• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

B. Konsep Manusia serta Hubungannya dengan Konsep

1. Konsep Manusia

a. Pengertian manusia dan fitrah manusia menurut Hamka

Manusia merupakan salah satu di antara banyak makhluk ciptaan Allah SWT. Tujuan dan bentuk penciptaan manusia itu sendiri amatlah berbeda dengan makhluk selainnya, manusia dianugerahi keistimewaan berupa bermacam-macam potensi dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah lainnya. Untuk menghasilkan bibit-bibit manusia yang unggul dan berpotensi baik ini tidaklah terjadi secara tiba-tiba tanpa melalui suatu proses terlebih dahulu, akan tetapi dibutuhkan suatu usaha dan ikhtiar yang dimulai sedari dini, yakni sejak manusia masih berada dalam kandungan.

Menurut Hamka, “Dalam kandungan seorang ibu tercipta ‘Lembaga

(cetakan) Hidup’ yang akan dituangkan seketika manusia itu terlahir di dunia kelak.”13

Jadi, dalam rahimlah masa penentuan nasib, masa membentuk lembaga. Lembaga yang salah, tiada akan menghasilkan

42

yang benar. Maka dari itu diusahakan lembaga tidak menjadi sekedar lembaga yang tidak pernah diusahakan dalam menuangkannya. Bagi Hamka, manusia harus berusaha agar hal-hal yang diusahakannya sesuai dengan ketentuan yang disediakan Tuhan untuk manusia.

Pada Al-Qur‟an terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk

penyebutan manusia, yakni; al-basyar, an-nas, al-insan, dan bani Adam.

Istilah penyebutan tersebut didasari atas perbedaan manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya baik dalam hal bentuk, serta potensi-potensi yang dianugerahkan pada diri manusia, seperti akal pikiran, kalbu dan juga nafsu yang berguna untuk mempelajari dan memahami alam semesta.

Setelah manusia terlahir di dunia, meski ia terlihat lemah dan tak berdaya. Namun, sebenarnya sudah terdapat potensi-potensi atau fitrah

yang terdapat di dalam dirinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Samsul Nizar, bahwa dalam hal proses penciptaannya, manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna, ia telah dianugerahkan dengan berbagai fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Dalam perspektif pendidikan Islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup, kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual (agama).14Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan saling terkait satu sama lain (integral).

Dalam Al-Qur‟an kata fitrah dinukilkan Allah SWT. dalam surat ar-Ruum ayat 30:









































14 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 135

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dalam menafsirkan ayat di atas, Hamka memaknai kata fitrah

sebagai “Rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di alam ini (Allah).”15

Menurutnya pula, “Pada dasarnya fitrah manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui

agama yang disyari‟atkan padanya.”16

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Abu „Ala al-Maududi

sebagaimana dikutip oleh A. Susanto. Menurutnya, “Manusia adalah

hamba Allah yang diciptakan dengan dibekali berbagai potensi, kemampuan atau sifat dasar, yaitu as-sam’u (pendengaran), al-bashir

(penglihatan), dan al-fuad (akal pikiran).”17

Apabila manusia dapat mengaktualisasikan dan memfungsikan ketiga potensi tersebut secara maksimal, manusia tersebut akan mencapai derajat yang tinggi, mampu menciptakan bermacam-macam ilmu pengetahuan sehingga layak untuk menjadi pemimpin, sebagai khalifah di muka bumi ini.

Menurut Samsul Nizar, Fitrah dalam Islam tidaklah sama dengan teori Tabularasa John Locke, yang menyatakan manusia lahir tanpa potensi. Konsep fitrah manusia dalam Islam juga berbeda jauh dengan teori Nativisme A. Scophenhour yang menistakan adanya pengaruh dari luar diri manusia. Selain dua teori tersebut, konsep fitrah dalam Islam juga berlainan dengan teori Konvergensi William Stern, sebab dalam Islam perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas. Kepribadian manusia terbentuk atas peran potensi yang dimilikinya dan juga keterlibatan lingkungan di sekitarnya, selain itu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada setiap hamba yang dikehendakinya juga turut serta membentuk kepribadian manusia.18

15 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), Jilid 7, h. 5516 16 Ibid, h. 5515

17 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 76. 18 Samsul Nizar, op. cit., h. 136

44

Dalam pandangan Islam, manusia tidaklah terlahir dengan tanpa membawa potensi apapun dan juga sebaliknya, dengan menafikan pengaruh lingkungan bagi pengembangan potensi-potensi yang telah terdapat pada dirinya. Melainkan telah ada potensi atau fitrah dalam diri manusia sejak mereka dilahirkan, dan potensi atau fitrah tersebut akan dapat berkembang dengan baik melalui perantara dan bantuan pendidikan dari lingkungan disekitarnya.

