• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effect of Using Drama Technique on Students’ Speaking Ability (A Quasi-Experimental Study at the Seventh Grade Students of SMPN 6 South Tangerang).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effect of Using Drama Technique on Students’ Speaking Ability (A Quasi-Experimental Study at the Seventh Grade Students of SMPN 6 South Tangerang)."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat

mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

HERDIYANTI FHAUZIAH

1110011000033

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR

PENGESAHAN

Skripsi berjudul "Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut

Haji Abdul Malik Karim Amrullah", disusun oleh Herdiyanti Fhauziah NIM 111001 1000033,

diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syadf Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal 2 Maret 2015 di hadapan dewan

penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana 51 (S. Pd,I) dalam bidang

Pendidikan Agama Islam.

Jakada, 31 Maret 2015 Panitia Ujian Munaqosah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal

Dr. H. Abdul Majid Khon. M. Ae

NIP: 19580707 198703 1005

Sekretaris (Sekretaris JurusaniProdi)

Marhamah Saleh. Lc. MA

NIP: 19720313 200801 2 010

Penguji

I

Muhammad Zuhdi. M.Ed. Ph.D

NIP: 19720704199703

|

002

Penguji II

Prof. Dr. H. Ahmad Syaf ie Noor. MA

NIP: 19470902 196712

|

001

Dekan Fakul

ilv,%l

1/*,

,lqlo,

/

uruan Mengetahui:

(3)

HUBUNGAN

KONSEP

MANUSIA DENGAN

KONSEP

PENDIDIKAN

ISLAM

MENURUT

HAJI

ABDUL

MALIK

KARIM AMRULLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

HERDIYANTI FHAUZIAH

NIM: 1110011000033

Di bawah Bimbingan

\

___/w7

Drs. Abdul Haris. M.Ae

NIP: 19660901 199503 1 001

JURUSAN

PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

FAKULTAS

ILMU

TARBTYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan

Islam Menurut Haji Abdul

Malik

Karim Amrullah disusun oleh Herdiyanti

Fhauziah,

NIM. 1110011000033, Jurusan Pendidikan

Agarna Islam. Fakultas

Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diajukan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

J akarta, 1 3 Februari 201 5

Yang mengesahkan,

Pembimbing

--\u

/

Drs. Abdul Haris. M.Ae

(5)

NIM

Jurusan/prodi Fakultas

Nama Pembimbing NIP

1 1 1001 1000033

Pendidikan Agama Islam (PAI)

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

: Drs. Abdul Haris, M.Ag :19660901 199503 1 001

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep

Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah benar

hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen :

Demikian surat pemyataan

ini

saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap

menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

(6)

i ABSTRAK

Nama : Herdiyanti Fhauziah

NIM : 1110011000033

Judul : Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Manusia merupakan makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaan Allah SWT. Seiring dengan penciptaan raganya, diciptakan pula dalam dirinya akal dan fitrah tauhid, yang nantinya dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara berkesinambungan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mengembangkan semua aspek kepribadian anak didik baik jasmani maupun rohaninya menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Namun, dalam pendidikan Islam pengertian pendidikan dikhususkan untuk pengarahan aspek kepribadian anak didik menuju pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan konteks tersebut, maka tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep manusia menurut Hamka? Dan pertanyaan turunannya adalah bagaimana hubungan konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka?.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dan kajian pustaka. Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses analisa dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan yang selanjutnya memberikan gambaran dan penjelasan serta uraian.

Konsep manusia menurut Hamka adalah, bahwa manusia merupakan khalifah

fi al-ardh sekaligus ‘abd Allah yang berkewajiban untuk taat dan mengabdi

(7)

ii

Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Human being is the most perfects creature among the creatures of Allah SWT. Along with the creation of his body, also created in his a mind and disposition of monotheism, which will be developed through a process of education. Education is a continuous work done by educators for learners to develop all aspects of the personality of the students both physically and spiritually towards the formation of a major personality. However, in Islamic education the meaning of educational is devoted to directing students towards the formation of personality in accordance with the teachings of Islam. Based on the context, the purpose of this paper is to investigate how the concept of man according to Hamka? And derivatives question is how the concept of human relations with the concept of Islamic education by Hamka?.

The method used is a qualitative research method with a descriptive approach of analysis and library research. Once the data is collected and recorded properly, then the next step is to analyze the data. The analysis process is done by reviewing all available data from various sources, then the data is analyzed and studied carefully and described here in after provides an overview and explanation and description.

The concept of man in Hamka is, that man is a caliph fi al-ard at once 'abd

Allah are obliged to obey and serve Him alone. According to him at birth, human

potential is unknown and only bring instinct (gharizah) or nature, then the potential of the human will develop after birth and conducted a series of interactions with the environment. In humans, there are three main elements that can sustain his duties as caliph fi al-ard and 'abd Allah. The three main elements are mind, heart, and senses (sight, hearing, smell, taste, and touch) found on his body. With those man can worship and devoted to his Lord in order to become a perfect human. This concept is reflected in the formulation of the concept of Islamic education by Hamka, at the meaning, purpose, materials, and other

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya. Shalawat dan salam saya sanjungkan kepada Nabi Besar

Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.

Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua

orang tua dan keluargaku tercinta Ayahanda Yusri, Ibunda Sobriyah yang selalu

mendoakanku dan mendidikku dengan penuh keikhlasan, keridhaan dan kesabaran

serta kasih sayang hingga saat ini. Dan kepada adik-adikku (Chika, Zanky, Zaskia,

Natasya, dan Sabian) yang selalu memberikan semangat dalam menuju hidup

yang penuh keberkahan, semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan menjaga

mereka dalam menuju keridhaan-Nya.

Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan serta dukungan dari

berbagai pihak yang secara tulus ikhlas memberikan bantuannya baik secara moril

maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan dan

menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, Dosen pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas

telah memberikan bimbingan, bantuan serta motivasinya untuk

menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. H. Armai Arief, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik dan para dosen

yang telah memberikan ilmunya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga

selesainya skripsi ini.

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah dan

(9)

iv

membantu penulis dalam mengumpulkan bahan-bahan referensi untuk

menyelesaikan skrpsi ini.

6. Kawan-kawan yang memberikan keceriaan dalam kehidupan dengan tawa

dan canda, para mahasiswa PAI khususnya PAI A angkatan 2010 -Shofa,

Aqiela, Puji, Niesa, Alis, Upik, Endang, Isma, Mba Uni, Yully, Ziah, Reren,

Eva, Eby, Fitri, Wiwid, Fufah, Tia, Firda, Maesaroh, Fahmi, Henry, Zaki,

Teguh, Makky, Fadly, Basyir, Haris, Tejo, Suhail, Rahman, Fauzul, Roaz,

Taqien, Deri-, Aniez (PAI D), Amel (PAI D), Imah (PAI D), Mae (PAI B),

Kiki (PAI D), segenap kawan-kawan yang secara langsung maupun tidak

langsung telah ikut serta membantu dan memberikan dukungan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dengan menengadahkan tangan dan mengucap syukur Alhamdulillah hanya

kepada Allah SWT, penulis memohon semoga amal baik yang sudah diberikan

menjadi amal shaleh dan diterima disisi-Nya. Akhirnya tiada kata lain yang lebih

berarti selain sebuah harapan semoga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya

bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 13 Februari 2015

Penulis

(10)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Perumusan Masalah ... 9

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitan ... 9

BAB II KAJIAN TEORI KONSEP MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam ... 10

1. Manusia ... 10

2. Pendidikan Islam ... 13

B. Manusia Dalam Pendidikan Islam ... 15

1. Kedudukan Manusia dalam Islam ... 15

2. Proses Penciptaan Manusia ... 16

(11)

vi

4. Potensi Manusia ... 22

5. Tujuan Hidup Manusia ... 23

6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan ... 24

C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian ... 29

B. Metode dan Jenis Penelitian ... 29

C. Sumber data ... 30

D. Teknik Pengumpulan Data ... 30

E. Teknik Analisis Data ... 31

F. Teknik Penulisan ... 31

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Biografi Hamka ... 32

1. Riwayat Hidup Hamka ... 32

2. Pendidikan Hamka ... 33

3. Pekerjaan dan Karya-karya Hamka ... 36

B. Konsep Manusia serta Hubungannya dengan Konsep Pendidikan Islam Menurut Hamka ... 41

1. Konsep Manusia ... 41

2. Konsep Pendidikan Islam ... 51

a. Tujuan Pendidikan Islam ... 54

b. Materi Pendidikan Islam ... 55

c. Guru Sebagai Pendidik ... 58

d. Peserta Didik ... 59

(12)

vii

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65

B. Implikasi ... 66

C. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna yang

diberi keistimewaan bentuk serta dianugerahi dengan akal dan fikiran yang

membuatnya mampu memikirkan mengenai alasan penciptaannya di muka bumi

dan tujuan dari penciptaannya tersebut. Sesuai dengan firman Allah dalam surat

At-Taghabun ayat 3:











“Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq.Dia membentuk rupamu dan membaguskan rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali (mu).”

Awal mula penciptaan manusia adalah dari Adam as., lalu dari sulbinya

terciptalah Hawa sebagai pasangannya dan lahirlah keturunan-keturunannya

secara terus-menerus hingga akhir zaman. Seiring bertambahnya jumlah manusia

di muka bumi ini beserta hiruk-pikuk aktivitasnya guna menyambung

keberlangsungan hidupnya di dunia, manusia lambat laun menjadi lupa akan

hakikat dirinya serta tujuan dari penciptaannya di dunia ini. Padahal Al-Qur‟an

telah memaparkan secara jelas bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin

dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana tertera dalam

firman-Nya surat Adz-Dzariyat ayat 56:



“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi

(14)

2

Ibadah dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Toto Suharto, tidak

dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang

luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa

perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada

Allah dalam segala tingkah lakunya.1

Penciptaan manusia bukanlah tanpa tujuan. Manusia mempunyai kedudukan

sebagai ‘abd Allah dan khalifah yang di dalamnya terdapat tanggung jawab yang

mesti diembannya. Untuk dapat mengetahui tugas-tugas tersebut maka

pemahaman mengenai hakikat dirinya dari apa ia tercipta dan untuk apa ia

diciptakan penting untuk diketahui, semua hal tersebut terkait dengan pemahaman

mengenai konsep manusia. Setelah mengetahui jawaban mengenai hakikat dan

eksistensinya di dunia ini diharapkan ia akan mampu mengetahui arah dan tujuan

hidupnya sehingga terhindar dari kebimbangan.

Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita

perhatian, baik dari kalangan filosof, ilmuan bahkan agamawan. Salah satunya

ialah tokoh filosof terkemuka, John Locke. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh

Ag.Soejono, “Pada waktu lahir anak manusia adalah kosong seperti kertas putih belum tertulisi, pengisiannya bergantung pada pengalamannya”.2

Menurut Alexis Carrel, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Mengatakan

bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan

manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian

tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.”3

Pendapat ini menunjukkan

tentang betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh.

Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek tentang manusia,

maka muncul pula aspek yang lainnya yang belum ia bahas.

1 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 83

2Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1, (Bandung: C.V. Ilmu, 1978), Cet.

X, h. 20

3 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h.

(15)

Padahal pendefinisian mengenai hakikat manusia merupakan hal penting dan

dipandang perlu guna membantu manusia mengenal dirinya serta mampu

menentukan bentuk aktivitas yang dapat mengantarkannya pada makna

kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun, upaya tersebut gagal dan manusia

hanya mampu menyingkap hakikat dirinya pada batas instrumen bukan pada

substansi. Saat menemui jalan buntu tersebut, manusia sadar akan keterbatasannya

dan mencoba mengenal dirinya melalui pendekatan agama. Hal ini dikarenakan

dalam unsur penciptaan manusia terdapat unsur-unsur ilahiah yang substansinya

hanya Allah yang mengetahui.

Menurut Abuddin Nata, “Sesungguhnya berbicara tentang manusia tanpa

instrumen iman kepada Allah sama artinya membicarakan sesuatu yang rumit dan

cenderung tanpa jawaban yang pasti. Manusia adalah makhluk yang memiliki

„unsur ke-Ilahian‟, maka tidak mungkin mendalami manusia tanpa melibatkan

Allah.”4

Secara psikologis, upaya menyingkap hakikat manusia ini merupakan masalah

yang krusial dan penting, terutama dalam proses pendidikannya. Sebab jika tidak,

manusia akan kehilangan kendali dan keliru menganggap dirinya superior, dan

cenderung menafikan kekuatan makhluk lain termasuk kekuasaan Tuhan. Dampak

buruk lain yang dapat diakibatkan dari kesalahan persepsi ini antara lain adalah

pelanggaran norma-norma, dan kerusakkan lainnya yang dapat diperbuat manusia.

Selain itu, dapat pula muncul sifat pesimis dan rendah diri yang mengakibatkan

manusia tidak tergerak untuk menggali dan mengembangkan segala potensi yang

telah dianugerahkan Tuhan padanya.

Salah satu cara mengetahui dan mempelajari konsep manusia adalah melalui

pendidikan. Karena pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian

manusia agar seluruh aspek manusia (aspek keimanan, syariat, dan penghambaan)

menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurnakan.Lewat penjelmaan

itu, seluruh potensi manusia dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu

(16)

4

tujuan. Segala upaya, perilaku, dan getar perasaan, senantiasa bertitik tolak dari

tujuan tersebut.

Menurut Mohammad Nor Syam, Pendidikan dalam wujudnya selalu bertujuan membina kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun bagi tujuan-tujuan dekat. Tujuan akhir pendidikan ialah kesempurnaan pribadi. Prinsip ini terutama berpangkal pada asas self realisasi, yakni merealisasi potensi-potensi yang sudah ada di dalam martabat kemanusiaannya. Potensi-potensi itu baik berupa Potensi-potensi-Potensi-potensi intelektual, mental, rasa, karsa, maupun kesadaran moral, bahkan juga aspek-aspek keterampilan fisik dan perkembangan jasmaniah.5

Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, Manusia merupakan salah satu makhluk

hidup yang sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi. Sebelum terjadi proses

pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan

pendidikan pada dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti dan mencari

hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya. Dalam ilmu mantiq,

manusia disebut sebagai hayawan al-nathiq (hewan yang berpikir). Berpikir di

sini maksudnya adalah berkata-kata dan mengeluarkan pendapat serta pikiran.6

Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia

yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau

aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori

atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang

digunakan.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Prasetya dalam bukunya Filsafat

Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, mengemukakan bahwa, “Corak

pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak

penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap

untuk memasuki lapangan penghidupan itu.”7

5Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,

(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179

6 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 130-131

7Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.

(17)

Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang

berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai.

Manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda

dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir,

kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir. Kemudian

pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak

kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler

berjalan seiring dan berkaitan satu sama lain.

Kesalahan pemahaman yang telah dilakukan ilmuwan dalam memandang

manusia berakibat pada manusia itu sendiri. Karena pada kenyataannya tidak

semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan. Banyak bagian dari kehidupan

manusia yang tidak dapat dirasionalkan yang hadir dalam kehidupan manusia

seperti cinta, seni, kematian dan sebagainya.

