i
Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi dan Bahasa Kode/Nama Bidang Ilmu : 596/Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Pemberdayaan Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum
Terhadap Buruh Dalam Mencari Keadilan
TIM PENELITI
1. Nyoman Satyayudha Dananjaya, S.H., M.Kn (NIDN. 0028108202) 2. Kadek Agus Sudiarawan, S.H.,M.H.
3. I Gede Pasek Pramana, S.H., M.H.
4. A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi, S.H., M.H 5. Made Diah Sekar Mayang Sari, S.H., M.H.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2016
ii
iii DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
DAFTAR ISI ... iii
RINGKASAN ... v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian... . 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Buruh ... 8
2.2 Tinjauan Tentang Hubungan Industrial ... 9
2.3 Teori Perlindungan Hukum ... 10
2.4 Teori Sistem Hukum ... 13
2.5 Teori Keadilan ... 15
2.6 Asas Penyelesaian Konflik ... 16
2.7 Konsep Pemberdayaan ... . 17
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Sifat Penelitian ... 19
3.2. Jenis Penelitian... 19
3.3. Analisis Data ... 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UU Nomor.2 Tahun 2004 Tentang PPHI ... 25
iv
4.1.1 Sejarah Lahirnya UU PPHI & Ketentuan Strategis dalam UU PPHI
... 27
4.1.2 Analisis Posisi Buruh dalam PPHI ... 26
4.2 Penghambat Buruh dalam Mencari Keadilan dalam Sistem PPHI . ... ... 30
4.2.1 Penghambat Buruh Mencari Keadilan dalam PPHI... 30
4.2.2 Konsep Keadilan bagi Buruh dalam PPHI... 39
4.3 Konsep PPHI Berbasis Pemberdayaan Buruh ... 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 46
5.2 Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Pemberdayaan Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum
Terhadap Buruh Dalam Mencari Keadilan
RINGKASAN
Konsep awal penyelesaian perburuhan dilaksanakan dengan perantara negara, yaitu melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4P/D). Namun upaya ini dianggap tidak efektif menjawab perkembangan perselisihan hubungan industrial yang semakin komplek. Sehingga dibentuklah Sistem Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Realitanya PPHI masih menyisakan banyak permasalahan, diantaranya konsep hukum publik yang menempatkan buruh sebagai kelompok lemah yang harus dilindungi, menjadi hukum privat yang mengasumsikan kedudukan buruh setara dengan pengusaha. Hal ini tentu memperlemah semangat perlindungan hukum atas buruh khususnya dalam mengakses keadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Secara khusus merosotnya jumlah penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan hubungan industrial dari tahun ke tahun tentu melahirkan pertanyaan besar.
Dugaan bahwa mekanisme bipartit dan tripatit mampu menyelesaikan permasalahan hubungan industrial secara efektif masih patut dipertanyaan. Karena posisi buruh dan pengusaha dalam mekanisme ini sudah tentu tidak seimbang. Mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dianggap tidak mampu menjawab permasalahan buruh karena berbagai permasalahan. Masih ditemukan berbagai ketentuan penghambat dalam PHI yang membuat lembaga ini menjadi tidak efektif digunakan oleh buruh dalam mengakses keadilan seluas-luasnya. Salah satu solusi kongkret untuk memperkuat sistem PHI ini ialah dengan melakukan penguatan konsep berbasis pemberdayaan.
Penelitian ini akan secara khusus mengkaji terkait apakah UU PPHI telah representatif bagi pihak buruh dalam mencari keadilan, menemukan permasalahan yang menjadi penghambat bagi buruh dalam mencari keadilan pada mekanisme PPHI di Indonesia serta membangun konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial berbasis pemberdayaan sebagai solusi dalam merespon permasalahan ini.
Kata Kunci : PPHI, Pemberdayaan, Keadilan, Buruh
vi
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Salah satu ciri negara berkembang ialah dilaksanakannya pembangunan diberbagai bidang termasuk pada bidang ekonomi. Kondisi perekonomian yang terus berkembang kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dibidang perekonomian. Krisis finansial Tahun 1997 telah mendorong perubahan besar terhadap sistem hukum perburuhan di Indonesia, yaitu melalui program reformasi hukum perburuhan yang pada hakekatnya menekankan pada mekanisme pasar. Hasilnya adalah diundangkannya 3 (tiga) undang-undang terkait dunia perburuhan yaitu : Undang-Undang No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB), Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).1
UU PPHI merupakan undang-undang terakhir yang diundangkan dalam program reformasi sistem perburuhan. Undang-undang ini fokus pada konsep penyelesaian sengketa pada system hukum perburuhan yang dikenal dengan istilah Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Didalam Undang-undang ini perselisihan hubungan industrial didefinisikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.2
Konsep awal penyelesaian perselisihan perburuhan dilaksanakan dengan perantara negara, yaitu melalui panitia penyelesaian perselisihan daerah dan penitia penyelesaian perselisihan pusat. Namun upaya ini dianggap tidak efektif menjawab perkembangan
1 Surya Tjandra, 2007, Hukum Perburuhan, Desentralisasi, dan Rekontruksi Rezim Perburuhan Baru, TURC, Jakarta, hlm.7.
2 Pasal 1 angka 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2
perselisihan hubungan industrial yang semakin komplek.3 UU PPHI menghapus sistem penyelesaian perselisihan perburuhan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah (P4P/D). Dalam hal ini, P4P/D dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil, dan murah.4
UU PPHI hadir dengan merombak total sistem penyelesaian perselisihan perburuhan yang telah ada sebelumnya. Undang-undang ini membagi perselisihan industrial menjadi empat macam yaitu : perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar Serikat Buruh dalam satu perusahaan. Undang-undang ini juga mengakomodir sistem penyelesaian sengketa tiga tingkat (bipartit, tripartit, dan Pengadilan Hubungan Industrial) yang hingga kini masih digunakan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait hubungan industrial dalam hukum perburuhan Indonesia.
Pembentukan UU PPHI sendiri mempunyai beberapa pertimbangan, diantaranya : a. Perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, sehingga
diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah.5
b. Undang-Undang No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang No.12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat.6
c. Pekerja/buruh perseorangan dapat melakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara perorangan tanpa harus diwakili oleh Serikat Pekerja/Serikat
3 LBH Jakarta, 2014, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, LBH Jakarta, Jakarta, hlm.1.
4TURC, 2007, Praktek Pengadilan Hubungan Industial : Panduan Bagi Serikat, Buruh, TURC, Jakarta, hlm.2.
5Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Menimbang butir b.
