Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi Dan Bahasa Kode/Bidang Ilmu : 596/Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR
HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI UDAYANA
EFEKTIFITAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/M-DAG/PER/7/2015 TENTANG LARANGAN IMPOR PAKAIAN BEKAS DI PASAR KODOK KABUPATEN TABANAN
Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun
Ketua/Anggota Tim
A.A. GEDE AGUNG DHARMAKUSUMA, SH.MH; NIDN: 0011025607 (KETUA) IDA BAGUS PUTU SUTAMA, SH., M.Si; NIDN : 0013065706I (ANGGOTA)
Dibiayai oleh
DIPA PNBP Universitas Udayana TA-2017 Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian Nomor: 3019/UN14.2.4/PP/2017, tanggal 4 September 2017
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2017
RINGKASAN PENELITIAN
EFEKTIFITAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/M-DAG/PER/7/2015 TENTANG LARANGAN IMPOR PAKAIAN BEKAS DI PASAR
KODOK KABUPATEN TABANAN
Target dari penelitian ini adalah untuk menemukan Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang mengambil sampel di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan karena merupakan tempat terbesar di Provinsi Bali terjadinya jual-beli pakaian bekas impor yang masih terjadi sampai sekarang sehingga sangat urgen untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Permasalahan yang diangkat diantaranya:
1. Bagaimanakah Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan?
2. Bagaimanakah penyelesaian yang tepat apabila peraturan terkait pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan tidak efektif?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, dengan jenis pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan fakta. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data primer (diperoleh langsung dari lokasi penelitian dengan teknik wawancara), dan data sekunder yaitu sumber-sumber bahan hukum, diantaranya bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku- buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan ensiklopedia). Teknik penentuan sampel menggunakan non probability sampling (purposive sampling). Dengan demikian pengolahan dan analisis datanya menggunakan deskriptif kualitatif.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-
Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten
Tabanan tidak efektif. Penyelesaian yang tepat apabila peraturan terkait pakaian
bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan tidak efektif adalah dengan
mengembalikan makna filosofis dari aturan tersebut yaitu dengan meletakkan
efisiensi terhadap hak pilih konsumen sehingga terkait dengan pakaian bekas dapat
dilegalkan perdagangannya, hal ini sesuai dengan pengaturan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang pada kenyataannya
lebih efektif.
PRAKATA
Puji syukur yang tak terkira penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkatnyalah akhirnya penelitian yang berjudul Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas Di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan serta penyelesaian yang tepat apabila peraturan terkait pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan tidak efektif.
Akhir kata dalam penelitian ini tentu ada kekurangan atau kesalahan, karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaannya dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Udayana.
Denpasar, 20 November 2017
Penulis
A.A. Gede Agung Dharma Kusuma, SH.MH
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN
PRAKATA DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
BAB III TUJUAN DAN MAN FAAT PENELITIAN ……… ... 14
BAB IV METODE PENELITIAN ... 16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
BAB VI K ESIMPULAN DAN SARAN ………...……… ... 38 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pakaian/sandang telah menjadi kebutuhan primer yang wajib dipenuhi oleh setiap manusia dalam semua golongan usia disamping pangan dan papan/tempat tinggal. Dengan menggunakan pakaian yang nyaman, modis, dan sesuai dengan keinginan sangat diperlukan untuk menambah kepercayaan diri, serta secara tidak langsung merupakan sarana untuk berkomunikasi non verbal yang dapat disampaikan melalui pakaian. Perilaku konsumtif/berlebihan terhadap kebutuhan gaya hidup berpakaian dalam kalangan ekonomi menengah kebawah dapat menimbulkan persoalan keuangan/pengeluaran yang berlebihan dengan budget yang terbatas.
Dalam hal ini pakaian bekas impor yang jauh lebih murah dari produk baru merupakan salah satu solusi bagi konsumen yang ingin tetap nyaman dengan gaya hidupnya dalam pergaulan hidup dimasyarakat.
Perkembangan perdagangan pakaian bekas tidak hanya di Indonesia namun juga di beberapa Negara maju seperti: Australia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura dan bahkan Amerika Serikat mendatangkan pakaian bekas impor.
Eksistensi usaha perdagangan pakaian bekas dapat dikatakan telah membantu
pemerintah mengurangi pengangguran, dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat menengah kebawah.
1Sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M- DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas (tanggal 9 Juli 2015) maka pakaian bekas impor dilarang untuk diperdagangkan di Indonesia, eksistensinya wajib dimusnahkan. Terhadap pelarangan ini Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta, Sa rman Simanjorang berkomentar “khawatir pelarangan impor baju bekas tersebut akan mematikan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berbisnis baju bekas. Sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan angka pengangguran Indonesia. ”
2Larangan penjualan pakaian bekas di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu: ditemukannya bakteri yang dapat menyebabkan penyakit menular, kalahnya pemerintah di Pengadilan terkait kasus pakain bekas impor yang disita pemerintah, serta dinilai melemahkan pasaran produk lokal. Ada lima jenis bakteri yang melekat dalam dalam pakaian bekas impor, yaitu :
1. Bakteri Salmonella Typhosa yang menyebabkan penyakit tifus.
2. Bakteri Shingella Dysenteriae yang menyebabkan penyakit disentri basiler.
3. Vibrio Comma yang menyebabkan penyakit kolera.
4. Haemophilus Influenza yang menyebabkan penyakit Influensa.
1
Toar S. Purukan, 2015, “Pedagang Siap Tanggung BM Impor Pakaian Bekas”, Sinar Harapan, http://www.sinarharapan.co/news/read/150813010/pedagang-siap-tanggung-bm-impor- pakaian-bekas, diakses tanggal 9-5-2016, Pukul 05:42 WITA.
