• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERKOSAAN YANG BERAKIBAT KEHAMILAN

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

TIM PENGUSUSUL 1. Dr. I Gede Artha, SH.,MH (0027015803)

2. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum (0031124621) 3. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS (001409503)

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

NOVMBER 2016

(2)
(3)

iii RINGKASAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERKOSAAN YANG BERAKIBAT KEHAMILAN

Perkosaan amat sering terjadi, tidak jarang berakibat kehamilan bagi siperempuan atau gadis yang diperkosa. Hal inilah yang akan menambah penderitaan dari si korban perkosaan tersebut, di samping penderitaan-penderitaan psykologis lain yang amat sangat dirasakan sepanjang hidupnya. Kondisi inilah akan dilakukan penelitian apakah mereka diberikan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan yang berakibat kehamilan ini. Misalnya korban perkosaan dilegalkan bila mau menggugurkan kandungan dari peristiwa perkosaan yang menimpa diri korban. Karena itu korban yang ingin menggugurkan kandungan dari akibat perkosaan harus diberikan perlindungan hukum. Perempuan yang mengalami kejadian ini selayaknya mendapatkan perlindungan yang adil, namun pengguguran kandungan masih dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan norma. Pengguguran kandungan juga termasuk tindak pidana, hal ini diatur dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi di dalam Pasal 75 Undang-Undang-Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072 tentang Kesehatan memperbolehkan seseorang melakukan aborsi apabila terdapat indikasi medis, salah satunya yaitu pengguguran kandungan akibat perkosaan. Hal ini menunjukkan adanya konflik norma antara KUHP dengan Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 dalam mengatur masalah pengguguran kandungan. Penelitian ini mempergunakan penelitian hukum normative, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan dan dianalisis dengan teknik deskripsi, interpretasi, evaluasi, dan argumentasi.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNyalah penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan yang Berakibat Kehamilan” dapat kami selesaikan. Dalam penyusunan penlitian ini tentu banyak pihak yang membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Udayana 2. Ketua LPPM Universitas Udayana

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para wakil dekan, beserta staff di lingkungan Fakultas Hukum UNUD

4. Ketua Unit Penelitian Pengabdian Fakultas Hukum Universitas Udayana 5. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

6. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum terutama terkait dengan bidang perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan.

Denpasar, 16 Oktober 2016 Tim Peneliti

(5)

v DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN ... ii RINGKASAN ... ... iii KATA PENGANTAR ... iv DAFTAR ISI ... ... v BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... .. 1

1.2. Rumusan Masalah ... ... 2

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... .. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 3

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN ... 7

BAB IV METODE PENELITIAN ... ... 9

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

5.1 Pengaturan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan Pada Umumnya ... 12

5.2 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan yang Mengakibatkan Terjadinya Kehamilan ... 24

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 35

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... . 36 DAFTAR PUSTAKA

(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkosaan amat sering terjadi, tidak jarang berakibat kehamilan bagi siperempuan atau gadis yang diperkosa. Hal inilah yang akan menambah penderitaan dari si korban perkosaan tersebut, di samping penderitaan-penderitaan psykologis lain yang amat sangat dirasakan sepanjang hidupnya. Kondisi inilah akan dilakukan penelitian apakah mereka diberikan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan yang berakibat kehamilan ini. Misalnya korban perkosaan dilegalkan bila mau menggugurkan kandungan dari peristiwa perkosaan yang menimpa diri korban.

Berbicara tentang pengguguran kandungan (aborsi) sudah tidak asing lagi diperbincangkan di dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia. Jumlah kasus pengguguran kandungan di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta, 30 diantaranya dilakukan oleh para remaja yang pada kehamilannya tidak diingankan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus tiap tahun.1 Jumlah atau tingkat pengguguran kandungan dari tahun ketahun semakin meningkat, ini tidak terlepas dari banyaknya perempuan di Indonesia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Hal yang paling menyakitkan adalah terjadinya kehamilan akibat dari perkosaan. Karena itu korban yang ingin menggugurkan kandungan dari akibat perkosaan harus diberikan perlindungan hukum.

Alasan seseorang untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan sangatlah beragam. Khusus terhadap tindakan aborsi yang terjadi karena pemerkosaan, hampir dipastikan bahwa si wanita dan keluarganya tidak menghendaki kelahiran bayi karena berbagai alasan. Misalnya, aib keluarga.2 Kasus pengguguran kandungan yang diakibatkan perkosaan terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan. Perempuan yang mengalami kehamilan akibat perkosaan tentunya akan menolak janin yang berada didalam rahimnya. Sehingga pengguguran kandungan menjadi solusi terbaik yang diputuskan oleh sebagian korban pemerkosaan.

1Kompas, 2009, “2,3 Juta Kasus Aborsi Per Tahun, 30 Persen Oleh Remaja”, URL : http://regional.kompas.com/read/2009/02/16/11310897/2.3.Juta.Kasus.Aborsi.per.Tahun..30.Persen.Oleh.Remaj a, diakses tanggal 22 September 2015.

2Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Mien Rukmini I), h. 20.

(7)

2

Alasan pengguguran kandungan yang sering diajukan oleh seorang wanita yang menjadi korban perkosaan adalah mengandung anak hasil perkosaan akan semakin menambah derita batinnya karena nantinya anak tersebut akan mengingatkannya kepada kejadian buruk tersebut. Perempuan yang mengalami kejadian ini selayaknya mendapatkan perlindungan yang adil, namun pengguguran kandungan masih dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan norma. Pengguguran kandungan juga termasuk tindak pidana, hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 346, akan tetapi di dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072 tentang Kesehatan memperbolehkan seseorang melakukan aborsi apabila terdapat indikasi medis, salah satunya yaitu pengguguran kandungan akibat perkosaan. Hal ini menunjukkan adanya konflik norma antara KUHP dengan Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 dalam mengatur masalah pengguguran kandungan. Dengan demikian, penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban perkosaan. Melihat dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat topik penelitian “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan yang Berakibat Kehamilan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini mengangkat beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :

1) Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan pada umumnya?

2) Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan yang mengakibatkan terjadinya kehamilan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah diatas dapat diselesaikan dengan memberikan suatu pembatasan, yaitu terhadap permasalahan yang pertama mengenai pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan pada umumnya, serta terhadap permasalahan yang kedua mengenai pengaturan perlindungan terhadap korban perkosaan yang mengakibatkan kehamilan yang berniat untuk melakukan aborsi apakah dilegalkan oleh peraturan yang ada saat ini.

(8)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.3 Menurut Moeljatno, Tindak Pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.4

Tindak Pidana atau delik ialah tindak yang mengandung 5 unsur, yakni: a. Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);

b. Kelakuan itu harus sesuai dengan Undang-Undang (wettelijke omschrijving); c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;

d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.5

2.2 Kebijakan Hukum Pidana

a. Pengertian Kebijakan/Politik Kriminal (Criminal Policy)

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu :

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;dan

3. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgenyang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.6

3Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persaja, Jakarta, h. 67.

4Putra Keadilan, 2015, “Pengertian Tindak Pidana”, URL :

http://www.academia.edu/7933833/PENGERTIAN_TINDAK_PIDANA, diakses tanggal 7 Juli 2015

5C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap

Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, h.37.

6Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi I), h. 1.

(9)

4

Sudarto juga mengemukakan definisi singkat bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.”7

b. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief mengemukakan, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.8

Penal Policy atau kebijakan hukum pidana (politik hukum pidana) menurut Sudarto adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dan sesuai dengan keadaan dan situasi pad asaat ini, dan kebijakan dari negara-negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa dipergunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9

2.3 Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum akan erat maknanya terhadap konteks atau dalam hal apa diperlukan perlindungan hukum. Istilah perlindungan hukum timbul karena bertumpu pada konsep pengakuan terhadap hak asasi manusia sebagai hak kodrati manusia yang melekat secara alamiah. Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai upaya kebijakan legislative dalam rangka memformulasikan suatu aturan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi korban perkosaan agar formulasi aturan hukum itu dapat mencerminkan perhatian terhadap para korban perkosaan, khususnya bagi mereka korban perkosaan yang mengakibatkan kehamilan. Adapun dasar diberikannya perlindungan hukum bagi korban perkosaan oleh Negara yaitu ada dua aspek, aspek kontrak sosial dan solidaritas sosial10

Menurut teori kontrak sosial, Negara memonopoli seluruh reaksi soaial terhadap kejahatan dan melarang tindakan – tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terjadi kejahatan yang membawa korban, maka Negara harus bertanggung jawab untuk

7Ibid.

8Ibid, h. 19.

9Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.161.

10Muladi, 1994, Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, diselenggarakan di Jakarta, h. 6.

(10)

5

memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Sedangkan menurut teori solidaritas sosial, Negara harus menjaga warganya dalam memenuhi kebutuhannya melalui kerjasama dalam masyarakat dengan menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh Negara. Hal ini dapat dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak kesetiakawanan sosial.

Dalam ketentuan hokum pidana, tampaknya perlindungan hokum terhadap korban perkosaan sifatnya masih sangat abstrak, karena perkosaan tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hokum korban, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran norma atau tertib hokum yang abstrak. Dengan demikian pelanggaran hokum terhadap korban perkosaan bersifat secara tidak langsung. Namun khususn terhadap korban perkosaan yang berakibat terjadinya kehamilan kiranya telah mulai mendapat perhatian perlindungan hokum, dengan dilegalkannya bilamana si korban perkosaan tersebut ingin melakukan aborsi.

2.4 Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah:

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

3. Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.11

11Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II) h.