6 Ibid, huruf c
3 Buruh.7
d. Mengakui kebebasan buruh untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh lebih dari satu dalam satu perusahaan dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh tetap dapat mewakili buruh untuk beracara di peradilan.8
e. Meminimalisir peran negara dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, karena menganggap hubungan kerja semata-mata pada kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.9
Pada tahap awal PPHI terhadap suatu perselisihan hubungan industrial diisyaratkan harus menempuh mekanisme bipartit, namun pembagian keempat macam perselisihan ini membawa konsekuensi yang berbeda satu sama lain dalam tahap penyelesaian berikutnya. Apabila upaya penyelesaian bipartit gagal maka dikenal sistem penyelesaian tripartit yang dapat digunakan sesuai jenis perselisihan seperti melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase sebelum menuju ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai muara dari konsep tiga tahap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Diawal kehadirannya PPHI diharapkan mampu menjadi solusi dalam menyelesaikan sengketa-sengketa perburuhan yang rentan terjadi. Apalagi sesuai hakekatnya seharmonis apapun dijaga hubungan antara pengusaha dan buruh, namun tidak mungkin mampu dihilangkan bahwa hubungan antar kedua elemen ini sangat rentan terhadap konflik karena memiliki atau didasarkan kepentingan yang berbeda. Kondisi ini semakin terasa saat proses industrialisasi yang semakin meluas dan ketertarikan pengusaha untuk menggunakan sistem kerja fleksibel pada bingkai negara berkembang seperti Indonesia.
Menarik kemudian mencermati perkembangan perkara baru yang masuk dan diperiksa di PHI dalam 2 (dua) tahun pertama operasional Tahun 2006-2007. Begitu diresmikan awal 2006 hingga 2007 perkara yang diperiksa di PHI cenderung meningkat pesat dari nol ke belasan (di Kalimantan) hingga puluhan (di Sumatra), dan bahkan ratusan (di pulau
7Ibid, Penjelasan Umum.
8Ibid.
9Ibid.
4
Jawa).10 Namun diparuh kedua Tahun 2007 hingga kini terjadi penurunan perkara yang masuk ke PHI dengan cukup signifikan bahkan hingga menjadi hanya dibawah hitungan jari.
Apakah ini merupakan sinyal kebangkrutan PHI di Indonesia? Kondisi ini kemudian menunjukkan bahwa yang salah dengan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial rezim UU No.2 Tahun 2004 ini. Setelah dianalisis mendalam didapat fakta bahwa perselisihan yang terjadi dalam bingkai hubungan industrial secara umum semakin hari semakin bertambah dan meluas, namun hal ini kemudian tidak berbanding lurus dengan data (jumlah) penyelesaian sengketa yang masuk dalam sistem PHI yang semakin merosot. Hal ini memunculkan dugaan apakah kemudian dalam sistem PPHI ini baik mekanisme bipartit maupun tripartit telah berjalan efektif sehingga sebagian besar masalah perburuhan telah dapat diselesaikan melalui tahap awal dalam mekanisme PPHI ini.
Dugaan ini kemudian seperti terbantahkan oleh pandangan sebagian besar kaum buruh di Indonesia yang kemudian menyampaikan aspirasi mereka dengan memandang PPHI di Indonesia selama ini dirasakan tidak memihak buruh. Banyaknya perkara yang selesai di tahap tripartit selama ini tidak lebih dari konsekuensi ketakutan para buruh untuk berperkara lebih jauh hingga ke PHI. Buruh seakan ditakut-takuti sehingga memutuskan untuk segera menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi, walupun hasil nya tidak menguntungkan bagi mereka. Karena buruh memandang penyelesaian melalui jalur PHI akan menguras tenaga, materi, waktu dan pemikiran yang akhirnya akan tetap berada di posisi yang lemah.
Kondisi ini kemudian menjadi bukti nyata bahwa ada yang salah dalam sistem PPHI di Indonesia yang secara tidak langsung mereduksi hak-hak kaum buruh untuk mengakses keadilan. Anggapan kemudian muncul dimana UUPHI dipandang sebagai bagian dari reformasi sistem perburuhan yang dipaksakan karena dalam proses penyusunannya pun sangat sedikit melibatkan para buruh atau serikat buruh yang
10TURC, Op.cit, hlm.41.
5
seharusnya wajib didengar aspirasinya sebagai subyek vital yang harus dilindungi.
Secara khusus PPHI memang masih menyisakan berbagi permasalahan, diantaranya konsep hukum publik yang menempatkan buruh sebagai kelompok lemah yang harus dilindungi, menjadi hukum privat yang mengasumsikan kedudukan buruh setara dengan pengusaha.11 Buruh dalam sistem PPHI ini dipandang memiliki posisi atau kedudukan yang seimbang dengan pihak pengusaha. Padahal jelas-jelas buruh berada di posisi yang lemah sehingga cenderung mendapat perlakuan tidak adil bahkan dalam upaya memperjuangkan hak-haknya. Melihat kondisi ini konsep pemberdayaan menjadi begitu menarik untuk dianalisis dan diadopsi untuk meningkatkan kualitas buruh dalam upaya memperjuangkan hak-haknya. PPHI terbukti masih memiliki berbagai permasalahan disetiap langkah pelaksanaanya. Tingkat pengetahuan buruh yang rendah, karakteristik PHI yang berpotensi merugikan buruh apabila tidak kuat secara sumber daya manusia dan berbagai permasalahan lainnya harus segera dicarikan solusi jika ingin meningkatkan kualitas perlindungan hukum terhadap buruh dalam PPHI di Indonesia. Banyak pihak menenggarai kelemahan produk hukum dinegeri ini seperti disengaja, karena kelemahan tersebut hanya merugikan kaum yang tidak memiliki posisi politik dan ekonomi yang kuat.12
Sejatinya betapapun harmonisnya suatu hubungan kerja antara buruh dan pengusaha, namun terjadinya perselisihan perburuhan tidak mudah dihindari. Oleh karena itu seperangkat hukum yang mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan pastilah menempati posisi strategis.13
Darisana kemudian penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum, dalam lingkup hukum perburuhan dengan secara spesifik berusaha mengkaji terkait “Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Pemberdayaan Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Dalam Mencari Keadilan”
11 LBH Jakarta, Op.cit.
12 Kerap Merugikan Buruh Tuntut Revisi UU PPHI, www.koranperdjoeangan.com, diakses pada 7 Maret 2016
13Aloysius Uwiyono, Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya, www.hukumonline.com, diakses pada 10 Maret 2016.
6 1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan 3 (tiga) rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang merupakan hasil reformasi sistem hukum perburuhan telah representatif bagi pihak buruh dalam mencari keadilan?
2. Apakah permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat bagi buruh dalam mencari keadilan pada sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia, khususnya pada Pengadilan Hubungan Industrial?
3. Bagaimanakah konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial berbasis pemberdayaan yang dapat ditawarkan dalam merespon permasalahan ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang merupakan hasil reformasi sistem hukum perburuhan telah representatif bagi pihak buruh dalam mencari keadilan.
