• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan yang Dihadapi Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI (Halaman 59-68)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Hambatan yang Dihadapi Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam

Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, bahkan dapat pula merusak nilai - nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.19 Perkembangan korupsi sampai saat ini pun sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang dipergunakan juga mengandung kelemahan - kelemahan dalam implementasinya.20

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi selain mengakibatkan kerugikan keuangan negara dan perekonomian negara juga menghambat kelangsungan pembangunan nasional. Tujuan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera serta dalam rangka mengendalikan keuangan negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi.

Salah satu unsur dalam tindak pidana korapsi di dalam Pasal 2 dan 3 Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 ialah adanya kerugian keuangan negara/perekonomian negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata - mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara yang menjerahkan, tetapi harus juga dapat mengembalikan )/ kerugian negara yang telah dikorupsi tersebut agar dapat kembali masuk ke kas negara. Kas negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang - Undang No.l Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan

19 Ermanjsjah Djaja, Op Cit, h.3 20 Ibid, h.5

55

tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.

Prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti bervariasi besarannya yang dapat disebabkan beberapa faktor antara lain seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama - sama.21

Pidana pembayaran uang pengganti memiliki beberapa tujuan mulia. Akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas. Baik undang - undang pemberantasan tindak pidana korapsi sebelumnya yakni Undang - Undang No. 3 tahun 1971 yang hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34 huruf c maupun undang - undang penggantinya yakni Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya yakni Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa.

Dalam ketentuan Pasal 34 huruf c Undang - Undang No. 3 Tahun 1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang -Undang No. 20 Tahun 2001 hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak - banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama - tama hakim harus secara cermat memilah - milah bagian mana dari

21

Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati Ball tanggal 12 Mei 2016.

56

keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah dilakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yangakan dibebankan.

Kenyataannya dalam praktek, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah - milah mana aset yang berasal dari korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap. Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu. Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, yang nilainya terus berubah.

Eksistensi dari penegakan hukum adalah yakni sejauh mana suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, hal ini sangat penting mengingat suatu putusan sebagai akhir dari proses penegakan hukum pidana dan ini dapat dilihat dari dapat atau tidaknya putusan hakim tersebut untuk dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor. Namun pada kenyataannya dalam menjalankan penindakan terhadap pidana uang pengganti sangatlah tidak mudah, tidak jarang pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti tersebut baru dapat dilaksanakan selama bertahun - tahun. Hal inilah yang sangat menghambat negara dalam mengambil kembali hak - hak negara tersebut untuk menutupi kerugian keuangan negara akibat adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan tersebut.

Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan oleh Kejaksaan adalah didasarkan sesuai dengan 270 KUHAP. Dengan demikian Kejaksaan yang diwakili oleh Jaksa Penutut Umum dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, karena hal ini merupakan amanah dari

57

undang - undang untuk menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Tetapi kenyataan yang terjadi dilapangan sangatlah jauh berbeda dengan apa yang ada pada buku atau secara normatif. Permasalahan - permasalahan itu muncul ketika praktik secara langsung dilapangan. Karena kondisi di lapangan sangatlah kompleks sehingga muncul permasalahan yang menyimpang dari undang - undang.

Uang Pengganti dalam perkara korupsi mengandung banyak permasalahan yang ternyata cukup rumit dalam implementasinya, diantaranya belum mencapai kesempurnaan tentang seperangkat peraturan yang menyertai persoalan ini. Salah satunya adalah penerapan pada Undang - Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana undang - undang tersebut masih terkendala karena kurang lengkap dan tegas dalam pengaturan tata cara pengadilan tindak pidana korupsi dalam hal pengembalian uang Negara yang dikorupsi. Keberadaan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi dinilai berjalan kurang efektif. Ini karena terpidana banyak yang memilih hukuman pengganti berupa kurungan badan dibandingkan harus membayar uang pengganti. Uang pengganti hanyalah suatu pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terpidana tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara.

Persoalan pengembalian kerugian negara ( recovery asset) dalam praktek penanganan perkara korupsi telah menjadi persoalan serius, sebab berdasarkan beberapa fakta yang terjadi banyak perkara korupsi yang telah dijatuhi vonis, namun dalam hal pelaksanaan pidana uang pengganti sulit untuk terwujud. Ternyata pelaksanaan pidana uang pengganti tidak semudah yang dibayangkan. Dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti akibat tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan teori sistem hukum ( Legal System Theory) yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu :

58

Dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan atau norma hukum terkait tindak pidana korupsi yakni Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta peraturan perundang-undangan lain terkait tindak pidana korupsi. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas terkait tata cara pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti secara lebih terperinci dan tersendiri. Mengingat urgensi dari penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti terkait pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. b. Struktur Hukum (Legal Structure)

