SKRIPSI
HUBUNGAN KOMUNIKASI PERAWAT TERHADAP TINGKAT KECEMASAN KELUARGA PADA PASIEN YANG DIRAWAT
DI RUANG INTENSIF RSUD KABUPATEN BULELENG
OLEH:
GEDE SUWANDRAYANA NIM. 1302115002
KEMENTERIAN KEPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
HUBUNGAN KOMUNIKASI PERAWAT TERHADAP TINGKAT KECEMASAN KELUARGA PADA PASIEN YANG DIRAWAT
DI RUANG INTENSIF RSUD KABUPATEN BULELENG
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH:
GEDE SUWANDRAYANA NIM. 1302115002
KEMENTERIAN KEPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
ii PE
Saya yang bertanda ta Nama
NIM Fakultas
Program Studi Menyatakan dengan benar hasil karya say
pikiran orang lain yan dikemudian hari dapa
maka saya bersedia m
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
tangan di bawah ini: : Gede Suwandrayana
: 1302115002 : Kedokteran
: Ilmu Keperawatan
n sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya saya sendiri, bukan merupakan pengambilaliha
ang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar , Fe Yang membua
( Gede Suw
ii
ya tulis ini benar-lihan tulisan atau
ya sendiri. Apabila lah hasil jiplakan,
Februari 2015 buat pernyataan,
ABSTRACT
Suwandrayana, Gede. 2015. The Relation Of Nursing Communications With Anxiety Level Of Taken Care Patient Family in Intensive Room RSUD
Kabupaten Buleleng. Final Assigment, Nursing Science Departement,
Medical Faculty, Udayana University of Denpasar, Adviser (1) Ns. Ni Made Dian Sulistiowati, SKep.,MKep.,Sp.Kep.J. (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.,MKes.
In professional nursing practice, nurse holds most responsibility to family and client. Research shows that families experience anxiety when family members treated in the intensive room, this is caused them often difficulty cooperates with nurse. It so happens because the implementation of ineffective communication or less well between nurses and patients and their families. This research was aimed to determine the relationship of nurse communication with family anxiety levels in patients hospitalized in the intensive room. This research used a cross sectional design withConsecutive Samplingtechniques, data analysis usingSpearman Rank Correlation statistical test with significance level p ≤ 0.05. Population was a family member of a family of patients treated in intensive room RSUD Kabupaten Buleleng of 40 people. Samples were obtained according to the inclusion criteria were 40 respondents. Independent variable is the communication of nurses and the dependent variable is the level of anxiety family. Data was collected using a questionnaire. The results showed that there was a significant relationship between nurse communication with family anxiety levels with p = 0.019 and the value of the Correlation Coefficient - 0.369 which means the direction of a negative correlation with the strength of weak ties. Future research is expected to have a more in-depth study on the implementation of nurse communication.
vii ABSTRAK
Suwandrayana, Gede. 2015. Hubungan Komunikasi Perawat Terhadap Tingkat Kecemasan Keluarga Pada Pasien Yang Dirawat di Ruang Intensif RSUD Kabupaten Buleleng. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ni Made Dian Sulistiowati, SKep.,MKep.,Sp.Kep.J. (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.,MKes.
Dalam peraktek keperawatan profesional perawat memegang tanggung jawab yang sangat besar terhadap pasien dan keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga mengalami kecemasan ketika anggota keluarganya dirawat di Ruang Intensif, ini disebabkan mereka sering kesulitan bekerja sama dengan perawat. Hal demikian terjadi karena pelaksanaan komunikasi yang tidak efektif atau kurang baik antara perawat dengan pasien dan keluarganya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga pada pasien yang dirawat di Ruang Intensif. Penelitian ini menggunakan rancangan Crossectional dengan teknik Consecutive Sampling, analisa data menggunakan uji statistikRank Spearman Correlationdengan derajat kemaknaan p ≤ 0,05. Populasi penelitian adalah keluarga pasien yang anggota keluarganya dirawat di ruang intensif RSUD Kabupaten Buleleng yang berjumlah 40 orang. Sampel yang didapatkan sesuai dengan kreteria inklusi adalah 40 responden. Variabel independennya adalah komunikasi perawat dan variabel dependennya adalah tingkat kecemasan keluarga. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga dengan nilai p = 0,019 dan nilai koefisien korelasi – 0,369 yang berarti arah hubungan negatif dengan kekuatan hubungan lemah. Penelitian mendatang diharapkan ada penelitian yang lebih mendalam tentang pelaksanaan komunikasi perawat.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Hubungan Komunikasi Perawat Terhadap Tingkat Kecemasan Keluarga Pada
Pasien Yang Dirawat Di Ruang Intensif RSUD Kabupaten Buleleng”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF. selaku Ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.