2. Untuk mengetahui masalah-masalah yang menjadi penghambat buruh dalam mencari keadilan dalam sistem Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial di Indonesia, khususnya pada Pengadilan Hubungan Industrial.
3. Untuk menggali dan menemukan konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial berbasis pemberdayaan sebagai solusi permasalahan yang dialami buruh saat ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan respon terhadap isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat terutama dalam lingkup dunia ketenagakerjaan indonesia, yang secara khusus mengkaji tentang konsep penyelesaian perselisihan antara buruh dan pengusaha dalam sistem PPHI di Indonesia. Dilakukannya penelitian ini nantinya akan dapat memberikan alternatif tawaran
7
gagasan baru terkait dengan konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial berbasis pemberdayaan yang dapat dijadikan solusi bagi para komponen yang terlibat dalam PPHI (terkhusus bagi buruh) dalam menciptakan keadilan khususnya bagi buruh yang selama ini seringkali menjadi pihak yang dirugikan karena berada dalam posisi lemah.
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Buruh
Secara umum, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), buruh merupakan orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah pekerja. Selain definisi, KBBI secara implisit juga mengkualifikasi jenis-jenis buruh, antara lain sebagai berikut:
a. indikator waktu ; buruh harian, buruh musiman
b. indikator tempat ; buruh pabrik, buruh tambang, buruh tani c. indikator keahlian ; buruh kasar, buruh terampil, buruh terlatih.
Selain KBBI, dijumpai banyak adagium yang berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”.14 Adagium ini bermaksud membuka pandangan banyak pihak bahwa betapa pentingnya pekerja bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Oleh karenanya buruh sudah selayaknya mendapat perlindungan secara hukum. Adapun secara yuridis, Keberadaan buruh/pekerja pun telah diakomodir ke dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Bertolak ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan, kembali ditemui definisi tentang buruh, yakni setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Definisi serupa juga diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Uraian di atas menunjukan bahwa buruh sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan pengusaha (perusahaan), melainkan juga bersinggungan dengan pemerintah. Jika merujuk pada ketentun Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan, maka hubungan tersebut diibaratkan sebagai suatu sistem yang melibatkan para pelaku produksi barang dan/atau jasa.
14Zaeni Asyhadie, 2012, Perlindungan Buruh (Arbeidsbescherming). Dalam : H. Zainal Asikin., Editor.
9 2.2 Tinjauan tentang Hubungan Industrial
Hubungan antara buruh/pekerja, pengusaha dan pemerintah menurut hukum positif wajib berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hubungan ini kemudian disebut dengan hubungan Industrial. Dikenal beberapa bentuk hubungan industrial, yaitu :
a. hubungan industrial berdasarkan demokrasi liberal;
b. hubungan industrial atas dasar perjuangan klas (Class Straggle);
c. hubungan Industrial atas dasar komitmen seumur hidup.15
Hubungan industrial berdasarkan demokrasi liberal bersumber dari paham individuaisme dan liberalisme. Perbedaan kepentingan antara buruh yang menginginkan upah yang besar dengan pengusaha yang justru ingin memperoleh keuntungan yang maksimal, umumnya diselesaikan dengan mekanisme adu kekutan. Buruh melakukan aksi mogok sedangkan pengusaha memutuskan untuk menutup usahanya. Berbeda halnya dengan hubungan industrial atas dasar perjuangan klas, sehubungan dalam hal ini pengusaha ingin memperoleh nilai lebih dengan cara merampas sebagaian upah buruh, maka pertentangan kepentingan ini diselesaikan dengan jalan saling menjatuhkan. Terakhir hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup, umumnya berlaku di Jepang dan bersumber dari falsafah serta budaya Jepang. Abdul Khakim dalam Asri Wijayanti menyebutkan bahwa Indonesia pun memiliki corak hubungan industrial tersendiri, yakni :
a. mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan semata-mata mencari nafkah, melainkan bentuk pengabdian terhadap Tuhan, sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara;
b. pekerja berada dalam kedudukan sebagai manusia yang bermartabat;
c. pengusaha dan pekerja memiliki kepentingan yang sama, yakni kemajuan perusahaan.
Corak hubungan industrial paham Indonesia ini, dibeberapa literatur lain disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
15H. Zainal Asikin, 2012, Hubungan Industrial Pancasila, Dalam : H. Zainal Asikin., Editor. Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Rajagrafindo Persada, Depok, h. 237-238
10
Sebagai akhiran, masing-masing pihak, baik buruh, pengusaha dan pemerintah, dalam suatu sistem hubungan industrial memiliki fungsi tersendiri. Fungsi tersebut secara holistik telah diatur di dalam Ketentuan Pasal 102 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Apabila ketiga pihak dapat melaksanakan fungsi hubungan industrial secara maksimal, dapat diprediksi bahwa permasalahan dalam hubungan industrial di Indonesia tidak akan terjadi.
2.3 Teori Perlindungan Hukum
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum secara umum berbicara tentang bagaimana seseorang dapat memenuhi hak-haknya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Konsep perlindungan hukum sejatinya telah tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), dimana di dalam UUD NRI 1945 mengamanatkan untuk memberikan perlindungan hukum tanpa terkecuali. Hukum dapat dimaknai sebagai perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma dan kaidah.
Kumpulan norma dan kaidah ini mengandung isi yang bersifat umum dan normatif umum karena berlaku bagi setiap orang. Setiap produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah ataupun badan legislatif senantiasa harus berpedoman pada UUDNRI 1945 harus mampu memberikan perlindungan hukum kepada setiap insan yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Satjipto Raharjo menerjemahkan konsep perlindungan hukum sebagai upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.16
Menurut Sudikno, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan
16 Satjipto Raharjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hlm.121.
11
dengan manusia lain.17Unsur-unsur perlindungan hukum antara lain : a. Adanya jaminan yang diberikan oleh hukum
b. Hukum mengatur pembagian hak dan kewajiban antar perseorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan.
c. Adanya jaminan hukum untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan untuk dirinya sendiri dan kepentingan dalam rangka hubungan dengan pihak lain.
Pengertian lain dari perlindungan hukum adalah diterjemahkan sebagai suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun represif, dimana dengan kata lain fungsi hukum yakni konsep ketika hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Philipus M.Hadjon mengungkapkan bahwa perlindugan hukum selalu berkaitan dengan kekuasaan, yaitu kekuasaan permerintah dan kekuasaan ekonomi. Beliau kemudian membagi bentuk perlindungan hukum menjadi dua (2), yaitu :18
a. Perlindungan hukum preventif
Perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak.
Model perlindungan preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan freis ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.
b. Perlindungan hukum represif
Bentuk perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi suatu sengketa.
