu. Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya barang siapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan menggunakan paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud di atas disebut „main hakim sendiri‟.

2. Asas persetujuan Rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat) hanya wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan yang diciptakan secara sah dengan persetujuan langsung (undang-undang formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas kuasa Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, apabila ada peraturan (misalnya: mengadakan pungutan pembayaran atau “sumbangan wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah, dan Hakim Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau mentaatinya, dan apabila Pejabat memaksakan peraturan tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara, minimal digugat sebagai perkara “perbuatan penguasa yang melawan hukum”.

3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum

(rechtsgemeenschap, legal partnership), sehingga para pejabat penguasa negara dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta menggunakan kekuasaan negara, mereka tunduk kepada hukum (sama dengan rakyat/warga masyarakat). Berarti baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama.5

Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, dalam tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia adalah:

1) Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan landasan ini Undang-undang formal dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting negara hukum;

5

(34)

2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;

3) Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi pembentukan undang-undang;

4) Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan

(rechtmatigeidstoetsing).6

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) sebelum perubahan, dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini mensyaratkan kepada seluruh penyelenggara negara dan warga negaranya harus taat terhadap hukum. Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan manifestasi dari konsep dan alam pikiran bangsa Indonesia yang lazim disebut dengan hukum dasar tertulis. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis, hanya memuat dan mengatur hal-hal yang prinsip dan garis-garis besar saja. Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum.

Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and balances, dalam penyelenggaraan negara seperti adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dalam bagian konsideran huruf a secara tegas menyebutkan bahwa “pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh

6

(35)

lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Selain itu juga telah dikembangkan lembaga-lembaga ekstra struktural baik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang maupun dengan Keputusan (Peraturan) Presiden tentang lembaga-lembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ombudsman dan sebagainya.

Indonesia sebagai negara hukum sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi yang diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai manifestasi dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak setiap warga negara Indonesia. Peraturan Perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material). Hukum tertulis diartikan sebagai setiap keputusan dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang.7

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah negara hukum yang dimaksudkan dengan hukum positif tidak hanya peraturan perundang-undangan saja, namun keputusan tertulis dari pejabat yang berwenang juga dapat diberlakukan sebagai hukum positif.

1.5.2 Teori Wewenang 1.5.2.1Pengertian Wewenang

Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama dan kedua yaitu kedudukan dan akibat hukum dan akta tanah yang dibuat oleh Camat yang diberi wewenang sebagai PPAT Sementara.

7

(36)

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan karaktar. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat. Sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian, wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik.8

Dalam praktak, antara wewenang (competence, bevoegdheid) dan kewenangan (authority, gezag) dianggap tidak penting untuk dibedakan. Menurut Indroharto “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”,

kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/ Administratif. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai sesuatu bagian tertentu/salah satu bagian dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.9 Lebih jauh Indroharto mengemukakan bahwa “Wewenang” adalah kemampuan yg diberikan oleh peraturan perundang -undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum10. Dalam konsep wewenang terkandung asas legalitas, yang maknanya adalah :

8Philipus. M. Hadjon, 1997, “

Tentang Kewenangan“, dalam Yuridika Nomor 5 dan 6 Tahun XII September-Desember., Surabaya : FH Unair, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September - Desember, hal. 12

9

Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit. 10

(37)

1. setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan Hukum Administrasi Negara atau kebijakan harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis);

2. untuk menjamin dijalankannya “kesamaan perlakuan oleh pemerintah / penguasa”; dan

3. menunjang berlakunya kepastian hukum.11

1.5.2.2Jenis Wewenang

Sehubungan dengan kewenangan, Philipus M. Hadjon, mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu “atribusi dan delegasi“.12

Sedangkan menurut Suwoto Mulyosudarmo, ada dua macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.13 Berbeda halnya dengan Indroharto, prihal perolehan kewenangan dimaksud, Indroharto mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara “atribusi, “delegasi” dan “mandat”, yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :

11

Ibid. hal.83-84 12

Philipus, M. Hadjon, 2004. Pengantar Hukum Administrasi, UGM Press, Yogyakarta, hal. 128-129.

