• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

PIDANA TAMBAHAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI BAGI TERPIDANA KORUPSI DI PENGADILAN

TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) DENPASAR

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

TIM PENGUSUSUL

1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH (0009156490) 2. Dr. I Gede Artha, SH., MH (0027015803)

MAHASISWA

Ni Wayan Sinaryati, SH., MH

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

NOVEMBER 2016

(2)
(3)

iii

RINGKASAN

Penelitian terhadap jenis pidana tambahan pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar meliputi wilayah hukum seluruh Pengadilan yang ada di Bali, berjumlah 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota. Dalam kasus tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik dan atau pelakunya penyelenggara negara atau penegak hukum akan diadili proses persidangannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar. Pengadilan Tipikor Denpasar apabila memutus dengan salah satu jenis pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka terdakwanya wajib membayar uang pengganti kepada negara.

Adapun tujuan pembayaran uang pengganti dari terpidana kepada negara guna pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana korupsi yang telah terpidana lakukan. Besar kecilnya pembayaran uang pengganti atas kerugian negara dihitung terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pusat Perolehan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh pemeriksa tadi, maka hasilnya disampaikan kepada penuntut umum dalam hal ini jaksa, sebagai dasar dakwaan dan tuntutan di persidangan. Atas dasar jumlah kerugian negara yang ditetapkan tersebut hakim akan memutus dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti oleh terdakwa korupsi kepada negara.

Rencana kegiatan penelitian ini dilakukan terhadap semua kasus tindak pidana korupsi yang disidangkan di Pengadilan TIPIKOR Denpasar menyangkut kasus-kasus tindak pidana korupsi yang disertai dengan dakwaan dan tuntutan agar terdakwanya dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti, baik berupa uang pengganti denda maupun uang pengganti sebagai akibat tidak mempunyai terdakwa membayar jenis pidana pokok seperti pidana ganti rugi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang dikumpulkan dengan teknik studi dokumen, penelitian lapangan, dan teknik wawancara. Dalam penentuan sampel penelitian digunakan teknik non-probabilitas/Non-Random Sampling dan diolah serta dianalisis dengan menggunakan teknik analisis secara deskriptif kualitatif. Setelah data terkumpul, kemudian disusun secara sistematis.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNyalah penelitian yang berjudul ―Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Bagi

Terpidana Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar‖ dapat

kami selesaikan. Dalam penyusunan penlitian ini tentu banyak pihak yang membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Udayana 2. Ketua LPPM Universitas Udayana

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para wakil dekan, beserta staff di lingkungan Fakultas Hukum UNUD

4. Ketua Unit Penelitian Pengabdian Fakultas Hukum Universitas Udayana 5. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

6. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum.

Denpasar, 17 Oktober 2016 Tim Peneliti

(5)

v DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN ... ii RINGKASAN ... ... iii KATA PENGANTAR ... iv DAFTAR ISI ... ... v BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... .. 1

1.2. Rumusan Masalah ... ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 3

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN ... 15

BAB IV METODE PENELITIAN ... ... 19

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

5.1. Langkah-Langkah Penyelesaian Yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam Hal Telah Terjadinya Tunggakan Uang Pengganti Oleh terpidana Tindak Pidana Korupsi ... 23

5.2 Hambatan yang Dihadapi Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam Upaya Memenuhi Secara Optimal Uang Pengganti Masuk Ke Kas Negara ... 54

5.3 Upaya yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Guna Memaksimalkan Eksekusi Dalam Pengembalian Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Dapat Masuk ke Kas Negara ... 63

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 75

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 76 DAFTAR PUSTAKA

(6)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang tergolong kedalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang pelakunya biasanya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 32-34, serta Pasal 38 B dan 38 C Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang No.20 Tahun 2001 telah diatur 3 (tiga) upaya yang perlu dilakukan dalam menyelesaikan tunggakan uang pengganti yaitu : a. Penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah

putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap b. Melalui putusan subsider pidana penjara

c. Melalui gugatan perdata

Sebagaimana kita ketahui bahwa, sudah diaturnya tata cara yang dapat dilakukan dalam rangka menyelesaikan tunggakan uang pengganti atas kerugian yang diderita negara dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut maka jaksa sebagai pelaksana eksekusi dari putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dapat langsung menerapkan tiga upaya tersebut di atas. Namun dalam kenyataannya hal tersebut masih sulit untuk dilakukan seperti contohnya dalam rangka penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana proses peradilan tindak pidana korupsi pada umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga terpidana mempunyai kesempatan untuk mengalihkan atau menyembunyikan harta bendanya yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut seperti dengan melakukan pencucian uang (money laundering).

Dalam rangka penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya, jaksa akan menemui kesulitan dalam menemukan harta benda milik terpidana atau ahli warisnya sehingga tidak menutup kemungkinan timbulnya tunggakan uang pengganti yang sangat besar. Selain itu, dalam pelunasan uang pengganti dengan hukuman badan atau pidana penjara permasalahan juga timbul pada saat terpidana akan lebih memilih melaksanakan hukuman subsider daripada membayar uang pengganti jika

(7)

2

hukuman subsidernya dianggap lebih menguntungkan daripada pembayaran uang penggantinya. Dengan demikian, dalam hal ini peranan jaksa akan sangat penting dalam rangka optimalisasi tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang penyidikan dan intelijen yustisial.

Bali merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang tidak luput dari adanya kasus tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, perlu adanya penanganan khusus dalam menanggulangi kasus korupsi yang terjadi di Bali. Adapun salah satu sebagai contoh kasus korupsi yang cukup menyita perhatian masyarakat Bali sendiri adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Mantan Bupati Buleleng yaitu Dr. Drs. Putu Bagiada, MM yang diduga merugikan negara sebesar Rp 1.657.970.038,00 (satu miliar enam ratus lima puluh tujuh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu tiga puluh delapan rupiah ). Dalam putusan pengadilan Negeri Denpasar No. 19/Pid.Sus/TPK/2012/PN.DPS, menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun, pidana denda Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan pidana tambahan sebesar 574.709.326 (lima ratus tujuh puluh empat juta tujuh, ratus sembilan ribu tiga ratus dua puluh enam rupiah). Selain kasus tersebut diatas banyak lagi kasus tindak pidana korupsi yang terpidananya dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang akan peneliti teliti serta kaji pespektif hukum pidana.