17 Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogjakarta, hlm.33.
18 Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip- Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 2- 5
12 B. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
Ketentuan Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan pemberian perlindungan hukum terhadap pekerja diatur secara khusus dalam BAB X UU Ketenagakerjaan yakni dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75. Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan memberikan tuntunan, maupun jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja tersebut. Perlindungan kerja jika diklasifikasikan akan mencakup norma keselamatan kerja, norma kesehatan kerja, norma kerja dan perlindungan terhadap pekerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan.19
Secara khusus perlindungan terhadap pekerja mencakup banyak aspek, diantaranya adalah waktu kerja, keselamatan kerja, kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan.
Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja menjadi 3 macam yaitu :
a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha- usaha untuk memberikan pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena suatu diluar kehendaknya. Perlindungan ini disebut jaminan sosial.
b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau biasa disebut kesehatan kerja.
c. Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha- usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan
19 Zainal Asikin, 2002, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, hlm.76
13
pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut keselamatan kerja.20
C. Hak-Hak Pekerja
Secara umum hak merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Hak juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Dalam perpektif hukum ketenagakerjaan dalam melaksanaan pekerjaannya seorang pekerja juga memiliki hak-hak yang harus dilindungi secara hukum. Hak-hak yang berhak diperoleh pekerja antara lain seperti ;
a. Imbalan kerja (Upah, Upah dan sebagainya) sebagaimana telah diperjanjikan bila ia telah melaksanakan kewajibannya,
b. Fasilitas dan berbagai tunjangan/dana bantuan yang menurut perjanjian akan diberikan oleh pihak majikan atau perusahaan kepadannya,
c. Perlakuan yang baik atas dirinya melalui penghargaan dan penghormatan yang layak, selaras dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia,
d. Perlakuan yang adil dan seimbang antara dirinya dan kawan-kawannya, dalam tugas dan penghasilan masing-masing dalam angka perbandingan yang sehat, e. Jaminan kehidupannya yang wajar dan layak dari pihak majikan,
f. Jaminan perlindungan dan keselamatan diri dan kepentingannya selama hubungan kerja berlangsung,
g. Penjelasan dan kejelasan status, waktu, dan cara kerjanya pada majikan/perusahaan.21
2.4 Teori Sistem Hukum.
Dalam kaitannya dengan peneltian ini, kiranya perlu dikemukakan pandangan Lawrence M.Friedmen mengenai sistem Hukum yang terdiri tiga komponen, yaitu:
20 Ibid, hlm. 76-77.
21 A.Ridwan Halim, 1990, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 45.
14 1. komponen struktural
2. komponen substansial, dan 3. komponen kultural.22
Struktur hukum merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan struktur dari sistem hukum antara lain; institusi atau penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim. Faktor petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Jika aturan sudah baik namun ada permasalahn dari sisi penegak hukum, maka akan muncul permasalahan di dalamnya.
Substansi hukum merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka rancang. Agar hukum itu berfungsi efektif, maka di dalamnya harus memuat unsur yuridis, filosofis dan sosiologis, sedangkan budaya hukum merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalahgunakan oleh masyarakat.
Dalam hal ini ditekankan pada kesadaran hukum masyarakat itu sendiri untuk mematuhi peraturan hukum yang ada.Terkait dengan kesadaran hukum, hal ini lah yang dinamakan teori rechtsbewustzjin.23 Dalam teori ini, kesadaran hukum dianggap sebagai mediator antara pola- pola prilaku manusia dalam masyarakat secara individu maupun kolektif dengan hukum. Jadi hukum akan berlaku efektif jika bersesuaian dengan volkgeist. Secara khusus teori sistem hukum sangat relevan digunakan untuk mengukur efektifitas berlakunya hukum dimasyarakat, terutama saat dikaitkan dengan tujuan hukum yang dikehendaki pembentuk peraturan. Dalam literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. Salah satunya yang sering dijadikan patokan adalah apa yang disampaikan oleh Gustav Radbruch yang
22Abdulrrahman, 1985, Tebaran Pemikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat, FT Media Sarana Press, Jakarta, hlm.88-89
23 Otje Salman, anthon F. Susannto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT. Alumni, Bandung, hlm. 49.
15
menyatakan bahwa tujuan hukum tersebut ialah meliputi 3 hal utama yaitu : Keadilan (nilai dasar), Kepastian hukum (nilai instrumental) dan Kemanfaatan (nilai praktis).
2.5 Teori Keadilan
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, adil berarti (1) sama berat; tidak berat sebelah;
tidak memihak (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; (3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Adapun yang dimaksud dengan keadilan adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil. Berbicara tentang keadilan menjadi sangat sumir jika hanya bertolak dari definisi secara umum. Mengacu pada pendapat aristoteles, maka keadilan dapat di bagi menjadi dua (2), yaitu :
1. keadilan distributif, dan ; 2. keadilan kumulatif.24
Keadilan distributive ialah keadilan yang diterima oleh setiap atas dasar jasa sedangkan keadilan kumuluatif adalah keadilan yang diterima tanpa memperdulikan jasa seseorang.
Keadilan kumulatif menguasai hubungan antara perseorangan sedangkan keadilan distributif menguasai hubungan antara masyarakat, khususnya negara dengan perseorangan khusus.25
John Rawls juga mengemukakan pandangannya tentang keadilan, yakni (1) prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar, sepanjang tidak menyakiti orang lain dan (2) prinsip yang menyatakan ketidaksamaan memang adil.26 Prinsip yang pertama menekankan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan memilih, dipilih, berpendapat, berserikat dan lain-lain. Adapun prinsip kedua mengandung pemahaman bahwa ketidaksamaan yang memiliki manfaat adalah adil, mengingat adanya manfaat yang ditimbulkan bagi semua orang di dalam masyarakat. Jika dikaitkan dengan
24L. J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. ke-26, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 11.
25 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. ke-12, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 64
26Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudance) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudance), Cet. ke-4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.281-283.
16
penelitian ini, teori keadilan sebagaimana telah diuraikan menjadi bermanfaat guna menelaah isu buruh yang tidak berada dalam kedudukan equal dengan pengusaha dalam sebuah hubungan industrial.
2.6 Asas Penyelesaian Konflik
Secara umum konflik dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan dan pertentangan.
