• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Sistem Informasi Geografi (SIG)

2.2.4 Konsep Layer Data dan Atribut

Konsep layer data adalah, representasi data spasial menjadi sekumpulan peta tematik yang berdiri sendiri-sendiri sesuai dengan tema masing-masing, tetapi terikat dalam suatu kesamaan lokasi. Keuntungan dari konsep data layer adalah memungkinkan kita melakukan penelusuran data dan analisa data dengan mudah serta efisiensi dalam pengolahan data. Sedangkan attribut merupakan nilai data ataupun informasi yang terangkum pada suatu lokasi.

Misalnya, suatu lokasi bencana disimbolkan dengan titik, maka informasi atau data yang ada pada lokasi tersebut akan diberi nama attribut

Gambar 2.13.Metode Overlay

Sumber: GIZ DeCGG and Bappeda Provinsi NT, 2012

Gambar diatas memperlihatkan metode tumpang susun (overlay) setiap layer dalam pemetaan pelanggan X. Dimana peta tersebut terdiri atas tiga layer, yakni layer pertama lokasi pelanggan X yang disimbolkan dengan titik. Layer kedua merupakan daerah pemukiman yang disimbolkan dengan area (polygon). Layer ketiga merupakan jaringan jalan yang disimbolkan dengan garis/line.

2.2.5 Aplikasi Pemetaan Q-Gis 3.12

Terdapat banyak sekali aplikasi yang memberikan kemudahan dalam pemetaan rupa bumi. Beberapa aplikasi pemetaan yang banyak digunakan saat ini yaitu ArcGis, ArcView, Q-Gis, MapInfo, AutoCAD Map, dan lain-lain.

Pada penelitian kali ini menggunakan aplikasi pemetaan Quantum Gis atau sering disebut Q-Gis dengan versi terbaru yaitu Q-Gis 3.12 (Bucuresti) .

Q-Gis dapat dikatakan memiliki kemampuan yang sama dengan aplikasi-aplikasi pemetaan ternama seperti ArcGis maupun MapInfo. Operasi

dasar pada pengolahan data spasial dapat dilakukan dengan menggunakan Q-Gis, karena lebih ringan (tidak memerlukan spesifikasi hardware yang tinggi), murah (tidak memerlukan lisensi karena merupakan open source) dan bahkan dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kepentingan penggunanya. Q-Gis dapat digunakan untuk pengolahan data atribut maupun spasial secara umum seperti melakukan overlay layer, menghitung luasan suatu wilayah, memberikan informasi tambahan pada suatu titik, ataupun merancang layout peta (Nugraha, 2011).

2.3 Citra Satelit

Citra satelit merupakan suatu gambaran permukaan bumi yang direkam oleh sensor (kamera) pada satelit pengindraan jauh yang mengorbit bumi, dalam bentuk gambar secara digital. Pemanfaatan citra satelit sudah sangat luas jangkauannya, terutama dalam hal yang berkaitan dengan ruang spasial permukaan bumi, mulai darii bidang sumber daya alam, lingkungan, kependudukan, transportasi sampai pada bidang pertahanan (militer). Dalam penelitian ini, pemanfaatan citra satelit digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan dari daerah rawan longsor yang telah dipetakan sebelumnya menggunakan Q-Gis 3.12.

Salah satu aplikasi yang telah berkembang dengan memanfaatkan citra satelit adalah Google Earth. Google Earth dapat menampilkan keadaan permukaan bumi secara 2 dimensi dan 3 dimensi, aplikasi ini juga mampu menampilkan hasil jepretan foto keadaan lingkungan secara real dengan menggunakan fitur Street View yang terdapat pada Google Earth. Fitur inilah yang akan dimanfaatkan peneliti dalam penelitian pemetaan zonasi rawan longsor. Contoh tampilan dari fitur Street View yang terdapat pada Google Earth seperti pada Gambar 2.14 berikut:

Gambar 2.14.Tampilan Street View daerah Kecamatan Berastagi

2.4 Penelitian Terdahulu

Adapun beberapa jurnal pendukung untuk membantu penelitian ini adalah:

a. Penelitian Rahmad, Suib, & Nurman, (2018)

Lokasi yang di teliti untuk pemetaan rawan longsor berada di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Penelitian mengacu pada model pendugaan penelitian Puslittanak (2004) dengan menggunakan 6 variabel yaitu jenis batuan, jenis tanah, penggunaan lahan, curah hujan dan variabel kemiringan lereng. Metode penelitian berupa pengumpulan data dari beberapa instansi. Data yang terkumpul berupa peta analog yang masih dalam bentuk hardcopy, sehingga untuk memperoleh peta secara digital maka dilakukan scanning terhadap peta hardcopy, setelah melakukan scanning maka dilakukan digitasi dan symbolisasi peta pada semua variabel dengan menggunakan aplikasi Arc-Gis. Proses pembobotan dilakukan per-desa di Kecamatan Karo, sehingga hasil pemetaan rawan longsor yang diperoleh per-desa juga.

Output yang didapat berupa peta kerawanan longsor di Kecamatan Sibolangit. Hasil pengolahan data yang mendominasi dari setiap variablel yaitu curah hujan dengan intensitas 1501-2500 mm/th, jenis batuan juga didominnasi oleh jenis batuan gunung Sibayak dan Barus, jenis tanah berupa podsolik, andosol, latosol, regosol, dan alluvial, tutupan lahan berupa permukiman, perkebunan rakyat, tegalan sawah dan hutan, serta kemiringan lereng 2– 15%, 15 – 40% dan >40%.

Berdasarkan model pendugaan bencana tanah longsor tersebut di daerah penelitian dominan memiliki tingkat ancaman longsor dengan kelas kerawanan sedang meliputi 14 desa. Selain itu tingkat kerawanan longsor kelas kerawanan rendah meliputi 10 desa, tingkat kerawanan tinggi 3 desa dan tingkat kerawanan sangat tinggi 1 desa. Adapun hasil peta rawan longsor yang diperoleh di Kecamatan Sibolangit seperti gambar berikut :

Gambar 2.15.Peta Kerawanan Longsor Kecamatan Sibolangit

b. Penelitian Taufik, Kurniawan, & Putri, (2016)

Daerah longsor yang dipetakan yaitu Kabupaten Kediri. Adapun pembobotan mengacu pada Direktorat Vulaknologi dan Mitigasi Bencana Geologo / DVMBG (2004), dengan jenis indikator berupa kemiringan lereng, tutupan lahan, curah hujan harian, geologi, dan jenis tanah. Data kemiringan lereng didapat dengan pemanfaatan TanDEM-X, data penggunaaan lahan dengan memanfaatkan Citra Landsat 8, dan data curah hujan diperoleh melalui UPTPSA wilayah Sungai Puncu Selodono Kediri, serta data geologi dan jenis tanah diperoleh dari Bappeda Kabupaten Kediri. Metode yang dilakukan yaitu metode overlay pada semua indikator tersebut.

Hasil penelitian dari setiap indikator yang paling banyak mendominasi dan sangat berpengaruh untuk terjadinya longsoran yaitu kemiringan lereng sebesar 24%-45%, dengan jenis tanah litosol, dan curah hujan tinggi sebesar 2500-3000 mm/tahun, dengan hasil peta rawan longsor Kabupaten Kediri seperti pada gambar berikut:

Gambar 2.16. Peta Kerawanan Longsor Kabupaten Kediri

c. Penelitian Arrisaldi & Hidayat (2017)

Penelitian berlokasi di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Metode yang dilakukan menggunakan metode pemetaan potensi gerakan tanah dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

22/PRT/M/2007 tentang penataan ruang kawasan rawan bencana longsor.