3. Ns. Ni Made Dian Sulistiowati, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep. J. sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes. sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini
tepat waktu.
5. dr. Gede Wiartana, M.Kes selaku Direktur RSUD Kabupaten Buleleng yang
vi
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, Pebruari 2015
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...…….i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...…….ii
HALAMAN PERSETUJUAN...…….iii
HALAMAN PENGESAHAN ...…….iv
KATA PENGANTAR ...…….v
ABSTRAK...…….vii
DAFTAR ISI...…….ix
DAFTAR TABEL ...…….xi
DAFTAR GAMBAR ...…….xii
DAFTAR LAMPIRAN ...…….xiii
DAFTAR SINGKATAN ...…….xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...……1
1.2 Rumusan Masalah...……5
1.3 Tujuan Penelitian ...……5
1.4 Manfaat Penelitian ...……6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Komunikasi……… 7
2.1.1 Pengertian Komunikasi………7
2.1.2 Jenis-Jenis Komunikasi……… …... 7
2.1.3 Unsur-UnsurKomunikasi……… ……14
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Komunikasi……… 15
2.2 Konsep Kecemasan.……….………....……... 18
2.2.1 Pengertian Kecemasan……… 18
2.2.2 Rentang Respon Cemas……… ….. 19
2.2.3 Tingkat Kecemasan…….……… …... 20
2.2.4 Faktor Pencetus Kecemasan……… 22
2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan……...……… 23
2.2.6 Dampak Kecemasan……… 24
2.2.7 Pengukuran Kecemasan…………..………24
2.2.8 Hubungan Komunikasi Perawat dan Tingkat Kecemasan Keluarga……….………25
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep...….. 27
3.2 Variabel Penelitian...….. 29
3.3 Definisi Operasional Penelitian ...….. 29
x
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ...….. 32
4.2 Kerangka Kerja ...….. 33
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian...….. 33
4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ...….. 34
4.5 Pengumpulan Data...….. 35
4.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data ...….. 37
4.7 Etika Penelitian ...….. 40
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian……… 42
5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian……… 42
5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian………44
5.1.3 HasilPengamatan……… ……47
5.1.4 HasilAnalisa Data………48
5.2 Pembahasan Penelitian.……….………....……... 49
5.3 Keterbatasan Penelitian.……….…...…………....……... 54
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...….. 55
6.2 Saran ...….. 55
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ... 29
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin…………... 44
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Umur Responden…………... 45
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden…………... 45
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden……... 46
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Hubungan Responden dengan Pasien………... 46
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Komunikasi Perawat………... 47
Tabel 5.7.Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan…………... 47
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Rentang Respon Adaptif dan Maladaptif………...….. 19 Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Penelitian……….. 26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian
Lampiran 2 : Anggaran Penelitian
Lampiran 3 : Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 5 : Form Pengumpulan Data
Lampiran 6 : Tabel Hasil Uji Instrumen Tingkat Kecemasan di Ruang Intensif
RSUD Kabupaten Buleleng
Lampiran 7 : Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Tingkat Kecemasan di Ruang Intensif
RSUD Kabupaten Buleleng
Lampiran 8 : Hasil Uji Validitas Instrumen Tingkat Kecemasan di Ruang Intensif RSUD Kabupaten Buleleng
Lampiran 9 : Master Tabel
Lampiran 10: Analisa Korelasi
Lampiran 11: Surat Ijin Penelitian dari KesBangPol dan Linmas Propinsi Bali
Lampiran 12: Surat Ijin Penelitian dari KesBangPol dan Linmas Kabupaten Buleleng
Lampiran 13: Surat Ijin Penelitian dari RSUD Kabupaten Buleleng
xiv
DAFTAR SINGKATAN
MRS : Masuk Rumah Sakit
DASS : Depression Anxiety Stress Scale
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
ICU : Intensive Care Unit
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik. Kecemasan adalah kebingungan, kekuatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas, dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. Kecemasan bersumber dari ancaman integritas biologis meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar dan ancaman terhadap keselamatan diri
(Suliswati, 2005).