Konflik juga dapat diartikan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran yang tidak sejalan.27 Adakalanya konflik juga dipersamakan artinya dengan sengketa.28 Dikaitkan dengan isu hubungan industrial, maka istilah konflik yang pada intinya memuat pertentangan kepentingan antar subsistem yang terapat di dalam hubungan industrial, kemudian diterjemahkan menjadi perselisihan. Jika bertolak dari ketentuan Undang-undang PPHI, mekanisme penyelesaian sengketa ada beragam jenisnya. Adapun penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan adalah bukan menjadi opsi utama yang ditawarkan oleh Undang-undang PPHI. Sebagai contoh melalui ketentuan Pasal 3 ayat 1, Undang-Undang PPHI mewajibkan para pihak yang mengalami perselisihan untuk menempuh upaya berupa musyawarah mufakat. Undang-undang dalam hal ini lebih meprioritaskan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mengarah pada perdamian, dibandingkan dengan diselesaikan di pengadilan yang berpatokan pada putusan pengadilan.
Apabila dalam pelaksanaannya, para pihak yang berselisih kemudian menempuh jalur pengadilan, maka dalam hal ini dituntut peran dari hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman agar tidak hanya beorientasi pada urusan benar-salah atau menang-kalah.
Sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman, sesungguhnya dalam memutus suatu perselisihan hakim wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
27I Ketut Sardiana, Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, 2011, Peta Desa Panduan Mengelola Konflik Batas Wilayah, Udayana University Press, hlm,. 36.
28I Ketut Sudantra, Wayan P. Windia, 2012, Sesanan Prajuru Desa Tatalaksana Pimpinan Desa Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 99.
17
Berdasarkan substansi pasal tersebut, sesungguhnya masyarakat pribumi (Indonesia) memiliki asas kerja dalam penyelesaian konflik. Menurut Koesnoe, asas-asas tersebut terdiri atas;
a. asas rukun ; b. asas patut ; c. asas laras.29
Asas rukun dalam hal ini mencerminkan bahwa manusia hendaknya manusia mampu melaksanakan kehidupan bersama dengan menjunjung tinggi hubungan damai sesama manusia. Dengan demikian penyelesaian perselisihan terletak sejajar dengan ajaran musyawarah dan ajaran gotong royong. Asas patut mengacu pada suatu pengertian yang menunjuk unsur kesusilaan dan unsur akal sehat. Berdasarkan asas patut, maka jawaban atas penyelesaian perselisihan tidak merugikan para pihak yang tengah berselisih. Asas laras fokus pada perasaan estesi yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karenanya penyelesaian perselisihan dalam perspektif asas laras wajib memperhatikan faktor tempat, waktu dan keadaan. Bersesuaian dengan asas di atas, penyelesaian perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat menjadi solusi yang dapat diterima oleh para pihak yang tengah berselisih.
Atas dasar tersebut, para pihak kembali dapat menjalani kehidupan sebagaimana sewajarnya tanpa meninggalkan rasa dendam dan permusuhan.
2.7 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people- centered, participatory, empowering, and sustainable”. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.
29Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya, h. 43
18
Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka konsep pemberdayaan bertujuan meningkatkan harkat dan martabat para buruh. Dengan demikian kemitra-sejajaran antara pengusaha dan buruh pun dapat terimplementasi. Hal ini yang pada akhirnya juga berdampak pada mekanisme penyelesaian perselisihan.
19 BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya secara lebih dalam.30 Metodelogi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
3.1 Sifat Penelitian
Didalam Penelitian hukum dikenal penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.31 Selain itu terdapat pula penelitian hukum yang bersifat empiris, yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi di masyarakat. Penelitian hukum ini didasarkan pada penelitian normatif empiris yaitu gabungan antara penelitian normatif dan empiris, dimana untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat normatif dilakukan penelitian yang bersifat empiris yang didasarkan pada penelitian lapangan. Hasil dari penelitian ini akan disajikan dalam suatu laporan yang bersifat diskriptif analitis. Bersifat deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, doktrin dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.2 Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dan bertujuan untuk mencari kaedah dan norma dengan metode penemuan hukum. Disisi lain penelitian lapangan digunakan untuk memperoleh data primer dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan serta bertujuan untuk memperoleh fakta mengenai prilaku dari subyek hukum
30Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm.43.
31 Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.24
20 yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
1. Penelitian Kepustakaan a. Data
Data yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini yakni berupa data sekunder. Data sekunder adalah data yang tersedia berupa kaedah atau norma hukum serta putusan pengadilan.
b. Bahan
Bahan Hukum sebagai data sekunder dalam penelitian kepustakaan ini diperoleh melalui sumber kepustakaan, perundang-undangan dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan terdapat dalam :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang dikeluarkan pemerintah dan bersifat mengikat berupa perundang-undangan, perjanjian internasional dalam bentuk traktat yang dalam hal ini terdiri dari :32
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Weetbook).
c) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
d) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
e) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.31 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Secara Bipartit
f) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi
32 Burhan Ashofa, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.103.
21 2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti:
a) Berbagai bahan kepustakaan yang berkaitan dengan PPHI dan perlindungan hukum terhadap pekerja.
b) Berbagai hasil penelitian, makalah-makalah, simposium, lokakarya dan internet yang berkaitan dengan materi penelitian.
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data untuk jenis penelitian kepustakaan yaitu metode dokumentasi dengan mengumpulkan, mempelajari dan menganalisis berbagai bahan kepustakaan dan dokumen terkait dengan obyek penelitian.
d. Alat Pengumpulan Data
Adapun alat pengumpul data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder diatas yaitu melalui studi dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan menggunakan fasilitas perpustakaan untuk memperoleh refrensi hukum terkait serta media lain yang memungkinkan.
2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan meneliti secara langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data primer yang diperlukan. Untuk memperoleh data tersebut, ditentukan wilayah atau lokasi dari subyek penelitian.
a. Data
Data yang digunakan untuk penelitian lapangan ini yaitu data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya.
b. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian lapangan ditentukan untuk memperoleh data penunjang yaitu pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pengadilan Hubungan Industrial, Lembaga Bantuan Hukum Bali, Perguruan Tinggi, Kantor Advokat di Denpasar dan beberapa Perusahaan di Provinsi Bali. Peneliti menentukan wilayah
22
berdasarkan pertimbangan untuk mempersempit ruang lingkup penelitian dan dikarenakan permasalahan yang diteliti merupakan permasalahan pendukung yang sifatnya homogen dan umum sehingga berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
c. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Non probalility sampling dengan jenis purposive yaitu tidak semua populasi mendapat kesempatan menjadi sempel. Sempel ditentukan dengan kriteria tertentu disesuaikan dengan permasalahan.
d. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini terdiri dari : 1) Responden
a) Pekerja (10 Perkerja dari 10 Perusahaan berbeda)
Pekerja yang dijadikan subyek penelitian ialah berasal beberapa perusahaan di bidang berbeda di Provinsi Bali meliputi :
1. PT. Permata Bank Denpasar 2. PT. Cintya Denpasar
3. PT. BPR Saraswati Eka Bumi 4. PT. BPR Sri Artha Lestari 5. PT. Huawei Tech Investment 6. PT. Victory International Futures 7. PT. Jamkrida Bali
8. Royal Tulip Visesa
9. Grapari Telkomsel Denpasar 10. Nusa Dua Beach Hotel & Spa
b) Pengusaha (5 Pengusaha/Bagian Hukum/Ketenagakerjaan Perusahaan berbeda)
meliputi :
1. Avilla Hospitality 2. Frii Bali Echo Beach 3. Grandmas Hotel 4. ITDC
5. PT. Raditya Holding Company
c) Advokat (5 Advokat di wilayah Denpasar) 1. Putu Eva Laheri SH MH (Vidhi Law Office)
2. I Gusti Agung Dian Hendrawan SH MH (Atlantis Law Office) 3. Made Aryana Putra Atmaja SH MH (Aryana & Surya Law Office) 4. I Wayan Adi Sumiarta SH MKn (Gendo Law Office)
5. I Gde Edi Budiputra SH MH (Fahmi Y.S and Associates)
23 d) Hakim PHI
Bahtera Yenny Purba SH.,MH
2) Narasumber
a) Akademisi Bidang Ketenagakerjaan 1. Dr. I Made Sarjana SH MH (FH UNUD) 2. I Ketut Markeling SH MH (FH UNUD) b) LBH Bali
Haerul Umam SH (Divisi Advokasi LBH Bali) c) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Denpasar
Kepala Bidang Bina Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan
e. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu dengan wawancara kepada responden dan narasumber dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat terbuka dan hanya memuat garis-garis besar saja sehingga tidak menutup kemungkinan diajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih berkaitan dengan masalah yang diteliti.
f. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu berupa pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan penelitian yang disusun sebagai sebuah panduan wawancara yang menggali apa saja yang diketahui responden dan narasumber mengenai permasalahan yang diteliti peneliti. Peneliti mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan wawancara agar responden dan narasumber dapat memberikan informasi selengkap mungkin dengan tingkat validitas dan relevansi yang tinggi, sehingga dapat diperoleh informasi yang akurat dan tepat sasaran.
24 3.3 Analisis Data
Pada tahap analisis data, dilakukan pengelompokan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan ataupun penelitian lapangan. Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan juga dipilih dan dihimpun secara sistematis sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan kelengkapannya, kejelasannya serta keseragaman data yang diperlukan, selanjutnya data tersebut diklasifikasikan dan disusun secara sistematis dan konsisten agar memudahkan penulisan dalam menganalisis data yang ada. Setelah proses pengumpulan data maka tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Data yang dikelompokkan, diseleksi, dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil dari analisis ini yang menjadi jawaban dari permasalahan yang ada.
25 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 UU Nomor.2 Tahun 2004 Tentang PPHI
4.1.1 Sejarah Lahirnya dan Ketentuan-Ketentuan Strategis dalam UU No.2 Tahun 2004 Tentang PPHI
Secara khusus Undang-Undang Nomor.2 Tahun 2004 (UUPPHI) disahkan pada tanggal 14 Januari 2005 dan dijadwalkan berlaku efektif setahun kemudian.
Ketidaksiapan dari segi infrastruktur kemudian mengakibatkan pelaksanaan UU ini ditunda sehingga lahir Perpu No.1 Tahun 2005. Barulah kemudian pada tanggal 1 Januari 2016 UU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial efektif berjalan yaitu setelah 2 tahun sejak diundangkan.33 Dalam ketentuan Pasal 2 membagi pola penyelesaian sengketa industrial menjadi 4 (empat) macam yaitu :
1. Perselisihan Hak
2. Perselisihan Kepentingan
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
4. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan.
Perselisihan Hak didefinisikan sebagai perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penfsiran terhadap peraturan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerjasama.
Contoh: dalam Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Perjanjian Kerja (PK) terdapat kesepakatan yang tidak dilaksanakan atau terdapat ketentuan normatif yang tidak dilaksanakan. Perselisihan Kepentingan didefinisikan sebagai perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, PP atau PKB. Contoh : kenaikan upah, uang makan, dan lain.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) didefinisikan sebagai perselisihan yang
33 TURC, Op.cit, hlm.1.
26
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Contoh : ketidaksepakatan alasan PHK dan perbedaan hitungan pesangon. Perselisihan antar serikat perkerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan didefinisikan sebagai perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lainnya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaanhak dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
Tahap awal penyelesaian perselisihan diisyaratkan harus menempuh mekanisme bipartit namun pembagian keempat macam perselisihan ini kemudian membawa konsekuensi yang berbeda satu sama lain dalam tahap penyelesaian berikutnya.
Adapun Pola Penyelesaian (mengandung konsekuensi berbeda) yaitu :
- Perselisihan hak diselesaikan melalui mekanisme bipartit yang jika gagal akan diselesaikan melalui mediasi (pemerintah) kemudian Banding ke Pengadilan Hubungan Industrial hingga akhirnya Kasasi di Mahkamah Agung (MA).
- Perselisihan PHK diselesaikan melalui Mekanisme Bipartit. Jika gagal dapat ditempuh jalur Mediasi atau Konsiliasi (Konsiliator dari pihak swasta) kemudian Banding di PHI hingga mengajukan Kasasi di MA.
- Perselisihan Kepentingan dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja diawali dengan Mekanisme Bipartit, kemudian jika gagal dapat ditempuh jalur mediasi, konsiliasi ataupun arbitrase. Jika melalui mediasi dan atau konsiliasi gagal maka dapat mengajukan banding di PHI dengan (putusan akhir dan bersifat tetap).
Jika dipilih jalur melalui arbitrase (arbiter dari pihak swasta dengan putusan final dan mengikat). Dimana untuk putusan arbitrase hanya dapat dilakukan langkah hukum berupa pembatalan Putusan Arbitrase ke Mahkamah Agung. Lebih lanjut UU PPHI juga mengatur khusus mengenai beberapa ketentuan strategis dalam sistem penyelesaian perselisihan antara buruh dan pengusaha dalam bingkai PPHI yaitu UU PPHI memberikan peran khusus bagi serikat buruh untuk berperan aktif dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama dalam proses Pengadilan Hubungan Industrial.
Serikat buruh dalam hal ini kemudian dapat berperan sebagai kuasa hukum buruh yang
27
merupakan representasi dari buruh dalam menyelesaikan permasalahannya dan memberi peran Hakim Ad hoc yang berasal dari serikat buruh. Kedua peran ini tentu merupakan upaya dari pembentuk UU untuk menguatkan posisi buruh saat berperkara di PHI.