Peraturan tersebut memiliki 7 parameter dengan memiliki bobot pada subparameternya, yaitu kelerengan (30%), curah hujan (15%), tata air lereng (7%), batuan penyusun lereng (20%), kegempaan (3%), vegetasi (10%), dan kondisi tanah (15%). Ke tujuh parameter tersebut dilakukan overlay menggunakan software ArcMap. Hasil overlay pada metode pemetaan yang sudah dimodifikasi pada tiap subparameternya didapatkan 0,244 km2 luasan terletak pada zona ancaman gerakan tanah rendah, 32,102 km2 luasan terletak pada zona ancaman gerakan tanah sedang, dan 9,32 km2 luasan terletak pada zona ancaman gerakan tanah tinggi. Adapu hasil peta persebaran titik longsor di Kecamatan Karangkobar seperti pada Gambar 2.17 berikut:

Gambar 2.17 Peta Kerawanan Longsor Kecamatan Karangkobar

d. Penelitian Ramadhan, Suprayogi, & Nugraha (2017)

Pemetaan rawan longsor berada di Kabupaten Semarang. Penelitian dilakukan dengan dua metode yakni metode skoring dan pembobotan dengan mengacu pada Permen PU No. 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor dan metode Analytical Hierarchy Proccess (AHP) dengan narasumber Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Semarang. Parameter-parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah tata guna lahan, curah hujan, kelerengan, jenis tanah, keberadaan sesar, dan infrastruktur. Hasil overlay dari kedua metode yaitu metode yang mengacu pada Permen PU No.

22/PRT/M/2007 dan metode Analytical Hierarchy Proccess (AHP) akan disatukan menjadi peta kerawanan longsor di Kabupaten Semarang. Hasil peta rawan longsor untuk metode yang mengacu pada Permen PU No.

22/PRT/M/2007 seperti pada Gambar 2.18 berikut:

Gambar 2.18. Peta Potensi Bencana Longsor Metode Permen PU No.

22/PRT/M/2007

Sedangkan hasil pemetaan berdasarkan metode Analytical Hierarchy Proccess (AHP) seperti pada Gambar 2.19 berikut:

Gambar 2.19 Peta Potensi Bencana Tanah Longsor Metode AHP

Gabungan dari kedua metode Permen PU No. 22/PRT/M/2007 dan metode AHP didapat seperti gambar berikut:

Gambar 2.20 Peta Peta Overlay dua Metode

e. Penelitian Bayuaji, Nugraha, & Sukmono (2016)

Metode yang dilakukan pada penelitian berdasarkan dengan metode SNI dan metode Analytical Hierarchy Proccess (AHP). Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Banjarnegara dengan parameter yang digunakan berupa curah hujan, tata guna lahan, kelerengan, geologi, dan data kejadian bencana longsor Kabupaten Banjarnegara tahun 2012-2015. Hasil pemetaan kerawanan bencana longsor berdasarkan metode SNI seperti pada Gambar 2.21 berikut:

Gambar 2.21 Peta Kerawanan Longsor Metode SNI

Sedangkan hasil pemetaan berdasarkan metode Analytical Hierarchy Proccess (AHP) seperti pada Gambar 2.22 berikut:

Gambar 2.22 Peta Kerawanan Longsor Metode AHP

Gabungan dari kedua metode Permen PU No. 22/PRT/M/2007 dan metode AHP didapat seperti gambar berikut:

Gambar 2.23 Peta Overlay Metode SNI dan Metode AHP

f. Penelitian Indrasmoro (2013)

Penelitian untuk dilakukan pemetaan rawan longsor berada di Kelurahan Karang Anyar Gunung Semarang. Model pendugaan berdasarkan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2005) dengan parameter terdiri dari curah hujan, kepadatan penduduk, penggunaan lahan, dan kemirngan lereng. Dari ke-empat parameter tersebut dilakukan overlay, sehingga dihasilkan peta kerawanan tanah longsor Kelurahan Karang Anyar. Hasil peta rawan longsor tersebut seperti pada Gambar 2.24 berikut:

Gambar 2.24 Peta Rawan Longsor Kelurahan Karang Anyar Gunung Semarang

g. Penelitian Setiawan, Asmaranto, & Prasetyorini (2015)

