• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kriminalisasi

Dalam dokumen SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI (Halaman 63-72)

5. Kerangka Teoritik 1. Konsep Korupsi

5.7. Konsep Kriminalisasi

Kriminalisasi (criminalization) itu sendiri merupakan objek studi hukum pidana materiil (substantive criminal law) yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam dengan sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana.

Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana70 menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi

69

Ibid.

70

Soerjono Soekanto, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1981, h. 62.

43

perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.71

Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.72

Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, muladi mengingatkan mengenai beberapa ukuran yang secara doktrinal harus diperhatikan sebagai pedoman, yaitu sebagai berikut :

1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang masuk kategori the misuse of criminal sanction (penyalahgunaan sanksi pidana).

2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc

3. Kriminalisasi haru mengandung unsur korban victimizing baik actual maupun potensial.

4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip

ultimum remidium.

5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable. 6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik.

7. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali.

8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setip peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.73

Berkaitan dengan perubahan atau pembaharuan hukum yang bertujuan menyejahterakan masyarakat tidaklah terlepas dari upaya kriminalisasi yaitu proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan itu diancam

71

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, Fifth Edition, Sint Paul Minn: West Publishing Co., 1979, h. 337.

72

Sudarto, Ibid. 73

44

dengan suatu sanksi yang berupa pidana.74 Kriminalisasi tersebut menurut Sudarto harus memiliki kriteria:75

a. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat

b. perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum

pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat;

c. penggunaan hukum pidana haru pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”;

d. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas.

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif (judgments) yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions).76 Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.77

Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai yakni perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi

74

Soedarto, Op.cit.,h.39. 75

Barda Nawawi Arief, Op.cit.

76

Soetandyo Wignjosoebroto, Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993, h.1.

77

45

perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana.78 Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi label terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana.79

Asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Asas hukum merupakan norma etis, konsepsi falsafah negara, dan doktrin politik.80 Di samping itu, asas hukum juga merupakan pikiran-pikiran yang menuntun, pilihan terhadap kebijakan, prinsip hukum, pandangan manusia dan masyarakat, kerangka harapan masyarakat.81

Menurut Scholten, asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam undang-undang. Ukuran kepatutan menurut hukum dapat dicari dalam pikiran-pikiran yang ada di belakang naskah undang-undang. Sedangkan menurut Van Hoecke, asas-asas hukum adalah opsi-opsi dasar bagi kebijakan kemasyarakatan yang aktual, dan prinsip-prinsip etik hukum.82

Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan norma-norma hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana. Dengan kata lain, asas hukum adalah konsepsi dasar, norma etis, dan prinsip-prinsip dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan.

78Rusli Effendi dkk, “Masalah Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Rangka Pembaruan Hukum Nasional” dalam BPHN, Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional Indonesia, Jakarta,

Binacipta. 1986, h.64-65. 79

Hugh D. Barlow, Introduction to Criminology, Third Edition, Boston: Little Brown and Company, 1984, h.9.

80

Roeslan Saleh, Op.cit., h.38-39. 81

Ibid., h.29. 82

46

Ada tiga asas kriminalisasi yang perlu diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya, yakni: (1) asas legalitas; (2) asas subsidiaritas, dan (3) asas persamaan/kesamaan. Pertama, asas legalitas yaitu, asas yang esensinya terdapat dalam ungkapan nullum delictu, nulla poena sie praevia lege poenali yang dikemukakan oleh von Feurbach. Ungkapan itu mengandung pengertian bahwa

“tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan

pidana yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Asas legalitas adalah asas yang paling penting dalam hukum pidana, khususnya asas pokok dalam penetapan kriminalisasi.