Menurut Fadillah Suralaga, “Pandangan yang bersifat antroposentris ini jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia dari segi hakikat jati diri

substansi manusia. Dalam pandangan Islam pada diri manusia terdapat tiga unsur

yang saling berinteraksi dengan kuat yaitu, jasad, jiwa, dan ruh.”8 Menurut Hamka

ketiganya merupakan unsur penggerak dan sekaligus memberikan arti bagi

keberadaan manusia di muka bumi. Bila salah satu di antaranya tidak difungsikan

secara optimal dan proposional, maka akan sangat berpengaruh bagi pembentukan

kepribadian peserta didik sebagai hamba-Nya yang mulia.9 Ketidak sempurnaan

unsur pada diri manusia inilah (aspek ruh) yang tidak tersentuh oleh pendidikan

yang berlangsung di Barat.

Di samping memahami konsep manusia diperlukan pula adanya pemahaman

mengenai konsep pendidikan Islam. Dikarenakan tujuan hidup ini pada akhirnya

akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, karena pendidikan pada

dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Seperti pendapat M. Natsir

8 Fadhilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2005), Cet. I, h. 17

9 Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang

(18)

6

sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Bahwa dengan mengacu pada surat

Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan

manusia, melainkan untuk menyembah Aku, menurutnya rumusan tujuan

pendidikan pada hakikatnya sama dengan tujuan hidup manusia, yaitu

menghambakan diri kepada Allah.”10 Dengan demikian, tujuan hidup muslim

sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan

praktek Kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang

manusia. Menurut Ali Ashraf, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar,

mengatakan bahwa, “Pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas

tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan

inidividu seutuhnya.”11

Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka

berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Pembicaraan diseputar

persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.

Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba.

Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku,

pengaturan emosional, hubungan peranan manusia di dunia ini, serta bagaimana

manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan

sekaligus mengupayakan perwujudannya.

Memahami kondisi demikian, maka diperlukan konsep baru tentang manusia

yang mempunyai landasan kuat dan jelas, sehingga manusia dipandang dan

ditempatkan secara benar dalam arti sesungguhnya. Oleh karena itu, untuk

menjelaskan mengenai konsep manusia dan konsep pendidikan Islam secara lebih

mendalam, penulis mengambil pemikiran mengenai materi tersebut dari salah satu

tokoh cendikiawan tanah air yang sangat menguasai perihal konsep manusia dan

pendidikan Islam yang telah diterapkannya pula sebagai bentuk usaha

memperbaiki dan memajukan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya di tanah

10 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2005), h. 83

11 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,

(19)

Minangkabau. Namun, pemikirannya mengenai konsep manusia dan hubungannya

dengan konsep pendidikan Islam yang dicetuskannya ini masih kurang

terpublikasikan secara meluas. Tokoh cendikiawan yang dimaksud penulis di sini

ialah Hamka.

Hamka, merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau yang

berupaya menggugah dinamika umat dan seorang mujaddid yang unik. Ia juga

sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi

masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita melihat betapa banyak

karya dan buah pikiran Hamka yang turut mewarnai dunia, khususnya Islam.

Keterlibatan Hamka di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau

adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat

kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti Hamka. Meski

di kalangan sebagian intelektual masih ada yang meragukan posisinya sebagai

pendidik dan pemikir pendidikan Islam, salah satunya Abdul Rahman Wahid.

Karena berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, orang-orang cenderung

memposisikannya sebagai mufasir melalui Tafsir al-Azhar-nya, sastrawan melalui

roman-romannya, sejarawan melalui sejarah Islamnya, sufi melalui Tasawuf

Modern-nya, dan da‟i dengan kemampuan retorikanya yang baik.

Namun, bila melihat lintas sejarah kehidupannya ia merupakan pendidik yang

cukup konsisten dan berhasil. Keikutsertaannya dalam memperkenalkan

pembaruan pendidikan di Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan

dan orientasi materi pendidikan Islam saat mengelola Tabligh School dan

Kulliyatul Muballighin di Makassar dan Padangpanjang merupakan salah satu

bukti kecemerlangan pemikirannya tentang pendidikan dan dimensi-dimensi

ajaran Islam yang bersifat dinamis, inovatif, dan revolusioner. Padahal jika diteliti

latar belakang pendidikannya, ia merupakan sosok ulama produk pendidikan

tradisional (surau).

Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti konsep manusia serta

(20)

8

karena penulis ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai pemikiran yang

dicetuskannya, serta pengetahuan lain yang dimilikinya yang sementara ini

penulis belum ketahui.

Bertolak dari hal tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk membahas

masalah ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul

Hubungan Konsep Manusia dengan KonsepPendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah”

B. Identifikasi Masalah

Di antara masalah yang terkait dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:

1. Kurangnya pemahaman mengenai konsep manusia dalam mengetahui

hakekat dan eksistensinya sebagai manusia.

2. Kurangnya pemahaman terhadapkonsep pendidikan Islam untuk

diaktualisasikan dalam kehidupan.

3. Kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pemahaman konsep manusia

yang benar sebagai titik tolak perumusan konsep pendidikan Islam.

4. Kurang tersosialisasikannya pendapat Hamka terhadap pemikiran

mengenai konsep manusia dan pendidikan Islam yang telah memberikan

kontribusi pada perkembangan hidup manusia terutama dalam hal

pendidikan Islam.

C. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penulisan skripsi ini, dibatasi

hanya pada konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam

menurut Hamka.