Penelitian pemetaan rawan longsor dilakukan di daerah SubDAS Lesti Kabupaten Malang. Pada penelitian ini berpedoman dengan pemodelan Tanah Longsor Permen PU No. 22/PRT/M/2007 dengan parameter terdiri dari dua aspek yaitu aspek alami dan aspek manusia. Aspek alami terdiri dari kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, curah hujan, tata air lereng, kegempaan, dan vegetasi. Aspek manusia terdiri dari pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, pembangunan konstruksi, kepadatan penduduk, usaha mitigasi. Dari beberapa indikator dan kedua aspek tersebut, kemudian di overlay untuk menentukan kelas tingkat rawan longsor. Hasil peta rawan longsor SubDAS Lesti Kabupaten Karo seperti gambar berikut:

Gambar 2.25 Peta Rawan Longsor SubDAS Lesti

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Umum

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode skoring dan overlay union. Data sekunder yang telah diperoleh diolah dengan sistem skoring.

Skoring dan pengharkatan dilakukan untuk memberikan bobot pada setiap pindikator yang digunakan. Data yang sudah selesai kemudian di overlay, untuk menentukan tingkat risiko longsor di Kabupaten Karo.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak sebagai berikut:

1. Alat

a. Laptop

b. Software Q-Gis 3.12 ( Bucuresti ) c. Sofware Google Earth

d. Printer Ruang dan Wilayah Kabupaten Karo)

c. Peta jenis batuan Kabupaten Karo (sumber : Data Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Karo)

d. Peta curah hujan Kabupaten Karo (sumber : Data Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Karo)

e. Peta densitas kelurusan sungai Kabupaten Karo (sumber : Peta Republik Indonesia, dan BPS Kab. Karo 2019)

f. Peta kawasan rawan gempa Kabupaten Longsor (sumber : Data Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Karo)

g. Peta tutupan lahan Kabupaten Kato (sumber : Data Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Karo)

3.3 Indikator Penelitian

Adapun indikator penelitian yang digunakan adalah:

1. Kemiringan lereng

3.4 Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang diambil dalam prosedur penelitian ini, yaitu : 1. Studi Literatur

Studi literatur adalah studi kepustakaan guna mendapatkan dasar-dasar teori serta langkah-langkah penelitian yang berkaitan dengan analisis tanah longsor dan untuk mencari referensi penelitian yang sejenis.

2. Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan sesuai dengan parameter pada penelitian ini yaitu peta kemiringan lereng, peta kondisi tanah, peta jenis batuan penyusun, peta curah hujan, peta tata air lereng ,data gempa, dan peta vegetasi.

3. Analisis dan Pembahasan

Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dan perhitungan yang diperlukan untuk analisis kelongsoran.

Langkah awal yaitu pemberian skoring pada peta sesuai dengan parameter

dan kriterianya. Selanjutnya pemberian bobot sesuai kontribusinya masing-masing. Setelah itu skor dikalikan dengan bobot kemudian dijumlahkan dan akan menghasilkan potensi kerawanan longsor yang nantinya akan di input ke software Qgis 3.12 untuk dibuat peta kerawanan longsor berdasarkan desa di Kabupaten Karo.

Hasil akhir yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah peta risiko longsor di Kabupaten Karo. Untuk memverifikasi hasil dari peta rawan longsor maka perlu adanya melihat keadaan lingkungan dari daerah rawan longsor tersebut, dengan memanfaatkan citra satelit dari Google Earth.

3.5 Tahap Pengolahan Data

3.5.1 Penentuan Zona Kerawanan Longsor

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), tipe zona rawan longsor terbagi menjadi tiga zona yaitu zona A, B, dan C. Pada masing-masing zona ini diklasifikasikan berdasarkan tinggi wilayah dan kemiringan lerengnya. Klasifikasi ini telah dijelaskan sebelumnya pada tinjauan pustaka Bab 2 yang terdapat pada Tabel 2.1

3.5.2 Penentuan Bobot Indikator

Pada masing-masing indikator memiliki persentasi bobot tersendiri, bobot tersebut sebagai penentu tingkat kerawanan longsor.