Menurut Hamka ketika lahir, potensi anak belum diketahui. Pada masa ini seorang anak hanya membawa insting (gharizah), seperti menangis, merasakan haus, lapar, dan lain sebagainya. Dengan perangkat fisik tersebut secara bertahap mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Proses manusia mengembangkan potensinya secara efektif dan efesien adalah melalui pendidikan. Proses ini dimulai sejak manusia lahir sampai perkembangannya mengalami kefakuman, yaitu dengan adanya kematian.19

Hal senada juga dituturkan oleh ibnu Hazm, sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, yakni, “Manusia difitrahkan tidak mempunyai pengetahuan tentang kehidupannya sewaktu dilahirkan. Kemudian perjalanan hidupnya menuntut untuk bertindak melawan kegundahan. Dan ia mulai mencapai pemenuhan hajat hidupnya yang berupa ilmu, yaitu indra, asumsi, intuisi, dan akal pikiran”.20

Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai potensi atau fitrah yang istimewa. Fitrah manusia ini pada dasarnya masih merupakan wujud ‘ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Tuhan, yang kemudian akan berkembang setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan lingkungannya. Perasaan akan adanya Yang Maha Kuasa juga adalah fitrah manusia. jadi, bila saat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, seseorang menyimpang dari fitrah asalnya yakni berbuat

19 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, op. cit., h. 4665-4667 20 A. Susanto, op. cit., h. 41

kebajikan dan tunduk atas perintah Khaliknya, maka ia telah menyalahi fitrahnya tersebut.

b. Potensi manusia menurut Hamka

Pada waktu dilahirkan, setiap manusia telah dianugerahi potensi-potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Potensi itu sendiri merupakan bakat atau kemampuan khusus yang dimiliki manusia sebagai sebuah anugerah dari Tuhan sebagai bekal untuk menjalankan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi ini.

Menurut Hamka, “Pada diri setiap anak (manusia), terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh

maupun ‘abd Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati, atau kalbu (roh) dan pancaindera (penglihatan dan pendengaran) yang terdapat pada jasadnya.”21

Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia (peserta didik) untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam hal ini, ia mengutip firman Allah SWT, surat al-Mulk ayat 23:

























“Katakanlah: ‘Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati’. (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”

Begitu juga dalam pandangan Hasan al-Banna sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, “Manusia terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu1) jasmani atau badan, 2) hati (qalb), 3) akal.”22

21 Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid XIV. op. cit., h. 274 22 A. Susanto, op. cit., h. 64

46

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia, sejak dilahirkan ke dunia telah memiliki akal, jasad, dan jiwa sebagai sebuah bekal (potensi) pribadinya masing-masing yang dapat digunakan untuk mempelajari dan memahami hakikat alam semesta sebagai bentuk tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. di muka bumi. Di sini penulis akan memaparkan macam-macam potensi manusia menurut Hamka, yakni:

1) Jasad

Menurut Hamka, jasad (jism) manusia merupakan tempat di mana jiwa (al-qalb) berada, meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi manusia, namun tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa manusia akan berkembang secara sempurna.

Begitu juga Menurut Zakiah Daradjat, “Dimensi fisik merupakan dimensi yang mempunyai bentuk dan terdiri dari seluruh perangkat: badan, kepala, kaki, tangan, dan seluruh anggota luar dan dalam, yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk dan kondisi yang sebaik-baiknya. Bahkan manusia adalah makhluk Allah yang paling baik.”23

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Tin ayat 4:













“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Jasad manusia merupakan materi yang terikat dengan hukum alam, yang dapat merasakan sehat, sakit, kuat dan lemah, yang semuanya itu tergantung pada kebijakan manusia itu sendiri dalam merawat tubuh atau jasadnya selagi ia masih hidup. Kemampuan dan daya tahan tubuh tiap manusia berbeda antara satu dengan lainnya, biasanya kaum lelaki memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang lebih kuat dibandingkan

23 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama, 1995), Cet. 2, h. 2

dengan kaum wanita yang cenderung lebih lemah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang perawatan tubuh mutlak diperlukan oleh setiap manusia agar dapat menjalani tugas dan aktivitas kehidupannya dengan baik.