Merupakan kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum. Dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara khususnya dalam bentuk pembayaran uang pengganti harus ada koordinasi diantara penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan putusan, dan jaksa yang nantinya melaksanakan putusan terutama terkait sita dan lelang terhadap harta benda terpidana kasus korupsi yang tidak membayar uang pengganti sebagai pidana pengembalian kerugian keuangan negara.

c. Budaya Hukum ( LegalCulture)

Merupakan bagian dari budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati. Budaya hukum masyarakat saat ini telah mengalami pergeseran kearah yang lebih acuh terhadap suatu aturan hukum. Terbukti dengan banyak

59

nya kasus korupsi yang teijadi dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, bukan saja dari kalangan pejabat namun kini telah menjalar kelapisan masyarakat biasa. Bukan hanya itu, kepercayaan masyarakat Bali akan hukum karmaphala (hasil dari perbuatan) telah mengalami pergeseran. Terbukti dengan banyaknya masyarakat Bali yang menjadi Terpidana kasus korupsi yang membuktikan bahwa mereka tidak lagi memandang ajaran karmaphala sebagai dasar dalam melakukan setiap tindakan.

Soeijono Soekanto mengemukakan bahwa secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelesaikan hubungan nilai -nilai yang teijabarkan di dalam kaidah - kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit.22 Apabila dikaitkan dengan pendapat Soeijono Soekanto tentang 5 faktor yang mempengaruhi efektif tidaknya suatu sistem hukum dapat dijabarkan sebaga berikut yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri.

Aturan yang mengatur tentang uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara belum jelas. Undang-undang yang berlaku saat ini tidak memparkan secara terperinci konsekuesi dilapangan saat proses eksekusi. Karena masih banyak perbedaan antara aturan dan praktek dilapangan.

b. Faktor penegak hukum

Pencapaian supremasi hukum harus diukur dari seberapa baik penegakan hukum yang dilakukan di Indonesia, berbicara mengenai penegakan hukum, maka hal paling penting dan mendasar adalah bagimana kemampuan aparat penegak hukum (khususnya dalam bidang tindak pidana korupsi), dalam sistem peradilan dapat mengakomodasi dan

22

Soerjono Soekanto, 1993, Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6

60

mengapresiasi tuntutan keadilan baik yang menjadi ruh hukum formal maupun tuntutan rasa keadilan oleh masyarakat dalam pemberantasan korupsi merupakan suatu kebutuhan dasar.23 Berbicara terkait penegak hukum adalah merupakan pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Dalam hal ini adalah mengoptimalkan tugas Jaksa dalam perumusan dakwaan dan tuntutan pidana pembayaran uang pengganti yang nantinya juga akan mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Namun dalam pelaksanaannya sendiri dilapangan kurangnya tenaga pihak kejaksaan dalam menelusuri aset - aset pelaku tindak pidana korupsi menjadi salah satu kendala dalam dalam mengotimalkan pengembalian kerugian keuangan negara.24

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya dalam tindak pidana korupsi yang merupakan extraordinary crime dimana membutuhkan cara - cara penegakan yang sifatnya lebih membutuhkan perhatian khusus dalam hal ini pembiayaaan yang dibutuhkan dalam penegakannya tidak sedikit sedangkan anggaran yang tersedia juga masih dinilai kurang untuk menangani perkara tersebut. Selain itu faktor akomodasi yang minim juga dinilai sebagai penghambat mengingat jarak yang ditempuh untuk proses penanganan pidananya sendiri memakan waktu yang tidak sedikit.25

d. Faktor masyarakat

Yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting dari masyarakat dalam menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Peraturan hukum yang berlaku atau diterapkan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Adapun yang

23

Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, h.337.

24

Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati Bali tanggal 12 Mei 2016.

25

Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati Bali tanggal 12 Mei 2016

61

menjadi kesulitan utama dalam proses eksekusi harta benda terpidana terkait tindak pidana korupsi yakni karena harta benda yang diperoleh atau dimiliki terdakwa / terpidana dari hasil kejahatannya telah diamankan terlebih dahulu sebelum ditemukan oleh penyidik. Dalam hal ini adanya informasi masyarakat akan sangat sangat mambantu untuk mengungkap aset - aset yang dimiliki oleh terpidana tindak pidana korupsi. Namun saat ini masyarakat kian enggan untuk memberikan informasi karena takut terbawa-bawa dalam kasus yang menjerat terpidana. Kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk melaporkan atau memberitahukan tindak pidana korupsi di lingkungannya serta harta benda yang dimiliki terdakwa / terpidana juga menjadi salah satu penghambat dalam upaya pihak Kejaksaan untuk proses pengembalian kerugian keuangan negara. Kepedulian atau kesadaran masyarakat untuk memberikan informasi secara dini kepada penegak hukum terhadap orang yang dicurigai melakukan tindak pidana korupsi juga masih kurang, justru ada kecenderungan untuk turut menutup - nutupi.26