13 Suwoto Mulyosudarmo, 1997. “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis

(38)

1. “Atribusi” yaitu : pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:

a. yang berkedudukan sebagai “original legislator” : yg dinegara kita adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi, dan DPR bersama-sama Presiden sebagai pembentuk undang-undang;

b. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu (Badan/Jabatan Pemerintahan).

2. “Delegasi” yaitu : pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan/Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan/Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. 3. “Mandat” yaitu : di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru

maupun pelimpahan wewenang dari Badan/Jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain14

Selanjutnya HD.van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana dikutip Indroharto, membedakan cara perolehan wewenang sebagai berikut :

1. Atribusi : adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (attributie: toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan); 2. Delegasi : adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya (delegatie: overdracht van een bevoegdheid van het ene bestuursorgaan aan een ander);

3. Mandat : terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander).15

Berbeda halnya dengan Stroink dan Steenbeek menurutnya hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu: atribusi dan delegasi yang selanjutnya dijelaskan bahwa : 1) Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru; dan 2) delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang

14

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, cet.IV, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90

(39)

telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.

Dalam hal mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimpahan wewenang; tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.16

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan asss legalitas dalam konsep wewenang yang paling penting adalah menunjang belakunya kepastian hukum, selain itu perlakuan yang sama dari pemerintah kepada warganya dan dapat diartikan juga pelaksanaan wewenang dari pemerintah harus bersumber pada peraturan perundang-undangan.

1.5.2.3Pembatasan Wewenang

Terhadap wewenang, juga ada pembatasan, yang sering disebut ketidakwenangan (onbevoegdheid). Ada 3 (tiga) macam ketidakwenangan, yakni : 1. Onbevoegdheid ratione materiae, artinya pejabat itu pada hakekatnya

tidak berwenang untuk melakukan tindakan.

2. Onbevoegdheid ratione loci, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh wilayah tertentu.

3. Onbevoegdheid ratione temporis, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh waktu tertentu.17

Tentang pembatasan wewenang Philipus M Hadjon18 mengemukakan tentang prosedur pelimpahan, tanggungjawab dan tanggung gugat serta

16

Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 74-75 17

(40)

kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi, seperti nampak dalam skema berikut :

No. PRIHAL DELEGASI MANDAT

1 Prosedur

pelimpahan

Dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain: dengan setelah ada pencabutan dengan

berpegang pada asas “contrarius pelimpahan; 2) tanggungjawab dan tanggung gugat; dan 3) kemungkinan pemberi wewenang menggunakan wewenangnya itu lagi. Dari aspek prosedur pelimpahan, perolehan wewenang secara delegasi, berlangsung dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain, dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat dapat terjadi dalam hubungan rutin atasan bawahan, sebagai suatu hal biasa kecuali dilarang dengan tegas. Dari aspek tanggungjawab dan tanggung gugat, dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris (yang menerima pelimpahan wewenang), sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada

18 Ibid. 19

(41)

pemberi mandat. Dilihat dari aspek kemungkinan si Pemberi menggunakan wewenangnya lagi, maka dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi, penggunaan wewenang oleh pemberi wewenang tidaklah dimungkinkan kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”.

Sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat, pemberi wewenang dapat menggunakan wewenangnya yang telah dilimpahkan.