Menurut Hamka, terdapat dua cara yang dapat ditempuh manusia untuk memelihara tubuhnya, yaitu: pertama, sederhana dalam makan dan minum. Kedua, mengetahui ilmu kesehatan. Memelihara kesehatan tubuh adalah penting. Jika tubuh tidak sehat, hanya akan memengaruhi aspek diri manusia yang lainnya, yaitu kesehatan akal, bahkan akhirnya akan berdampak pada kesehatan busi (akhlak).24

Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, “Kebutuhan fisik jasmaniah merupakan kebutuhan pertama atau disebut juga kebutuhan primer, seperti makan, minum, seks, dan sebagainya, tidak dipelajari manusia, sudah fitrahnya sejak lahir. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, akan hilanglah keseimbangan fisiknya.”25

Jadi, dapat disimpulkan bahwa jasad manusia merupakan wadah tempat bersemayamnya jiwa manusia selagi ia hidup di dunia ini, yang terdiri dari seluruh anggota fisik tubuh manusia baik luar maupun dalam. Dan terdapat beberapa kebutuhan jasad yang mesti terpenuhi guna menjaga kesehatan jasad seperti, makan, minum dan lain sebagainya. Pemeliharaan kesehatan jasad ini mutlak diperlukan, karena kesehatan jasad akan mempengaruhi potensi atau unsur diri manusia lainnya baik itu akal maupun jiwanya.

2) Jiwa

Pembicaraan mengenai konteks jiwa pada manusia, sesungguhnya merujuk pada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukannya lebih kuat dari pada daya tarik kebaikannya. Sehingga, jiwa manusia berada pada posisi yang

24 Hamka, Lembaga Hidup,op. cit., h. 40 25 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 19

48

lemah, yang digambarkan dengan sifat-sifat bodoh dan kegelapan dan cenderung membawa kepada kejahatan. Agar manusia dapat memperoleh keberuntungan, jiwa harus diluruskan dengan mendidiknya sesuai akhlak Islam. Salah satu faktor penting yang dapat meluruskan jiwa seseorang adalah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agar terhindar dari kebodohan. Selain itu, pendidikan jiwa pun membutuhkan kesungguhan hati, kesabaran, dan pengetahuan yang matang.

Menurut ibnu Sahnun sebagaimana dikutip oleh A. Susanto,

“Pendidikan kejiwaan adalah suatu yang penting untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya. Pendidikan kejiwaan ditekankan untuk membentuk kepribadian anak agar memiliki kepribadian yang

sempurna.”26

Dalam pandangan Hamka tentang pendidikan jiwa (al-qalb) dan jasad (jism), ia kelihatannya terpengaruh pada pandangan Plato dan Prancis Bacon. Hal ini terlihat dari sandaran teoritis yang dipergunakan dalam Lembaga Hidup. Di antaranya, ia mengutip pendapat Plato yang menyebutkan, bahwa dalam melaksanakan pendidikan, maka ada dua latihan yang perlu dikembangkan, yaitu: pertama, melatih tubuh dengan gymnastic supaya tubuh kuat dan sehat. Kedua, melatih jiwa dengan musik, agar jiwa memperoleh ketentraman dan mampu merasakan sesuatu.27

3) Akal

Kata akal dalam Bahasa Indonesia berarti pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan). Dalam Bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran.

Kedudukan akal dalam Islam, adalah sangat penting, karena akallah

wadah yang menampung akidah, syari‟ah serta akhlak dan

menjelaskannya. Kita tidak akan pernah dapat memahami Islam tanpa

26 A. Susanto, op. cit., h. 57

mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akal dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan merasa selalu terikat dan dengan sukarela mengikatkan diri kepada Allah SWT.