2
Ilyas Istianur Praditya, 2015, “Pengusaha : RI Tak Perlu Stop Ipor Baju Bekas”,
http://bisnis.liputan6.com/read/2172819/pengusaha-ri-tak-perlu-stop-impor-baju-bekas, diakses
tanggal 9-5-2016, Pukul 05:48 WITA.
5. Diplococcus Pneumoniae yang menyebabkan penyakit pneumonia.
3Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Standarisasi Dan Perlindungan Konsumen menemukan bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan penyakit kulit, kelamin, gangguan pencernaan dan berbagai penyakit menular lainnya, kandungan mikroba tertinggi dari satu sampel ditemukan 216.000 koloni bakteri per gram dan ditemukan bakteri kapang 36.000 koloni per gram terhadap dua puluh lima sampel dari Pasar Senen, Jakarta, sampel yang diuji diantaranya pakaian wanita dewasa, pakaian anak, dan juga pakaian pria dewasa. Kualitas pakain bekas impor yang tidak layak pakai juga banyak ditemukan pada saat pengujian.
4Salah satu kasus terkait pakaian bekas impor terjadi di kota Surabaya, petugas Bea Cukai menyita 17 kontainer berisi 4.422 ball pakaian bekas impor di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, penyitaan dilakukan terhadap 6 kontainer yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Bea Cukai juga melakukan penyegelan terhadap pakaian bekaas impor milik pemohon 750 ball yang tersimpan di pergudangan Suri Mulya Permai di Margomulyo Surabaya. Kasus ini dimenangkan pemohon dengan pertimbangan Hakim tidak ada dasar hukum yang jelas dan tegas melarang penjualan pakaian bekas, yang dilarang adalah impor (kegiatan perdagangan dari luar negeri ke dalam
3
Eko Priliawito, 2015, “Kenali Lima Bakteri Jahat Pada Pakaian Bekas Impor”,
http://metro.news.viva.co.id/news/read/585864-kenali-lima-bakteri-jahat-pada-pakaian-bekas-impor/1, diakses tanggal 9-5-2016, Pukul 06:08 WITA.
4
Vicki Febrianto, 2015, “Pakaian impor bekas terbukti mengandung bakteri”,
http://www.antaranews.com/berita/478146/pakaian-impor-bekas-terbukti-mengandung-bakteri, diakses
tanggal 7-5-2016 Pukul 7:51 WITA.
negeri), sedangkan perdagangan pakaian bekas impor di dalam negeri belum dilarang/belum ada dasar hukum yang kuat untuk menyita/menangkap pakaian bekas dari Sulawesi Tenggara ke Jawa Timur tersebut.
5Kesamaan persepsi antara pemerintah dan beberapa penjual pakaian “jika konsumen tertarik dengan baju bekas impor maka akan mematikan industri lokal ”
6ditentang oleh sebagian besar pembeli dan penjual pakaian bekas impor yang tergabung dalam Perhimpunan Pedagang Pakaian Bekas Seluruh Indonesia (P3BSI) yang tidak sepakat karena pakaian bekas impor memiliki pasaran yang berbeda, sehingga dinilai tidak terkait dengan pasaran produk lokal, pakaian yang disita pemerintah yang kemudian ditemukan bakteri tersebut merupakan pakaian yang belum siap jual, masih dalam proses pemilihan, dan sebelum dijual dilakukan perendaman dengan air panas serta pencucian terlebih dahulu, hal ini dibuktikan dengan belum pernah ada pembeli yang protes, terkena penyakit, atau bahka meniggal dunia karena menggunakan pakaian bekas impor. P3BSI menyatakan siap menanggung bea masuk (BM) impor pakaian bekas sebesar 35 persen yang ditetapkan Menteri Keuangan. P3BSI juga tidak keberatan apabila pemerintah memberlakukan sistem kuota impor melalui tata niaga impor pakaian bekas. Namun apabila pemerintah melarang perdagangan pakaian bekas impor, maka dipastikan
5
Estu Suryowati, 2015, “Pemerintah Siapkan Perpres Pelarangan Impor Pakaian Bekas”,
http://www.kemendag.go.id/id/news/2015/07/14/pemerintah-siapkan-perpres-pelarangan-impor- pakaian-bekas, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:54 WITA.
6
Fathi Mahmud, 2015, “Disperidagkop Yogyakarta Larang Penjualan Baju Bekas Impor”,
http://bisnis.liputan6.com/read/2171471/disperindagkop-yogyakarta-larang-penjualan-baju-bekas-
impor, diakses tanggal 9-5-2016 Pukul 06:46 WITA.
akan ada dua juta pedagang kehilangan pekerjaannya, hal ini akan menimbulkan keresahan pedagang maupun seluruh anggota keluarganya.