1.5.2.4Karakter Wewenang

Karakter wewenang dapat dibedakan atas: 1) wewenang terikat adalah wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan; dan 2) wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen) adalah wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkrit dan rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang pokok saja.20

Dari paparan karakter wewenang tersebut di atas, dapat diketahui bahwasanya ada pembedaan karakter wewenang menjadi 3 (tiga) jenis. Wewenang terikat isinya telah ditentukan secara rinci dalam artian, kapan dan dalam keadaan bagaimana dapat dipergunakannya wewenang, sebagai akibat pejabat atau badan pemerintah wajib melaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Di samping wewenang

(42)

terikat, ada pula wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen), yang memberikan kebebasan pejabat untuk mengatur lebih lanjut wewenang dimaksud secara lebih lebih konkrit dan rinci, namun tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah mengatur hal-hal yang bersifat pokok.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cara perolehan wewenang meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Perbedaan ketiganya, atribusi berkaitan dengan wewenang baru, delegasi berkaitan dengan pelimpahan wewenang dan mandat berkaitan dengan hubungan internal tanpa menimbulkan perubahan wewenang secara yudis formal.

1.5.3 Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu perlindungan hukum dari akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT sementara. Teori perlindungan hukum pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant dan Fitzgerald. Menurut Kant seperti dikutip oleh Beranrd L. Tanya, manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum kepada warga negaranya.21 Sedangkan menurut Fitzgerald seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yang

21

(43)

menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.22 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.23

Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.24 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.25

Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun

22

Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. 23

Ibid. 24

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118.

25

(44)

pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.26

Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.27 Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.28

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan

26

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53. 27

Supanto, 2014, Perlindungan Hukum Wanita, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/, diakses tanggal 17 September 2014.

28

(45)

kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi.

Perlindungan hukum oleh karenanya merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Teori perlindungan hukum dalam penelitian ini tentunya didasari oleh teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, dimana perlindungan hukum yang dilakukan dalam wujud perlindungan hukum preventif,

29

(46)

artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan atas tindakan pelanggaran hukum. Upaya pencegahan ini diimplementasikan dengan membentuk aturan-aturan hukum yang bersifat normatif.30

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum dari negara/pemerintah kepada warga negaranya dapat diberikan secara perventif maupun repretif. Pelindungan hukum secara perventif bertujuan untuk mencegah pelanggaran, sedangkan pelindungan hukum secara reprersif berupa sanksi hukuman atas terjadinya pelanggaran dengan maksud untuk menimbulkan efek jera.

1.5.4 Konsep Keabsahan Akta

Ukuran keabsahan suatu akta adalah akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku) dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang

30

(47)

menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka keabsahan akta Notaris tersebut tidak tercapai. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.

Keabsahan akta Notaris tercapai jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka keabsahan akta menjadi diragukan.

Keabsahan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,31 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu :32

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu.

Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

31

Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, hal. 125.

32Philipus M. Hadjon, 2001, “

(48)

Menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).

4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.

(49)

(2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihakyang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.33

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.34

33

G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 51. 34

(50)

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka :

a. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.

b. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan secara tanggung gugat terhadap akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.

(51)

Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.35 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notarismendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.36

3) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :

a) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Kewenangan Notaris yang lainnya

35

Tan Thong Kie, 1994, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 362.

36

Gambar

Tabel di atas, menunjukkan bahwa dalam hal wewenang yang diperoleh

Referensi

Dokumen terkait

Perbuatan hukum melakukan pembuatan akta jual beli terhadap tanah yang tidak memiliki sertipikat tersebut adalah suatu perbuatan yang berada di luar kewenangan Camat selaku

Aktivitas berpindah memiliki persentase relatif kecil dengan alokasi waktu rata-rata 30,23 menit dalam sehari atau sebesar 4,20%, dalam aktivitas berpindah

[r]

amino berjajar sesuai dengan kode Urutan yang benar pada proses sintesis protein adalah .... Pasangan gen pada kromosom homolog yang menempati lokus yang bersesuain dan

Kepercayaan disini ditandai dengan adanya posisi dan status sosial seseorang karena seseorang akan memiliki peran dan pengaruh yang besar jika dia memiliki posisi dan

1. Seleksi Tahap I dilaksanakan oleh panitia terkait kelayakan peserta dan pemenuhan syarat administrasi. Dalam tahap ini akan dipilih dari karya-karya komik

Penetapan kinerja yang mencerminkan capaian kinerja strategis yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Mataram dalam mengatasi permasalahan dan isu pembangunan yang berkembang