(11)

6 b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

2.5 Teori Perlindungan Korban

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.12 Bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana yaitu :

a. Dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang)

b. Dapat dipastikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identic dengan penyantunan korban), bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan social), dan sebagainya.13

12Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.166.

(12)

7 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penulisan karya ilmiah ini dapat dilihat dalam dua tujuan, yaitu meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain :

- Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari karya ilmiah ini, yaitu untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap wanita yang menjadi korban perkosaan yang menimbulkan kehamilan.

- Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui mengenai bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan pada umumnya.

b. Untuk mengetahui mengenai bagaimana perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang berakibat kehamilan bermaksud melakukan aborsi.

3.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan dalam hukum Pidana Indonesia.

b. Manfaat praktis

Penulisan karya ilmiah ini dapat dipakai menjadi pedoman dan refrensi baik oleh peneliti, penulis, pemerintah maupun penegak hukum dan berbagai pihak yang ingin menyelesaikan kasus aborsi karena perkosaan menurut hukum pidana Indonesia.

3.3 Urgensi Penelitian

Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam rangka membantu korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan. Korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan harus mendapatkan perlindungan hukum. Mengingat adanya konflik norma antara KUHP dengan Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No.61 Tahun

(13)

8

2014 tentang Kesehatan Reproduksi, maka perlu adanya kepastian hukum agar korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan dapat memperoleh perlindungan hukumnya. Oleh sebab itu, penelitian ini sangalah penting. Dengan demikian harapan penelitian ini adalah untuk bisa menemukan solusi dan formulasi yuridis agar perlindungan hukum dapat diberikan kepada korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan.

(14)

9

BAB IV

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini mempergunakan penelitian secara normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yakni dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum dan kaedah-kaedah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan pearturan perundang-undangan.14

Ciri penelitian hukum normative antara lain :

a. Suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum; b. Tidak menggunakan hipotesis;

c. Menggunakan landasan teori; dan

d. Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.15

Norma yang digunakan dalam penelitian ini adalah norma konflik, dimana adanya perbedaan pengaturan hukum pengguguran kandungan yang ada di dalam KUHP dengan Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31. Di samping itu penelitian ini juga ditunjang oleh penelitian lapangan, yaitu melihat beberapa kasus yang terjadi di lapangan terutama yang telah dilakukan pemeriksaan di pengadilan khususnya di Provinsi Bali.

3.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach), khususnya ketentuan hukum dalam pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait permasalahan yang diangkat, yakni : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

14Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.13.

(15)

10 3.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum antara lain:

1. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat, yakni menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin) serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia yang juga berkaitan dengan penelitian ini.16

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normative. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah dan meneliti data pustaka seperti bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Pencatatan terhadap bahan-bahan temuan dalam studi kepustakaan perlu dilakukan secara teliti dan jelas, pencatatan ini juga dilakukan secara menyeluruh terhadap bahan-bahan yang ada relevansinya dengan penelitian.17 Pengumpulan bahan hukum juga ditunjang oleh data lapangan yaitu berupa catatan – catatan kasus perkosaan di beberapa wilayah hukum pengadilan negeri di Bali.

3.5 Teknik Analisis

Untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan maka dipergunakan beberapa teknik analisis yaitu:

1. Teknik deskripsi, dengan menggunakan teknik ini peneliti menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proporsi-proporsi hukum atau non-hukum.

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal.

16Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 32.

17Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Bambang Waluyo I), h. 50.

(16)

11

3. Teknik evaluasi merupakan penelitian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer meupun dalam bahan hukum sekunder.

4. Teknik argumentasi berupa pernyataan-pernyataan yang berasal dari pemikiran atau analisis penulis yang dituangkan dalam bentu tulisan.

(17)

12 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengaturan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan Pada Umumnya

Korban sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban) tentu dalam kedudukannya memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Negara dalam hal ini juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan tersebut. Perlindungan hukum ini adalah hak dari setiap korban, termasuk korban perkosaan.

Tindak pidana pemerkosaan yang dikenal dengan istilah verkrachting atau perkosaan untuk bersetubuh sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP menyatakan bahwa : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Mengenai penjelasan pasal ini R. Soesilo menyatakan bahwa, yang diancam dengan hukum dalam pasal 285 KUHP ini adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Seorang yang dipaksa sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu. Persetubuhan harus benar-benar dilakukan.18 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, tindak pidana pemerkosaan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan serta paksaan untuk bersetubuh. Persetubuhan ini tentu tidak diinginkan oleh korban, dan dengan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan serta paksaan ini menimbulkan dampak yang sangat besar bagi seorang korban pemerkosaan.