1.2.Rumusan Masalah

Urgensitas masalah terkait penjatuhan pidana tambahan oleh hakim berupa pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi peneliti sajikan masalahnya seperti terumus berikut ini :

1. Apakah hakim dalam memutus terdakwa tindak pidana korupsi selalu menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti ?

2. Apa bentuk kendala sebagai hambatan bagi jaksa selaku eksekutor putusan pengadilan sehingga terjadi tunggakan pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Denpasar ?

(8)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian dan Esensi Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam perkembangannya, prospek pemberantasan korupsi di Indonesia mulai menemukan rohnya kembali pasca jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998. Kuatnya tuntutan masyarakat kepada pemenntah untuk serius memerangi korupsi direspon oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan. Salah satunya dengan mengeluarkan Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu persoalan yang mendapat perhatian lebih dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana mengembalikan kerugian negara yang hilang sebagai akibat dilakukannya perbuatan korupsi, baik itu dilakukan oleh perorangan maupun korporasi. Salah satu instrumen hukum pidana yang memungkinkan penyelamatan uang negara dari perbuatan korupsi adalah dengan memaksimalkan instrumen hukum pidana uang pengganti. Sebagai sebuah sanksi, instrumen hukum ini dianggap lebih rasional untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi, yakni mencegah kerugian negara.

Pidana pembayaran uang pengganti pada dasarnya merupakan suatu hukuman yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain (negara) untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Definisi pidana pembayaran uang pengganti dapat ditarik dari ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantansan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana-telah diubah kedalam Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 yaitu pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak -banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi.

Pidana pembayaran uang pengganti, termasuk pidana tambahan yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

(9)

4

Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana tambahan memiliki beberapa perbedaan dengan pidana pokok yaitu:

1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok adalah suatu keharusan atau imperatif sedangkan penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif. Apabila dalam suatu persidangan terbukti bahwa terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan maka hakim harus menjatuhkan salah satu pidana pokok sesuai jenis dan batas maksimum dari rumusan tindak pidana yang dilanggar tersebut. Sifat imperatif dapat dilihat pada rumusan tindak pidana, dimana terdapat dua kemungkinan yaitu diancamkan salah satu pidana pokok sehingga hakim mau tidak mau harus menjatuhkan pidana sesuai rumusan tersebut atau dapat juga tindak pidana yang diancam oleh dua atau lebih jenis pidana pokok sehingga hakim dapat memilih salah satu saja. Misalnya pada Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memilih jenis pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu antara empat tahun hingga 20 tahun. Pada pidana tambahan hakim boleh menjatuhkan atau tidak pidana tambahan yang diancamkan terhadap si pelanggar. Misalnya, hakim dapat menjatuhkan salah satu pidana tambahan pada Pasal 18 ayat (1) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal terbukti melanggar pasal 3 undang – undang tersebut. Walaupun prinsipnya penjatuhan pidana tambahan adalah fakultatif tetapi terdapat beberapa pengecualian misalnya Pasal 250 bis KUHP.

2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan pidana tambahan (berdiri sendiri) sedangkan penjatuhan pidana tambahan harus bersamaan dengan pidana pokok.

3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap diperlukan pelaksanaan (executie) sedangkan pidana tambahan tidak. Pada pidana pokok diperlukan eksekusi terhadap pencapaian pidana tersebut kecuali pidana pokok dengan bersyarat (pasal 14a) dan syarat yang ditentukan itu tidak dilanggar. Pada pidana tambahan misalnya pidana putusan hakim.

4. Pidana pokok tidak dapat dijatuhkan kumulatif sedangkan pidana tambahan dapat. Akan tetapi dapat disimpangi pada beberapa undang -undang termasuk Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(10)

5

Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana tambahan.Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi hal tersebut perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena korupsi adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara. Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, merumuskan pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.1

Dalam hal ini kerugian negara tersebut haras dipulihkan. Salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti. Sehingga, meskipun uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara.

Penjatuhan pidana tambahan tersebut merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kondisi keuangan negara pada keadaan semula dan memberikan penjeraan langsung kepada akibat kejahatan korupsi yang dilakukannya. Efek jera berupa penghukuman secara umum diterapkan atas dua aspek, yakni atas diri pelaku dalam ruang lingkup individu dan efek jera yang dapat diterapkan dalam ruang lingkup yang umum.2 Tujuan utarna dari penghukuman/dampak bagi pelaku antara lain:

1. Kepemilikan atas hak kebendaan dan kenyamanan pelaku; 2. Kebebasan/kemerdekaan bertindak atas aktifitas pelaku; 3. Reputasi atau status sosial pelaku;

4. Hubungan/interaksi sosial pelaku; 5. Spiritual dan kesejahteraan pelaku3

Ahli ekonomi modern seperti Richard Posner, melihat hukuman sebagai bentuk suatu mekanisme pemulihan.4 Lembaga hukum harus berfungsi maksimal dan memiliki

1 Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Sinar Grafika, Jakarta, h. 164.

2

Christopher Harding, Richard W. Ireland, 1989., Punishment Rhetoric, Rule, and Practise, First Published, Routledge, New York USA, h. 118.