Pandangan Hamka mengenai akal, baginya akal adalah laksana sentral listrik dalam pribadi insan, yang harus dipenuhi oleh waterkratch

(tenaga air) dan bahan lainnya, sehingga dapat menimbulkan nyala pada lampu-lampu pancaindera. Kekayaan tenaga air tersebut merupakan hasil dari penyelidikan, percobaan dan pengalaman. Tujuan yang dikehendaki akal ialah tujuan yang bersifat mulia dan utama, namun jalan yang harus dilalui amatlah sukar.28

Menurutnya Zakiah Daradjat, “Akal merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk Allah swt yang lain. Dengan akal, manusia memahami, mengamati, berpikir dan belajar. Serta dengan akal itu manusia merencanakan berbagai kegiatan besar dan kecil, serta memecahkan berbagai masalah.”29

Menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali, Perkataan akal dalam Bahasa Arab mengandung beberapa arti, di antaranya mengikat dan menahan. Makna akar katanya adalah ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan (menjadikan tidak berwujud) benda-benda yang ditangkap oleh pancaindera.30

Untuk menjadikan potensi akal manusia agar dapat berkembang dengan baik dan sempurna, maka dibutuhkan peran pendidikan akal guna mengaktifkan saraf-saraf pengetahuan yang telah dianugerahkan Tuhan pada setiap manusia.

Menurut Hamka, “Apabila bertambah tinggi perjalanan akal, maka bertambah banyak alat pengetahuan yang dipakai, pada akhirnya

28 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 123 29 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 5

30 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 385

50

bertambah tinggi pulalah martabat iman dan Islam seseorang, sebagaimana sabda Nabi SAW. ‘Agama itu ialah akal, dan tidak ada

agama pada orang yang tidak berakal’.”31

Pandangan Hamka ini sejalan dengan pemikiran beberapa tokoh pendidikan Islam, antara lain:

a) Menurut ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh A. Susanto,

“Akal adalah pemberian yang paling utama dari Tuhan. Oleh karena itu, akal merupakan pancaran dari Tuhan. Pada saat manusia melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari maksud sebenarnya Tuhan memberikan atau melimpahkan nikmat itu kepadanya.”32

b) Menurut Ibnu khaldun sebagaimana dikutip oleh Ismail Said Ali,

“Akal tidak akan terbentuk secara sempurna kecuali dengan

tambahan yang dihasilkannya dari masyarakat.”33

c) Menurut Zakiah Daradjat, “Akal adalah suatu daya yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Oleh karena itu pendidikan akal, hendaknya memperhatikan pembinaan daya akal dan melatihnya, agar dapat digunakan untuk kebaikan.”34

Jadi, dapat disimpulkan bahwa akal merupakan sebuah karunia yang khusus diberikan Allah SWT. hanya kepada umat manusia. Oleh karena itu, akal merupakan pancaran dari Tuhan, dan setiap yang berasal dari Tuhan pastilah ditujukan untuk hal-hal kebaikan. Maka, bila akal manusia digunakan untuk kemaksiatan dan berpikiran jahat lainnya, sesungguhnya ia telah menyimpang dari jalan yang dimaksudkan oleh Tuhan. Untuk menghindari hal tersebut, pendidikan akal mutlak diperlukan, seperti dengan melakukan berbagai penyelidikan dan

31 Hamka, Filsafat Ketuhanan, (Surabaya: Karunia, 1985), h. 10 32 A. Susanto, op. cit., h. 35

33 Said Isamail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), Cet. I, h. 69

percobaan. Hasil dari pendidikan tersebut dimaksudkan untuk menguak kebesaran dan kekuasaan Tuhan akan alam jagat raya ini, yang nantinya dapat mengarahkan perbuatan manusia menuju kepada kebaikan dan kemantapan iman.

Perkembangan jiwa manusiapun akan lebih baik bila didukung oleh potensi akal. Karena dalam hal ini, akal berfungsi mengolah informasi terhadap fenomena yang didapat melalui pancaindera yang kemudian dihasilkan dalam bentuk kesimpulan yang dapat dirasakan oleh jiwa. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh manusia yang berpikir merdeka dan menggunakan potensi akalnya secara maksimal.

Menurut Samsul Nizar, “Pandangan Hamka tentang akal ini, terpengaruh dari pandangan Huizingan seorang filosof Belanda. Namun, secara substansial, pendekatan yang dilakukannya telah mengalami reduksi dan penyaringan sesuai dengan kerangka ajaran Islam. Untuk itu, jika ditelusuri, pandangannya tersebut telah bernuansa Islami.”35

“Menurut Hamka, di samping ketiga potensi di atas, manusia juga memerlukan agama, baik sebagai pemenuhan psikis maupun penuntun dinamika akalnya. Dengan tuntunan agama, manusia akan lebih banyak mengetahui rahasia Allah, baik yang bersifat fisik maupun metafisik, serta senantiasa tunduk kepada ketentuan-Nya.”36

Dokumen terkait