Dampak dari kecemasan terhadap integritas dan kesehatan seseorang
adalah menurunnya daya tahan tubuh karena pada saat mengalami kecemasan maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek
menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).
Kecemasan dapat terjadi dimana saja dan pada siapa saja mulai dari kecemasan ringan sampai kecemasan tingkat berat (Suliswati, 2005).
Diperkirakan antara 2 - 4 % diantara penduduk di suatu saat dalam kehidupannya pernah mengalami gangguan kecemasan. Seseorang dapat
mengalami kecemasan apabila tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya (Hawari, 2008).
Perawat menggunakan kemampuan komunikasi terapeutik pada setiap
2
maupun non verbal. Dalam praktek keperawatan profesional perawat memegang tanggung jawab yang sangat besar, dimana perawat dituntut untuk melaksanakan
perannya selama 24 jam berada disamping pasien dan keluarganya (Taufik, 2010).
Pasien bersama keluarganya yang masuk rumah sakit (MRS) akan mengalami perasaan cemas atau yang sering disebut ansietas. Keluarga akan mengalami kecemasan dan disorganisasi perasaan ketika anggota keluarganya
MRS di Ruang Intensif, ini disebabkan mereka tidak mampu untuk membangun dukungan bagi pasien dan mereka sering terlihat kesulitan bekerjasama dengan
perawat. Hal ini menimbulkan kebingungan dan meningkatkan stress dan kemarahan dalam diri keluarga terhadap staf perawat. Sebenarnya hal demikian tidak akan terjadi apabila sejak dari pertama kali pasien MRS, perawat mampu
memberikan pengertian dan pendekatan yang terapeutik kepada pasien dan keluarganya yang diwujudkan dengan pelaksanaan komunikasi yang efektif
antara perawat dengan pasien dan keluarganya berupa komunikasi terapeutik baik komunikasi verbal maupun non verbal (Rahmat, 2006).
Kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan
salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit. Pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang diterima dari tenaga kesehatan.
Menurut SK No.660/Menkes/SK/IX/1987 yang dilengkapi SK Dirjen Yanmed Depkes RI No. YM.00.03.2.6.7637 tanggal 18 Agustus 1993 tentang Standar Praktek Keperawatan Kesehatan di Rumah Sakit serta SK No.
3
memenuhi kebutuhan dari komunikasi pasien adalah merupakan salah satu standar intervensi keperawatan.
Pada penelitian yang dilakukan Apriani (2008) di RSUD Bima didapatkan bahwa kepuasan pasien terhadap komunikasi perawat 54,2 % tidak puas, 16,7 %
cukup puas dan 29,1 % sangat puas. Kemudian pada penelitian Chandra A.P (2012) di RSUP Sanglah Denpasar juga di dapatkan hasil 26,7 % sangat baik, 53,3 % baik, 13,4 % cukup baik, kurang baik 3,3 % dan tidak baik 3,3 %.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Ruang Intensif di RSUD Kabupaten Buleleng pada bulan Oktober 2014, peneliti mengambil 5
sampel yaitu keluarga pasien untuk mengetahui komunikasi perawat baik verbal maupun non verbal serta tingkat kecemasan dengan cara wawancara dan didapatkan data 60% keluarga mengatakan tidak melihat perawat tersenyum,
40% mengatakan sering salah mengerti pembicaraan perawat dan 80% mengatakan takut dan khawatir dengan penyakit yang dialami keluarganya.
Berdasarkan hasil tersebut kecenderungan yang terjadi yaitu nampak pada hubungan interpersonal perawat dengan pasien dan keluarganya ditunjukkan dengan komunikasi antara perawat yang sering tidak terapeutik saat berinteraksi
dengan pasien dan keluarganya, ada beberapa keluhan pasien dan keluarganya terhadap pelayanan yang diberikan yang seharusnya bisa diatasi dengan
komunikasi terapeutik dari perawat.