Tidak seperti halnya dalam kejahatan harta benda atau kejahatan ringan lainnya, dikaji dari dampak terjadinya tindak pidana pemerkosaan, korban pemerkosaan akan mengalami penderitaan yang lebih dalam. Tidak hanya luka fisik, namun korban pemerkosaan akan mengalami trauma psikologis (psikis) atau luka batin yang mendalam, yang juga dapat menimbulkan masalah mental atau emosional untuk jangka waktu yang lama. Trauma psikologis inilah yang lebih sulit untuk disembuhkan dan membutuhkan waktu penyembuhan yang lama. Korban pemerkosaan juga akan merasakan dampak dari tindak pidana

18Soesilo, 1956, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); serta Komentar-Komentarnya Lengkap

(18)

13

pemerkosaan itu di lingkungan keluarga dan masyarakat, misalnya dikucilkan. Hal ini dapat memperburuk kondisi korban.

Abdul Wahid dan Muhamad Irfan yang mengutip dari pandangan Markom dan Dolan menyatakan bahwa, “Perkosaan adalah keadaan darurat baik secara psikologis maupun medis. Tujuan terapi dari prosedur ini (penanganan medis korban kasus perkosaan) termasuk luka-luka fisik, intervensi krisis dengan dukungan emosional, propylaksis untuk penyakit kelamin dan pengobatan terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan”.19 Lebih lanjut, Abdul Wahid dan Muhamad Irfan yang mengutip dari pandangan Markom dan Dolan juga menyatakan bahwa,

Pendapat di atas secara lebih rinci antara lain sebagai berikut:

1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat kehilangan keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, dimata suami, calon suami (tunangan) atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya.

2. Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan.

3. Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada diri korban. Luka bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari korban.

4. Tumbuh rasa kekurang-percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka terkesan kurang sungguhsungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terusmenerus oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung berakhir.

5. Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat, keluarga, suami dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan. 20

Berdasarkan hal tersebut, korban pemerkosaan sangat memerlukan perlindungan hukum. Banyak dampak negatif/kerugian/penderitaan yang dialami oleh korban

19Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual ; Advokasi

Atas Hak Asasi Perempuan, Refika Aditama, Bandung, h. 82. 20Ibid, h. 83.

(19)

14

pemerkosaan. Upaya ganti rugi atau restitusi yang diberikan tentu tidak cukup untuk mengatasi dampak tersebut. Dalam viktimologi, yang diperlukan oleh korban adalah “pemulihan korban”. Arief Gosita menyatakan bahwa, “Tujuan utama program pelayanan korban adalah pemulihan korban”.21

Pemulihan inilah yang sangat diperlukan bagi korban sebagai upaya mengembalikan ke kondisi semula sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

Perlindungan korban juga ditujukan untuk memberikan keadilan bagi korban. Sebagai wujud nyata, dalam hal ini Negara tentu akan berupaya menangkap pelakunya. Dalam kedudukan inilah, posisi korban sangatlah penting. Korban sangat berperan kedudukannya dalam Sistem Peradilan Pidana, yakni ketika menjadi saksi korban yang akan membantu proses penegakan hukum, yakni akan membantu mengungkap kejahatan yang dialaminya. Korban akan sangat menentukan dalam pengungkapan kasus tersebut. Dalam konsteks tujuan Sistem Peradilan Pidana, posisi korban juga sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Korban harus ditempatkan diposisi yang khusus, sehingga sangat diperlukan upaya perlindungan hukum yang mampu memulihkan kondisi korban dan mampu mengakomodir hak-hak yang dimiliki oleh korban. Jaminan perlindungan hukum melalui sebuah peraturan perundang-undangan yang baik sangat diperlukan.

Perlindungan korban merupakan salah satu bentuk tujuan dari Negara Indonesia, yakni memberikan perlindungan bagi warga negaranya, sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada yang menyatakan bahwa, :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan dari Negara Republik Indonesia adalah memberikan perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia.

Dalam perkembangannya, Negara Indonesia juga sudah mulai memperhatikan kondisi korban, walaupun senyatanya masih banyak yang harus dilakukan dalam hal ini. Idealnya, Sistem Peradilan Pidana tidak selalu terfokus pada pelaku, namun kepentingan korban adalah hal pertama yang harus ditangani. Perlindungan korban merupakan cerminan dari perlindungan HAM, oleh sebab itu masalah perlindungan korban juga telah menjadi isu internasional. Banyak instrumen internasional yang mengatur mengenai perlindungan korban Kejahatan Hak Asasi Manusia, diantaranya dapat ditemukan dalam :22

21Arief Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan, cetakan pertama, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 147.

22Lihat juga Adnan buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, cetakan ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 96.