Menurut Schafmeister dan J.E. Sahetapy83 asas legalitas mengandung tujuh makna, yaitu: (i) tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang; (ii) tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi; (iii) tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; (iv) tidak boleh ada perumusan tindak pidana yang kurang jelas (syarat lex certa); (v) tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; (vi) tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang; dan (vii) penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Dalam doktrin hukum pidana ada enam macam fungsi asas legalitas. Pertama, pada hakikatnya, asas legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada publik seluas mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah lakunya.84 Kedua, menurut aliran klasik, asas legalitas

83

J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta, Liberty, 1996, h. 6-7. 84

Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari‟ah, Yogyakarta, LKIS dan Pustaka Pelajar, 1990, h. 197.

47

mempunyai fungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum pidana. Sedangkan dalam aliran modern asas legalitas merupakan instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan masyarakat.85 Ketiga, fungsi asas legalitas adalah untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara (penguasa). Hal ini adalah tafsiran tradisional yang telah mengenyampingkan arti asas legalitas sepenuhnya seperti dimaksudkan oleh ahli-ahli hukum pidana pada abad ke XVIII (delapanbelas).86

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor termasuk:

a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai,

b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,

c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia,

d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.87

Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini, (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

85Antonie A.G. Peters, “Main Current in Criminal Law Theorie”, in Criminal Law in Action,

Gouda Quint by, Arnhem, 1986, h. 33, dikutip dari Kamariah, “Ajaran Sifat Melawan Hukum

Material Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNPAD, Bandung,

Maret 1994, h. 43. 86

Roeslan Saleh mengutip Antonie A.G. Peter dalam Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta, Aksara Baru, 1981, h. 2.

87

M. Cherif Bassiouni, “Substantive Criminal Law”, 1978, hlm. 82. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.

48

mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).88

Kriteria kriminalisasi yang dikemukakan Soedarto di atas mempunyai persamaan dengan kriteria kriminalisasi hasil rumusan (kesimpulan) Simposium Pembaruan Hukum Pidana yang menyebutkan beberapa kriteria umum sebagai berikut:

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban?

b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai? c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak

seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?

d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi citacita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?

Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang perlu diperhatikan dalam proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:

a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk perilaku tertentu.

b. Alasan utama untuk menetapkan satu perbuatan sebagai tindak pidana seharusnya tidak pernah didirikan suatu kerangka untuk perlindungan atau

88

49

perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan potensial dalam kepentingannya sendiri.

c. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan peradilan pidana.

d. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah.89

Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses pembaruan hukum pidana.

1. Penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.

2. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut.

3. Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betulbetul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan.90

Menurut Peter W. Low, dalam melakukan kriminalisasi perlu mengukur efek-efek yang mungkin timbul dari pelaksanaan kriminalisasi. Ada 3 (tiga) efek-efek yang perlu diukur, yaitu,

1. manfaat kriminalisasi terhadap masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah kriminalisasi lebih banyak membawa manfaat atau tidak kepada masyarakat. Tidak mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya kesulitan membedakan efek pencegahan bertahap dalam skema kriminalisasi tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai dengan metode non-pidana melalui peraturan hukum maupun sarana-sarana kontrol sosial lain. Di samping itu, adanya kesulitan menghitung dampak perilaku tertentu dalam kriminalisasi. Tidak mudah mengukur manfaat kriminalsasi juga berkaitan dengan adanya fakta bahwa „kriminalisasi‟ adalah sebuah variabel yang dengan sendirinya

bisa dimanipulasi karena efek keperilakuan akan tergantung pada definisi perilaku yang dilarang.

2. mengukur biaya kriminalisasi yang meliputi aspek pencegahan perilaku yang bernilai sosial, pengeluaran untuk penegakan, efek pada individu, efek pada privasi, efek kriminogenik, dan tarif kejahatan. Pencegahan perilaku yang bernilai sosial melalui pelarangan pidana dapat mencegah perilaku yang sah menurut hukum agar tidak masuk ke perilaku yang dilarang hukum. Besarnya efek ini bervariasi karena tidak menentunya pelarangan dan sifat instrumental perilaku yang dilarang Pengeluaran biaya untuk penegakan hukum berkaitan dengan anggaran untuk berbagai sumberdaya

89

Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988, h. 87.