(11)

6

pertimbangan dan ukuran yang sama dalam penjatuhan hukuman kepada terdakwa korupsi agar memberikan efek jera dan menciptakan kepastian hukum. L.R. Huesmann dan C.L. Podolski menyatakan, bahwa hukuman mungkin memiliki beberapa peran yang tepat dalam hal pengelolaan perilaku ( behaviour management ) tetapi harus diterapkan dengan cara yang bijaksana.122 Secara teoritis sebagian masyarakat setuju bahwa hukuman meningkatkan kepatuhan dan menekan perilaku antisosial hanya untuk periode yang singkat pasca hukuman tersebut diterapkan. 5

Mengenai uang pengganti, Efi Laila Kholis mengemukakan bahwa

"Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti merupakan kebijakan kriminal yang tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu "kebijakan sosial" (social policy} yang terdiri dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat ( social welfare) dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus dapat ditarik dari terpidana korupsi agar tercapainya kesejahteraan masyarakat".6

Lebih lanjut menurut Efi laila Kholis seluruh proses yang berkenaan dengan pidana uang pengganti dapat dibagi dalam empat tahapan, yaitu:

1. Tahap pertama, menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara. 2. Tahap kedua, menghitung besarnya keragia negara.

3. Tahap ketiga, menetapkan kerugian keuangan negara.

4. Tahap keempat, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Ada atau tidaknya tahap ini sepenuhnya merupakan wewenang hakim.7

Kemudian menurut Indriyanto Seno Adji terkait pidana uang pengganti.

"Tujuan penetapan uang pengganti adalah dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh pelaku yang secara langsung maupun tidak langsung memperkaya diri sendiri/menguntungkan orang lain/suatu badan dan merupakan pidana tambahan yang hampir memilki karakter hukum perdata. Artinya uang pengganti dijatuhkan untuk mengganti kerugian negara dan

4

Andrew Ashworth, 2010, Sentencing and Criminal Justice, Cambridge University Press, Fifth Edition, UK, h. 76.

5 L.R. Huesmann and C.L. Podolski, 2003, Punishment:a Psychological Perspective (The Use of Punisment edited by Scan McConville), First Published, Willan Publishing, Oregon, USA, h.77.

6 Ibid

7 Efi Laila Kholis, 2010, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta,h.39.

(12)

7

merupakan piutang negara, sehingga terpidana mempunyai kewajiban untuk membayar uang pengganti karena merupakan hutang kepada negara"8

Dengan demikian uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara merupakan pidana tambahan yang mempunyai karakter hukum perdata. Oleh karena itu dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti dapat dilakukan melalui ranah hukum pidana dan penyelesaian melalui hukum perdata, dalam hal ini apabila harta kekayaan terpidana korupsi tidak cukup untuk mengganti kerugian negara maka Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan ganti kerugian kepada terpidana korupsi sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Mengenai pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi hingga saat ini masih menjadi permasalahan mengenai jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi, kemudian menentukan besarnya uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana korupsi dan bagaimana mendapatkan uang pengganti tersebut dan cara pelunasannya agar bisa kembali ke Kas Negara sehingga dapat dipergunakan untuk melanjutkan pembangunan nasional.

Setelah uang pengganti diperoleh dari terpidana korupsi maka perm pengadministrasian yang transparan dan akuntabilitas, agar tidak terjadi kesimpang siuran mengenai uang pengganti yang telah di setorkan ke kas negara. Sinkronisasi antara Kejaksaan dan Departenien Keuangan serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sangat penting agar uang pengganti tersebut tidak melenceng dari tujuan utamanya yaitu mengembalikan kerugian keuangan negara dan tidak terjadi korupsi diatas tindak pidana korupsi artinya uang pengganti yang dibayar oleh terpidana korupsi kemudian di korupsi lagi oleh orang-orang yang terkait pembayaran uang pengganti tersebut.

Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian negara masih dapat ditagih dari pihak lain. Jumlah uang pengganti adalah kerugian negara yang secara nyata dinikmati atau memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggung jawab atas seluruh kerugian negara.

(13)

8

2.2.Dasar Hukum Pengaturan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam ketentuan Pasal 17 jo 18 huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan "Selain dapat dijaruhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18". Selanjutnya dalam ketentuan pasal 18 disebutkan "Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang memberikan penekanan khusus mengenai besaran uang pengganti tersebut yakni sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Secara yuridis hal ini harus diartikan kerugian yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah kerugian Negara yang diperoleh dari korupsi". Pidana membayar uang pengganti ini dijatuhkan besarnya nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja atau lalai yang dilakukan oleh terpidana.

Dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dengan melihat ketentuan ini maka apabila dalam hal terpidana tidak mampu untuk membayar pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepadanya, jaksa dapat langsung menyita dan kemudian melelang harta benda yang dimiliki oleh tepidana tindak pidana korupsi tersebut. Selanjutnya diatur pula dalam Pasal 18 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 18 ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum

(14)

9

dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan terkait pengaturan uang pengganti selain di atur dalam ketentuan Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga saat ini telah diatur lebih lanjut dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi adalah sebanyak - banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata - mata sejumlah kerugian,negara yang diakibatkan. Terkait eksekusi atas uang pengganti itu sendiri selanjutnya dalam ketentuan pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyatakan sebagai berikut:

1. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terpidana tidak melunasi pembayaran uang pengganti, jaksa wajib melakukan penyitaan terhadap harta benda yang dimiliki oleh terpidana.

2. Jika setelah dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terpidana tetap tidak melunasi pembayaran uang pengganti, jaksa wajib melelang harta benda tersebut dengan berpedoman pada pasal 273 ayat (3) KUHAP

3. Pelaksanaan lelang dilakukan selambat - lambatnya 3 bulan setelah dilakukan penyitaan.

4. Sepanjang terpidana belum selesai menjalani pidana penjara pokok, jaksa masih dapat melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta milik terpidana yang ditemukan.

Diadopsinya pidana uang pengganti kedalam sistem hukum pidana yang pada awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata yang pada dasarnya -dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang - undang korupsi, baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi. Apalagi ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti sesuai dengan jumlah yang dikorupsinya.

(15)

10

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN

3.1 Tujuan Penelitian

Adapun penulisan proposal ini penelitian memiliki tujuan pokok yang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

3.1.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum pidana khususnya hukum acara pidana dan mengetahui serta mengkaji mengenai upaya kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam mengeksekusi putusan Pengadilan Tipikor Denpasar serta usaha untuk penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi, serta bertujuan meneliti kasus tindak pidana korupsi yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Denpasar yang dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir.