7Pro dan kontra larangan penjualan pakaian bekas di Indonesia teryata tidak berpengaruh terhadap penjual-penjual pakaia bekas impor di Bali, khususnya di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan yang sampai saat ini (berdasarkan pengamatan pra pelitian) terdapat seratus lebih lapak penjualan pakaian bekas impor. Jumlah ini meningkat apabila dibandingkan dengan jumlah penjual pakaian bekas impor pada tahun 2015 yang hanya puluhan lapak saja. Dengan meningkatnya penjualan pakaian bekas impor khususnya di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan, menjadikan sangat penting dan urgen untuk diteliti lebih mendalam terkait Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas Di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan. Dipilihnya Kabupaten Tabanan tidak terlepas dari keberadaan Pasar Kodok yang merupakan tempat khusus terbesar di Provinsi Bali yang digunakan untuk kegiatan jual-beli pakaian bekas impor. Urgensi dari diadakannya penelitian ini juga tidak terlepas dari keresahan penjual pakaian bekas impor yang berdasarkan hasil pra penelitian, diketahui bahwa aturan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor tidak jelas dalam pelaksanaannya, seluruh responden bahkan meminta agar penelitian terkait Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas Di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan segera dilakukan.
7
Toar S. Purukan, Loc.Cit.
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya:
1. Bagaimanakah Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan?
2. Bagaimanakah penyelesaian yang tepat apabila peraturan terkait pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan tidak efektif?
1.3. Luaran Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya akan dipublikasikan di dalam Seminar Nasional
Sains dan Teknologi (SENASTEK) Universitas Udayana, sehingga dapat diketahui
oleh khalayak luas karena dipublikasikan secara cetak maupun online.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN PAKAIAN BEKAS IMPOR
Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian resmi/otentik Impor “adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean. ” Daerah Pabean dijelaskan dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang ini yaitu “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. ” Selanjutnya Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian otentik Importir adalah “orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor ”. Di berbagai peraturan perundang-undangan setelah ditelusuri tidak ditemukan perbedaan pengertian terkait impor maupun importir, sehingga tidak diperlukan uraian atau komentar terkait pengertian impor maupun importir.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah
produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam
Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. ” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak
ditemukan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan
peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif 6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya yang dikenakan tarif bea masuk sebesar 35% ”.
Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui, dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang- baranglama(sudahdipakai)….”, “sesuatuyangketinggalansebagaisisa(….rusak,
terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.
8Apabila dipadu-padankan dengan makna
pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:
1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh manusia;
2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena tidak laku dipasarkan; dan
8
W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, H.
118.
3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh pemiliknya terdahulu.
Kebalikan dari bekas adalah baru, seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu mewajibkan setiap importir untuk mengimpor barang (termasuk pakaian bekas) dalam keadaan baru, sehingga pengertian baru adalah tidak bekas, dalam artian tidak pernah digunakan sebelumnya, tidak kadaluarsa, tidak mengalami lampau waktu (sisa), tidak mengalami kerusakan/tidak layak pakai.
2.2. EFEKTIFITAS NORMA HUKUM
Efektifitas berasal dari kata efektif yang berarti “ada efeknya (pengaruhnya, akibatya, kesannya) ”.
9Efektifitas norma hukum dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan pandangan Gustav Radbruch tentang ajaran keberlakuan hukum yang disebut dengan geldingstheorie, yang mengemukakan bahwa berlakunya hukum harus memenuhi tiga nilai dasar yang meliputi :
(1) Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, di mana kekuatan mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.
(2) Sociological doctrine, nilai sosiologis artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan).
(3) Philosophical doctrine, nilai filosofis artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.
109
Ibid, H.311.
10
Atmadja, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum“ dalam Kertha Patrika,
Nomor 62-63 Tahun XIX Maret-Juni 1993, H. 68, dikutip dari buku Kurt Wilk, 1950, The Legal
Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,
H.112.
Efektifitas norma hukum tidak terlepas dari kepastian norma hukum itu sendiri, yang apabila norma hukumya tidak pasti maka dapat mengakibatkan efektifitas terhadap norma hukum tersebut terganggu. Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan ditemukan bahwa :
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.
11Hukum yang baik adalah “hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat ”.
12Aturan hukum seperti ini dapat dikatakan mempunyai daya berlaku yang efektif. Sehubungan dengan ini Eugen Ehrlich mengemukakan bahwa
“Terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat/ living law di lain pihak ”.
13Selanjutnya Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila:
”Berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Dan di samping itu, pusat perkembangan hukum pada waktu sekarang dan juga pada waktu
11
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, H. 158.
12
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum : Mashab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, H. 83.
13
H Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,
Bandung, H. 66.
yang lain, tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, ataupun pada keputusan hakim tetapi pada masyarakat itu sendiri ”.
14Roscoe Pound berpendapat bahwa “Hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ”.
15Dengan demikian, pengkajian terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. ”Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis ”.
16Ketiga syarat ini diuraikan sebagai berikut:
a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dan masyanakat.
c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
17Setiap norma hukum harus memenuhi ketiga unsur efektifitas norma hukum, sebab:
(1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah hukum itu merupakan kaidah yang mati;
(2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa;
14
Ibid.
15
H. Zainuddin, 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 94.
16
Ibid.
17
Ibid.
(3) apabila hanya berlaku filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
18Sehingga dengan adanya kesesuaian antara aturan-aturan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor yang ditetapkan pemerintah menunjukkan bahwa secara yuridis aturan hukum itu sah berlaku. Secara sosiologis, aturan hukum itu telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, maksudnya aturan hukum itu telah mendapat pengakuan dari warga masyarakat. Secara filosofis, aturan hukum itu sesuai dengan cita hukum yang ada dalam pikiran warga masyarakat.