4
kecemasan pada individu, dalam hal ini adalah komunikasi terapeutik perawat. Pada umumnya pasien yang dirawat di ruang intensif ini adalah dalam keadaan
mendadak dan tidak direncanakan, hal ini yang menyebabkan keluarga pasien datang dengan wajah yang sarat dengan bermacam-macam stressor yaitu
ketakutan akan kematian, ketidakpastian hasil, perubahan pola, kekhawatiran akan biaya perawatan, situasi dan keputusan antara hidup dan mati, rutinitas yang tidak beraturan, ketidakberdayaan untuk tetap atau selalu berada disamping
orang yang disayangi sehubungan dengan peraturan kunjungan yang ketat, tidak terbiasa dengan perlengkapan atau lingkungan di ruang intensif, personel atau
staf di ruang perawatan, dan rutinitas ruangan. Semua ini menyebabkan keluarga jatuh pada kondisi krisis dimana koping mekanisme yang digunakan menjadi tidak efektif dan perasaan menyerah atau apatis dan kecemasan akan
mendominasi perilaku keluarga. Dan pada saat demikian seharusnya perawat harus lebih “caring” terhadap keluarga pasien. Apabila hal ini terus berlanjut
maka keluarga pasien akan terus terpuruk dalam situasi yang semakin berat dan pada akhirnya asuhan keperawatan yang diberikan tidak akan tercapai dengan baik (Priyanto, 2009).
Dalam kaitan antara komunikasi perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien maka sangat diperlukan solusi – solusi yang dapat
meningkatkan keterampilan komunikasi perawat dan juga yang dapat menghilangkan berbagai hambatan – hambatan terhadap komunikasi yang dilaksanakan perawat. Keterampilan berkomunikasi bukan merupakan
5
tiba saat kita memerlukannya. Keterampilan tersebut harus dipelajari dan dilatih secara terus menerus melalui kemampuan belajar mandiri, penyegaran dan
pelatihan terutama berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan (Liliweri, 2007). Selain itu, faktor-faktor
penghambat komunikasi merupakan faktor yang dapat mengganggu atau sama sekali bisa membuat perawat tidak mampu berkomunikasi secara terapeutik. Solusi–solusi ini dapat dijadikan pilihan karena bertujuan membantu tenaga
kesehatan profesional (termasuk perawat) memperbaiki penampilan kerja guna memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas (Liliweri, 2007).
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan komunikasi perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien yang dirawat di Ruang Intensif RSUD Kabupaten Buleleng.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan
permasalahan pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara komunikasi perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien yang dirawat di Ruang Intensif RSUD Kabupaten Buleleng?”.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
6
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik responden yang memiliki anggota keluarga
dirawat di ruang intensif RSUD Kabupaten Buleleng
2. Mengidentifikasi komunikasi yang dilakukan perawat di ruang intensif
RSUD Kabupaten Buleleng.
3. Mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga dirawat di ruang intensif RSUD Kabupaten Buleleng.
4. Menganalisa hubungan antara komunikasi perawat dan tingkat kecemasan keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif RSUD Kabupaten
Buleleng.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis
1. Mengembangkan dan menambah wawasan di bidang pelayanan keperawatan profesional khususnya komunikasi perawat.
2. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dibidang komunikasi keperawatan.
1.4.2 Praktis
Diharapkan penelitian ini memberikan informasi kepada perawat di Ruang Intensif tentang pentingnya melakukan komunikasi oleh perawat kepada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Komunikasi 2.1.1 Pengertian komunikasi
Komunikasi adalah proses yang melibatkan seseorang untuk menggunakan tanda-tanda (alamiah atau universal) berupa simbol-simbol (berdasarkan perjanjian manusia) verbal atau non verbal yang disadari atau tidak disadari
yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap orang lain (Liliweri, 2007).
Menurut Potter dan Perry (2005), komunikasi adalah suatu proses ketika
individu sebagai komunikator mengalihkan rangsangan dalam bentuk lambang bahasa, atau gerak untuk mengubah tingkah laku individu yang lain (komunikan).
2.1.2Jenis-Jenis Komunikasi 1. Komunikasi verbal
A. Pengertian Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan melalui kata-kata, bicara atau tertulis (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012).