(20)

15 a. Pasal 8 Deklarasi Universal

b. Pasal 2 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

c. Pasal 6 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Deskriminasi Rasial

d. Pasal 2 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Deskriminasi Terhadap Perempuan

e. Pasal 77 (4) 83 (a), dan (b) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (1990)

f. Pasal 9 ayat (1)Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (1992)

g. Prinsip 3 Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan Status Institusi Nasional (Prinsip-prinsip Paris (1993)

h. Pasal 9 ayat (1) Deklarasi tentang Hak an Tanggung Jawab Individu, Kelompok, Organisasi Masyarakat untuk mempromosikan dan Melindungi Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia yang Diterima secara Universal (1998)

i. Pasal 7 Aturan-aturan tentang Perlindungan Anak yang dirampas Kebebasannya (1990).

j. Pasal 19, 20 Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip Keadilan Dasar bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Pasal 1985)

k. Seksi I (27), Seksi II (24) dan (59) Deklarasi dan Program Aksi Wina (1993)

Khusus terhadap perlindungan korban kejahatan, selain instrumen internasional diatas juga dapat ditemukan dalam berbagai pertemuan internasional, diantaranya dalam Kongres PBB ke-7 yang membicarakan The Prevention of Crime and treatment of Offenderes di Milan melalui Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power sebagai rancangan resolusi tentang perlindungan korban yang akhirnya menjadi Resolusi MU PBB No. 40/34. Selain itu, juga dapat ditemukan dalam Kongres PBB keenam di Caracas 1980 dalam pembicaraan mengenai crime and the abus of power, offences and offenders beyond the reach of the law. Selanjutnya, dalam Kongres di Milan Italia dalam Declaration of Justice for Victim of Crime and Abuses of Power.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, C. Maya Indah S (yang mengutip pandangan dari M. Cherif Bassiouni), juga mengemukakan bahwa, ada beberapa standar HAM Internasional yang berkaitan dengan hal ini yakni :

a. Code of Cunduct for Law Enforcement Officials. b. Basic Priciple on the Independence of the Judiciary.

(21)

16 c. Basic Priciple on the Role of Lawyers. d. Guidelines on the Role of Prosecutors.

e. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power. f. Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture and other

cruel.

g. Universal Declaration of Human Rights.23

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, perlindungan korban telah menjadi perhatian di dunia internasional dan sebagai cerminan perlindungan HAM, perlindungan terhadap korban kejahatan juga sudah diakui dan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Pengaturan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999. Berbagai instrumen internasional dan Undang-Undang HAM inilah yang menjadi landasan bahwa, perlindungan korban kejahatan, termasuk korban pemerkosaan harus dilindungi dan negara mempunyai kewajiban dalam hal ini. Pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan pada umumnya juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya yaitu :

a) Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Beberapa pasal yang mengatur mengenai hak korban tindak pidana di antaranya adalah : - Pasal 98-101 KUHAP mengenai hak korban untuk menuntut penggabungan perkara

gugatan ganti kerugian.

- Pasal 46 ayat (1) KUHAP mengenai hak pengembaliaan benda milik korban yang dikenakan penyitaan.

- Pasal 108 ayat (1) KUHAP mengenai hak korban untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

- Pasal 233 KUHAP mengenai hak mengajukan upaya hukum banding dan Pasal 244 KUHAP mengenai hak mengajukan upaya hukum kasasi.

- Pasal 168 KUHAP hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi. - Pasal 177 ayat (1) KUHAP hak untuk didampingi juru bahasa.

- Pasal 178 ayat (1) KUHAP mengenai hak untuk didampingi penerjemah.

- Pasal 229 ayat (1) KUHAP untuk mendapatkan penggantian biaya sebagai saksi. Hak-hak korban dalam KUHAP sebagaimana disebutkan diatas adalah bentuk pemberian perlindungan korban terhadap hak korban dalam peradilan pidana, yakni berupa pemberian acces to justice dan fair treatment, serta pemberian ganti kerugian bagi korban tindak pidana.

23C. Maya Indah S, 2014, Perlindungan Korban : Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, cetakan kedua, Kencana, Jakarta, h. 122.

(22)

17

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi awal perkembangan yang baik dalam usaha Negara Republik Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi korban. Dapat dikatakan bahwa, jika dikaji KUHP tidak memperhatikan hak-hak korban kejahatan, KUHAP memberikan perlindungan korban terhadap hak korban dalam peradilan pidana namun terbatas ada hak-hak yang belum diberikan atau diatur dalam KUHAP. Hal ini tentu belum dapat memenuhi apa yang idealnya harus diterima oleh korban sebagai “upaya pemulihan korban”.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam hal ini secara khusus juga memberikan hak-hak bagi korban kejahatan sebagai bentuk perlindungan bagi korban, termasuk dalam hal korban pemerkosaan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual. Dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah melengkapi peraturan yang mengatur pemberian perlindungan bagi korban tindak pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sangat diharapkan dapat bekerja maksimal dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban). Dalam konsideran menimbang sebagai landasan terbentuknya undang-undang ini menyebutkan bahwa, jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana”. LPSK memiliki peran yang penting dalam memberikan perlindungan bagi korban. UU LPSK mendefinisikan perlindungan sebagai segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK

(23)

18

atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang LPSK (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah menegaskan bahwa, “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Jika diidentifikasi hak-hak korban tindak pidana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa :

(1) Saksi dan Korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. Dirahasiakan identitasnya;

j. Mendapat identitas baru;

k. Mendapat tempat kediaman sementara; l. Mendapat tempat kediaman baru;

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. Mendapat nasihat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

p. Mendapat pendampingan.