Diperlukannya teori efektivitas hukum ini didalam masyarakat, karena efektivitas hukum adalah daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat (law as social control). Dalam bukunya Soerjono Soekanto dikemukakan bahwa untuk berlakunya suatu aturan hukum harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu : 1. Kaedah hukum berlaku secara filosofis
2. Kaedah hukum berlaku secara yuridis 3. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis”.
19Berlakunya kaedah hukum secara yuridis, mengandung pengertian bahwa aturan hukum yang ada harus didasarkan pada kaedah hukum yang lebih tinggi
20. Berlakunya kaedah hukum secara sosiologis artinya kaedah hukum tersebut berlaku dalam masyarakat sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dimana kaedah hukum tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan)
18
Ibid.
19
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h. 72
20
Ibid, h. 78
ataupun karena adanya pengakuan dan penerimaan oleh masyarakat kepada siapa kaidah hukum tersebut diberlakukan (teori pengakuan). Pada dasarnya adanya suatu kaedah hukum tersebut “diakui dan diterima oleh masyarakat dengan tanpa perlu dipaksakan oleh penguasa apabila memang sudah dirasakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan dari masyarakat yang bersangkutan ”
21. Sedangkan berlakunya kaedah hukum secara filosofis artinya suatu kaedah hukum harus berdasarkan pada cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
22. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu : 1. Kaidah hukum atau peraturan hukum itu sendiri
2. Petugas atau penegak hukumnya
3. Sarana dan fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum 4. Kesadaran masyarakat”.
23Maka sangat penting Menurut Ravianto bahwa pengertian efektivitas itu adalah “Seberapa baik orang melakukan pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif ”
24.
21
Ibid
22
Ibid, h. 79
23
Zainudin Ali, 2009, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 62
24
Raviyanto, J, 1989, Produktivitas dan Manajemen, Lembaga Sarana Informasi Usaha dan
Productivitas, Jakarta, h. 72
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat dipersamakan dengan sasaran yang ingin dituju oleh peneliti, sehingga tujuan dari penelitian ini diantaranya:
1. Dapat mengetahui dan memahami permasalahan terkait Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan.
2. Dapat menemukan penyelesaian yang tepat apabila peraturan terkait pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan tidak efektif.
3. Dapat melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dibidang penelitian.
3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti, masyarakat, maupun pemerintah, yaitu:
1. Mengembangkan pemikiran-pemikiran dibidang hukum, khususnya terkait dengan Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan.
2. Sebagai dasar/pedoman untuk meyelesaikan permasalahan terkait dengan
Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-
Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok
Kabupaten Tabanan dan di Indonesia pada umumnya.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis peneitian hukum empiris karena mengkaji fenomena peristiwa/fakta hukum yang terjadi di masyarakat khususnya terkait dengan efektifitas norma hukum terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Kelurahan Padangsambian Tabanan. Dikatakan fenomena hukum karena norma hukumnya ada yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang ditetapkan sejak tanggal 9 Juli 2015, namun dalam pelaksanaan norma hukum tersebut masih dipertanyakan masyarakat khususnya penjual pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan. Para pedagang pada kenyataannya tidak mengindahkan norma hukum ini sehingga efektifitasnyapun mengalami gangguan.
4.2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu: jenis pendekatan
perundang-undangan, dan pendekatan fakta. Pendekatan perundang-undangan, yaitu
dilakukan analisis terhadap norma hukum terkait penjualan pakaian bekas impor di
Indonesia dengan menelusuri sebanyak-banyaknya data sekunder yaitu: bahan hukum
primer (aturan-aturan dan penjelasannya) terkait dengan objek penelitian yang dapat
menjelaskan secara pasti makna dari aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan
kepastian hukumnya. Sedangkan pada pendekatan fakta dilakukan dengan menelusuri
data primer yang didapatkan langsung dari lokasi penelitian (Pasar Kodok Kabupaten Tabanan) terkait penjualan pakaian bekas impor dalam bidang efektifitas dan penyelesaiannya.
4.3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan/menjelaskan apa adanya fakta-fakta hukum yang ditemukan terkait dengan efektifitas serta penyelesaian efektifitas larangan penjualan pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan, kemudian dilakukan pengkajian mendalam terhadap fakta-fakta tersebut dengan mengkaitkan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, serta bahan-bahan hukum lain terkait yang dapat meggambarkan serta dapat menganalisis permasalahan hukum yang ingin diselesaikan.
4.4. Data Dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu : hasil wancara dengan responden (penjual pakaian bekas impor, dan pemerintah), serta wawancara dengan informan yaitu: para ahli Hukum Dan Masyarakat, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Internasional dilingkungan Fakultas Hukum Udayana sebagai informan yang dilengkapi dengan surat persetujuan sebagai informan (sebagaimana ditentukan dalam Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, halaman 76).
Demi kesempurnaan temuan dan rekomendasi penelitian ini, maka digunakan
data penunjang/sekunder yang didapatkan dengan pelusuran kepustakaan sumber
bahan hukum diantaranya : bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan
terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan ensiklopedia).
4.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumen dan wawancara. Berangkat dari studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan data- data sekunder terkait larangan penjualan pakaian bekas impor, sumber-sumber bahan hukum penelitian ini dipilah-pilih hanya yang terkait dengan permasalahan.
Kemudian dilakukan penelusuran data-data primer yang dikumpulkan dengan mewawancarai narasumber (responden dan informan).
