• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Konsep dan Teor

2.1.7. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah

Pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah. Menurut Saragih (2003), sebelum dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, sumber keuangan daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : (1) Penerimaan asli daerah (PAD) ; (2) Bagi hasil pajak dan non-pajak; (3) Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II; (4) Pinjaman daerah; (5) Sisa lebih anggaran tahun lalu; (6) Lain-lain penerimaan daerah yang sah.

Setelah berlakunya undang-undang otonomi daerah sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 Tahun 1999 serta pasal 5 dan 6 UU Nomor 25Tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut : (1) Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, bagian pemerintah daerah dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; (2) Dana perimbangan, yang terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus; (3) Pinjaman daerah; (4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Salah satu perbedaan yang signifikan di antara sebelum dan sesudah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah adalah, bahwa ketentuan lama menyebutkan adanya bantuan pusat kepada daerah baik provinsi dan daerah

21

kabupaten maupun kota melalui kebijakan dana instruksi Presiden (inpres) dan subsidi daerah otonom (SDO) serta desa tertinggal (IDT) (1994-1995). Sedangkan ketentuan dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru, bantuan pusat dihapuskan dan digantikan dengan dana perimbangan yang intinya bahwa daerah otonom yang menerima dana perimbangan memiliki kewenangan penuh untuk mengelola dan menggunakannya.

2.1.7.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Bratakusumah dan Solihin (2004) menyatakan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan asli daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan dinas-dinas, laba bersih perusahaan daerah, dan penerimaan lain-lain.

2.1.7.1.1. Pajak Daerah

Menurut UU Nomor 34 Tahun 2000, pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Artinya bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dipaksakan kepada setiap orang (wajib

pajak) tanpa kecuali dan diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Pajak daerah dibagi menjadi dua, yaitu pajak daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak daerah provinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten atau kota terdiri dari : pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Menurut Jhingan (2000), dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi suatu negara pajak dapat dipergunakan untuk : (1) membatasi konsumsi, dengan mentransfer sumber konsumsi ke investasi, (2) meningkatkan dorongan untuk menabung dan menanam modal, (3) mentransfer sumber dari masyarakat ke pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi, (4) memodifikasi pola investasi, (5) mengurangi ketimpangan ekonomi dan (6) memobilisasi surplus ekonomi.

2.1.7.1.2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sebagaimana halnya pajak, retribusi daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejateraan

23

masyarakat. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Menurut Saragih (2003), perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jenis retribusi daerah menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 terdiri atas retribusi jasa umum, retrubusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.

Jenis retribusi yang semakin banyak dikenakan kepada masyarakat merupakan beban bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu, kebijakan retribusi daerah sering menimbulkan kontroversi di daerah, baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Hal ini disebabkan pemerintah daerah memungut retribusi tanpa ada imbalan langsung yang dirasakan masyarakat.

2.1.7.1.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah

Laba bersih perusahaan daerah merupakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan daerah atau BUMD atas jasa dan layanan yang telah diberikan oleh perusahaan tersebut. Posisi perusahaan daerah di era otonomi

daerah sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD.

Pembinaan dana pengembangan BUMD merupakan wewenang pemerintah daerah atas restu DPRD. Memang dalam tahap awal otonomi daerah, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas daerah selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemda sewenang-wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termausk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara professional sebagaiman perusahaan swasta lainnya (Saragih, 2003).

2.1.7.2. Dana Transfer

Dana transfer merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama penigkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana transfer terdiri dari dana otonomi khusus, dana penyesuaian dan dana perimbangan. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dijelaskan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.

25

2.1.7.2.1. Dana Bagi Hasil

Dana bagi hasil merupakan merupakan bagian dari dana perimbangan dimana sumber penerimaannya berasal dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang diperoleh pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat dan propinsi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pemerintah pusat terdiri dari atas : pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan sumber daya alam. Selain itu, dana bagi hasil yang berasal dari propinsi terdiri atas : pajak kendaraan bermotor (PKB) atau bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan pajak pemanfaatan air permukaan.

2.1.7.2.2. Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Bratakusumah dan Solihin, 2004). Dana alokasi umum berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah.

2.1.7.2.3. Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dan bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Dana alokasi khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau

peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang.

Pengelolaan dana alokasi khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan selama memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Derah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Pemeriksaan atas penggunaan dana alokasi khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah dan Solihin, 2004).

2.1.7.3. Pinjaman Daerah

Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

2.2. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian telah dilakukan lebih jauh tentang keuangan daerah, serta dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Yuliati (2002) melakukan penelitian tentang Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Data yang digunakan

27

berupa data time series dari tahun 1982 hingga tahun 1999. Alat analisis yang digunakan adalah SAS 6.0 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi daripada investasi. Kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah, dan jika dibarengi dengan kebijakan peningkatan pengeluaran berdampak positif terhadap total penerimaan keuangan pemerintah daerah dan perekonomian. Peluang untuk meningkatkan penerimaan daerah dipengaruhi oleh elastisitas pendapatan perkapita, kesesuaian basis pajak dengan basis ekonomi, elastisitas permintaan jasa publik, elastisitas harga publik, dan tingkat kebutuhan pengeluaran daerah.

Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan kemiskinan. Data yang digunakan berupa data time series dari tahun 1984 hingga tahun 2003. Alat analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dan SAS 6.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.

Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemandirian fiskal, kinerja fiskal dan profil kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di

Jawa Barat. Data yang digunakan berupa data sekunder dari tahun 1998-2004. Alat analisis yang digunakan adalah panel data dan eviews. Hasilnya menunjukan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Kontribusi DAU selama periode analisis (2001-2004) masih sangat tinggi, secara umum kontribusi DAU sangat tinggi dengan menyumbang rata-rata 60-90 persen dari penerimaan daerah.

Hermani (2007) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja fiskal, kinerja keuangan dan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1998 sampai tahun 2003. Alat analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dan SAS 6.0 adalah kebijakan desentralisasi fiskal di kedua kota tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja fiskal daerah. Kebijakan peningkatan DAU, PAD, dan dana bagi hasil menunjukkan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan perekonomian daerah tersebut serta bisa mengurangi tingkat kemiskinan.

Irdhania (2009) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap potensi keuangan dan kinerja perekonomian. Data yang digunakan adalah data time series

dari tahun 1997 hingga tahun 2007. Alat analisis yang digunakan persamaan simultan dan eviews serta hasilnya menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi

29

secara positif dan nyata. Penerapan desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan.

Penulis melakukan penelitian mengenai dampak penerapan desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan Kota Magelang dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian akan memberikan hasil yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis hanya membahas dari sisi penerimaan saja yang berasal dari komponen pendapatan daerah yaitu pendapatan asli dan dana bagi hasil. Penulis hanya membahas dana alokasi secara umum dan tidak secara khusus. Periode penelitian ini dari tahun 1995 hingga tahun 2011.

2.3. Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat daerah, yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan sumber keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Hal ini menjadi acuan dalam mengembangkan kerangka pemikiran yang digunakan dalam melakukan analisis potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah Kota Magelang. Analisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah dilakukan secara deskriptif dan permodelan persamaaan simultan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen APBD terhadap total pendapatan daerah serta untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah.

Indikasi dari kemajuan perekonomian daerah adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kinerja ekonomi Kota Magelang dinilai berdasarkan PDRB yang ditinjau dari konsumsi rumah tangga masyarakat Kota Magelang, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Identifikasi potensi keuangan daerah yang baik tercermin oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Potensi keuangan daerah tercermin dari PAD dan dana perimbangan. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha daerah, sedangkan dana perimbangan yaitu dana bagi hasil.

Otonomi Daerah Kota Magelang

Desentralisasi Fiskal

Kinerja Perekonomian (PDRB) : C, I, G

Potensi Keuangan Daerah :

Komponen PAD, Bagi Hasil

Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi

Keuangan Kota Magelang

Analisis Ekonometrika: Model

Persamaan Simultan (Metode 2SLS)

Analisis Deskriptif Kualitatif

31 PDRB I PDRBC PRFT C G LTR SHR NTAX TAX VEH REC HTL PRS Ir WTR LOR OTH TRS LTR OTHER POP INF INT D

: Variabel eksogen : Variabel endogen Gambar 2.3. Bagan Alir Model Kinerja Keuangan dan Potensi Keuangan

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang pertama dapat dihipotesiskan bahwa :

1) Penerapan desentralisasi fiskal diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja perekonomian Kota Magelang. Kinerja perekonomian dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang terdiri atas oleh konsumsi rumah tangga, investasi dan pengeluaran konsumsi pemerintah.

a. Variabel PDRB, jumlah populasi dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga, sedangkan inflasi mempengaruhi konsumsi secara negatif.

b. Variabel PDRB dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat investasi daerah. Sedangkan variabel suku bunga rill berpengaruh negatif terhadap investasi daerah.

c. Variabel PDRB, total penerimaan daerah dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah. Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah.

2) Penerapan desentralisasi fiskal juga diharapkan membawa perubahan yang positif pada potensi keuangan daerah. Potensi keuangan daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi, laba bersih perusahaan daerah dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak.

a. Variabel PDRB perkapita, jumlah penduduk, jumlah kamar hotel, jumlah perusahaan, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap tingkat penerimaan pajak daerah.

33

b. Variabel PDRB perkapita, jumlah pertumbuhan pengunjung tempat rekreasi, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah.

c. Variabel PDRB perkapita, jumlah penduduk, jumlah konsumsi air minum, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah.

d. Variabel PDRB perkapita, jumlah kendaraan bermotor, inflasi dan

dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan bagi hasil pajak bukan pajak daerah.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series

merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu. Pemilihan tahun analisis yang berkisar antara tahun 1995 sampai 2011 karena ingin melihat sebelum desentralisasi fiskal yaitu tahun 1995 hingga 2000 dan sesudah adanya kebijakan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga 2011.