Hak-hak tersebut merupakan hak-hak saksi dan korban secara umum yang diberikan kepada korban sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan bahwa :

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang

(24)

19

berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.”

Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa :

Yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa, perlindungan terhadap korban adalah hak setiap korban tindak pidana. Dengan demikian semua korban kejahatan dapat memperoleh hak-hak atas perlindungan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, termasuk korban tindak pidana pemerkosaan. Namun, dalam kasus-kasus tertentu ada pula perluasan hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa :

Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Berdasarkan hal tersebut, selain hak-hak yang telah diberikan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam kasus-kasus tertentu yakni terhadap :

- Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat - Korban tindak pidana terorisme

(25)

20 - Korban tindak pidana penyiksaan

- Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan - Korban penganiayaan berat

juga berhak mendapatkan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Berdasarkan hal tersebut dapat diktahui bahwa, selain mendapatkan hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban tindak pidana pemerkosaan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual juga berhak mendapatkan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Selain ganti rugi secara materiil, bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis inilah yang sangat berperan dalam proses “pemulihan korban”.

Dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga telah diatur mengenai definisi bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis ini. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa :

Huruf a

Yang dimaksud dengan “bantuan medis” adalah bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik Korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal Korban meninggal dunia misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial” adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual Korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar, antara lain LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup Korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan.

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga menegaskan pemberian ganti kerugian berupa restitusi bagi korban, termasuk terhadap korban tindak pidana pemerkosaan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7A

(26)

Undang-21

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa :

(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.

(3) Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.

(4) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.

(5) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.

(6) Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat diketahui bahwa, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai pemberian hak-hak bagi korban tindak pidana pemerkosaan yakni :

1) Hak-hak dalam proses peradilan (sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang terdiri dari hak-hak :

- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

- Memberikan keterangan tanpa tekanan; - Mendapat penerjemah;

(27)

22 - Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; - Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; - Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; - Dirahasiakan identitasnya;

- Mendapat identitas baru;

- Mendapat tempat kediaman sementara; - Mendapat tempat kediaman baru;

- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; - Mendapat nasihat hukum;

- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

- Mendapat pendampingan.

2) Hak atas bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Hal ini sangat terkait dengan pemulihan korban secara fisik dan psikis, dan

3) Hak untuk mendapatkan restitusi (ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga).

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tidak banyak mengatur mengenai hak-hak korban tindak pidana pemerkosaan (yang tidak mengakibatkan kehamilan). Namun, dalam Pasal 125 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengatur hak korban mengenai hak atas pembiayaan pemeriksaan kesehatan terhadap korban untuk kepentingan hukum yang ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD. Pasal 125 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa, Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD”.

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi juga memberikan bantuan atau pelayanan kesehatan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan, yang jika diidentifikasi terdiri dari :

(28)

23

- Pencegahan kehamilan terhadap korban pemerkosaan dengan pemberian kontrasepsi darurat.

Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi menyatakan bahwa :

(1) Pelayanan kontrasepsi darurat diberikan pada ibu yang tidak terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan.

(2) Pemberian kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai standar.

2. Penanganan atau pelayanan khusus bagi korban pemerkosaan (korban kekerasan seksual).

Pasal 29 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi menyatakan bahwa :

Pasal 29

(1) Korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual.

(2) Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. upaya perlindungan dan penyelamatan korban; b. upaya forensik untuk pembuktian; dan

c. identifikasi pelaku.

(3) Penanganan aspek kesehatan fisik, mental, dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang b. pengobatan luka dan/atau cedera;

c. pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual; d. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan;

e. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan f. rehabilitasi psikososial.

(4) Ketentuan mengenai penanganan korban kekerasan seksual dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi menjelaskan bahwa :

Ayat (1) Huruf b

Yang dimaksud dengan “upaya forensik untuk pembuktian” merupakan kegiatan untuk penegakan hukum dan kepentingan keadilan yang dibuat oleh ahli tersumpah untuk membuktikan ada tidaknya kekerasan seksual dan mengungkap pelaku kekerasan seksual.

.com

Ayat (3) Huruf e

(29)

24

Yang dimaksud dengan “psikoterapi” merupakan bagian penanganan terapi psikiatri yang nonfarmakologi dengan menggunakan metode pendekatan psikologis.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial” merupakan penanganan terhadap korban untuk dapat kembali ke masyarakat dengan cara memulihkan status mental ke kondisi semula melalui konseling, pendampingan, kunjungan rumah, dan penyediaan rumah aman (shelter).