Tingkatan rawan longsor terbagi menjadi 3 bagian yaitu tingkat kerawanan tinggi yang akan diberi skor 3 (tiga), tingkat kerawanan sedang yang akan diberi skor 2 (dua), dan tingkat kerawanan rendah yang akan diberi skor 1 (satu). Adapun nilai bobot dari setiap indikator adalah sebagai berikut:

1. Kemiringan Lereng

Tabel 3.1. Nilai pembobotan kelas lereng

Bobot

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

2. Jenis Tanah

Tabel 3.2. Nilai pembobotan jenis tanah

Bobot Indikator

15 %

Jenis Tanah Kategori Skor Nilai Bobot Entisols, Mollisols Tinggi 3 0,45

Inceptisols Sedang 2 0,3

Ultisols Rendah 1 0,15

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

3. Jenis Batuan

Tabel 3.3. Nilai pembobotan jenis batuan

Bobot Indikator

20 %

Jenis Batuan Kategori Skor Nilai Bobot

Vulkanik Tinggi 3 0,6

Sedimen, Granit Sedang 2 0,4

Alluvium, Metamorfik Rendah 1 0,2

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

4. Curah Hujan

Tabel 3.4. Nilai pembobotan curah hujan

Bobot

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

5. Tata Air Lereng

Tabel 3.5. Nilai pembobotan tata air lereng

Bobot

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

6. Kegempaan

Tabel 3.6. Nilai pembobotan kegempaan

Bobot Indikator

7 %

Tingkat Intensitas Kategori Skor Nilai Bobot

Sering Tinggi 3 0,09

Jarang Sedang 2 0,06

Sangat Jarang Rendah 1 0,03

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

7. Vegetasi

Tabel 3.7. Nilai pembobotan vegetasi/ tutupan lahan

Bobot Indikator

10 %

Jenis Tutupan Lahan Kategori Skor Nilai Bobot

Sawah, Tanah Terbuka Tinggi 3 0,3

Pertanian Lahan Kering, Hutan tanah Industri, Hutan Lahan Kering Sekunder, Pertanian Lahan Kering

Campur semak

Sedang 2 0,2

Semak Belukar, Hutan Lahan Kering

Primer Rendah 1 0,1

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (2007)

Setelah mendapatkan nilai bobot pada masing-masing indikator, maka pada tiap indikator tersebut akan dijumlahkan oleh program yang akan dilakukan oleh Q-Gis 3.12 melalui metode overlay.

3.6 Tahap Pembuatan Peta

Tahapan yang dilakukan dalam pembuatan peta pada penelitian ini terdiri dari persiapan, digitasi peta, editing peta pada layout gambar, dan overlay indikator. Pada pengolahan data spasial menggunakan aplikasi Q-Gis ini berpedoman pada buku PedomanPengolahan Peta di BPS Kabupaten/Kota yang dikeluarkan oleh BPS Tahun 2019 dan pada buku manualpenggunaan Q-Gis yang dilkeluarkan oleh QGIS Project Tahun 2020.

3.6.1. Persiapan

Pada tahap ini meliputi persedian alat tulis dan koneksi internet.

Koneksi internet diperlukan untuk mengambil data DEM yang berasal dari website DEMNAS Republik Indonesia. Selain itu, persiapan lain yaitu pengumpulan data sekunder berupa peta yang telah didapat sebelumnya dari berbagai sumber.

3.6.2. Digitasi Peta

Peta yang akan diolah berupa data raster dengan format tiff (tagged image format file) dan format jpg (joint photographic experts group) dari kedua format tersebut akan diolah menjadi format shp (shapefile). Format tiff digunakan untuk pengolahan data DEM menjadi peta kemiringan wilayah. Sedangkan format jpg digunakan untuk ke-6 (enam) indikator lain yaitu peta jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kegempaan, tata air lereng, dan vegetasi.