Data dikumpulkan dengan sistem pencatatan, dan sistem download data. Pada sistem pencatatan dilakukan dengan mencatat secara manual pada kertas (seperti sistem kartu, namun menggunakan kertas, bukan kartu) dan/atau langsung pada file komputer yang disediakan untuk pengumpulan bahan hukum yang berasal dari penelusuran kepustakaan bahan hukum primer, sekunder, tersier, serta data penunjang. Sedangkan pada sistem download data dilakukan pengambilan bahan- bahan hukum dengan download bahan-bahan hukum yang ditelusuri dari media online. Kedua sistem ini kemudian disatukan dalam satu file data pada komputer
yang kemudian dipilah-pilah, dan diklasifikasikan berdasarkan pokok-pokok bahasan,
sehingga memudahkan peneliti untuk menggunakan bahan hukum tersebut dalam
menganalisis objek penelitian.
4.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik non probalitity sampling karena jumlah pasti populasi pedagang pakaian bekas impor sangat susah diketahui secara pasti keberadaannya, beberapa pedagang hanya berjualan di malam hari, dan beberapa diantaranya menggunakan fasilitas umum/trotoar jalan atau lahan kosong, ditambah dengan keberadaan beberapa populasi yang susah dipastikan karena seringkali berpidah-pindah lokasi.
Jenis non probability sampling yang digunakan yaitu purposive sampling, karena penetuan sampel penelitian ditentukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pemahaman serta kemampuan pedagang untuk menjawab seluruh pertanyaan wawancara terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan. Sehingga sampel yang dipilih hanyalah pedagang yang mudah ditemui, serta mampu memahami serta menjawab pertanyaan-pertanyaan wawancara yang diajukan.
4.7. Pengolahan Dan Analisis Data
Data-data yang terkumpul setelah dipilah-pilah dan diklasifikasikan, maka dilakukan teknik analisis data dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan data-data dengan apa adanya, kemudian dianalisis, serta disusun secara sistematis berdasarkan urutan permasalahan yang diselesaikan.
Teknik ini dilakukan untuk tercapainya analisis yang valid, sehingga kutipan-kutipan
langsung (tidak dipenggal-penggal) akan diuraikan sama persis dengan sumbernya
(dengan menyebutkan sumbernya penelitipun terhindar dari plagiarisme).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan
Pengertian importir, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukkan barang-barang dari luar negeri. Roselyne Hutabarat juga berpendapat bahwa importir dapat diartikan sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku.
25Pengertian importir juga terdapat dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : P- 42/Bc/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai, bahwa “Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan Impor. ” Selain itu ketentuan Pasal 1 angka 19 Undang- Undang Perdagangan juga menyatakan bahwa “Importir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor. ”
Jadi berdasarkan beberapa pengertian mengenai importir tersebut, dapat dimaknai bahwa importir adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
25
Roselyne Hutabarat, 1992, Transaksi Ekspor Impor, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, h. 403.
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang dari luar negeri kedalam wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Di samping dituntut memahami prosedur perdagangan internasional, importir juga harus memahami ketentuan yang berlaku lainnya dan mempunyai akses yang baik dengan pasar internasional terutama yang berkaitan dengan usahanya serta mampu berkomunikasi dalam bahasa asing dengan baik.
26Importir memiliki tanggung jawab kontraktual atas terlaksananya dengan baik barang yang diimpor. Dalam hal ini berarti importir memikul resiko atas segala sesuatu mengenai barang yang diimpor baik resiko kerugian, kerusakan, keterlambatan dari barang yang dipesan, termasuk resiko penipuan dan manipulasi.
27Selanjutnya adalah pengertian penjual pakaian bekas impor yang dapat diartikan sebagai seseorang yang melakukan kegiatan perdagangan berupa pakaian- pakaian yang didatangkan dari luar negeri kedalam wilayah Indonesia yang mana barang tersebut merupakan pakaian-pakaian bekas pakai atau pakaian-pakaian sisa yang tidak terjual di luar negeri yang kemudian dijual kembali oleh pihak-pihak tertentu ke Indonesia
Penjual pakaian bekas impor tersebut rata-rata membeli barang dagangan atau membeli pakaian bekas impor dari distributor ataupun suplier, sebagaimana dapat dilihat dalam pernyataan dari penjual yang dikutip dari beberapa media online
26
Eddie Rinaldy, 2000, Kamus Istilah Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.112.
27
Andri Feriyanto, 2015, Perdagangan Internasional “Kupas Tuntas Prosedur Ekspor Impor”,
Mediatera, Kebumen, h.23.
berikut: “….pedagangmengakuadayangdicucidanadayanglangsungdijualsetelah
diambil dari distributor ”
28dan hal serupa juga dinyatakan oleh penjual yaitu “….
pedagang baju bekas asal Sampang, Madura, itu mengatakan, dia hanya membeli baju bekas dari supplier ”
29Berdasarkan pernyataan di atas, mengenai distributor ataupun suplier, dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia distributor diartikan sebagai orang atau badan yang bertugas mendistribusikan sesuatu; penyalur. Sedangkan suplier dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai orang (badan) yang mengirimkan barang pesanan. Oleh karena itu distributor ataupun suplier dapat dimaknai sama yaitu sebagai perorangan atau badan usaha yang bertugas untuk mendistribusikan atau mengirimkan suatu barang.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa posisi distributor atau suplier berada diantara importir dan penjual pakaian bekas impor. Dalam hal membeli barang berupa pakaian bekas impor tersebut, importir tidak langsung berhubungan dengan para penjual pakaian bekas, karena terdapat pihak lain diantara importir dengan penjual pakaian bekas tersebut yang menjadi perantara atau pihak penghubung yaitu distributor atau suplier.