Kondisi ini kemudian dimaksudkan untuk memberi keseimbangan posisi buruh yang sebelumnya selalu dipersepsikan dalam posisi yang lemah. Konsep ini kemudian faktanya berubah menjadi pisau bermata dua. Disatu sisi ditujukan sebagai bentuk penguatan posisi buruh dalam mencari keadilan ketika berperkara di PHI, namun disisi lain masih ditemukan kendala penghambat sehingga konsep ini kemudian tidak teraplikasi maksimal dan cenderung melemahkan kembali posisi buruh saat berperkara saat terjadi perselisihan hubungan industrial yang melibatkan buruh dan pengusaha.
4.1.2 Analisis Posisi Buruh dalam UU PPHI
Berlakunya UU PPHI yang menghadirkan Pengadilan Hubungan Industrial membawa konsekuensi pada kondisi dimana serikat buruh kemudian menghadapi tantangan baru dalam melindungi anggotanya di dalam sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal ini disebabkan oleh ketentuan dalam UU PPHI memiliki persoalan terkait dengan kekurangan konseptual yang melekat di dalam rumusan pasal-pasal yang sesungguhnya justru merugikan buruh. Dalam sistem PPHI termasuk pada PHI, diandaikan bahwa para pihak berada dalam posisi seimbang, suatu asumsi yang jelas tidak berdasarkan realitas dimana posisi buruh dan pengusaha yang sangat timpang dari berbagai aspek perlindungan sehingga potensial bagi buruh akan kehilangan akses terhadap keadilan.
Posisi buruh kemudian dapat terlihat jelas dalam setiap langkah dalam proses PPHI yang sejatinya belum mengangkat posisi buruh atau dalam kata lain masih menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah. Meskipun dalam alur proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial kemudian disiapkan beberapa alur yang dapat diakses buruh namun dalam pelaksanaan nya kemudian dilapangan ditemukan berbagai kelemahan yang secara tidak langsung dapat menghambat proses pencarian keadilan oleh buruh yang dalam sebuah perselisihan hubungan industrial seringkali berada dipihak yang lemah.
28
Hubungan subordinat antara buruh dan pengusaha tidak dapat dipungkiri kemudian akan berhubungan erat dengan efektifitas penyelesaian sengketa perburuhan yang seringkali terjadi. Dari sejarahnya, istilah buruh sendiri sudah sejak dulu diidentikkan dengan pekerja kasar, pendidikan dan penghasilan yang rendah pula.34 Bahkan, pada zaman kolonial terdapat istilah kuli, mandor atau semacamnya, yang menempatkan pekerja pada posisi yang lemah di bawah pengusaha, padahal keberadaan pekerja sangatlah penting artinya bagi kelangsungan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dari konsepsi pembahasaan pun, istilah buruh sudah memberi nuansa bahwa buruh merupakan pihak yang lemah dalam suatu hubungan kerja.
Sejatinya secara khusus pengertian terkait apa yang disebut dengan Buruh kemudian diperhalus menjadi “Pekerja” dalam bingkai hukum ketenagakerjaan Indonesia. Konsep Pekerja sendiri dapat diklasifikasikan apabila memenuhi karakteritik sebagai berikut:35
1. Bekerja pada atau untuk pengusaha/perusahaan.
2. Imbalan kerjanya dibayar oleh pengusaha/perusahaan.
3. Secara resmi terang-terangan dan terus menerus mengadakan hubungan kerja dengan pengusaha/perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk jangka waktu tidak tertentu lamanya.
Meskipun kemudian terjadi perubahan peristilahan yang kemudian menjadi diperhalus. Namun kondisi demikian kemudian tidak memberi pengaruh signifikan terhadap posisi buruh/pekerja dalam bingkai hubungan kerja antara pengusaha dan buruh.
UU Ketenagakerjaan mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dari definisi diatas kemudian dapat dianalisis dalam suatu hubungan kerja sudah pasti buruh berada dalam posisi subordinat yaitu dibawah garis intruksi dari atasan dan mengharapkan pengupahan dari pihak pengusaha.
34 Budiono, Abdul Rachmat, 1995, Hukum Perburuhan di Indonesia, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm.1.
35 Halim, A. Ridwan, 1990, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Cet. II, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.11.
29
Kondisi tidak seimbang dalam pola hubungan kerja ini kemudian diteruskan dalam konsep penyelesaian hubungan industrial antara buruh dan pengusaha. Meskipun dalam substansi UU PPHI kemudian menegaskan dalam Pengadilan Hubungan Industrial ataupun dalam beberapa alur penyelesaian sengketa hubungan industrial (bipartit dan tripartit) namun dalam realitanya keseimbangan posisi itu masih sebatas konsepsi ideal semata. Posisi pengusaha yang memiliki kualitas lebih baik dari sisi pendidikan (berdaya) dan sisi ekonomi yang kuat tentu mengakibatkan terjadi jurang pemisah yang tajam antara posisi buruh dan pengusaha dalam suatu penyelesaian sengketa.
Menarik kemudian jika kita mencermati perkembangan perkara yang masuk dalam PHI hingga akhir tahun ini, ditemukan kondisi bahwa terjadi penurunan jumlah perkara yang sangat signifikan bahkan ada yang menjadi hanya dibawah hitungan jari tangan.
Apakah hal ini kemudian merupakan sinyal kebangkrutan PHI dalam konteks PPHI ? tentu terdapat banyak faktor yang kemudian menyebabkan PHI kemudian ditinggalkan.
Salah satu yang menjadi fokus isu kemudian ialah keengganan buruh untuk berperkara hingga ke PHI. Kondisi itu kemudian menimbulkan suatu dugaan bahwa apakah kemudian semua perkara perselisihan hubungan industrial mampu diselesaikan melalui mekanisme bipartit ataupun tripartit dengan berkeadilan ? Melihat posisi buruh yang timpang atau berada dalam posisi yang dibawah tentu kemudian mereduksi pemikiran kita bahwa mekanisme bipartit dan tripartit telah mampu menyelesaikan perselisihan- perselisihan perburuhan secara adil. Lebih dari itu jika dikaji secara mendalam terlihat jelas bahwa posisi buruh dalam mekanisme bipartit atau tripartit pun tetap berada dalam posisi yang timpang, sehingga secara tegas dapat dinyatakan bahwa UU PPHI baik secara substantif maupun teknis belum mampu memberikan jaminan kepada buruh dalam mencari atau mengakses keadilan seluas-luasnya atau dengan kata lain UUPPHI belum representatif bagi buruh dalam mengakses keadilan.
30
4.2 Penghambat Buruh dalam Mencari Keadilan dalam PPHI 4.2.1 Penghambat Buruh dalam Mencari Keadilan dalam PPHI
Di dalam sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada UU PPHI terdapat beberapa karakterik yang kemudian menjadi penghambat bagi buruh dalam mengakses keadilan baik itu pada tahap pelaksanaan mekanisme bipartit dan tripatit ataupun secara khusus saat buruh kemudian untuk mengambil jalur penyelesaian melalui PHI.
