KAJIAN PUSTAKA
2.2 Model dan Konsep Keseimbangan Lingkugan Termal Perkotaan
2.2.2 Konsep Keseimbangan Lingkungan Termal Perkotaan
2.2.2 Konsep Keseimbangan Lingkungan Termal Perkotaan
Dari sudut pandang iklim, penggunaaan ruang perkotaan yang berlebihan dapat merusak alam dan ruang yang terbangun seperti penyimpanan panas yang berlebihan dan konsentrasi tinggi pada polusi udara (Liangmei, 2008). Dalam hal ini dapat menciptakan perilaku lingungan termal di perkotaan. Perilaku termal tersebut dapat digambarkan sebagai suatu kondisi lingkungan termal di perkotaan. Menurut pendapat Nunez & Oke (1977) banyak faktor yang dapat mempengaruhi kondisi termal di suatu perkotaan. Faktor tersebut antara lain: mulai dari cuaca, skala iklim meso seluruh kota, skala iklim mikro yang dibentuk oleh fitur-fitur lansekap yang ada di perkotaan dan pedesaan. Karakteristik fisik dan fitur tersebut seperti penutup lahan, situs/kawasan, jarak dan dimensi bangunan, jalan dan pohon, serta faktor lain seperti kegiatan aktifitas manusia dan kondisi arus lalu lintas kendaraan (Gambar 2.7).
33
Gambar 2.7 Perilaku Termal dan Karakteristik kondisi iklim mikro perkotaan-pedesaan (Oke, 1977 dalam Adebayo, 1988)
Gambar 2.7 juga menggambarkan bagaimana terjadinya perpindahan panas antara elemen penutup lahan perkotaan maupun pedesaan, seperti perpindahan panas secara radiasi dan konveksi. Elemen iklim yang dipertimbangkan berupa radiasi matahari dan kecepatan angin. Dapat dilihat dengan adanya proses penyerapan dan pemantulan radiasi gelombang pendek dari layout dan ukuran bangunan, peningkatan sensible heat storage dari konstruksi material, dan peningkatan penguapan dari vegetasi serta peningkatan panas antropogenik dari bangunan.
Selain perilaku termal dan karakteristik kondisi iklim mikro perkotaan di atas, Markus & Morris (1980) membuat model sistem lingkungan termal perkotaan. Dalam hal ini, lingkungan termal perkotaan dilihat secara umum dengan memperhatikan faktor iklim mikro (temperatur, kelembaban, angin, dan radiasi matahari) yang merupakan sumber lingkungan (resource environment), bangunan, jalan, vegetasi dan lain-lain (urban shelter), dan human system berupa kegiatan aktivitas manusia yang akhirnya bisa menimbulkan polusi di perkotaan (Gambar 2.8).
34
Gambar 2.8 Sistem lingkugan termal pada suatu perkotaan (Diadaptasi dari Markus & Morris, 1980)
Gambar 2.8 mendeskripsikan suatu proses sistem lingkungan termal perkotaan disatu kondisi lingkugan perkotaan. Terdapat dua kondisi lingkungan perkotaan, yaitu sebagai berikut:
1. Lingkungan pertama, di mana kondisi iklim mikro perkotaan merupakan sumber lingkungan (resource environment) dapat dianggap sebagai sistem tempat tinggal perkotaan (urban shelter sytem) terdiri dari bangunan-bangunan, jalan, vegetasi, dan lain-lain. Sistem tersebut menghasilkan bentuk lingkungan perkotaan yang harus dikontrol (controlled environment) dengan modifikasi iklim mikro perkotaan.
2. Lingkungan kedua, di mana iklim mikro perkotaan yang dimodifikasi merupakan sumber lingkungan (resource environment). Manusia (human system) dalam lingkungan perkotaan tersebut tidak hanya memodifikasi iklim mikro pada bangunan tempat tinggal mereka saja, melainkan mencakup satu kota melalui adanya kegiatan manusia, seperti bekerja, melakukan perjalanan,
A point in an urban agglomertaion
35
shoping, aktivitas sosial, dan lain-lain. Aktivitas manusia tersebut merupakan lingkungan yang harus dikontrol (controlled environment).
Dari kedua lingkungan tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Lingkungan yang dikontrol yang merupakan output pada kondisi pertama menjadi input atau sumber lingkungan pada kondisi kedua. Sebaliknya manusia (human system) yang ada di kondisi kedua mencoba memodifikasi kondisi iklim mikro perkotaan dengan cara mereka beraktifitas tersebut sehingga dapat menimbulkan polusi udara pada kondisi lingkungan pertama. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem termal perkotaan dapat terjadi akibat adanya interaksi antara komponen-komponen yang ada di suatu kota, antara lain:
1. Sumber lingkungan (resource environment) berupa kondisi iklim perkotaan. 2. Komponen perkotaan (urban shelter) seperti bangunan-bangunan, jalan,
vegetasi, dan lain-lain.
3. Manusia sebagai pengguna kota (human system). 4. Komponen lain seperti polusi.
Krishan dkk (2001) menunjukkan pemahaman mengenai keseimbangan lingkungan termal yang terjadi di perkotaan dan pedesaan. Komponen sistem lingkungan termal tersebut terdiri dari iklim, benda buatan manusia dan fitur alami. Dalam sistem termal ini terjadi perpindahan panas antara komponen-komponen dari sistem tersebut. Gambar 2.9 menunjukkan keseimbangan panas permukaan di perkotaan dan pedesaan.