D. Perumusan Masalah

Dari beberapa uraian singkat di atas, maka permasalahan yang dapat penulis

(21)

1. Bagaimana konsep manusia menurut Hamka?

2. Bagaimana hubungan antara konsep manusia dan konsep pendidikan Islam

menurut Hamka?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitan

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan.

b. Untuk mendeskripsikan konsep manusia menurut Hamka.

c. Untuk menguraikan hubungan antara konsep manusia dan konsep

pendidikan Islam menurut Hamka.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Mengungkapkan pemikiran Hamka yang selama ini penulis belum

ketahui.

b. Memberikan kontribusi dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan

(22)

10

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam

1. Manusia

Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang paling istimewa dan

pada dirinya diberikan potensi (fitrah) yang membuatnya dapat menjalani

kehidupannya di dunia dan dapat mengolah sumber daya yang telah

dianugerahkan Allah untuk mempermudah keberlangsungan hidupnya di

dunia, serta mampu menjadikan kemegahan alam semesta tersebut sebagai

perenungan dan bukti akan besarnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk memahami hakikat sebenarnya dari manusia, diperlukan adanya

pemahaman yang mendalam dan ketinggian pemikiran karena manusia

merupakan makhluk yang kompleks dan memiliki banyak sisi berbeda yang

sulit untuk digeneralkan.

Menurut Mohammad Irfan dan Matsuki HS, “Al-Qur‟an

memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna

pokok manusia, yaitu basyar, al-insan, dan al-nas. Ahli lain menambahkan

istilah lain yang mengacu pada makna manusia yaitu Adam yakni,

representasi manusia.”1

Menurut Fadilah Suralaga, dkk, kata basyar berasal dari kata yang pada mulanya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.2

1 Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma

Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. I, h. 55.

2 Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta

(23)

Firman Allah dalam surat Al-Ruum ayat 20:



“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”

Adapun pengertian manusia sebagai insan, sebagaimana dipaparkan oleh

Fadilah Suralaga, dkk, “Kata insan diambil dari kata uns yang berarti jinak,

harmonis, dan nampak. Kata insan dalam Al-Qur‟an digunakan untuk

menunjukkan kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga.

Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain. Akibat perbedaan

fisik, mental dan kecerdasan.”3

Selanjutnya, menurut Mohammad Irfan dan Matsuki HS, “Konsep al-nas

mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas ini

paling banyak disebut Al-Qur‟an, yakni sebanyak 240 kali. Menariknya,

dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al-Qur‟an tidak

pernah melakukan generalisasi.”4

Sejak dulu para pakar telah mencoba meneliti perihal makhluk yang

bernama manusia dengan menggunakan berbagai teori yang bersumber dari

logika dan penggunaan istilah yang bermacam-macam. Penggunaan istilah ini

di ambil dari kebiasaan-kebiasaan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Menurut Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, para filsuf mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung terus-menerus mencipta (uncountable creator). Para ahli ilmu sosial mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkumpul (zoon

politicon) sehingga merasa tersiksa kalau diasingkan dari pergaulan

antarmanusia. Ahli jiwa mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang memiliki perasaan (feeling), makhluk yang berpikir (thinking) dan berkeinginan (willing). Para ahli ilmu biologi mengatakan bahwa manusia itu tersusun dari unsur-unsur hayati.5

3 Ibid., h. 11-12

4 Mohammad Irfan dan Matsuki HS, op. cit., h. 61

5 Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah, (Jakarta: Balai

(24)

12

Pengertian tentang manusia di atas menunjukkan bahwa manusia

merupakan makhluk yang memiliki kebebasan dalam hal menentukan

keinginan dan tindakannya dan juga memiliki kreativitas yang terus-menerus

berkembang. Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh beberapa ahli

diantaranya:

Menurut Daniel Djuned dalam bukunya Antropologi Al-Qur’an. Mengatakan bahwa para ulama klasik, baik filsuf, mutakallimin, ataupun ahli ushul melihat manusia hanya sebagai hamba Allah yang diberi akal dan dilengkapi dengan sejumlah potensi atau istitha’ah, kebebasan memilih atau berkehendak (freewill) dan bebas bertindak (freeact) yang berimplikasi dengan adanya tanggung jawab, meskipun mereka sedikit berbeda dalam analisis tentang bagaimana potensi itu diberikan Tuhan.6

Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah

Idi, “Manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya

dan berbicara berdasarkan akal pikirannya.”7

Menurut Mutahhari, “Manusia adalah makhluk paradoksal. Pada dirinya

terdapat sifat-sifat baik dan jahat sekaligus. Tetapi sifat-sifat itu hanyalah

hal-hal yang potensial. Berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, manusia

harus membentuk dirinya. Kemampuan membentuk diri adalah khas manusia;

tidak ada makhluk lain yang memiliki kemampuan seperti itu.”8

Menurut M. Arifin, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. “Islam

juga memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang di dalam

dirinya diberi kelengkapan-kelengkapan psikologis dan fisik yang memiliki

kecenderungan ke arah yang baik dan yang buruk.”9

Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, dalam tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan pengabdi Tuhan. Manusia juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah swt. di atas muka bumi ini. Manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan

6 Daniel Djuned, Antropologi Al-Qur’an, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 88

7 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 129

8 Murtadha Mutahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,

1997),Cet. IX, h. 32

(25)

dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki dan berbicara.10

Allah SWT. menayatakan dalam firman-Nya surat asy-Syams ayat 1-7:



















“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).”