Adapun rumusan permasalahan ini akan secara khusus mencoba membedah setiap elemen yang menjadi faktor penghambat bagi buruh dalam menggunakan sistem PPHI khususnya PHI sebagai sarana penyelesaian sengketa hubungan industrial yang terjadi dalam sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia. Ketentuan ini akan membedah baik dalam tataran substansi sesuai dengan pengaturan dalam UU PPHI yang potensial menghambat terciptanya suatu penyelesaian sengketa yang berkeadilan, khususnya bagi kaum buruh yang seringkali berada dalam posisi yang cenderung terpinggirkan atau kesulitan dalam mengakses hak-haknya yang seharusnya didapat. Selain itu penelitian ini juga mencoba memperkuat data dari hasil studi lapangan langsung terhadap pekerja, pengusaha, pemerintah (dinas tenaga kerja), akademisi di bidang hukum ketenagakerjaan maupun praktisi terkait perburuhan yang pandangannya akan berusaha dikompilasi oleh peneliti sehingga dapat terdata jelas point-point yang menjadi faktor penghambat utama bagi buruh dalam mengakses keadilan dalam penyelesaian sengketa melalui sistem PPHI.
Faktor penghambat buruh analisis sisi substanstif UU PPHI
1. Pengaturan Posisi Buruh dan Pengusaha yang seimbang dalam sistem PPHI
Pengaturan posisi buruh dan pengusaha yang seimbang dalam sistem PPHI terkhusus dalam proses beracara dalam Pengadilan Hubungan Industrial menjadi salah satu faktor penghambat utama bagi buruh dalam proses pencarian keadilan dalam bingkai hubungan industrial. Dalam konteks hubungan industrial posisi buruh dan pengusaha nyata-nyata berada dalam posisi yang berbeda (tidak seimbang), namun apabila dalam suatu sistem penyelesaian sengketa kemudian diposisi kan seimbang baik itu pada tahap bipartit, tripartit dan dalam beracara di PHI tentu menimbulkan kerugian bagi buruh dalam memperjuangkan hak-haknya.
31
Karena dalam kondisi yang belum berdaya (lemah) buruh semestinya diberikan suatu ruang atau karakteristik tersendiri terkait konsep penyelesaian sengketa agar dapat mengoptimalkan setiap ruang yang dimiliki secara maksimal dalam upaya mencapai keadilan yang diperjuangkan.
2. Pengaturan Serikat Buruh sebagai Kuasa Hukum Buruh
Pengaturan ketentuan dimana serikat buruh dapat berindak sebagai kuasa buruh saat berperkara di pengadilan hubungan industrial dalam UU PPHI, disatu sisi dapat dilihat sebagai karakteristik istimewa dalam PHI, namun apabila belum dikuatkan dengan konsep pemberdayaan buruh (penguatan sdm buruh) tentunya hal ini malah dapat menjadi salah satu penghambat dimana dalam proses beracara terdapat beberapa mekanisme yang kemudian tidak dapat dimaksimalkan oleh buruh dan malah merugikan kepentingannya karena ketidakpahaman atau belum mampunya buruh untuk memahami konsep membuat gugatan dan mekanisme beracara dipengadilan hubungan industrial lainnya. Stigma PHI yang dinilai sebagai penindas keadilan bagi buruh atau bahkan sebagai kuburan keadilan bagi buruh tentu sulit dihindari apalagi acap kali gugatan buruh yang berujung pada putusan yang menyatakan gugatan buruh secara formal tidak dapat diterima.
3. Pengaturan Hakim Ad hoc Buruh
Pengaturan mengenai adanya hakim ad hoc dari pihak buruh (serikat buruh) sebagai salah satu komposisi hakim majelis dalam UUPPHI disatu sisi juga dapat dipandang sebagai suatu karakteristik khusus dalam beracara di PHI. Tujuan adanya 1 hakim ad hoc dari buruh, 1 dari pihak pengusaha dan 1 hakim karier dari Pengadilan Negeri adalah bertujuan untuk menjaga imparsialitas hakim dalam menyelesaikan suatu sengketa hubungan industrial yang erat dengan tarikan kepentingan antara buruh dan pengusaha. Namun ketentuan ini justru malah berpotensi menghambat buruh dalam mengakses keadilan karena terkait dengan posisi buruh sebagai hakim yang selain belum “berdaya” secara utuh, hakim dari pihak buruh juga belum memiliki struktur pelatihan atau pembekalan khusus dari serikat pekerja yang sejatinya sangat penting ditujukan untuk memperkuat ideologi penguatan posisi
32
yang pada segmen buruh. Kondisi ini kemudian berpotensi terhadap sering kalah nya buruh dalam sengketa-sengketa hubungan industrial, dimana putusan-putusan yang dijatuhkan seringkali lebih memihak pada kepentingan pengusaha.
Sebagaimana diketahui pengusaha dengan modal yang besar dapat mendanai berbagai pelatihan dan penguatan hakim yang direkomendasi dari pihak pengusaha sehingga dari segi kualitas pengusaha selalu kemudian berada diatas posisi buruh.
Meskipun prinsip imparsialitas dan netralitas it tetap coba dijaga namun tetap saja dengan konsep hakim adhok dalam pengadilan hubungan industrial memiliki potensi sebagai salah satu faktor penghambat bagi buruh dalam memperjuangkan hak-haknya dalam bingkai pengadilan hubungan industrial. Selain itu hal menarik lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah terkait kesejahteraan minim bagi hakim ad hoc PHI, masalah kesejahteraan yang seringkali dihadapi hakm adhoc terdiri dari banyak varian mulai dari terlambatnya pembayaran gaju atau tunjangan kehormatan, diskriminasi tunjangan kinerja hingga potongan pajak yang tidak merata antara satu daerah dengan daerah lainnya.
4. Pilihan Tahap Penyelesaian Sengketa diluar PHI
Sistem PPHI Indonesia memberi ruang penyelesaian sengketa bukan hanya harus selalu melalui PHI namun secara prosedural sesuai dengan karakter sengketa, buruh dapat memilih jenis penyelesaian sengketa yang dapat digunakan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pihak buruh dan pengusaha.
Setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi kemudian dapat diatasi pertama melalui mekanisme bipartit antara pihak buruh dan pengusaha, namun apabila gagal sebelum masuk ke mekanisme PHI buruh sesuai dengan karakteristik sengketanya dapat memilih jenis mekanisme tripartit yang dapat digunakan baik itu melalui mediasi, konsiliasi atau bahkan melalui arbitrase. Pilihan tahap penyelesaian sengketa di luar PHI ini kemudian yang mengakibatkan PHI kemudian menjadi pilihan akhir atau dalam bahasa lain sebagai pilihan pemungkas. Namun fakta dilapangan kemudian menunjukkan PHI dalam konteks kekinian mengalami