3.1.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui dan menjelaskan langkah penyelesaian yang dilakukan pihak Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam hal telah terjadinya tunggakan uang pengganti oleh terpidana tindak pidana korupsi.

2) Untuk mengetahui dan menjelaskan hal - hal apa yang merupakan kendala sebagai hambatan oleh Kejaksaan dalam mengeksekusi putusan hakim khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam upaya memenuhi secara optimal uang pengganti masuk ke kas negara.

3.2 Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian, terdapat suatu manfaat penelitian. Selain bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan tentunya mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

3.2 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat menjadi bahan acuan atau referensi dalam meneliti hal-hal yang serupa dan

(16)

11

penelitian ini mampu membantu para pembaca sebagai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana khususnya sistem peradilan pidana yang berkaitan dengan upaya Kejaksaan untuk menyelesaikan timbulnya tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi.

3.2.2 Manfaat Praktis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan penjelasan bagi pembaca tentang upaya Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi, serta diharapkan dapat menjadi pendorong bagi penelitian - penelitian selanjutnya mengenai permasalahan uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi dengan menggunakan metode yang lebih baik dan hasil penelitian yang lebih sempurna.

3.3 Urgensi (Keutamaan) Penelitian dan Potensi Hasil Penelitian

Keutamaan atau urgensitas penelitian ini untuk mengetahui intensitas perkara korupsi dengan terpidananya yang dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti oleh hakim kepada para terpidana korupsi juga kendala bagi jaksa kenapa tidak bisa melakukan eksekusi atas harta yang dimiliki terpidana.

Penegak hukum yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim. Hakim merupakan penentu terakhir dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian hakim tidak dapat bertindak aktif diluar konteks perkara yang diajukan ke persidangan oleh penuntut umum ( jaksa ). Sementara pihak yang aktif dalam melakukan penyidikan dan penuntutan adalah jaksa. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila disebutkan bahwa Kejaksaan menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian juga apabila dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi dan mengalami kegagalan atau belum berhasil, maka Kejaksaan pun akan dianggap gagal atau belum berhasil dalam proses penyelesaian masalah ini. Eksekutor putusan pengadilan dibebankan pada jaksa.

Hukum dan penegak hukum merupakan faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.9 Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu

9Soerjono Soekanto, 1983, Faktor — Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, h.5.

(17)

12

negara hukum karena Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.

Dalam bidang pidana, sebagaimana disebutkan dalam Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang - undang. Kewenangan dalam ketentuan tersebut sebagaimana diatur misalnya dalam Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang No.20 Tahun 2001 juncto Undang - Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang - Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Setelah terjadinya tindak pidana korupsi dan yang tidak jarang terjadi disusul dengan tindak pidana pencucian uang kemudian muncul suatu permasalahan terkait pengembalian atas kerugian yang diderita negara dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang tersebut. Salah satu cara mengembalikan uang negara yang hilang tersebut adalah dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Dengan cara ini maka akan memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti. Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum dalam hal tindak pidana-korupsi.

Dalam prakteknya menurut hasil penelitian Indonesia Corruption Watch ( ICW ), persoalan pemberantasan korupsi selain eksekusi hukuman badan terhadap koruptor yang belum optimal, eksekusi terhadap uang pengganti hasil korupsi pun tidak berjalan dengan maksimal. Perkembangan terbaru berdasarkan Hasil Pemeriksaan Atas Auditorat Utama Keuangan Negara I di Jakarta (Nomor: 57/Hp/XIV/07/2013Tanggal: 2 Mi 2013) Tentang Piutang Kejaksaan RI Posisi Per 30 Juni 2012 Pada Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta dan Jawa Barat menyebutkan saldo piutang dalam Laporan Keuangan Kejaksaan RI per 30 Juni 2012 khusus untuk uang pengganti adalah sebesar Rpl2.761.269.954.983,50 dan USD290.408.669,77. Hal ini sungguh disayangkan, karena pidana uang pengganti merupakan salah satu upaya pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery)10

10Http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/Files/doc/Kaiian/policvpaperkeuangannegara.pdf. diakses 15 Desember 2015.

(18)

13

Penelitian ini bertujuan mencapai sasaran terhadap jumlah uang pengganti yang berhasil dieksekusi oleh jaksa, berupa pengembalian dari para terpidana korupsi atas kerugian keuangan negara yang sempat dikorup. Pengembalian kerugian keuangan negara ini bermanfaat untuk pembangunan masyarakat luas. Serta pula kalau melalui proses eksekusi pidana tidak berhasil, maka perlu strategi tindakan hukum lain berupa mengoptimalkan jaksa selaku pengacara negara untuk menggugat melalui gugatan perdata.

(19)

14

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penentuan metode penelitian yang tepat sangat penting dalam sebuah penelitian. Metode merupakan cara untuk melaksanakan pekerjaan, pemilihan metode yang tepat akan mernpermudah suatu penelitian, serta akan memperoleh hasil yang diharapkan.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris" di dahului adanya kesenjangan antara das solen dan das sein. Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian diantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi hukum yang hidup.11 Kegunaan penelitian hukum empiris adalah untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk juga proses penegakan hukumnya, karena penelitian jenis ini dapat mengungkapkan permasalahan - permasalahan yang ada di balik pelaksanaan dan penegakan hukum yang ada di masyarakat.

3.2 Sifat Penelitian

Pada penelitian hukum empiris ini dipergunakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala yang lain di dalam masyarakat.12 Lebih jelasnya lagi penelitian ini termasuk penelitian survey deskriptif, yakni penelitian yang semata - mata bermaksud memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan pokok perhatiannya adalah pengukuran yang cermat dari satu atau lebih variabel terikat dalam suatu kelompok penduduk tertentu atau dalam sampel dari kelompok penduduk tertentu.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum ada 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder.

