• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Konsep Kecemasan .1 Pengertian Kecemasan .1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya serta kecemasan tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan takut atau tidak tenang yang sumbernya tidak dikenali (Suliswati dkk, 2005).

19

Kecemasan merupakan gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (masih baik), kepribadian tetap utuh dan prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari, 2008).

2.2.2 Rentang Respon Cemas

Stuart dan Sundeen (2007) mengatakan rentang respon individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif seperti :

Adaptif Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1. Rentang respon adaptif dan maladaptif

Menurut Stuart & Sundeen (2007) koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu :

1) Mekanisme Koping Adaptif

Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

20

2) Mekanisme Koping Maladaptif

Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan dan menghindar.

2.2.3 Tingkat Kecemasan

Menurut Suliswati (2005), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan yaitu :

1) Ansietas ringan

Pada fase ini pasien akan merasa :

a) Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari.

b) Kewaspadaan meningkat.

c) Persepsi terhadap lingkungan meningkat.

d) Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas.

e) Respon kognitif tampak mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan.

f) Respon prilaku dan emosi terlihat tidak dapat duduk tenang dan kadang–kadang suara meninggi.

21

2) Ansietas sedang

Pada fase ini akan muncul respon sebagai berikut :

a) Respon fisiologis terlihat sering nafas pendek, tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, sakit kepala, letih dan sering berkemih.

b) Respon kognitif tampak memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

c) Respon perilaku dan emosi terlihat gerakan tersentak– sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak, dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.

3) Ansietas berat

Pada fase ini individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja serta mengabaikan hal yang lain, dan respon yang muncul antara lain :

a) Respon fisiologis tampak nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, pengelihatan kabur, serta tampak tegang.

b) Respon kognitif tampak tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntunan, serta lapang persepsi menyempit.

22

c) Respon perilaku dan emosi tampak adanya perasaan terancam yang meningkat dan komunikasi terganggu (verbalisasi cepat).

4) Ansietas sangat berat / panik

Pada fase ini respon yang muncul antara lain :

a) Respon fisiologis tampak nafas pendek, rasa tercekek, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.

b) Respon kognitif terjadi gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi dan ketidakmampuan memahami situasi.

c) Respon perilaku dan emosi terlihat mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak – teriak, kehilangan kendali / kontrol diri, perasaan terancam serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

2.2.4 Faktor Pencetus Kecemasan

Menurut Stuart & Sundeen (2007), faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu : 1) Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan

fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari–hari guna pemenuhan kebutuhan dasarnya.

23

2) Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan.

Faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan meliputi : 1. Umur

Menurut Elisabeth, B.H, (1995 dalam Nursalam 2008), yaitu umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Pendapat lain mengemukakan bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat.

Menurut Long (1996 dalam Nursalam 2008), yaitu semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Semakin muda umur seseorang dalam menghadapi masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang.

2. Pendidikan

Pendidikan kesehatan merupakan usaha kegiatan untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan baik pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mencapai hidup secara

24

Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Jadi dapat di asumsikan bahwa faktor pendidikan sangat bepengaruh terhadap tingkat kecemasan seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan atau sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang terhadap kesehatannya.

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan (Nursalam 2008). 2.2.6 Dampak Kecemasan

Dampak yang paling umum dari kecemasan adalah rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun secara psikologis (Hawari, 2008). Kecemasan itu adalah suatu proses melelahkan karena memerlukan tenaga tubuh, sumber-sumber fisik dan psikologis (Rasmun, 2004). Dampak dari kecemasan terhadap integritas dan kesehatan seseorang adalah menurunnya daya tahan tubuh karena pada saat mengalami kecemasan maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).

2.2.7 Pengukuran Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan digunakan alat ukur kecemasan yang dikenal dengan Depression Anxiety Stress Scale

25

(DASS). Pengukuran skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi cemas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) antara 0-3, yang artinya adalah : nilai 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = lumayan sering, 3 = sering sekali. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu : total score 0-7 = tidak ada kecemasan, 8-9 = kecemasan ringan, 10-14 = kecemasan sedang, 15-19 = kecemasan berat, >20 = kecemasan sangat berat (Lovibond, 1995).

2.2.8 Hubungan Komunikasi Perawat dan Tingkat Kecemasan Keluarga. Dalam penelitian Khaerunisah (2009) tentang komunikasi perawat dinyatakan bahwa komunikasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecemasan pasien. Kemudian dalam penelitian Dhian (2003) tentang kecemasan keluarga dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan keluarga adalah komunikasi. Dilihat dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga.

Ansietas pada klien dan keluarga yang menjalani perawatan di ruang intensif terjadi karena adanya ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi dan harga diri, kegagalan membentuk pertahanan, perasaaan terisolasi dan takut mati.

26

dan keluarga salah satunya dapat melalui pemberian informasi dan penjelasan (Priyanto, 2009).

Pemberian informasi dan penjelasan ini dapat dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pelaksanaan komunikasi yang efektif. Bantuan kepada keluarga pada perasaannya amat penting untuk menghindari keterlambatan reaksi kedukaan dan depresi yang berlarut-larut. Perawat dapat memberi petunjuk pada keluarga untuk saling membantu dalam menangis dan membagi rasa takut dan kesedihannya. Refleksi perasaan atau aktif mendengar diperlukan untuk melalui keadaan ini. Oleh sebab itu perawat harus menerapkan tindakan “Caring” terhadap klien yang bertujuan untuk memberikan asuhan fisik dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu menghargai klien dengan menerima kelebihan maupun kekurangan klien sehingga bisa memberikan pelayanan kesehatan yang tepat (Priyanto, 2009).

Dokumen terkait