5.2 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan yang Mengakibatkan Terjadinya Kehamilan

5.2.1 Penguguran atau pembunuhan kandungan/aborsi

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, korban tindak pidana pemerkosaan tidak hanya akan mengalami luka fisik namun juga akan mengalami troma yang mendalam, terlebih ketika korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat dari pemerkosaan. Hal ini tentu akan menambah beban atau menjadi masalah baru karena munculnya janin akibat dari tindak pidana pemerkosaan tersebut. Dapat dikatakan bahwa, kehamilan akibat tindak pidana perkosaan akan memperparah kondisi psikis/mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Kondisi ini juga akan berdampak buruk atau mempengaruhi perkembangan/pertumbuhan janin yang dikandung korban.

Secara psikis korban, anak hasil dari pemerkosaan yang merupakan peristiwa buruk bagi korban tentu akan membawa kenangan buruk bagi korban dan juga dapat menghambat proses penyembuhan troma yang dialami korban. Dalam jangka panjang, perkembangan dan kehidupan anak korban pemerkosaan juga menjadi perhatian tersendiri. Pada umumnya, karena hal-hal inilah yang menjadikan sebagian besar korban perkosaan melakukan aborsi atau pengguguran kandungan. KUHP secara tegas melarang aborsi dan menghukum dengan ancaman pidana bagi orang yang melakukan aborsi. Aborsi sebagaimana yang diatur dalam KUHP adalah tindak pidana.

Pengguguran dan pembunuhan kandungan digolongkan sebagai kejahatan terhadap nyawa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349 KUHP yang mengatur sebagaimana berikut :

Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(30)

25

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Mengenai penjelasan pasal Pasal 346 - 349 KUHP R. Soesilo menyatakan bahwa, perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya atau atas suruhan orang lain untuk itu dikenakan pasal 346 KUHP. Orang yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seseorang perempuan dengan tidak izin dari perempuan itu dihukum menurut Pasal 347 KUHP. Sedangkan, apabila dilakukan dengan izin dari perempuan itu dikenakan Pasal 348 KUHP. Cara menggugurkan kandungan atau membunuh kandungan itu bermacam-macam, baik dengan obat yang diminum, maupun dengan alat-alat yang dimaksudkan melalui anggota kemaluan. Menggugurkan kandungan yang sudah mati tidak dihukum, demikian pula tidak dihukum orang yang untuk membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya kehamilan (malthusianisme). Jika seorang tabib, bidan, atau ahli obat yang membantu kejahatan dalam Pasal 346 KUHP, berbuat atau membantu salah satu kejahatan dalam Pasal 347 dan 348 KUHP maka bagi mereka hukumannya ditambah sepertiga dan dapat dipecat dari jabatannya (Pasal 349 KUHP). Sebaliknya, jika dokter tersebut menggugurkan kandungan untuk menolong jiwa perempuan itu atau menjaga kesehatannya, maka tidak dihukum.24

Berdasarkan Pasal 346 - 349 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa, pengguguran dan pembunuhan kandungan, secara tegas dilarang dalam KUHP dan diancam dengan sanksi pidana. KUHP tidak memperperbolehkan atau tidak melegalkan dengan alasan apapun untuk dapat dilakukannya pengguguran dan pembunuhan kandungan. Jika dikaji berdasarkan Pasal

(31)

26

346 - 349 KUHP dapat diketahui pembagian kejahatan mengenai pengguguran dan pembunuhan kandungan dilihat dari subyek hukumnya :

1. Yang dilakukannya sendiri (346 KUHP). 2. Yang dilakukan oleh orang lain :

- Atas persetujuannya (348 KUHP) - Tanpa persetujuannya (347 KUHP)

Diatur juga pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan yang dilakukan oleh orang lain, baik atas persetujuannya maupun tidak, dan orang lain tersebut adalah orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu, yakni dokter, bidan dan juru obat sebagaimana diatur dalam Pasal 349 KUHP. Jika dilihat dari objeknya, Adami Chazawi menyatakan bahwa, obyek kejahatan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (doodslag op een ongeborn vrucht) adalah kandungan, yang dapat berupa sudah berbentuk makhluk yakni manusia, berkaki, bertangan dan berkepala dan dapat juga belum berbentuk manusia.25

Pasal 346 - 349 KUHP menunjukkan bahwa, korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan yang melakukan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan atau dalam kasus abortus provocatus dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 346 KUHP karena dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dapat dipidana penjara paling lama empat tahun. Sedangkan bagi orang lain yang membantu melakukan atau yang disuruh melakukan dapat dikenakan Pasal 348 (Atas persetujuan wanita yang mengandung) dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan dan jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan, jika orang lain yang membantu melakukan atau yang disuruh melakukan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan adalah orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 349 KUHP, yakni dokter, bidan dan juru obat yang membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Hal ini merupakan pemberatan pidana, karena sebagai orang yang ahli yang justru menyalahgunakan keahliannya dan oleh karena keahliannya itu yang dapat memperlancar dan mempermudah terlaksananya kejahatan ini. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan juga dapat dilakukan oleh orang lain yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuan wanita yang

25Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, cetakan kelima, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 112.

