• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Konsep dan Teor

2.1.5. Konsep Kinerja Perekonomian Daerah

Kinerja perekonomian daerah menggambarkan kondisi perekonomian daerah yang tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan analisis makroekonomi dalam sistem ekonomi tertutup untuk melihat hubungan ekonomi regional dengan keuangan daerah. Kondisi perekonomian suatu daerah tercermin dalam PDRB. Asumsi perekonomian tertutup yaitu suatu negara atau daerah tidak melakukan perdagangan dengan negara atau daerah lain yang memiliki tiga penggunaan untuk barang dan jasa yang dihasilkannya. Menurut Mankiw (2003), tiga komponen PDRB ditunjukkan dengan identitas pos pendapatan, sebagai berikut :

Y = C + I + G ...(2.1) Y = PDRB = C + I + G ...(2.2) dimana :

C : Pengeluaran untuk konsumsi I : Pengeluaran untuk investasi G : Pengeluaran pemerintah

Berdasarkan model di atas, rumah tangga memiliki arti sebagai output perekonomian. Perusahaan dan rumah tangga menggunakan sebagai output untuk investasi dan pemerintah membeli sebagian output untuk kepentingan publik.

15

Oleh sebab itu, di dalam perekonomian tertutup PDRB dialokasikan di antara ketiga penggunaan tersebut.

2.1.5.1. Konsumsi Rumah Tangga

Menurut Mankiw (2003) menyatakan bahwa konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan nasional/daerah. Tingkat konsumsi masyarakat ditentukan oleh pendapatan rumah tangga dan besarnya permintaan konsumsi tergantung pada kecenderungan untuk memgkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume (MPC) yang dirumuskan sebagai berikut :

MPC = ∆C /∆Yd ...(2.3) dimana :

C : Konsumsi

Yd : Pendapatan Disposable

Antara pendapatan dan konsumsi ada investasi, dimana apabila tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit dan turun, maka tingkat permintaan agregat akan menurun (Mankiw, 2003). Investasi menurun mengakibatkan kesempatan kerja menurun, sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam perekonomian. Demikian juga sebaliknya, konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Selain pendapatan, faktor lain

yang menentukan jumlah konsumsi adalah jumlah kekayaan, tingkat suku bunga, kondisi perekonomian dan distribusi pendapatan.

Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh daya beli yang dimiliki oleh rumah tangga, yaitu jumlah pendapatan yang siap untuk dibelanjakan (disposable income). Disposable income adalah pendapatan kotor dikurangi dengan pajak pendapatan.

Yd = Y – Tx ...(2.4) dimana :

Yd : Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) Y : Pendapatan nasional

Tx : Pajak

Rumah tangga dalam menggunakan pendapatannya memiliki pilihan yaitu antara konsumsi saat ini atau menabung. Penentuan pilihan antara konsumsi dan menabung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat suku bunga, nilai aset, ketidapastian dan lain-lain. Namun dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang sederhana dimana :

C = a + b Yd ...(2.5) S = Yd – C ...(2.6) S = Yd – a – b Yd ...(2.7) S = -a + (1 – b) Yd ...(2.8) dimana : C : Nilai Konsumsi

Yd : Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) S : Tabungan

17

A : Autonomous consumption

Model (2.5) di atas menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari

disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut fungsi konsumsi. Apabila nilai MPC berkisar antara nol dan satu, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan disposable income sebesar satu rupiah, maka akan meningkatkan konsumsi kurang dari satu rupiah dan sisanya akan digunakan untuk menabung. Nilai penjumlahan MPC dan MPS (magrinal propensity to save) adalah satu. Oleh sebab itu, tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi disposable income, tetapi juga dipengaruhi oleh suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menabung dan mengurangi tingkat konsumsinya.

2.1.5.2. Investasi

Investasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan merupakan unsur yang paling penting dalam meningkatkan perekonomian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan besar kecilnya suatu investasi, faktor-faktor tersebut adalah tingkat suku bunga, penyusutan, kebijakan perpajakan dan perkiraan/peramalan tentang penjualan serta kebijakan ekonom (Nopirin, 1996)

Menurut Mankiw (2003) menyatakan bahwa fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil. Model yang mengaitkan investasi pada tingkat suku bunga riil adalah sebagai berikut :

I = I (r) ...(2.9) Tingkat suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi, sedangkan tingkat suku bunga nominal adalah tingkat bunga

yang biasa dilaporkan atau tingkat bunga yang investor bayar untuk meminjam uang. Jika tingkat suku bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi 3 persen, maka tingkat suku bunga riil adalah 5 persen. Dengan demikian investasi tergantung pada tingkat suku bunga riil, karena tingkat suku bunga riil merupakan biaya pinjaman. Kurva fungsi investasi miring ke bawah, artinya ketika tingkat suku bunga riil (r) naik, maka semakin sedikit investasi (I) yang menguntungkan.

Tingkat bunga riil (r)

I = I (r)

Investasi (I) Gambar 2.1. Fungsi investasi pada tingkat bunga riil

Sumber : Mankiw, 2003

2.1.5.3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah adalah komponen ketiga dari permintaan terhadap barang dan jasa. Menurut Dornbusch (2008) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan belanja pemerintah untuk barang dan jasa. Komponen ini termasuk beberapa hal seperti pengeluaran pertahanan nasional, biaya pemeliharaan jalan oleh pemerintah negara bagian dan lokal, serta gaji pegawai pemerintah. Jumlah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh proyeksi jumlah pajak yang diterima, tujuan ekonomi yang ingin dicapai dan pertimbangan politik dan keamanan.

19

2.1.6. Potensi Keuangan Daerah

Menurut Saragih (2003), keuangan daerah merupakan bagian penting dalam pelaksanaan kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Ada tiga bentuk pertanggungjawaban pengelolaan (manajemen) keuangan (daerah) jika dilihat dari aspek kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal keuangan daerah, yaitu sebagai berikut :

1) Pertanggungjawaban dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. 2) Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas pembantuan.

3) Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas dekosentrasi.

Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Di dalam PP Nomor 105 Tahun 2000, pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.

Komponen-komponen penerimaan daerah yang mempunyai peluang untuk ditingkatkan kontribusinya terhadap APBD Kota Magelang apabila faktor-faktor pendukungnya juga dioptimalkan. Jadi, istilah potensi dalam penelitian ini sangat erat dengan sumber-sumber penerimaan APBD yang memiliki peluang untuk dioptimalkan. Keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat tercermin dari pos-pos penerimaan. Semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil juga ketergantungan daerah terhadap APBN. Kinerja keuangan yang efisien dapat dilihat dari rasio penerimaan terhadap pengeluaran, apabila rasio

penerimaan terhadap pengeluaran lebih besar dari tahun sebelumnya maka semakin efisien pengeluarannya.

Dokumen terkait