Komunikasi verbal adalah pertukaran informasi secara verbal terutama berbicara tatap muka dan komunikasi verbal adalah komunikasi yang
8
dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan
respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan
menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara
langsung. Menurut Priyanto (2009), komunikasi verbal yang efektif harus memenuhi syarat efektifitas yaitu :
1)Jelas dan ringkas
2)Perbendaharaan kata 3)Arti denotatif dan konotatif
4)Jeda dan kesempatan berbicara 5)Waktu dan relevansi
6)Humor
B. Faktor-Faktor Penting dalam Komunikasi Verbal
Faktor – factor penting dalam komunikasi verbal antara lain :
1) Penggunaan Bahasa
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan kata – kata yang jelas, ringkas dan sederhana. Kejelasan dalam memilih kata –
kata diperlukan agar tidak memiliki arti yang salah. Pesan yang ringkas menunjukkan informasi yang dikirim singkat dan tanpa
9
2) Kecepatan
Kecepatan dalam berbicara dapat mempengaruhi komunikasi verbal. Seseorang yang dalam keadaan cemas dan sibuk biasanya berbicara
dengan sangat cepat dan akan lupa untuk berhenti berbicara sehingga pendengar kesulitan dalam memproses pesan dan menyusun respon
yang diberikan. Komunikasi verbal dengan kecepatan yang sesuai akan memberikan kesempatan bagi pembicara untuk berpikir jernih tentang apa yang diucapkan dan juga dapat menjadi pendengar yang
baik (Priyanto, 2009). 3) Nada Suara.
Nada suara dapat menunjukkan gaya dan ekspresi yang digunakan dalam berbicara serta dapat mempengaruhi arti kata. Pengaruh berbicara dengan suara yang keras akan berbeda dengan suara yang
lemah lembut. Suara yang keras mungkin menunjukkan seseorang yang berbicara sedang terburu – buru, tidak sabar, sindiran tajam atau
marah. Sedangkan suara yang rendah sampai tak terdengar mungkin menunjukkan sikap acuh tak acuh (Priyanto, 2009).
2. Komunikasi Non Verbal
A. Pengertian Komunikasi Non Verbal
Menurut Priyanto (2009) komunikasi non verbal merupakan
10
kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan
nonverbal yang disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat nonverbal menambah arti
terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.
Menurut Priyanto (2009), komunikasi nonverbal dapat diamati pada : 1) Metakomunikasi
2) Penampilan personal
3) Intonasi (nada suara) dan ekspresi wajah 4) Sikap tubuh dan langkah
5) Sentuhan
B. Klasifikasi Komunikasi Non Verbal 1) Ekspresi wajah
Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar yang penting dalam menentukan pendapat interpersonal. Ada enam emosi utama
yang tampak melalui ekspresi wajah yaitu terkejut, takut, marah, jijik, senang dan sedih (Priyanto, 2009). Dua implikasi yang penting untuk tenaga perawat adalah membuat klien lebih sering tersenyum dapat
membuat mereka merasa lebih baik dan belajar untuk menekan ekspresi wajah pada saat mengalami stres mungkin menurunkan
11
2) Gesture (gerak, isyarat, sikap)
Isyarat tangan dapat menunjukan seseorang sedang mengalami cemas atau tidak sabar. Kaki diseret dan kegelisahan menunjukan
keinginan seseorang untuk lari. Posisi tubuh menunjukan seseorang bersikap terbuka pada orang lain. Menganggukan kepala atau
menggelengkan kepala menunjukan komunikasi tertentu. Sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik sehingga dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik (Taufik, 2010).
Respon tingkah laku yang digunakan untuk menilai seseorang hangat atau dingin yaitu seseorang yang hangat dapat ditandai dengan
posturnya yang mengarah kepada orang lain, tersenyum dan kontak mata langsung. Sedangkan seseorang yang dianggap dingin adalah seseorang dengan tingkah laku postur membungkuk, melihat
sekeliling ruangan, mengetuk tangan di meja dan tidak tersenyum (Taufik, 2010).
3) Gerak mata (kontak mata)
Diartikan sebagai melihat langsung ke mata orang lain. Empat fungsi tatapan yaitu mengatur aliran komunikasi, monitor umpan
balik, ekspresikan emosi, mengkomunikasikan hubungan interpersonal yang alami. Sedangkan efek negatif dari tatapan yaitu
12
4) Kualitas suara
Terdiri dari resonansi yaitu intensitas suara mengisi ruang. Irama yaitu aliran, kecepatan dan gerakan suara. Pitch, meninggi atau
merendahnya suara. Kecepatan, berapa cepat suara digunakan. Volume, kekerasan suara. Inflection, perubahan dalam tinggi atau
rendahnya atau volume dari suara. Seseorang yang suaranya meningkat dalam hal kekerasannya,warna nada dan kecepatan bicaranya sering dianggap orang lain sebagai orang yang aktif dan
dinamis. Orang dengan intonasi dan volume suara yang besar dan lancar dianggap meyakinkan (Potter & Perry, 2005).