(32)

27

mengandung, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun dan jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun (347 KUHP).

Berdasarkan Pasal 346 - 349 KUHP dapat diketahui bahwa, pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan dalam kasus pemerkosaan yang berakibat kehamilan dilarang dan diancam pidana, baik yang dilakukan oleh korban pemerkosaan dan bagi orang lain yang membantu atau yang disuruh melakukan baik atas persetujuan atau tanpa persetujuan korban pemerkosaan, serta bagi orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 349 KUHP, yakni dokter, bidan dan juru obat yang membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346 KUHP, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348 KUHP. Dengan demikian, pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan dalam kasus pemerkosaan yang berakibat kehamilan tidak diperbolehkan. KUHP tidak memberikan perlindungannya terhadap korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan. Korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan yang melakukan aborsi dapat dikenakan ancaman sanksi pidana jika sengaja menggugurkan kandungan tanpa bantuan orang lain dan dengan bantuan orang lain. Orang lain yang membantu melakukan atau yang disuruh melakukan pengguguran dan pembunuhan juga dapat dikenakan pidana, serta bagi orang lain yang tanpa persetujuan wanita yang mengandung jika melakukan pengguguran dan pembunuhan kandungan juga dapat dikenakan pidana.

Pengguguran dan pembunuhan kandungan (aborsi) merupakan tindak pidana karena menghilangkan nyawa. Mengenai pengguguran dan pembunuhan kandungan/aborsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan KUHP/Peraturan Perundan-undanan yang ada, yakni melarang setiap orang untuk melakukan pengguguran dan pembunuhan kandungan/aborsi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan (Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Beradasarkan hal ini dapat diketakan bahwa, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan perlindungan hukumnya bagi seorang korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan yang ingin melakukan pengguguran dan pembunuhan kandungan/aborsi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melegalkan aborsi khusus kepada

(33)

28

perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan.

5.2.2 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan yang Mengakibatkan Terjadinya Kehamilan

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang mengakibatkan terjadinya kehamilan memiliki hak atau perlindungan hukum yang sama dengan korban tindak pidana perkosaan yang tidak mengalami kehamilan (sebagaimana yang diuraikan dalam pembahasan 5.1). Perbedaannya bahwa, ketika tindak pidana perkosaan mengakibatkan terjadinya kehamilan pada korban, maka akan diberikan perluasan atau penambahan hak-hak bagi korban. Dalam hal ini, korban tindak pidana perkosaan yang mengakibatkan terjadinya kehamilan berhak melakukan pengguguran dan pembunuhan kandungan/aborsi. Selain itu, jika korban pemerkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi korban perkosaan berhak mendapat pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. Dalam situasi ini, anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan dapat diasuh oleh keluarga. Jika keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak akan menjadi anak asuh.

Walaupun KUHP melarang dilakukannya pengguguran dan pembunuhan kandungan/aborsi namun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Dengan demikian, aborsi dapat dilegalkan atau dilakukan khusus terhadap indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Dengan demikian berdasarkan asas lex spesialis derogat legi generalis, penguguran atau pembunuhan kandungan/aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan yang berakibat kehamilan sendiri tanpa bantuan orang lain dan juga bagi tenaga medis yang membantu melakukan pembunuhan kandungan/aborsi tidak dapat dipidana. Khusus terhadap perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang mengakibatkan terjadinya kehamilan yang melakukan pengguguran atau pembunuhan kandunan (aborsi) diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Hak melakukan aborsi bagi korban pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan diatur dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa :

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah dan pendidikan ayah yang rendah merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota

Berdasarkan hasil dari penelitian, dapat diketahui bahwa bahwa peraturan daerah nomor 20 tahun 2002 dalam penanganan anak jalanan sudah berjalan baik, namun belum maksimal

This Classroom Action Research aimed at improving students’ competence in writing recount text through chain story game.. The research was conducted at one of the Junior High

Upaya pembangunan sumber daya pun masalah ini bukan masalah baru, tetapi alam (SDA) danlingkungan hidup tersebut benturan kepentingan antara pemanfaatan hendaknya

“Jazzahummullahukhaira…” pada Nabiku Muhammad SAW dan semua sahabatnya… kalianlah yang selalu memperjuangkan hidayah Allah dan menuntunku kejalan

Dari gambar 4.1 dapat diketahui hasil persentase untuk indikator tentang Kosep Dasar KTSP berdasarkan pengetahuan sebesar 88,29% dan termasuk kedalam kriteria sangat baik,

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

Dampak lain yang dirasakan oleh guru-guru dan warga sekolah dari kegiatan PAK ini adalah sebagai berikut; (1) Siswa menjadi tertib, disiplin, tepat waktu datang ke sekolah dan