Data yang berhubungan dengan harga menggunakan data berdasarkan harga konstan untuk melihat perkembangan kinerja perekonomian karena produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan lebih mencerminkan kenaikan produk secara nyata. PDRB atas dasar harga berlaku masih terkandung faktor inflasi (fluktuasi harga) yang mempengaruhi daya beli masyarakat secara umum. Data yang digunakan berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, BPS Kota Magelang, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Magelang, Dinas Pariwisata Kota Magelang, Kantor Samsat UPP Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah, Bappeda Kota Magelang dan instansi terkait lainnya.

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis, yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data yang dilakukan menggunakan bantuan softwareMicrosoft Excel, Minitab dan SAS 9.1.3.

35

3.2.1 Analisis Deskriptif

Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan alat bantuan berupa software yaitu Microsoft Excel

2007. Metode deskriptif dilakukan untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah, mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen pendapatan daerah dan mengetahui perkembangan kondisi perekonomian Kota Magelang, sedangkan potensi keuangan Kota Magelang tercermin dari komponen pendapatan daerah yang terdiri dari PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Masing-masing komponen tersebut memiliki kontribusi yang berbeda terhadap total pendapatan daerah.

Tingkat kemampuan keuangan daerah menggambarkan besarnya presentase kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Indikator tersebut menggunakan data time series 1995 sampai 2011 untuk mengetahui perkembangan kontribusinya dari segi besaran dan persentasinya. Tingkat kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu indikator dari tingkat keberhasilan suatu daerah melakukan kewenangan desentralisasi fiskal pada masa desentralisasi fiskal ini. Kemampuan daerah merupakan kemampuan kabupaten/kota dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya khususnya yang berasal dari pendapatan daerahnya sendiri.

3.2.2. Model Ekonometrika

3.2.2.1. Kerangka Model Desentralisasi Fiskal

Model desentralisasi fiskal dibangun atas dasar kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu untuk menunjukkan kinerja perekonomian dan keuangan secara sederhana dan jelas. Untuk menganalisis hubungan antara kinerja ekonomi dan keuangan daerah maka digunakan model ekonometrik karena model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-peubahnya. Kelebihan dari model ekonometrik adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan untuk mengestimasi perubahan peubah-peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika terdapat permasalahan yang tidak dapat diantisipasi maka persamaan baru dapat ditambahkan kedalam model inti.

Menurut Gujarati (2004) analisis dengan menggunakan model ekonometrika ini diawali dengan spesifikasi model, identifikasi dan metode estimasi model, serta validasi model. Keterbatasan model ekonometrika dalam memecahkan permasalahan kebijakan adalah kesalahan pengukuran dan kesalahan spesifikasi. Kesalahan pengukuran disebabkan oleh penggunaan nilai parameter yang berdasarkan hasil pengamatan masa lalu dan juga karena adanya keterbatasan data yang tersedia, sehingga sering digunakan variabel (proxy) yang tentu saja memang tidak seakurat variabel yang sebenarnya. Kesalahan spesifikasi muncul dari kesalahpahaman terhadap teori ekonomi sehingga terjadi kesalahan dalam penyederhanaan model dan sebagai akibatnya model menjadi tidak spesifik.

Model persamaan simultan sangat baik untuk mengestimasi variabel yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain. Ciri yang paling menonjol dalam persamaan simultan adalah bahwa variabel tak bebas dalam satu persamaan

37

mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dalam sistem.

3.2.2.2. Spesifikasi Model

Model merupakan penjelasan sederhana dari dunia nyata, dimana setiap kegiatan ekonomi yang akan dianalisis terangkum dalam model tersebut. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang dimodifikasi dari penelitian terdahulu yaitu penelitian Yuliyati (2002).

Model dugaan yang digunakan untuk menganalisis kinerja ekonomi Kota Magelang antara lain model dugaan konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Sedangkan model-model dugaan yang digunakan untuk menganalisis potensi keuangan Kota Magelang, antara lain model dugaan pajak daerah, retribusi daerah, laba bersih perusahaan daerah serta dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Model dugaan digunakan dengan variabel-variabel yang dirubah ke dalam bentuk logaritma natural (LN) agar dapat melihat hubungan antar variabel yang berbeda satuan dengan lebih tepat, selain itu bisa digunakan untuk melihat elastisitasnya. Perumusan model ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah di Kota Magelang yang diuji secara empiris dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(a) Kinerja Ekonomi

(1) Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga

LN_Ct = a0 + a1 LN_PDRBt + a2 LN_POPt + a3 INFt + a4 D +

µ1t...(3.1)

(2) Model Dugaan Investasi Daerah

LN_It = b0 + b1 LN_PDRBt + b2 irt + b3 D + u2t

...(3.2)

Parameter estimasi yang diharapkan : b1 , b3 > 0 ; b2 < 0

(3) Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah

LN_Gt=c0 +c1 LN_PDRBt + c2 INFt + c3 LN_LTRt + c4 D +

u3t...(3.3)

Parameter estimasi yang diharapkan : c1 , c3, c4 > 0 ; c2 < 0

(b) Potensi Keuangan Daerah (1) Model Dugan Pajak Daerah

Dokumen terkait