11

Ade Saptomo, 2009, Pokok - Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, h.42.

12

Amiruddin danZainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.25.

(20)

15

1. Data primer adalah data yang bersumber dari lapangan baik dari responden ataupun informan, yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Kejaksaan Tinggi daerah Bali dimana Kejaksaan Tinggi Daerah Bali merupakan institusi Kejaksaan yang berkedudukan di Ibukota Propinsi Bali dengan daerah hukum meliputi wilayah Propinsi Bali, yang membawahi 9 (sembilan) Kejaksaan Negeri.

2. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yakni data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data - data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan - bahan hukum. Bahan hukum diklasifikasikan menjadi 3 (tiga):

a. Bahan Hukum Primer ( primary law material) :

1) Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2) Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ( KUHP )

3) Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 4) Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang -

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

6) Undang - Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 7) Undang - Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

8) Peraturan Mahkamah Agung No.5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary law material) : 1) Buku — buku hukum

2) Hasil - hasil penelitian

3) Pendapat para pakar hukum, karya tulis yang dimuat dalam media massa c. Bahan Hukum Tersier (tertiary law material):

1) Kamus Hukum 2) Ensiklopedia

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh, mengumpulkan dan memahami data yang berkaitan dengan penulisan ini digunakan teknik sebagai berikut:

1) Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum

(21)

16

empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu^bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

2) Penelitian Lapangan

Metode ini merupakan suatu teknik untuk memperoleh data dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan pada Kejaksaan Tinggi daerah Bali. Dari penelitian Lapangan ini akan didapat data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik responden maupun informan.

3) Teknik Wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.13 Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada pihak Kejaksaan Tinggi Bali terkait upaya yang dilakukan pihak Kejaksaan khusunya jaksa yang membidangi tindak pidana khusus, dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti kasus tindak pidana korupsi. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka, dialogis, sistematis, masih dimungkinkan adanya variabel - variabel pertanyaan disesuaikan dengan situasi dan.kondisi ketika wawancara dilakukan.

3.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik non - probabilitas / Non- Random Sampling. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non- random sampling memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan pengambilan sampelnya. Dalam teknik ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Bentuk non- random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel dalam

13

(22)

17

purposive sampling yaitu Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Dalam penelitian ini penentuan sample akan dilihat berdasarkan data - data putusan kasus tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang kemudian dapat menjabarkan bagaimana upaya yang ditempuh pihak Kejaksaaan Tinggi Daerah Bali dalam hal penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti tersebut.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Adapun teknik pengolahan dan analisis analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis secara deskriptif kualitatif, dengan menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh disertai dengan penjelasan dan penginterprestasikan secara logis dan sistematis. Setelah data terkumpul, kemudian disusun secara sistematis yang didasarkan pada upaya Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Tinggi daerah Bali dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi.

(23)

18

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Langkah-Langkah Penyelesaian Yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam Hal Telah Terjadinya Tunggakan Uang Pengganti Oleh Terpidana Tindak Pidana Korupsi

Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia. Hukum tidak mungkin tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji -janji serta kehendak - kehendak yang tercantum dalam peraturan - peraturan hukum itu.14 Pendapat semacarn ini serasi dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo yang mengemukakan "penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide - ide menjadi kenyataan, proses perwujudan ide - ide inilah merupakan hakekat dari penegakan hukum15

Penegakan hukum yang ideal pada dasarnya merupakan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa dalam penegakan hukum semua hak dan kewajiban terlaksana dan terpenuhi disamping tercapainya tujuan dan proses penegakan hukum, baik itu jangka panjang maupun tujuan kontekstual.

Penegakan hukum merupakan penegakan kebijakan dengan proses yang meliputi antara lain tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang, tahap penerapan hukum pidana oleh badan yang berwenang, yang dapat pula disebut dengan tahap kebijakan yudikatif mulai dari kepolisian hingga pengadilan melalui tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang hingga putusan hakim, dan tahap pelaksanaan pidana atau yang dikenal dengan ekseskusi, yang merupakan pelaksanaan hukum pidana oleh

14

Satjipto Raharjo,tt, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN, Jakarta, h. 11. 15 Ibid, h. 15

(24)

19

aparat pelaksana pidana, tahap ini dikenal pula dengan tahap kebijakan eksekutif atau administrative, yaitu pemberian pidana secara in concrete.

Tahap terakhir yaitu tahap eksekusi yaitu pemberian pidana secara in concrete mempunyai arti yang sangat penting dalam penegakan hukum, yaitu menegakkan aturan - aturan yang abstrak menjadi penegakan hukum yang konkrit. Ini menunjukan bahwa untuk menegakkan aturan - aturan yang abstrak memang dibutuhkan upaya untuk mengkonkritkannya. Dengan kata lain bahwa hukum yang in abstracto memerlukan proses tertentu untuk menjadikannya hukum yang in concreto.

Eksistensi dari penegakan hukum pidana materil adalah sejauh mana suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, hal ini sangat penting mengingat wibawa dari suatu putusan sebagai akhir dari proses penegakan hukum pidana terletak pada dapat tidaknya isi dari putusan hakim tersebut dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor.

Putusan hakim pada dasarnya mengandung beberapa aspek yuridis baik materil maupun formil. Putusan hakim beraspek materil dalam pengertian bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti adanya sehingga yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Sedangkan putusan hakim yang beraspek formil dalam pengertian adanya suatu kewajiban bagi jaksa selaku eksekutor untuk dapat melaksanakan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim (Pengadilan).