5) Vokal tanpa bahasa (non language vocalizations)
Vokal tanpa bahasa (non language vocalizations) adalah suara tanpa adanya struktur linguistik. Misalnya sedu sedan, tertawa,
mendengkur, mengerang, merintih, hembusan nafas yang menunjukkan takut, nyeri atau kaget, nafas panjang atau keluh kesah
yang menunjukkan keengganan untuk melakukan sesuatu (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012).
6) Proxemics
Proxiemics adalah ilmu yang mempelajari tentang jarak
hubungan dalam interaksi sosial. Proxemics meliputi dua dimensi
13
Tidak boleh seseorang memaksa masuk kedalam area tersebut.
Pemaksaan masuk ke area yang pribadi yang tidak diharapkan dari seseorang akan menimbulkan rasa tidak nyaman, gelisah, dan
perasaan negatif lain (Taufik, 2010).
Empat jarak interaksi antara lain jarak intim (sampai dengan 45 cm), jarak personal (45 cm sampai 120 cm) untuk interaksi dengan
seseorang yang telah dikenal, jarak sosial (120 cm sampai 3,5 meter) untuk interaksi mengenai suatu urusan tetapi bukan orang khusus atau
tertentu, jarak publik (lebih dari 3,5 meter) untuk pembicaraan formal (Taufik, 2010).
7) Sentuhan
Sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, sentuhan juga dapat menimbulkan reaksi positif atau negatif
tergantung dari orang yang terlibat dan lingkungan sekililing interaksi tersebut. Komunikasi sentuhan adalah bentuk yang paling dasar dan
primitif dari komunikasi. Sentuhan penting dilakukan pada situasi emosional. Sentuhan dapat menunjukan arti ”saya peduli” Meskipun begitu, sangat perlu bagi perawat untuk memahami siapa, kapan dan
mengapa sentuhan dilakukan, karena komunikasi non verbal ini mempunyai efek yang berlainan pada setiap individu. Sentuhan dapat
14
2.1.3Unsur-Unsur Komunikasi
Menurut Liliweri (2007) komunikasi sebagai suatu aktivitas meliputi beberapa unsur yaitu :
a. Pengirim (sender) atau sumber (resource) adalah individu, kelompok, atau organisasi berperan untuk mengalihkan (transferring) pesan.
b. Encoding adalah pengalihan gagasan ke dalam pesan.
c. Pesan (message) adalah gagasan yang dinyatakan oleh pengirim kepada orang lain.
d. Saluran (media) adalah media dari komunikasi, merupakan tempat dimana sumber menyalurkan pesan kepada penerima, misalnya melalui
gelombang suara, cahaya, atau halaman cetakan dll. e. Decoding adalah pengalihan pesan kedalam gagasan.
f. Penerima (receiver) adalah individu atau kelompok yang menerima
pesan.
g. Umpan balik (feed back) adalah reaksi terhadap pesan.
h. Gangguan (noise) adalah efek internal atau eksternal akibat dari peralihan pesan.
i. Bidang pengalihan (field of experience) adalah bidang atau ruang yang
menjadi latar belakang informasi dari pengirim maupun penerima.
j. Pertukaran makna (shared meaning) adalah bidang atau ruang pertemuan
(tumpang tindih) yang tercipta karena kebersamaan.
15
2.1.4Faktor Yang Mempengaruhi Proses Komunikasi
Menurut Potter & Perry (2005) proses komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Perkembangan
Agar dapat berkomunikasi efektif dengan seseorang perawat harus mengerti
pengaruh perkembangan usia baik dari sisi bahasa, maupun proses berpikir dari orang tersebut. Adalah berbeda cara berkomunikasi anak usia remaja dengan anak usia balita. Kepada remaja, anda barangkali perlu belajar bahasa ”gaul” mereka sehingga remaja yang kita ajak bicara akan merasa
kita mengerti mereka dan komunikasi diharapkan akan lancar.