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah

yang diberi keistimewaan dibanding seluruh ciptaan-Nya yang lain, pada

dirinya telah dibekali potensi-potensi (kesempurnaan akal dan fisik), beserta

kemampuan untuk mengarahkan potensi-potensi tersebut ke arah kebaikan

ataupun keburukan.

Dari beberapa pendapat para ahli yang telah dikemukakan oleh penulis,

dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang

dianugerahi dengan berbagai potensi serta diberikan kebebasan untuk berpikir

dan bertindak, Adakalanya pemikiran dan tindakannya itu mengarah kepada

keburukan dan dapat berakibat pada pengerusakkan alam. Namun, dapat pula

mengarah kepada kebaikkan yang akan membawa kemaslahatan untuk

dirinya, sesama makhluk, maupun alam semesta.

2. Pendidikan Islam

Pengertian pendidikan Islam menurut rumusan Seminar Nasional tentang

Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, sebagaimana dikutip oleh M.

Arifin ialah “Sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan

ruhani dan jasmani manusia menurut ajaran Islam dengan hikmah

(26)

14

mengarahkan, membelajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi

berlakunya semua ajaran Islam.”11

Dari hasil konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di

Islamabad, Pakistan, sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin, “Pendidikan

Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua

aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah

baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian

kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.”12

Menurut Ahmad D. Marimba, “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada

terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.”13

Menurut A. Fatah Yasin pendidikan Islam merupakan pendidikan yang integral dan berkesinambungan serta mencakup semua aspek kepribadian manusia. Aspek-aspek yang diperhatikan oleh pendidikan Islam adalah: jasad, akal, akidah, emosi, estetika, dan sosial. Karena itu, pendidikan Islam harus diarahkan untuk pengembangan aspek-aspek tersebut kepada hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas dan kekhalifahannya serta memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa mengenal batas. Namun juga menyadari bahawa hakikat keseluruhan hidup dan pemilikan ilmu pengetahuan yang dimaksud tetap bersumber dan bermuara kepada Allah.14

Maka dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

pendidikan Islam adalah suatu usaha yang dilakukan secara

berkesinambungan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia

baik jasmani maupun rohani, untuk kemudian diarahkan kepada pembentukan

kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam.

11 M. Arifin, op. cit., h. 13-14

12 A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008), h. 24

13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma‟arif,

1980), Cet. IV, h. 23

(27)

B. Manusia dalam Pendidikan Islam

1. Kedudukan Manusia dalam Pendidikan Islam

Menurut Umiarso dan Zamroni, dalam konsepsi Al-Qur‟an, manusia

menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat di jagat raya ini, bahkan

kemuliannya lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat dan makhluk ciptaan

Allah lainnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar

sebagai mandataris Allah (khalifah Allah fi al ardh) dalam mengatur tata

kehidupan di dunia.15

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat

30:























“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti,

istilah ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.

yakni sebagai sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi.

Kedudukan seluruh manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam

firman-Nya di atas, tidaklah dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas

sebagai wakil atau pemimpin umat dalam hal pemerintahan. Akan tetapi

khalifah di sini memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab

untuk dapat mengolah dan menaburkan benih-benih kebaikan sebagai wakil

Tuhan di muka bumi.

15 Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur,

(28)

16

Ibnu Arabi mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Yunasril Ali, bahwa jabatan khalifah itu hanya milik insan kamil, karena pada dirinya -dari aspek batin- terproyeksi pula nama-nama dan sifat-sifat ilahi. Yang dimaksud khalifah di sini bukan semata-mata jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin/mengendalikan pemerintahan dalam suatu wilayah negara (khalifah al-zhahiriyah), tetapi lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang kedudukannya sebagai wakil (na’ib) Allah. Atau lebih spesifik lagi, sebagai manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi (al khalifah al ma’nawiyah) hingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.16

Manusia selaku khalifah Allah di bumi, menurut Hasan Langgulung

sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, mempunyai beberapa karakteristik

sebagai berikut:

a. Manusia semenjak awal penciptaannya adalah baik secara fitrah. Ia tidak mewarisi dosa karena Adam meninggalkan surga.

b. Interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah, karakteristik ini yang membedakan manusia dengan makhluk lain.

c. Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will),

suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri.

d. Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara yang benar dan yang salah.17

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat

disimpulkan bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah di

bumi, yakni bertugas memanifestasikan nama-nama serta sifat-sifat Allah di

muka bumi ini, hingga kenyataan adanya Allah adalah benar adanya. Dan

kedudukan tersebut hanya dapat diemban oleh insan kamil, yakni manusia

yang memiliki keutamaan di sisi Tuhan maupun di sisi makhluk-Nya.

2. Proses Penciptaan Manusia

Manusia diciptakan Tuhan melalui serangkaian proses alami yang

berlangsung dalam beberapa tahap. Proses penciptaan manusia dijelaskan

Allah dalam firmannya surat Al-Mu‟minun ayat 12-14:

16 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh

Al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 80

17 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I, h.