28
Natalia Indah Kartikaningrum, 2015, “Pemkot Denpasar Temukan Modus Pedagang Jual Pakaian Bekas”, Industri Bisnis, URL : http://industri.bisnis.com/read/20150211/12/401569/pemkot- denpasar-temukan-modus-pedagang-jual-pakaian-bekas.html, diakses tanggal 31 Januari 2016
29
Karta Raharja Ucu, 2015, “Bisnis Baju Bekas tak Terpengaruh Larangan Impor “, Republika,
URL : http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/02/05/njav3v-bisnis-baju-bekas-tak-
terpengaruh-larangan-impor.html, diakses tanggal 31 Januari 2016
Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan hukum antara importir dengan penjual pakaian bekas impor adalah hubungan hukum yang sifatnya secara tidak langsung, dimana antara importir dengan penjual pakaian bekas impor ini terdapat adanya peranan pihak lain yaitu distributor atau suplier sebagai perantara yang bertindak dalam hal membantu menyalurkan atau memasarkan produk pakaian bekas impor tersebut dari importir kepada si penjual pakaian bekas impor tersebut.
Batasan mengenai impor barang dapat dikelompokkan menjadi barang yang diatur tata niaga impornya, barang yang dilarang impornya, dan barang yang bebas impornya.
1. Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya
Barang yang diatur tata niaga impornya dalam hal ini adalah barang-barang atau komoditas tertentu yang sistem impornya diatur melalui beberapa mekanisme perdagangan. Mekanisme impor dapat berupa pengakuan sebagai importir barang tertentu yang melakukan kegiatan impor untuk keperluan sendiri, penetapan sebagai importir barang tertentu yang melakukan kegiatan impor untuk keperluan diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain, persetujuan impor, dan/atau verifikasi atau penelusuran teknis impor.
30Adapun macam-macam barang yang diatur tata niaga impornya adalah:
1) gula
30
Hamdani dan Pebriana Arimbhi, 2014, Manajemen Perdagagan Impor (Level Dua), In Media,
Jakarata, h.100.
2) beras 3) garam 4) cengkeh
5) nitro cellulose (nc) 6) prekursor
7) pelumas 8) cakram optik
9) tekstil dan produk tekstil 10) badan perusak lapisan ozon 11) intan kasar
12) mesin multifungsi berwarna, mesin fotocopy berwarna, dan mesin printer berwarna
13) limbah ipl non b3 14) tabung gas lpg 3kg
15) impor barang modal bukan baru 16) bahan berbahaya
17) minyak dan gas bumi 18) minuman beralkohol 19) plastik
20) mutiara 21) hortikultura
22) hewan dan produk hewan
23) etilena.
312. Barang yang Dilarang Impornya
Barang yang dilarang impornya adalah barang –barang yang tidak memiliki ijin impor dari instansi yang berwenang, dalam hal ini berupa :
1) udang
2) gombal baru dan bekas
3) limbah bahan berbahaya dan beracun (b3) 4) sisa reja dan skrap dari plastik
5) produksi industri percetakan 6) estisida etilin bromida
7) barang bukan baru (bekas) termasuk pakaian bekas
8) turunan halogenisasi, sulfonasi, nitrasi atau nitrosisasi dari fenol atau fenol alkohol yang mengandung halogen dan garamnya
9) psikotropika 10) narkotika
11) bahan senjata kimia
323. Barang yang Bebas Impornya
Barang yang bebas impornya adalah semua jenis barang yang tidak termasuk kelompok diatur, diawasi, dilarang, dan impor dapat dilakukan pada setiap
31
Ibid, h.100.
32
Ibid, h.131-132.
perusahaan yang memiliki Angka Pengenal Impor (API). Berdasarkan uraian tersebut, dapat maknai bahwa barang gombal baru dan bekas termasuk dalam katagori barang yang dilarang impornya. Oleh karena itu pakaian bekas impor termasuk golongan barang yang ilegal keberadaannya di Indonesia.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi evektif dalam masyarakat yaitu:
1. Kaidah hukum atau peraturan hukum itu sendiri
Pengujian terhadap faktor kaidah hukum ini mengarah pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang ternyata konflik dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud ”.
Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan diperbolehkannya pelaku usaha
untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk pakaian bekas impor) dengan
syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya kepada
konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas (pakaian bekas) tersebut. Oleh
karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka tetap dapat dijadikan dasar
hukum bagi pelaku usaha maupun konsumen dalam perdagangan pakaian bekas
impor di seluruh Indonesia khususnya di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan. Sehingga
terjadinya konflik norma hukum ini menyebabkan ketidakevektifan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan.
2. Petugas atau penegak hukumnya
Disperindag Kabupaten Tabanan hanya berwenang sebagai petugas pengawas sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Perdagangan, yang melakukan pengawasan serta pembinaan di bidang perindustrian dan perdagangan terhadap perdagangan barang yang dilarang termasuk perdagangan pakaian bekas impor yang telah beredar di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan. Namun demikian, walaupun telah dilakukan pembinaan dan pengawasan perdagangan pakaian bekas impor, dapat dilihat bahwa hingga saat ini masih ditemukan keberadaan penjualan pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan, sehingga dapat diketahui bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas tidak berjalan dengan efektif, hal ini menurut Disperindag Kabupaten Tabanan terjadi karena pengawasan hanya terbatas pada pedagang pakaian bekas impor yang bukan merupakan pihak importir.