2. Persepsi
Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman. Perbedaan
persepsi dapat mengakibatkan terhambatnya komunikasi. Misalnya kata-kata virus mempunyai perbedaan persepsi pada seorang ahli komputer
dengan seorang dokter. 3. Nilai
Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi
perawat untuk menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha untuk mengetahui dan mengklarifikasi nilai sehingga dapat membuat keputusan
16
merupakan perbuatan dosa sementara perawat memandang bahwa abortus
merupakan tindakan dosa. Hal ini dapat menyebabkan konflik antara perawat dan klien.
4. Latar belakang sosial budaya
Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya.
Budaya juga akan membatasi cara bertindak dan berkomunikasi. Seorang remaja putri ingin membeli makanan khas disuatu daerah. Remaja tersebut berasal dari daerah lain. Pada saat membeli makanan tersebut, si remaja
tiba-tiba menjadi pucat ketakutan karena si penjual menanyakan padanya berapa banyak cabe merah yang dibutukan untuk campuran makanan yang
akan diberikan. Apa yang terjadi ? Si remaja tersebut merasa dimarahi oleh si penjual karena cara menanyakan cabe itu seperti membentak bagi si remaja putri padahal si penjual merasa tidak memarahi remaja tersebut. Hal
ini dikarenakan budaya dan logat bicara si penjual yang memang tegas dan keras sehingga terkesan marah-marah bagi orang dengan latar budaya yang
berbeda. 5. Emosi
Merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti
marah, sedih dan senang akan mempengaruhi perawat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perawat perlu mengkaji emosi klien dan
17
pada dirinya agar dalam melakukan asuhan keperawatan tidak terpengaruh
oleh emosi bawah sadarnya. 6. Jenis kelamin
Setiap jenis kelamin mempunyai gaya komunikasi yang berbeda. Dari usia tiga tahun wanita bermain dengan teman baiknya atau dalam group kecil
dan menggunakan bahasa untuk mencari kejelasan, meminimalkan perbedaan, serta membangun dan mendukung keintiman. Di lain pihak, laki-laki menggunakan bahasa untuk mendapatkan kemandirian dari
aktifitas dalam group yang lebih besar, dimana jika mereka ingin berteman, maka mereka melakukannya dengan bermain.
7. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang yang tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon pertanyaan
yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Perawat perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga
perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada klien.
8. Peran dan hubungan
Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang berkomunikasi. Cara komunikasi seorang perawat dengan koleganya,
18
9. Lingkungan
Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana yang bising, tidak ada privacy yang tepat akan menimbulkan
kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan. Misalnya berpacaran di pasar tentunya tidak nyaman. Untuk itulah perawat perlu menyiapkan lingkungan
yang tepat dan nyaman sebelum memulai interaksi dengan klien. 10.Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu dapat menyediakan
rasa aman dan kontrol. Misalnya individu yang merasa terancam ketika seseorang tidak dikenal tiba-tiba berada pada jarak yang sangat dekat
dengan dirinya. Hal itu juga yang dialami klien saat pertama kali berinteraksi dengan perawat. Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tepat pada saat melakukan hubungan dengan klien.
2.2 Konsep Kecemasan 2.2.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan
19
Kecemasan merupakan gangguan alam perasaan (affective) yang
ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (masih baik),
kepribadian tetap utuh dan prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari, 2008).
2.2.2 Rentang Respon Cemas
Stuart dan Sundeen (2007) mengatakan rentang respon individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif seperti :
Adaptif Maladaptif
[image:34.610.158.502.359.424.2]Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Gambar 2.1. Rentang respon adaptif dan maladaptif
Menurut Stuart & Sundeen (2007) koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Mekanisme
koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu : 1) Mekanisme Koping Adaptif
Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif,
20
2) Mekanisme Koping Maladaptif
Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan dan menghindar.
2.2.3 Tingkat Kecemasan
Menurut Suliswati (2005), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan yaitu :
1) Ansietas ringan
Pada fase ini pasien akan merasa :
a) Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari.
b) Kewaspadaan meningkat.
c) Persepsi terhadap lingkungan meningkat.
d) Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan
menghasilkan kreativitas.
e) Respon kognitif tampak mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan
masalah secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan.
21
2) Ansietas sedang
Pada fase ini akan muncul respon sebagai berikut :
a) Respon fisiologis terlihat sering nafas pendek, tekanan
darah meningkat, mulut kering, anoreksia, sakit kepala, letih dan sering berkemih.
b) Respon kognitif tampak memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak
mampu diterima.
c) Respon perilaku dan emosi terlihat gerakan tersentak–
sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak, dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.