e. Faktor kebudayaan

Budaya merupakan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Budaya hukum yaitu sikap- sikap dan nilai yang berhubungan dengan hukum, yang datangnya dari rakyat atau pemakai jasa hukum.27 Budaya hukum masyarakat yang dicerminkan antara lain dengan sikap masyarakat yang enggan memberikan informasi tentang adanya pelaku tindak pidana korupsi atau harta benda yang dimiliki oleh pelaku kejahatan di lingkungannya. Masyarakat menganggap hal tersebut bukan kepentingan mereka namun merupakan kepentingan negara. Hal ni menunjukan adanya budaya hukum masyarakat yang belum mendukung penegakan tindak pidana korupsi.28 Budaya kekeluargaan yang sangat kental, juga dapat

26

Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati Bali tanggal 12 Mei 2016.

27

Abdul Manan, 2005, Aspek - Aspek Pengubah ,Prenada Media Group, Jakarta, 28

Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati Bali tanggal 12 Mei 2016

62

menghambat proses eksekusi harta benda - seorang terpidana karena seringkah hasil korupsi telah dititipkan maupun dihibahkan kepada keluarga maupun kerabatnya sehingga sulit untuk dilacak keberadaannya.

Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka penyelesaian keuangan negara pernah diungkapkan oleh Ramelan adalah:

1. Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga sulit untuk menelusuri uang atau hasil kekayaan yang diperoleh dari korupsi. 2. Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau

mempergunakan/mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain yang sulit terjangkau hukum.

3. Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.

4. Dasarnya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.29

Selain hambatan - hambatan diatas, banyaknya hambatan yang dihadapi jaksa selaku eksekutor dalam melakukan eksekusi penyitaan serta lelang terhadap harta benda milik terpidana kasus korupsi guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti juga dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Waktu yang lama hingga suatu putusan memiliki kekuatan hukum tetap setelah melalui upaya hukum hingga Peninjauan Kembali agar dapat dilakukan eksekusi oleh Jaksa. b. Domisili seorang terpidana juga menjadi hambatan sebab tidak dapat dipungkiri bahwa

saat ini banyak orang yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) ganda guna menyembunyikan harta kekayaannya hasil korupsi.

c. Undang - undang pemberantasan tindak pidana korupsi belum mengatur secara jelas apabila terpidana hanya mampu membayar sebagian pembayaran uang pengganti.

d. Kebanyakan terpidana kasus korupsi lebih memilih menjalani hukuman subsider pidana penjara/hukum badan daripada membayar uang pengganti.

29

63

e. Apabila terpidana meninggal dunia, maka segala tuntutan dianggap gugur demi hukum termasuk dengan uang penggantinya. Apabila jaksa selaku pengacara negara mengajukan gugatan perdata kepada ahli waris terpidana, memerlukan waktu yang lebih panjang f. Tidak adanya aturan yang mengatur mengenai lelang barang rampasan dalam KUHAP.

Dalam menjalankan tugasnya Jaksa selaku eksekutor hanya berdasarkan pertimbangan dari Surat Edaran Nomor: SE- 03/B/B.5/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan. Dasar hukum yang digunakan oleh Jaksa sebagai eksekutor masih sangatlah minim dalam permasalahan dasar hukumnya. Karena setiap acara pidana seharusnya diatur dalam KUHP. Namun dalam hal ini Jaksa selaku eksekutor tidak memiliki acuan dasar hukum dari hukum acara pidana.

g. Barang - barang hasil sitaan akan memakan waktu tunggu sangat panjang sampai dengan proses lelang barang sampai terjual. Hal ini akan berdampak pada menurunnya kondisi barang dari hasil sitaan tersebut. Apabila barang - barang sitaan tersebut mengalami kerusakan akan diperlukan perawatan atas barang tersebut contohnya kendaraan bermotor. Hal ini akan berdampak pada menurunnya harga barang itu sendiri. Sehingga dalam keadaan seperti ini Jaksa selaku eksekutor akan sulit mendapatkan harga yang sesuai dengan taksiran yang sudah direncanakan sebelumnya, yang akan memberikan pada pendapatan negara dari hasil lelang barang - barang sitaan tersebut untuk membayar ganti kerugian negara.

5.3.Upaya yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Guna Memaksimalkan

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI (Halaman 59-68)

Dokumen terkait