Disperindag Kabupaten Tabanan, dalam kapasitasnya sebagai petugas pengawas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 ayat (4) Undang-Undang Perdagangan apabila menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan, maka “Petugas Pengawas dapat:
a) merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan
Barang;
b) merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau c) merekomendasikan pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.”
Terkait dengan hal tersebut, menurut Kepala Seksi Ekspor Impor Disperindag Kabupaten Tabanan kewenangan ini tidak termasuk melakukan penindakan untuk menyita maupun menutup usaha karena menjadi kewenangan penyidik yaitu Satuan Polisi Pamong Praja.
Pengawasan yang dilakukan oleh Disperindag selama ini adalah dengan melakukan inspeksi mendadak di Pasar Kodok yang dibantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja, Trantib, dan Dinas Kesehatan, namun hanya sebatas pembinaan dan pendataan saja, belum sampai pada penyitaan pakaian bekas impor, hal ini dikarenakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang masih memperbolehkan pelaku usaha memperdagangkan pakaian bekas selama memberikan informasi kepada konsumen, padahal disisi lain ketika Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M- DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas melarang perdagangan pakaian bekas impor maka pakaian itu menjadi barang yang illegal karena kegiatannya dilarang.
3. Sarana dan fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum
Terbatasnya sarana dan prasarana disebabkan oleh kewenangan yang dimiliki
Disperindag yang juga terbatas, namun hal ini telah dintisipasi dengan bekerjasama
dalam setiap inspeksi yang dilakukan. Kerjasama dilakukan dengan Satuan Polisi
Pamong Praja, Trantib, dan Dinas Kesehatan sehingga pengujian terkait sarana dan fasilitas tidak lagi ditelusuri lebih dalam.
4. Kesadaran masyarakat
Penjualan pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan menurut keterangan pelaku usaha, mereka membuka kios sekitar Pkl. 10.00 sampai Pkl. 20.00 Wita. Terkait dengan pengujian faktor kesadaran masyarakat, menurut para penjual bahwa pembeli yang datang karena tertarik dengan harga yang murah dan kualitas pakaian yang bagus dan sangat layak untuk dikenakan, konsumen yang banyak datang terutama dari konsumen usia muda yang mencari pakaian-pakaian dengan model-model baru ataupun lama/vintage dan lebih tertarik dengan barang-barang yang bermerek luar negeri.
Berdasarkan hal tersebut membuktikan bahwa sampai saat ini Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan tidak berjalan secara efektif. Hal tersebut disebabkan karena para importir masih mengimpor pakaian bekas, dapat dilihat dari masih banyaknya ditemukan keberadaan pedagang- pedagang yang menjual pakaian bekas impor di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan.
Apabila dilihat dari faktor masyarakat/konsumen dimana menurut pihak
konsumen sendiri masih merasa sangat membutuhkan pakaian dengan kualitas baik
dengan harga yang murah, hal inilah yang menyebabkan permintaan pasar terhadap
pakaian bekas impor. Disisi lain permintaan pasar merupakan suatu peluang bagi
pelaku usaha untuk melakukan usaha bisnis perdagangan pakaian bekas impor karena
konsumennya memang masih ada/eksis. Selanjutnya dari segi keuntungan yang didapat oleh pihak pelaku usaha terhadap pakaian bekas impor tersebut juga menjanjikan. Kemudian apabila dilihat dari faktor kebudayaan konsumen lebih tertarik pada merek terkenal (branded) yang melekat pada pakaian bekas impor karena bagi konsumen dengan menggunakan merek terkenal akan mampu meningkatkan status sosial pada diri konsumen itu sendiri, lebih meningkatkan kepercayaan diri dan beranggapan tidak ada yang salah dengan hal ini karena merupakan hak dari konsumen untuk memilih pakaian/mode yang digunakan.
5.2 Penyelesaian Peraturan Terkait Pakaian Bekas Impor Di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan Yang Tidak Efektif
Pengujian terhadap Efektifitas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan berarti menguji Peraturan Menteri ini dalam pemenuhan syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis berdasarkan teori Roscoe Pound mengenai efektifitas norma seperti yang telah dijelaskan dalam landasan teori. Ketiga syarat ini diuraikan sebagai berikut:
a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M- Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan dikatakan berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
Terkait hal ini, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-
Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan telah sesuai dengan Undang-Undang Perdagangan karena merupakan aturan pelaksananya. Namun apabila dikaji berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Khususnya pada ayat (4) dengan meletakkan efisiensi berkeadilan sebagai fokus pengujian, maka Peraturan Menteri ini tidak dapat diberlakukan karena dinilai tidak memenuhi unsur keadilan. Keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Ulpianus
"Justitia est perpetua et constants voluntas Jus suum cuique tribuendi" dalam terjemahan bebasnya yaitu keadilan adalah suatu keinginan yang terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.
33Maksudnya, bagi masyarakat diberikan perlindungan hukum sebesar hak-hak yang diberikan hukum.