3) Ansietas berat
Pada fase ini individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja serta mengabaikan hal yang lain, dan respon yang muncul
antara lain :
a) Respon fisiologis tampak nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, pengelihatan
kabur, serta tampak tegang.
b) Respon kognitif tampak tidak mampu berfikir berat lagi
22
c) Respon perilaku dan emosi tampak adanya perasaan
terancam yang meningkat dan komunikasi terganggu (verbalisasi cepat).
4) Ansietas sangat berat / panik
Pada fase ini respon yang muncul antara lain :
a) Respon fisiologis tampak nafas pendek, rasa tercekek, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.
b) Respon kognitif terjadi gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami
distorsi dan ketidakmampuan memahami situasi.
c) Respon perilaku dan emosi terlihat mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak – teriak, kehilangan kendali / kontrol
diri, perasaan terancam serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.
2.2.4 Faktor Pencetus Kecemasan
Menurut Stuart & Sundeen (2007), faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor
internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu :
23
2) Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat
mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.
2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan.
Faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan meliputi : 1. Umur
Menurut Elisabeth, B.H, (1995 dalam Nursalam 2008), yaitu umur
adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Pendapat lain mengemukakan bahwa semakin cukup
umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat.
Menurut Long (1996 dalam Nursalam 2008), yaitu semakin tua umur
seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Semakin muda umur seseorang dalam
menghadapi masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang.
2. Pendidikan
Pendidikan kesehatan merupakan usaha kegiatan untuk membantu
24
Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi,
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Jadi dapat di asumsikan bahwa faktor pendidikan sangat bepengaruh terhadap tingkat
kecemasan seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan atau sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang terhadap
kesehatannya. 3. Pekerjaan
Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah
yang membosankan, berulang dan banyak tantangan (Nursalam 2008). 2.2.6 Dampak Kecemasan
Dampak yang paling umum dari kecemasan adalah rasa tidak nyaman
baik secara fisik maupun secara psikologis (Hawari, 2008). Kecemasan itu adalah suatu proses melelahkan karena memerlukan tenaga tubuh,
sumber-sumber fisik dan psikologis (Rasmun, 2004). Dampak dari kecemasan terhadap integritas dan kesehatan seseorang adalah menurunnya daya tahan tubuh karena pada saat mengalami kecemasan
maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).
2.2.7 Pengukuran Kecemasan
25
(DASS). Pengukuran skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot
rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi cemas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan.
Masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) antara 0-3, yang artinya adalah : nilai 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = lumayan sering, 3
= sering sekali. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu : total score 0-7 = tidak ada kecemasan, 8-9 =
kecemasan ringan, 10-14 = kecemasan sedang, 15-19 = kecemasan berat, >20 = kecemasan sangat berat (Lovibond, 1995).
2.2.8 Hubungan Komunikasi Perawat dan Tingkat Kecemasan Keluarga. Dalam penelitian Khaerunisah (2009) tentang komunikasi perawat dinyatakan bahwa komunikasi memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kecemasan pasien. Kemudian dalam penelitian Dhian (2003) tentang kecemasan keluarga dinyatakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kecemasan keluarga adalah komunikasi. Dilihat dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga.
Ansietas pada klien dan keluarga yang menjalani perawatan di ruang intensif terjadi karena adanya ancaman ketidakberdayaan,
26
dan keluarga salah satunya dapat melalui pemberian informasi dan
penjelasan (Priyanto, 2009).
Pemberian informasi dan penjelasan ini dapat dilakukan dengan
baik apabila didukung oleh pelaksanaan komunikasi yang efektif. Bantuan kepada keluarga pada perasaannya amat penting untuk
menghindari keterlambatan reaksi kedukaan dan depresi yang berlarut-larut. Perawat dapat memberi petunjuk pada keluarga untuk saling membantu dalam menangis dan membagi rasa takut dan kesedihannya.
Refleksi perasaan atau aktif mendengar diperlukan untuk melalui keadaan ini. Oleh sebab itu perawat harus menerapkan tindakan “Caring” terhadap klien yang bertujuan untuk memberikan asuhan fisik
dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri
individu, artinya dalam melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu menghargai klien dengan menerima kelebihan maupun