Dari Gambar 2.9 dapat dipahami bahwa perpindahan panas yang terjadi antara komponen-komponen sistem tersebut berupa radiasi, konveksi dan konduksi. Diindikasi dengan adanya elemen iklim perkotaan berupa radiasi matahari, aliran angin, dan adanya perpindahan dalam tanah. Sistem termal perkotaan ini hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Oke (1977). Tetapi, Krishan dkk (2001) selain mengamati perpindahan panas pada siang hari, juga mengamatinya pada malam hari. Pada siang hari, pancaran radiasi matahari mengenai seluruh komponen perkotaan disertai dengan adanya aliran angin, pada saat ini lah terjadinya perpindahan panas berupa radiasi dan konveksi. Kemudian saat malam hari, terjadi lagi proses perpindahan panas. Dari panas yang terserap pada siang hari mulai dilepaskan ke alam, begitu pun prose selanjutnya.
36
Gambar 2.9 Diagram skematik keseimbangan panas permukaan perkotaan dan pedesaan (Krishan dkk, 2001)
Selanjutnya Zhao dkk (2011) melakukan penelitian di pusat kota Beijing dengan memilih sebelas site, yang mewakili morfologi perkotaan yang berbeda, digunakan untuk mensimulasikan efek pulau panas dan mengeksplorasi hubungan antara indikator perencanaan kota dan indikator iklim, seperti suhu permukaan minimum dan maksimum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara indikator perencanaan kota yang digunakan di Cina dan indikator iklim perkotaan. Indikator perencanaan kota biasanya ditentukan dalam perencanaan awal, dan berfungsi sebagai dasar untuk semua perencanaan dan proses desain. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: rasio luas
37
bangunan, kepadatan bangunan, batas tinggi bangunan, rasio ruang hijau, rasio cover hijau, dan parameter untuk jarak antara bangunan (Gambar 2.10).
Gambar 2.10 Skema representasi dari radiasi dan aliran energi pada lansekap pedesaan dan perkotaan pada hari yang cerah. Lebar panah mendekati ukuran relatif dari aliran (Zhao dkk, 2011)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator perencanaan skala meso kota dapat menjelaskan sebagian besar perbedaan iklim perkotaan antara site. Selain itu, proporsi tutupan lahan diidentifikasi sebagai indikator perencanaan perkotaan yang paling penting yang mempengaruhi panas perkotaan.
Dari keempat pendapat di atas yaitu Oke (1977), Markus & Morris (1980), Krishan dkk (2001) dan Zhao dkk (2011) mendeskripsikan kondisi lingkungan termal perkotaan terdiri dari beberapa komponen, antara lain elemen iklim perkotaan, lingkungan binaan (built environment), bentuk perpindahan panas yang terjadi dan komponen lainnya di perkotaan (Tabel 2.4).
38 Tabel 2.4 Lingkungan Termal Perkotaan
Oke (1977) Markus&Morris (1980) Krishan dkk (2001) Zhao dkk (2011) Elemen iklim Radiasi matahari Angin Aliran angin Temperatur Radiasi matahari Arah angin
Radiasi matahari Temperatur Angin
Radiasi matahari Lingku-ngan Binaan Perkotaan Bangunan Pohon Rumput Perkotaan Bangunan Vegetasi Jalan Perkotaan Lanskape Selubung bangunan Penutup lahan di perkotaan Bangunan Ruang hijau Lingkung an alami Pedesaan Pohon Rumput - Pedesaan
Lanskape Pohon Pedesaan
Kompo-nen lainnya Manusia Aktivitas Polusi Manusia Aktivitas Polusi - - Bentuk perpin-dahan panas Radiasi
Konveksi Radiasi Konveksi Radiasi Konveksi
Konduksi
Radiasi
Tabel 2.4 menggambarkan persamaan dan perbedaan tentang lingkungan termal perkotaan dari beberapa peneliti. Pada dasarnya penelitian yang dilakukan oleh Oke, Krishan dan Zhao tentang sistem lingkungan termal perkotaan adalah sama, yaitu keseimbangan lingkungan termal perkotaan ditinjau dari perhitungan energi permukaan perkotaan (budget energy surface) dengan melakukan pengukuran temperatur di lapangan pada site yang telah ditentukan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Markus & Morris lebih mendeskripsikan tentang sistem dari lingkungan termal perkotaan secara umum. Lingkungan termal perkotaan dipengaruhi dengan adanya interaksi antara iklim perkotaan, komponen kota (urban shelter), manusia sebagai pengguna kota (human system) dan komponen lainnya seperti polusi.
Pada penelitian ini konsep keseimbangan lingkungan termal perkotaan dapat dijelaskan dari pemahaman iklim mikro perkotaan dengan melihat perubahan fluktuasi pergerakan (24 jam) dari temperatur udara, kelembaban, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Dari pemahaman iklim mikro tersebut, sehingga dapat dijelaskan bagaimana pengaruhi komposisi dan konfigurasi lansekap ruang kota serta pembayangan yang dihasilkan dari
39
komponen dan konfigurasi lansekap ruang kota tersebut terhadap sistem lingkungan termal perkotaan. Di mana lingkungan termal perkotaan tersebut akan dievaluasikan dan dinilai dengan konsep kenyamanan termal ruang luar, sehingga didapat pengaruh lansekap ruang kota terhadap sistem lingkungan termal perkotaan di daerah tropis lembab.