90

50

yang digunakan untuk mendeteksi dan menghukum pelanggar. Pada sejumlah kasus, sumberdaya yang digunakan untuk penegakan hukum bagi

pelanggaran tertentu paling tepat dipandang sebagai „biaya kesempatan‟,

yaitu sumberdaya yang mestinya telah atau dapat digunakan untuk menegakkan hukum pidana lain. Selain aspek pencegahan perilaku yang bernilai sosial dan pengeluaran untuk penegakan, biaya kriminalisasi yang lain adalah efek kriminalisasi pada individu. Tidak semua „kepedihan‟

hukuman bisa diukur dengan skala ekonomi, atau bahkan dengan skala psikologis. Namun, kita bisa mendeskripsikan efek penahanan, penuntutan, pendakwaan, dan penghukuman pada pelanggar-pelanggar individual. Ini meliputi pengurangan produktivitas yang disebabkan oleh stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan pengungkungan, dampak buruk bagi keluarga yang di tanggung, dan kerugian psikis dan fisik yang bisa terjadi sebagai akibat pemenjaraan.

Komponen biaya yang lain adalah efek yang ditimbulkan kriminalisasi pada privasi seseorang. Stephen dan Devlin mengakui bahayanya mengkriminalisasi perilaku yang terjadi dalam ranah privat yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Permasalahannya adalah bahwa penegakan hukum ini mengharuskan polisi menggunakan teknik-teknik investigasi yang “intrusive” yang melanggar

privasi. Selanjutnya efek kriminogenik yang timbul akibat kriminalisasi. Sejumlah pelarangan memiliki konsekuensi kriminogenik, yaitu, menciptakan keadaan-keadaan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya aktivitas kejahatan yang tidak akan terjadi seandainya tidak ada pelarangan dalam hal tertentu.

Menurut para teoritisi pelabelan, respon resmi terhadap suatu penyimpangan, terutama melalui proses stigmatisasi dalam hukum pidana, meningkatkan kemungkinan penyimpangan lebih lanjut oleh individuindividu lain yang belum melakukannya. Ada pula biaya yang harus diukur akibat penegakan hukum yang setengah hati. Tingkat penegakan yang sesungguhnya ditentukan berdasar alokasi sumberdaya penyelidikan dan penuntutan serta prevalensi (maraknya) perilaku yang dilarang.

51

Di samping itu, komponen biaya lain yang harus diukur adalah tarif kejahatan. Pelarangan terhadap aktivitas komersial seperti perjudian, seks, pornografi, dan obat-obatan terlarang jelas mengurangi pasokan barang dan jasa yang dilarang, tapi sepanjang ada pembelinya, maka muncul pasar komersial gelap. Seberapa besar pelarangan bisa mengurangi aktivitas yang tidak dikehendaki sangat tergantung pada elastisitas permintaan, yaitu respon calon konsumen terhadap peningkatan harga. Tarif kejahatan mempunyai tiga konsekuensi sosial.

1. pendapatan yang sangat besar yang dihasilkan oleh illegal trafficking atas barang-barang yang dilarang tidak terkena pajak.

2. para pengusaha pasar gelap memiliki dorongan yang kuat, dan modal yang kuat untuk mengambil langkah apa pun yang diperlukan untuk melindungi investasi mereka dan mengurangi risiko penghukuman. Korupsi oleh para penegak hukum juga akan merajalela. Selain itu, tarif kejahatan yang tinggi untuk perdagangan obat, seks, dan perjudian membentuk kondisi ekonomi yang memungkinkan organisasi kejahatan skala-besar tumbuh subur. Akhirnya, kualitas barang dan jasa haram beragam, masyarakat mendapatkan manfaat dari regulasi: pelacur tidak perlu diperiksa dan dirawat atas penyakit-penyakit kelamin yang dideritanya; pendirian tempat judi tidak dimonitor kemungkinan terjadinya praktik kecurangan; dan obat tidak diuji kemurniannya.91

Dalam dokumen SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI (Halaman 63-72)

Dokumen terkait