(29)



































“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik.”

Dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur‟an menyatakan proses

penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: Pertama, disebut

dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahap

primordial terjadi pada manusia pertama, Adam as. Ia diciptakan oleh Allah

dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain

masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan

seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri

(manusia) tersebut. Selanjutnya, tahapan biologi yang dapat dipahami secara

sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah

yang dijadikan air mani (nutfah) yang tersimpan dalam tempat yang kokoh

(rahim). Kemudian nutfah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang

menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikannya

segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang

lalu kepadanya ditiupkan ruh.

Menurut Samsul Nizar, “Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah swt ke dalam janin setelah ia

mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari ‘alaqah dan 40 hari

mudghah.”18

18 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,

(30)

18

Menurut Musa Asy‟arie, sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto,

“Terdapat empat tahap proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh, dan tahap nafs.”19 Berikut penjelasan keempat tahapan ini:

a. Tahap jasad

Al-Qur‟an menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah

dari tanah (turab) (QS. Al-Hajj: 5), yaitu tanah berdebu. Al-Quran

terkadang menyebut tanah ini dengan istilah tin (QS. Al-An‟am: 2) dan

terkadang juga dengan istilah salsal (QS. Al-Rahman: 14). Namun yang

jelas, yang dimaksud dengan tanah ini adalah saripatinya atau sulalah

(QS. Al-Mu‟minun: 12). Penciptaan dari tanah ini tidak berarti bahwa

manusia dicetak dari bahan tanah, seperti orang membuat patung dari

tanah. Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu sari pati yang membentuk

tumbuhan atau binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi

manusia.

Jadi, awal mula terciptanya janin di rahim seorang ibu ialah

bersumber dari percampuran sperma laki-laki dengan sel telur perempuan

yang semuanya itu merupakan hasil dari olahan makanan yang mereka

cerna setiap harinya. Dan semua makanan tersebut dihasilkan dari dalam

bumi, sehingga proses penciptaan manusia dari tanah hanya merupakan

istilah maknawiyah saja. Proses penciptaan manusia dari tanah yang

bersifat zhahiriyah hanya pernah terjadi pada proses penciptaan manusia

yang paling awal, yakni Nabi Adam as.

b. Tahap hayat

Menurut Toto Suharto, awal mula kehidupan manusia menurut Al-Qur‟an adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang (QS. Al-Anbiya: 30). Maksud air kehidupan disini adalah air yang hina atau sperma (QS. As-Sajdah: 8). Sperma ini kemudian membuahi

(31)

sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat (kehidupan) seorang manusia.20

Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah

bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales,

hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi

salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan,

tumbuhan maupun manusia.

Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang

dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di

dalamnya terdapat zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur.

Sehingga jasad janin yang nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu

akan dapat hidup dan memiliki karakteristik makhluk hidup pada

umumnya, seperti membutuhkan makanan, bergerak, bernafas, dan

menanggapi rangsang.

c. Tahap ruh

Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu,

ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir,

sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam

berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan

sandaran bagi jasad.”21

Menurut I.R. Poedjawijatna, “Kebanyakan ahli filsafat Yunani

berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat

meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya

yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana

ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.”22

20Ibid.

21 Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77

22 I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), (Jakarta: Bina Aksara,

(32)

20

Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri

manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran,

penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan

dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah yang kiranya dapat membimbing,

pendengaran, penglihatan dan hati untuk memahami kebenaran.

Menurut I.R. Poedjawijatna juga, “Islam juga memandang

permasalahan ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari

secara mendalam. Hal itu menjadi landasan bukti walaupun banyak ilmu

yang telah dimiliki oleh manusia, namun sampai kapanpun ia tidak akan

bisa melebihi Tuhannya, dalam masalah ruh.”23

Menurut Zuhairini, dkk, Islam berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak dapat dinamakan manusia. Malaikat adalah makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) tidak memiliki unsur jasad yang material. Tetapi sebaliknya unsur jasad yang material saja tanpa ruh, maka juga bukan manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad material yang hidup. Manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan.24

Jadi, ruh merupakan suatu unsur halus yang melekat pada jasad.

Manusia bisa dikatakan hidup apabila ruhnya masih melekat pada

jasadnya. Namun, bila ruhnya tersebut telah meninggalkan jasadnya,

maka telah berakhirlah kehidupannya di muka bumi ini.

Oleh karena itu, pada hakikatnya jiwa manusia yang telah hidup sejak

zaman azali hingga di dunia akhirat nanti hanyalah ruhnya saja, adapun

jasadnya yang tampak di muka bumi ini hanya merupakan alat atau wadah

sebagai bukti yang jelas akan kehidupannya di muka bumi.

23Ibid.

(33)

d. Tahap nafs

Menurut Toto Suharto, kata nafs dalam Al-Qur‟an mempunyai empat pengertian, yaitu nafsu, napas, jiwa, dan diri (keakuan). Dari keempat pengertian ini, Al-Qur‟an lebih sering menggunakan kata

nafs untuk pengertian diri (keakuan). Diri atau keakuan adalah

kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.25

Dalam diri manusia, terdapat jasad sebagai wadah bagi ruh dan

dengan gabungan keduanya kemudian menjadi hiduplah jasad tersebut.

