• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA

2.2. Konsep Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan

2.2.1. Definisi

Menurut Newman (1968 dalam Marquis & Houston, 2003) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata karma birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain kearah tercapainya suatu tujuan tertentu.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Karena posisi manajemn terdiri atas tingkatan yang biasanya menggambarkan otoritas, seorang individu bisa mengasumsikan suatu peran kepemimpinan sebagai akibat dari posisi yang ia pegang pada organisasi tersebut (Robbins, 2008).

Kepemimpinan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, yang mempunyai peran penting dalam rangka proses administrasi. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa peran seorang pemimpin merupakan implementasi atau penjabaran dari fungsi kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan merupakan salah satu di antara peran administrator dalam rangka mempengaruhi orang lain atau para bawahan agar mau dengan senang hati untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Marquis & Houston, 2003).

Gaya kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis (1995 dalam Usman, 2010). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.

Hersey dan Blanchard (1992 dalam Usman, 2010) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.

2.2.2. Macam-Macam Gaya Kepemimpinan

Ada beberapa gaya kepemimpinan yang ditawarkan oleh Bass (1985) yaitu Transformasional dan Transaksional

a. Kepemimpinan Transformasional (

Transformational Leadership)

Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.

Burns (1978 dalam Usman, 2010) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas- tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.

Burns (dalam Bass,1985) menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of

transformational leadership involve strongpersonal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Pemimpin transformasional merupakan pemimpin

organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus

mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan

bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih

tinggi dari pada apa yangmereka butuhkan.

Bass dan Avolio (1990) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".

Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang

membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus

mempercayainya.

Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.

Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.

Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan- kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relative baru (Bass dan Avolio, 1990)

Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi Weber (1947 dalam Usman, 2010). Bryman (1992 dalam Usman 2010),menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership).

Sarros dan Butchatsky (1996 dalam Usman, 2010) menyebutnya sebagai

pemimpin penerobos (breakthrough leadership).Lebih lanjut Sarros dan

Butchatsky menyatakan, disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan

mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.

Avolio dan Bass (1985) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal:

Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja (Bass, 1985)

Kedua, pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan

agar mereka juga menjadi pemimpin. Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga ciri kepemimpinan transformasional yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan transformasional terdiri dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual (Bass & Stogdill, 1990).

Karismatik menurut Yukl (1994) merupakan kekuatan pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya

dikatakan kepemimpinan karismatik dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra karena mereka menyukai pemimpinnya.

Inspirasional, perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl dan Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.

Stimulasi Intelektual, menurut Yukl (1998) stimulasi intelektual

merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui perspektif baru.

Hater dan Bass (1998) menjelaskan bahwa melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap masalah-masalah lama. Melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong untuk berpikir mengenai system nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang. Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan.

Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass (1990) bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin

yang dapat memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.

Perhatian secara Individual, perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.

Heater dan Bass (1998) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992 dalam Usman 2010) bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya

atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan.

Bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.

b. Kepemimpinan Transaksional

Menurut Burns (1978 dalam Bass 1985) pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by-exception dan laissez faire.

Pada contingent reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena

tugas telah dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau

fasilitas. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk

bawahan terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin betransaksi dengan

bawahan, dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan,

menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang kemungkinan mempengaruhi

terjadinyakesalahan (Hughes, Ginnett, & Curphy, 2002).

Management by-exception menekankan fungsi managemen sebagai

kontrol. Pimpinan hanya melihat dan mengevaluasi apakah terjadi kesalahan

untuk diadakan koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan apabila

mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan dan menindaklanjuti dengan memberikan apakah bawahan dapat berupa pujian untuk membesarkan hati bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat bawahan memenuhi standar (Northouse, 2004).

Menurut Bycio dan kolega. (1995 dalam Bass 1985) kepemimpinan

transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin

menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Sedangkan laisssez-

Pemimpin laissez faire menurut Sondang (2010 Marquis & Houston, 2003) dapat dilihat dari karakteristik kepemimpinan yang digunakannya, misalnya dalam pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif, pengambilan keputusan faire, tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpiann otoriter, jika dilihat dari segi perilaku ternyata tipe kepemimpinan ini cenderung didominasi oleh perilaku kepemimpinan kompromi dan perilaku kepemimpinan pembelot. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas dan kerjasama diserahkan kepada bawahannya, tanpa petunjuk dari pimpinan.. Dengan demikian, dalam kepemimpinan ini akan mudah terjadi kekacauan dan tingkat keberhasilan organisasi yang dipimpin dengan gaya laissez faire semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa bawahan bukan karena pengaruh dari pimpinannya (Usman, 2010).

diserahkan kepada pemimpin yang lebih rendah dan para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya tidak terganggu, status quo organisasional tidak terganggu, penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada para bawahan, selama bawahan menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pemimpin dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.

Peneliti berusaha menuangkan beberapa hasil penelitian yang terkait

perilaku caring dan gaya kepemimpinan untuk mendukung penelitian ini

Penelitian caring antara staf dan manajer Duffy (1993) menemukan hubungan positif antara perilaku caring dan perawat manajer kepuasan kerja perawat. Penelitian Duffy juga mengungkapkan bahwa praktek lingkungan, yang diciptakan oleh manajer keperawatan mempengaruhi praktek keperawatan..

Nyberg (1992) dalam penelitiannya ditemukan caring

atribut manajer meliputi perilaku seperti komitmen, diri. Smith (1992) menemukan bahwa manajer keperawatan berpikir bahwa mereka menggunakan perilaku caring dalam kepemimpinannya tapi mereka menyadari tidak mampu menggunakannya dalam praktek mereka

Longo & Christine (2006), melakukan penelitian 99 Resgitered nurse

menemukan ada pengaruh perilaku caring manajer dengan kepuasaan kerja

perawat.

.

Berbagai bentuk hubungan dan implikasi dari kepemimpinan transaksional dan transformasional, Al-Mailam (2004) dalam penelititiannya

menemukan karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinan transformasional merasa pemimpin mereka lebih efektif dibandingkan dengan karyawan yang bekerja bagi pemimpin transaksional.

Kepemimpinan adalah aspek yang paling penting dari caring kepala

ruangan kegiatan (Fox et al. 1999). Lebih lanjut Fox dan kolega menjelaskan dalam penelitianya dampak waktu kepala ruangan dikhususkan untuk kepemimpinan produktivitas personil unit. Mereka menyimpulkan bahwa bahwa keterlibatan dalam kepemimpinan memberikan kontribusi besar terhadap produktivitas unit. Namun, temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa perawat kepala menghabiskan rata-rata hanya 10% dari waktu mereka pada pengarahan, coaching, dan mentoring staf secara individual dan kolektif, dan menunjukkan proaktif perilaku.

Malloy dan Penprase (2010) dalam penelitiannya menemukan a Duffield dan Lumby, (1994) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepala ruangan lebih banyak menghabiskan waktu dalam merawat pasien daripada memfasilitasi caring staf mereka.

da hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja psikososial. Implikasi bagi manajemen keperawatan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akan terjadi perbaikan dalam keperawatan psikososial

lingkungan kerja dengan pelaksanaan transformasional dan perilaku

Dokumen terkait