1. Analysis Indikator Kemiringan Lereng

Pada analisis peta untuk kemiringan lereng, sedikit berbeda dengan ke-6 indikator lain, karena data yang diperoleh untuk kemiringan lereng ini berupa data DEM (Digital Elevation Model), sehingga program Q-Gis 3.12 harus memprosesnya terlebih dahulu melalui analisis raster yang mempergunakan fungsi slope untuk menganalisis raster guna mencari kemiringan daerahnya.

a. Membuka Software Q-Gis 12

Hal pertama yang dilakukan setelah masuk ke aplikasi Q-Gis 3.12 adalah membuat proyek baru. Adapun langkah nya sebagai berikut:

1. Klik New Project pada Project Toolbar (Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Membuat Proyek Baru

2. Masukkan data DEM yang sebelumnya sudah didapatkan dari website DEMNAS Republik Indonesia kedalam layer, dengan cara mengklik Layer > Add Layer > Add Raster Layer (Gambar 3.2)

Gambar 3.2. Step 1 memasukkan data DEM

3. Cari data DEM Kabupaten Karo yang sebelumnya sudah disimpan diperangkat komputer dengan cara klik Browse > Add (Gambar 3.3) , maka akan muncul data DEM karo pada kolom layers.

Gambar 3.3.Step 2 cari data DEM

4. Kemudian melakukan pengaturan koordinat dengan cara mengklik double layer DEM KARO pada kotak layers lalu pilih WGS 84 dengan Authority ID EPSG: 4326 untuk wilayah daerah Kabupaten karo (Gambar 3.4).

Gambar 3.4. Melakukan pengaturan koordinat

b. Mengubah Data DEM menjadi Data Kemiringan

Tujuan dari pengubahan data raster DEM ini untuk mencari klasifikasi kemiringan dari wilayah Kabupaten Karo. Setelah memasukkan DEM Kabupaten Karo kedalam layer Q-Gis 3.12, maka mengubah data tersebut menjadi data kemiringan. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu

1. Klik Raster > Analysis > Slope (Gambar 3.5).

Gambar 3.5. Analisis slope

2. Akan muncul kotak dialog slope maka pilih parameter, masukkan data DEM pada input layer, pilih band number 1 (gray), klik Run (Gambar 3.6)

Gambar 3.6. Pemasukan data sebelum eksekusi

3. Setelah selesai proses eksekusi oleh program maka akan muncul layer slope baru pada kotak layers (Gambar 3.7), dan data layer inilah yang akan digunakan sebagai data kemiringan lereng Kabupaten karo.

Gambar 3.7. Eksekusi layer slope selesai

c. Pengklasifikasian Kelas Lereng

Pada tahap ini dilakukan penskoringan kelas lereng berdasarkan pembobotan Peraturan Menteri PU (2007). Sistem pengklasifikasian kelas dilakukan dengan memanfaatkan tool Reclassify values simples pada menu raster tool yang terdapat pada kotak processing toolbox.

Langkah-langakh pengklasifikasian kelas kelereng sebagai berikut:

1. Klik Reclassify values (simples) pada menu Raster Tool yang terdapat pada kotak Processing Toolbox (Gambar 3.8)

Gambar 3.8. Salah satu ikon raster tool

2. Pada kotak dialog Reclassify values (simples), pilih Grid berdasarkan layer yang akan di klasifikasi, pilih Replace Condition no (2) untuk pengklasifikasian lereng dari nilai terendah ke terbesar. Masukkan nilai besaran lereng pada fix table dan beri skor, lalu klik OK, dan lakukan eksekusi dengan cara klik Run (Gambar 3.9).