Berbicara mengenai proses penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari penjatuhan sanksi pidana tambahan berapa pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis di Pengadilan Negeri Denpasar berikut didapat data terkait perkara korupsi dari seluruh Kabupaten dan Kota di Bali yang masuk ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dari tahun 2012 hingga tahun 2015 yakni sebagai berikut:

(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)

27

Berdasarkan data perkara korupsi 2012 di Pengadilan Negeri Denpasar, dari 20 kasus yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar terdapat 5 kasus yang dalam amar putusannya yang memuat selain pidana penjara dan pidana denda juga berisi pidana

(33)

28

tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Sedangkan pada tahun 2013 dari 25 kasus yang terdaftar, hanya 8 perkara korupsi yang pada putusannya mencantumkan pidana pembayaran uang pengganti selain dengan pidana penjara dan pidana denda. Kemudian pada data perkara korupsi tahun 2014 terdapat 34 kasus yang diperiksa di Pengadilan Tindak pidana Korupsi Denpasar yang dimana terdapat 15 kasus yang dalam amar putusannya yang memuat selain pidana penjara dan pidana denda juga berisi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Sedangkan pada tahun 2015 dari 53 kasus yang terdaftar hanya baru terdapat 15 perkara yang pada putusannya mencantumkan pidana pembayaran uang pengganti selain dengan pidana penjara dan pidana denda.

Apabila dilihat dari amar putusan yang menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dalam bentuk penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar dari tahun 2012 - 2015 adalah sebesar Rp 40.625.925.259. Oleh karena masih ada perkara yang sedang dalam proses persidangan dan pengajuan upaya hukum, pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht ) dan sepatutnya telah dapat dieksekusi adalah Rp 10.578.810.354.

Penerapan pidana pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sangat tergantung dari proses persidangan. Untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta pengembalian kerugian keuangan yang ditimbulkan, bukan saja tergantung dari putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim melainkan juga sangat dipengaruhi oleh dakwaan serta tuntutan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Apabila dilihat dari data yang diperoleh penulis terkait perkara korupsi diatas, dapat dilihat bahwa masih ada perkara korupsi yang dalam tuntutannya tidak tercantum pidana tambahan berupa pengembalian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Selain itu apabila

(34)

29

melihat jumlah perkara korupsi pada tahun 2012 - 2015 yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar yang tercatat dalam buku register perkara pidana Pengadilan Negeri Denpasar terus mengalami peningkatan.

Pelaksanaan isi putusan oleh Jaksa selaku eksekutor pada dasarnya tidak terlepas dari apa yang telah dituntutkan olehnya pada saat proses pemeriksaan perkara. Tuntutan tersebut didasarkan pada adanya alat bukti dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, namun tidak jarang pula apa yang telah dituntutkan oleh Penuntut Umum mengalami kesulitan pada saat akan dilakukan eksekusi, baik itu menyangkut eksekusi terhadap terpidana, eksekusi terhadap barang, serta eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Eksekusi pada dasarnya merupakan salah satu kewenangan Jaksa yang diatur undang - undang untuk melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang dapat dilakukan eksekusi hanyalah putusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dari beberapa hal yang harus dilakukan esekusi tersebut, yang menimbulkan persoalan adalah eksekusi terhadap pembayaran uang pengganti yang menjadi kewajiban tambahan dari terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi.

Uang pengganti dalam tindak pidana korupsi secara yuridis harus dikembalikan oleh terdakwa dalam tempo 1 (satu) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun pengembalian kerugian negara tersebut secara umum dapat dikatakan tidak berhasil, karena dalam perkara korupsi banyak terdakwa tidak memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam putusan pengadilan tersebut. Dalam kondisi yang demikian menjadi kewajiban Jaksa untuk melakukan eksekusi uang pengganti dalam rangka pengembalian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa peran Jaksa sebagai ujung tombak dalam upaya pengembalian keuangan negara sangat besar. Untuk mencapai upaya pengembalian keuangan negara dari terpidana, maka Jaksa dapat melakukan penyitaan harta terpidana dan selanjutnya dilakukan pelelangan.

(35)

30

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor. Eksekusi merupakan salah satu kewenangan jaksa yang diatur oleh undang-undang guna melaksanakan putusan pengadilan. Pada dasarnya pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan eksekusi terhadap orang maupun eksekusi terhadap barang dalam perkara tindak pidana pada umumnya, yang membedakannya adalah adanya batas waktu bagi terpidana untuk membayar uang pengganti tersebut setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap serta diharuskannya menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang pengganti apabila terpidana tidak mampu membayarnya.16

Salah satu putusan pengadilan yang memuat pidana tambahan yaitu pengembalian kerugan keuangan negara berupa uang pengganti adalah putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 9/Pid.Sus/TPK/2015/PN.DPS yang amarnya menyatakan sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa I NYOMAN BUDI PERMADI, SH, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut;

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas ) tahun;

c. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa atas kesalahannya itu dengan pidana denda sebesar Rp 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah), apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam ) bulan ;

d. Menghukum kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.765.328.480 (satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta tiga ratus dua puluh delapan ribu empat ratus delapan puluh rupiah) dengan ketenruan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam tenggang waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan tersebut berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dijual lelang untuk membayar uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang cukup maka dipidana penjara selama 3(tiga) tahun dan 6 (enam ) bulan;

e. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang akan dijatuhkan ;

f. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;

g. Menetapkan barang bukti berupa.... tetap terlampir dalam berkas perkara;

h. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);

16

Lilik Mulyadi, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, h. 314-315.

(36)

31

Banyak faktor yang menghambat tidak selesainya atau kurang optimalnya pembayaran uang pengganti, hal itu disebabkan karena keadaan ekonomi terpidana yang tidak mampu untuk membayar uang pengganti atau sudah tidak ada harta benda lagi untuk disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Dalam hal yang berkaitan dengan tunggakan pembayaran uang pengganti, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran dengan nomor: B-779/F/Fjp/Ft/l 0/2005. Perihal Eksekusi Pembayaran Uang Penggati, disampaikan sebagai berikut:

1. Agar selalu dilakukan pemutakhiran data perkara tindak pidana korupsi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yang ada pembayaran uang pengganti), dengan dipilah yang putusannya didasarkan pada Pasal 34 C Undang - Undang No.3 Tahun 1971 dan mana yang berdasarkan Pasal 18 Undang - Undang No.31 Tahun 1999.