Pengaturan terkait hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah:
33
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 59.
a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.
d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha sebagai hal yang yang wajib didapatkan konsumen diatur dalam pasal 7 Udang-Undang Perlindungan Konsumen:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Hak konsumen untuk memilih barang yang akan dikonsumsi menjadi terbatas dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas sehingga peraturan ini dapat dikatakan tidak memenuhi unsur keadilan bagi konsumen. Upaya yang dapat dilakukan terkait hal ini adalah dengan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu pasal 47 ayat (1) yang menentukan bahwa setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru, sehingga nantinya dapat berimplikasi pada pembatalan Peraturan Menteri ini sebagai aturan pelaksananya.
b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis
Kaidah hukum haruslah berlaku secara sosiologis sehingga dapat diterima pemberlakuannya karena adanya pengakuan dari masyanakat. Terkait dengan hal ini, maka seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas tidak efektif khususnya di Pasar Kodok Kabupaten Tabanan. Untuk itu penyelesaian yang dapat dilakukan adalah dengan berpedoman pada hukum yang hidup dimasyarakat. Terkait hal ini Eugen Ehrlich mengemukakan bahwa “Terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat/ living law di lain pihak ”.
34Selanjutnya Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila:
34
H Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, op.cit, h. 66.
Berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Dan di samping itu, pusat perkembangan hukum pada waktu sekarang dan juga pada waktu yang lain, tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, ataupun pada keputusan hakim tetapi pada masyarakat itu sendiri ”.
35Eugen Ehrlich menamakan hukum yang hidup ini sebagai Rechtsnormen (norma- norma hukum) ”.
36Selanjutnya Eugen Ehrlich mengemukakan bahwa:
Hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan.
Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tidak tergantung pada kompetensi penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi eksternnya dapat diatur oleh instansi-instansi negara, tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law itu. Hukum sebagai norma-norma hukum (Rechtsnormen).
37Roscoe Pound berpendapat bahwa “Hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ”.
38Dengan demikian, pengkajian terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Sehingga penyelesaian terkait ketidakefektifan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ini adalah dengan
35
Ibid.
36
Bernard L. Tanya, et al., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, h. 117.
37
Ibid, h. 118, dikutip dari buku Wolfgang Friedman, 1975, Legal Theory.
38
H. Zainuddin, op.cit, h. 94.
melaksanakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang seperti pada pengujian sebelumnya diketahui lebih efektif pemberlakuannya.
c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis
Manusia menurut teori paling dasar ilmu ekonomi adalah mahluk rasional dan memandang kedepan yang terus melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya demi meningkatkan kesejahteraannya.
39Sedangkan hukum mengatur perilaku yang membatasi kegiatan manusia tersebut. Kaitan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi sangatlah erat karena fakta-fakta ekonomi sangat diperlukan dalam penyusunan norma hukum. Nilai-nilai keadilan tentunya sangat penting bagi penyusunan aturan hukum, demikian juga dalam kegiatan ekonomi yang sangat menjunjung tinggi nilai- nilai keadilan dalam setiap kegiatannya.
Keadilan ekonomi didefinisikan sebagai ”aturan main tentang hubungan- hubungan ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip etik, prinsip-prinsip mana yang pada gilirannya bersumber pada hukum-hukum alam, hukum tuhan, dan sifat- sifat sosial manusia ” sedangkan konsep keadilan yang menjadi standar ekonomi didasari oleh: nilai, kegunaan, efisiensi sehingga aturan hukum dapat meningkatkan kepentingan umum seluas-luasnya.
40Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.
Dengan berpegang pada prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat. John Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan dengan Jeremy Bentham. Kesamaan pendapat itu terletak bahwa suatu perbuatan itu hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagiaan. Hal ini selajan dengan inti dari ajaran kefilsafatan Utilitarianisme yang meletakkan kemanfaatan dan kebahagiaan sebagai tujuan
39
Fajar Sugianto, 2014, Economic Analysis Of Law, Kencana, Jakarta h.49.
40
Ibid, h. 52., dikutip dari Indra Darmawan, 2006, Kamus Istilah Ekonomi Kontemporer,
Pustaka Widyatama, Yogyakarta, h. 204.
perbuatan manusia.
41Aliran Utilitarianisme memandang “ hakekat hukum adalah norma-norma positif yang diimplementasikan ke dalam peraturan perundang- undangan ”.
42Posner memberikan pengertian dasar bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup adalah homo economicus, artinya dalam mengambil tindakan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomisnya, mereka mengedepankan nilai ekonomis dengan alasan-alasan dan pertimbangan ekonomis. Dalam melakukan semuanya itu, manusia selalu diberi pilihan untuk mendapatkan kepuasan atau kebahagiaan ekonomis yang pada akhirnya ditujukan kepada peningkatan kemakmuran, sehingga dapat dikatakan manusia merupakan makhluk yang memiliki rasionalitas baik dari segi moneter atau non moneter untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
43Jimly Asshiddiqie berpandangan bahwa Pancasila adalah cita hukum sebagai yardstick dalam menafsirkan konstitusi dan sebagai panduan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
44Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 dimana Pancasila termaktub didalamnya adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) Bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Sehingga apabila dilihat dari sudut hukum, pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila merupakan falsafah Negara yang melahirkan system hukum dan dasar system hukum tersendiri. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar Negara sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum yang memberi sumber hukum (berada paling atas) serta sebagai penuntun hukum bagi peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia termasuk UUD 1945.
4541
H. Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 1988, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung., h. 60-61.
42
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis Dan Historis, Setara Press, Malang, h. 13.
43
Fajar Sugianto, op.cit., h. 44.
44
Fajlurrahman Jurdi, 2016, Teori Negara Hukum, Setara Press, Malang, h. 77., dikutip dari Jimly Asshiddiqie, 2007, Ideologi, Pancasila, Dan Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan MKRI.
45