Gabungan unsur-unsur tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah aksi

atau tindakan. Dengan adanya aksi tersebutlah baru manusia dapat

dikatakan hidup. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia selalu

bergerak, bersosialisasi dan tidak pernah berhenti untuk berkreativitas

dan mengelola sumber daya alam guna menjaga keberlangsungan

hidupnya dan melestarikan alam semesta.

3. Tugas Hidup Manusia

Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi

dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata

lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat

Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam

bahasa agama biasa disebut Al-Asma Al-Husna, yang berjumlah 99. Sebagai

contoh, Tuhan adalah Maha Pengasih (Ar-Rahman) maka manusia

diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lain.

Menurut Toto Suharto, Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Hal ini, selain karena watak keterbatasan manusia, juga dimaksudkan agar manusia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Seyogyanya manusia menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu amanah, agar manusia mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini.26

25 Toto Suharto, op. cit., h. 83

(34)

22

Jadi, proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini hanyalah sebagai contoh

kecil dari keluasan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu,

manusia seyogyanya tidak bersifat sombong dan superior dengan

menganggap bahwa dirinya telah mencapai puncak dari semua sifat-sifat baik

yang melekat pada nama-nama Tuhan.

4. Potensi Manusia

Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali

Tuhan dengan berbagai potensi. Potensi-potensi ini diberikan Tuhan kepada

manusia sebagai suatu anugerah, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk

lain. Potensi-potensi ini dalam bahasa agama disebut dengan fitrah.

Di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim

disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Kedua

orangtuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau

Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah

dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fitrah. Fitrah adalah

suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang

khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. menurut Toto Suharto, “Fitrah

kiranya merupakan modal modal dasar bagi manusia agar dapat

memakmurkan bumi ini. Fitrah juga merupakan potensi kodrati yang dimiliki

manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan

manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk

mengembangkan fitrah ini.”27

Berdasarkan dengan potensi (fitrah) yang dibekalkan Tuhan kepada

manusia, para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada

manusia. Menurut Zuhairini, Prediket tersebut antara lain:

a. Manusia adalah “homo sapiens” artinya makhluk yang mempunyai

budi.

b. Manusia adalah “animal rational” artinya binatang yang berpikir.

(35)

c. Manusia adalah “homo laquen” yaitu makhluk yang pandai

menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan

dalam kata-kata yang tersusun.

d. Manusia adalah “homo faber” artinya makhluk yang tukang, dia

pandai membuat perkakas atau disebut juga “tool making animal”

yaitu binatang yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain

dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

e. Manusia adalah “homo economicus” artinya makhluk yang tunduk

pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.

f. Manusia adalah “homo religious” yaitu makhluk yang beragama. Dr.

M.J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda,

memandang manusia itu sebagai “animal educadum dan animal

educabile” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Di samping itu manusia juga sebagai “homo

planemanet” artinya untuk itu maka unsur rohaniah merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program pendidikan.28

Jadi, potensi atau fitrah merupakan bekal khusus yang telah disiapkan

Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Dengan potensi-potensi

yang berbeda tersebut manusia akan saling belajar dan membantu satu sama

lain guna mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki diri mereka

masing-masing hingga menuju kesempurnaan hidup. Namun, kesempurnaan tersebut

hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mampu mengenali dan

menggali secara benar potensi-potensi yang terdapat dalam diri mereka.

5. Tujuan hidup manusia

Al-Qur‟an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan

jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Firman Allah dalam

surat Adz-Dzariyat ayat 56:





(36)

24

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi

kepada-Ku.”

Menurut Toto Suharto, “Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak

dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya

yang luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah,

baik berupa perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia

adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.”29

Tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan

pendidikan Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara

kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya

merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan

Menurut Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Madyo Eko Susilo dan

RB Kasihadi, “Manusia itu adalah ‘animal educandum’(makhluk yang harus

dididik) dan ‘homo educandus’ (makhluk yang dapat mendidik).”30 Dari

hakikat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi

manusia.

Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Qur‟an suratAl‟Alaq ayat 1-5:

















“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan,

Referensi

Dokumen terkait

THE LIST OF APPENDICES ... INTRODUCTION 1.1 Background of the Research ... REVIEW OF RELATED LITERATURE 2.1 Definition of Speaking .... RESEARCH METHODS 3.1 Research Design

The use of demonstration technique gives students an opportunity to active and helps each other in teaching learning process in order to master the subject

The objective of the study is to find out the effectiveness of using story mapping technique on students’ reading ability of narrative text.. This study used

Based on the identification of the problems above, the writer limits the study on the effect of using numbered heads together technique in improving students’ reading ability

Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2004: 76). Observasi dilakukan

The objective of this research are (i) To find out the speaking ability of the seventh grade students of SMP N 2 Margorejo Pati in academic year 2011/2012 taught by using

Based on the background above, the focuses of this research are: 1 How does the teacher implement Running Dictation technique to uplift students’ speaking skill?, 2 What are the

125 Based on the result of this Classroom Action Research, the researcher gives some suggestions as follow: The first, The English teacher is suggested to use Show and Tell as the