Gambar 3.9. Proses pengklasifikasian kelas lereng d. Proses Konversi Data Raster ke Data Vektor

Tujuan dari proses ini untuk mengubah format file .tiff menjadi format .shp untuk memudahkan proses atributing dan proses overlay nantinya pada ke-6 (enam) indikator lainnya yang berformat .shp . Adapun cara yang harus dilakukan yaitu:

1. Klik pada layer slope pilih Raster > Conversion > Polygonize (raster to vector) (Gambar 3.10)

Gambar 3.10. Step 1 mengubah data raster ke vektor

2. Lalu akan muncul kotak dialog Polygonize , pilih layer yang akan di ubah, tentukan tempat penyimpanan dan buat nama file shp sesuai sebagai kemiringan lereng, lalu jalankan eksekusi program dengan klik Run (Gambar 3.11).

Gambar 3.11. Proses sebelum melakukan eksekusi raster ke vektor

3. Setelah selesai proses eksekusi maka akan muncul data kemiringan lereng dengan format shp pada kotak layers (Gambar 3.12)

Gambar 3.12. Shp (shapefile) kemiringan lereng yang sudah selesai

e. Data Atributing dan Editing

Data atributing adalah data yang mendeskripsikan karakteristik dan kenampakan pada peta. Data atribut berbentuk tabel yang memiliki kolom (field) dan baris (record). Tanpa data yang tersimpan dalam tabel atribut , maka data tersebut tidak memiliki arti banyak karena hanya memberikan informasi bentuk fitur saja.

Untuk menambahkan data atribut pada langkah ini, dengan melakukan klik kanan pada layer shp kemiringan lereng lalu pilih open attribute table (Gambar 3.13).

Gambar 3.13. Membuka tabel atribut shp kemiringan lereng

Setelah muncul kotak dialog untuk menambahkan persentasi nilai bobot maka klik Toogle Editing Mode untuk mengaktifkan proses editing pada tabel atribut, lalu klik New Field. Beri nama untuk tabel kolom atribut

“nilai bobot”, lalu pilih type atribute decimal number (real) untuk memasukkan nilai bobot (Gambar 3.14)

Gambar 3.14. Proses penambahan tabel atribut pada shp kemiringan lereng

2. Digitasi 6 Indikator ( jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kegempaan, tata air lereng, dan vegetasi )

a. Membuka Software QGis 3.12

Pada tahap ini sama halnya dengan proses analisis kemiringan lereng sebelumnya, yaitu membuat proyek baru dengan cara mengklik New Project pada Project Toolbar untuk memulai proyek baru pada gambar (Gambar 3.15)

Gambar 3.15. Membuat proyek baru

b. Georefrencing

Georefrencing merupakan proses pemberian sistem koordinat pada objek gambar peta dengan cara menempatkan suatu titik control terhadap persimpangan antara garis lintang dan bujur pada gambar berupa objek tersebut, atau dengan menempatkan titik ikat pada lokasi yang sudah diketahui koordinatnya.

Pada proses ini sebelumnya pastikan dahulu sudah terinstall atau tidak fitur geoferencer pada Q-Gis yaitu dengan cara:

1. Klik Plugins pada Toolbar > pilih Manage and Install Plugins (Gambar 3.16).

Gambar 3.16. Step 1 mengeinstall fitur Georeferencer

2. Muncul kotak dialog plugins lalu pilih Installed klik centang pada Georefencer GDAL (Gambar 3.17).

Gambar 3.17. Mencentang fitur Georeferencer GDAL

Setelah tool georeferencer sudah aktif pada menu Q-Gis, maka proses georefrencing dapat dilakukan. Tahapan untuk melakukan georefrencing yaitu:

1. Klik tool Georefrencer GDAL (Gambar 3.18).

Gambar 3.18.Tool Georeferencer GDAL pada toolbar

2. Muncul kotak dialog Georefencer, klik File > Open Raster (Gambar 3.19).

Gambar 3.19. Membuka file tipe raster

3. Cari gambar jpg curah hujan pada perangkat komputer lalu klik Add Point pada Toolbar (Gambar 3.20).

Gambar 3.20. Proses penambahan point pada peta curah hujan

4. Masukkan nilai koordinat X,Y pada peta (Gambar 3.21).

Gambar 3.21. Menginput nilai koordinat peta

Gambar 3.21. Menginput nilai koordinat peta

Dokumen terkait