2. Dalam hal terpidana benar-benar dalam keadaan tidak mampu yang dibuktikan dengan keterangan pejabat yang berwenang, dapat diusulkan dengan penghapusan piutang negara, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No.31/PMK.07/2005 tanggal 23 Mei 2005.

3. Untuk eksekusi pembayaran uang pengganti yang diputus berdasarkan Pasal 34 Undang - Undang No.3 Tahun 1971, agar ditempuh upaya-upaya sebagai berikut:

a. Upayakan seoptimal mungkin pencarian / pelacakan aset terpidana untuk selanjutnya dilakukan penyitaan.

b. Aset hasil pencarian / pelacakan tersebut segera dilakukan pelelangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku (vide keputusan Menkeu No.304/ KMK.01/ 2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Juklak Pelelangan).

c. Uang hasil lelang disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan dengan jumlah kewajiban pembayaran uang pengganti, apabila terdapat kelebihan dari jumlah uang pengganti, maka kelebihannya dikembalikan kepada terpidana, namun jika ternyata masih terdapat kekurangan, maka tetap menjadi beban kewajiban yang harus dibayar oleh terpidana.

d. Apabila upaya butir a, b, dan c secara optimal telah dilakukan dan ternyata tidak ditemukan aset terpidana, maka penyelesaian selanjutnya dilimpahkan kepada Datun untuk diupayakan melalui instrumen perdata.

4. Dalam hal putusan hakim terhadap uang pengganti yang didasarkan pada Pasal 18 Undang - Undang No.31 Tahun 1999, dimana secara tegas mencantumkan pada putusannya bahwa apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu satu bulan atau dalam waktu tertentu, agar supaya harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk selanjutnya dilakukan pelelangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, guna menurupi pembayaran uang pengganti, apabila terpidana tidak mempunyai harta benda atau harta bendanya tidak mencukupi agar supaya dilakukan eksekusi hukuman badan sesuai putusan hakim, sehingga tidak menjadi tunggakan atas eksekusi hukuman membayar uang pengganti. Dalam hal terpidananya melarikan diri, agar aset-aset yang telah dapat disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan uang hasil lelang disetorkan ke kas negara untuk diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti.

(37)

32

5. Tuntasnya penanganan suatu perkara yang telah mendapat putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah apabila dilakukan eksekusi secara tuntas, termasuk eksekusi pembayaran uang pengganti.

Dari beberapa kasus korupsi yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrachi) dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Bali, ada sebagian kasus yang telah tuntas, dalam hal ini telah tuntas pula eksekusi pembayaran uang pengganti, namun ada juga tunggakan mengenai uang pengganti, karena terpidana tidak mampu membayar sehingga menjadi tunggakan uang pengganti. Maka dari itu jaksa selaku eksekutor dapat melakukan penyitaan terhadap harta benda terpidana yang dianggap sebagai hasil tindak pidana korupsi dan hasil penyitaan tersebut akan dilelang untuk umum di kantor pelelangan Negara, hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kerugian keuangan Negara akibat dari tindak pidana korupsi. Adapun laporan terkait pelaksanaan eksekusi pidana pembayaran uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi yang tercatat di Kejaksaan Tinggi Bali adalah sebagai berikut :

(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)

47

Data terkait pelaksanaan eksekusi terhadap pidana pembayaran uang V\ pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi Kejaksaan Tinggi Bali diatas dapat dilihat bahwa masih terdapat tunggakan uang pengganti semenjak tahun 2012 hingga tahun 2016. Jumlah yang

(53)

48

berhasil dieksekusi belum sebanding dengan jumlah kerugian yang dialami negara akibat tindak pidana korupsi tersebut. Dari data tersebut dapat kita lihat pula bahwa jangka waktu dari penagihan oleh pihak Kejaksaan kepada terpidana memerlukan waktu yang cukup lama melebihi tenggang waktu yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang — Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 yakni 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak I Wayan Suardi, SH selaku Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali mengatakan bahwa apabila dalam hal pidana pembayaran uang pengganti telah terjadi tunggakan maka langkah penyelesaian yang akan ditempuh antara lain yakni sebagai berikut:

1. Penagihan - penagihan secara khusus ( non - litigasi ) kepada terpidana dan keluarganya. Dalam hal ini dilakukan negosiasi terhadap sistem pembayaran uang pengganti apakah tunai atau dengan mengangsur. Setelah dilakukan pembayaran oleh terpidana baik secara tunai maupun mengangsur maka selanjutnya diberikan bukti pembayaran yang kemudian dicatat di dalam administrasi perkara bidang perdata dan tata usaha negara, bidang pembinaan dan bidang tindak pidana khusus.

2. Pelacakan aset ( asset tracing ) terpidana

Asset Tracing adalah suatu teknik yang digunakan oleh investigator atau auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan blocking of customer account (pemblokiran) atau freezing (pembekuan) dan foreclosure (penyitaan) untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dalam hal dilakukan pelacakan aset milik terpidana yang sulit penyelesaiannya maka Kejaksaan

(54)

49

Negeri / Tinggi akan bekeija sama dengan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung RI.

3. Perampasan aset terpidana

Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi).

4. Pengenaan pidana subsider

Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 18 ayat (3) bahwa terpidana yang tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti otomatis akan menjalani pidana penjara yang lamanya telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Hal ini pun diterapkan terhadap terpidana korupsi yang telah menunggak pembayaran atas uang pengganti tersebut.

