HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2.2 Konsep Keadilan Bagi Buruh dalam PPHI
Secara umum hukum merupakan keseluruhan peraturan atau kaedah yang mengatur mengenai tingkah laku dalam suatu kehidupan bersama yang dalam pelaksanaanya dengan
42 Deskripsi dari data yang diperoleh melalui wawancara terhadap divisi advokasi LBH Bali.
40
suatu sanksi.43 Dalam pembentukan atau pembangunan hukum berupa perancangan peraturan perundang-undangan harus mampu merepresentasikan peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat.44 Dalam menunjang efektifitas atau diterima hukum tersebut dimasyarakat maka instrumen penegakan hukum menjadi sangat penting.
Penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan untuk menegakkan atau memperlakukan hukum.45 Dengan kata lain diartikan sebagai suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Menurut Soerjono Soekanto faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut meliputi : hukumnya sendiri, penegakan hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan.46
Adapun suatu produk hukum dapat diketegorikan sebagai ketentuan yang dapat diterima dan memberi rasa keadilan pada masyarakat ialah jika baik dari sisi hukumnya sendiri, penegakan, sarana maupun secara budaya hukum, masyarakat dapat menerima kehadiran hukum tersebut sebagai instrumen untuk mengatur kehidupannya guna mewujudkan kondisi yang tentram damai sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kiranya perlu dikemukakan bahwa Lawrence M.Friedmen membagi sistem hukum (Teori sistem) kedalam 3 (tiga) komponen yaitu :
1. Komponen struktural 2. Komponen Substansial 3. Komponen Kultural47
Sederhananya sebagaimana diungkapkan Lawrence M Friedmen bahwa hukum terdiri dari komponen : substansi, struktur dan budaya yang apabila ketiganya terepresentasi
43 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.37
44 Esmi Warasih, 2011, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, h.32
45 Mahadi, 1982, Peranan Kesadaran Hukum Dalam Proses Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, h.3
46 Soerjono Soekanto, 1986, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, h.5
47 Abdulrrahman, op.cit
41
secara baik dalam suatu produk perundang-undangan akan memiliki korelasi positif terhadap penerimaan oleh masyarakat terhadap produk hukum tersebut.
Begitu pula dalam bingkai Hukum Ketenagakerjaan Indonesia khususnya dalam konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial Indonesia pembentukan produk hukum dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (UU PPHI) sudah barang tentu harus mampu memiliki kekuatan berlaku secara subtansi, struktur maupun budaya hukum agar dapat terlaksana dengan efektif sebagai pola penyelesaian permasalahan hubungan industrial yang marak terjadi di dunia ketenagakerjaan Indonesia. Apabila secara sistem, suatu produk hukum itu lengkap sudah tentu akan mampu memberi rasa keadilan kepada masyarakat, yang dalam konteks PPHI suatu produk hukum harus mampu merepresentasikan rasa keadilan bagi buruh, pengusaha dan setiap komponen terkait.
UU PPHI bila dianalisis lebih dalam sebagaimana terdiskripsi dalam point analisa permasalahan terkait hambatan pelaksanaan dalam PPHI, dapat ditarik suatu point analisis bahwa hingga saat ini UU PPHI masih belum mampu menjadi produk hukum yang representatif yang dapat diterapkan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia. UU PPHI dianggap belum mampu memuaskan dahaga keadilan bagi kaum buruh. Meskipun terdapat beberapa ketentuan khusus yang memberi peran besar bagi serikat buruh dalam konteks PPHI, tetap saja kondisi demikian belum mampu dioptimalisasikan karena disatu sisi buruh belum dalam kondisi berdaya.
Secara substantif ketentuan UUPPHI masih banyak memberi ruang atau celah hukum yang dapat memberi ruang ketidakadilan bagi buruh seperti pengaturan prosedur beracara dalam PPHI yang memposisikan buruh dalam kondisi seimbang dalam alur PPHI.
Kondisi ini disatu sisi dimaksudkan sebagai suatu bentuk persamaan dimuka hukum, namun disisi lain sangat melemahkan posisi buruh yang nyatanya belum berdaya dan berada dalam posisi subordinat terhadap pengusaha yang memiliki capital. Sehingga potensi pelemahan dan penekanan sangat riskan terjadi dalam setiap alur penyelesaian sengketa hubungan industrial mulai dari di tingkat bipartit, tripartit, maupun apabila sampai masuk berperkara di PHI.
42
Struktur hukum yang belum siap dan berdaya seperti pemberian peran kepada serikat pekerja sebagai hakim dan kuasa dalam sistem PHI yang dirasa tidak efektif karena secara kapasitas dan kemampuan struktur (pelaksana) tersebut belum berdaya. Dalam konteks ini bila dibandingkan dengan pihak pengusaha yang memiliki akses sumber daya manusia (SDM) dan modal yang mumpuni tentu akan menempatkan peran istimewa buruh ini kemudian dalam kondisi yang dilematis yaitu memiliki kewenangan tetapi belum siap secara SDM sehingga belum mampu memberi keuntungan atau akses maksismal bagi buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Dari segi budaya hukum, UU PPHI yang membagi pola penyelesaian perselisihan hubungan industrial hingga ke PHI masih menjadi pilihan akhir bagi masyarakat. Tidak banyak masyarakat (buruh) yang mengetahui sistem penyelesaian sengketa dalam konteks PPHI, sehingga setiap keuntungan yang dapat diakses buruh bila berperkara ke PHI seakan-akan bias dengan ketakutan/keengganan masyarakat untuk memilih berperkara dalam PH. Dimana dengan segala karakteristik pengadilan yang dirasa akan merugikan semua pihak PHI cenderung dijauhi dan mengarah pada kondisi “kebangkrutan” sebagai media penyelesaian sengketa hubungan industrial. Sejauh ini buruhlebih memilih untuk menyelesaikan perselisihannya baik dengan prosedur bipartit ataupun tripartit yang dalam konteks ini belum tentu mampu menempatkan posisi buruh dalam kondisi yang berkeadilan karena baik bipartit maupun tripartit tidak memberi jaminan bahwa buruh akan ada dalam posisi seimbang, realitanya kemudian menunjukkan pola penyelesaian tersebut kemudian malah rentan dengan adanya tekanan kepentingan, posisi yang jauh dibawah bagi buruh, kondisi ekonomi buruh, tingkat pendidikan buruh yang tidak cukup kuat yang dapat dimanfaatkan pihak pengusaha untuk menekan dan menghasilkan suatu langkah/simpulan penyelesaian sengketa yang jauh dari rasa keadilan bagi buruh.