5. Gugatan Perdata

Apabila secara non litigasi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan maka langkah selanjutnya yang akan ditempuh pihak Kejaksaan adalah dengan melalui gugatan perdata terhadap terpidana dengan dasar gugatan yaitu perbuatan melawan hukum terhadap sejumlah uang pengganti yang belum dibayar. Gugatan secara perdata dapat dilakukan terhadap tunggakan pembayaran uang pengganti meskipun terpidana telah selesai menjalani pidana pokok dan pidana subsider sebagai pengganti pidana pembayaran uang pengganti. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan "bahwa tiada suatu hukuman apapun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraannya". Uang pengganti yang menunggak meskipun telah digantikan dengan pidana subsider sebagaimana ketentuan pasal 18 ayat (3) Undang - Undang No. 31 Tahun 1991 jo.Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditetapkan

(55)

50

sebagai piutang negara. Sehingga dalam hal ini tetap dapat dilakukan gugatan perdata. Dalam pengajuan gugatan perdata Jaksa akan menyertakan permohonan sita jaminan ( conservatoir beslag ) terhadap harta benda milik terpidana. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan "segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan". Upaya hukum gugatan perdata yang berkaitan dengan usaha pengembalian/pembayaran uang pengganti atau karena, perbuatan yang merugikan keuangan negara, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Staatsblad 1922 No. 522 dan peraturan perundang-undangan dengan hukum acara perdata yang berlaku. Sesuai dengan fungsinya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum cq. Direktorat Perdata Kejaksaan Agung RI menghimpun, meneliti mengendalikan, membimbing dan mengawasi pelaksanaan terhadap setiap upaya hukum gugatan perdata, yang ada kaitannya dengan pembayaran uang pengganti tersebut, selanjutnya melaporkan hasil-hasilnya kepada Jaksa Agung RI, u.p. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Dalam hal yang berkaitan dengan terpidana sudah tidak mempunyai harta lagi untuk disita dan dilelang untuk negara dan terpidana dalam keadaan benar-benar tidak mampu, yang dibuktikan dengan keterangan pejabat yang berwenang seperti camat dan lurah setempat, dapat diusulkan penghapusan piutang negara sehingga terpidana diwajibkan mengganti dengan hukuman badan. Hal tersebut sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan RI No.31/PMK.07/2005 dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Hal tersebut dinyatakan dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor : B-779/F/Fjb/nY 10/2005 berkaitan dengan Tunggakan Uang Pengganti.

(56)

51

Dengan adanya Surat Edaran Kejaksaan Agung, mengenai tunggakan uang pengganti tersebut, oleh para terpidana korupsi dapat dijadikan sarana untuk lari dari tanggungjawab membayar uang pengganti, karena dengan adanya surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berwenang maka dapat diusulkan penghapusan piutang terhadap negara, padahal seperti yang telah kita ketahui bahwa pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang mempunyai tingkat intelegensi yang dapat mengelabui aparat penegak hukum, misalnya jauh sebelum dilakukan penyelidikan tentang kasus yang sedang ia hadapi, maka para koruptor telah memindahtangankan hak milik harta bendanya kepada ahli waris atau orang lain yang bertujuan menghindari pelacakan dari aparat penegak hukum atau menghilangkan barang bukti, sehingga sulit untuk dibuktikan bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi.

Melalui ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara waktunya telah ditetapkan pengadilan. Terkait dengan konsekuensi yang timbul apabila terpidana tidak mau ataupun kenyataannya tidak mampu untuk membayar uang pengganti sebagai pidana tambahannya, maka secara otomatis terpidana tersebut akan menjalani pidana penjara tambahan sebagai pidana subsider. Sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketenruan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Apabila ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tersebut diterapkan, hal ini tentu sangat menimbulkan kerugian, mengingat selain gagal untuk memperoleh kembali kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh terpidana atas tindakan korupsi yang dilakukannya, pidana penjara sebagai subsider justru merupakan beban

(57)

52

tambahan bagi negara karena harus menanggung biaya terpidana selama hidup di Lembaga Pemayararakatan lebih lama.

Tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini tentunya akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian hukum dengan kesebanding hukum sehingga akan menghasilkan suatu keadilan.17 Menurut aliran utiltarianisme yang menjelaskan bahwa tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa Indonesia) tersebut. Prinsip utilitas menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara tindakan - tindakan alternatif atau kebijakan sosial, kita mengambil satu pilihan yang memiliki konsekuensi yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan mengacu pada teori ini, Jaksa selaku eksekutor terhadap pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dalam hal ini pidana pembayaran uang pengganti harus dapat menentukan cara - cara yang ditempuh agar mampu mengembalikan uang pengganti tersebut demi terwujudnya keadilan di masyarakat.

Penjatuhan pidana penjara pengganti pidana uang pengganti secara konsisten antar terdakwa, adalah bentuk perwujudan kepastian hukum dan pertimbangan untuk menjatuhkan pengganti pidana uang pengganti yang tinggi dapat diberikan batasan minimal dan maksimal, agar memberikan penjeraan dan sekaligus menutup peluang bagi para terpidana untuk memilih pengganti pidana penjara daripada memilih mengembalikan uang negara. Pelaku tindak pidana korupsi melihat bahwa akibat suatu pelanggaran hukum adalah sebagai risiko,

17

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Keputusan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 5 tahun 2009 tentang Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan Bagi Mahasiswa Program Kependidikan

a) Memilih tari suku dayak dari 5 suku dayak besar di Kalimantan timur yang masing- masing Dayak mewakili 3 tarian yaitu Dayak kenyah tari perang, tari leleng,

[r]

Gunakan panel depan penerima atau Wireless Workbench untuk men- gendalikan keadaan pemancar setelah Anda mlepaskannya dari stasiun pengisian daya berjaringan. • Active: Menyala

Proses pembelajaran ini dilaksanakan dalam bentuk penelitian tindakan kelas ( Classroom Action Research ) yang berfokus pada upaya untuk meningkatkan keaktifan mahasiswa

Di dalam folklor pada umumnya ada dua macam teknik wawancara, yaitu wawancara yang terarah (directed) dan tidak terarah (non directed). kemudian memberikan informan kesempatan

Dalam penelitian ini juga ingin melihat “SMA” Senjoyo sebagai arena yang strategis dan merupakan arena perebutan sesuai dengan arena menurut Pierre Bourdieu..

Pokok perhatian dari Activity Based Costing System ( ABC System ) adalah aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam perusahaan, dengan menelusuri biaya yang mengacu pada