• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara

ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.

Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui dengan jelas.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe (2002) menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the

World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987

dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht,

1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan

Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin

pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey,

1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991;

Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997).

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju

kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan

alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa

lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi

mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi

dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001).

Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam

kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders)

sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan

jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)

kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).

Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan

(Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya

3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi budaya selain dimensi ekonomi.

Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,

khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe 2002).

Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi

yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth),

keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta

keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological

balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara

garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001).

1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin

tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial; (ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan

suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan

pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996).

2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.

3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini, maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.

4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan

Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus

berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan

dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya.

Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan

persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu:

1) integrasi antara konservasi dan pengembangan;

2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia;

3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi;

4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan;

6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap percaya diri; dan

7) memelihara integritas ekologi.

Pitcher dan Preikshot (2001) membagi komponen pembangunan berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika. Sedangkan Charles (2001) mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2) Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3) Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan pada Gambar 2.

KEBERLANJUTAN EKOLOGI

KEBERLANJUTAN KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS

Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)

Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak

KEBERLANJUTAN INSTITUSI

tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).

Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia, yaitu:

1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan;

2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan;

3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan;

4) laut dikelola secara co-management;

5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat;

6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.

Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasa- jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan ekonomi (Haq 1997).

Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan.

Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003) diuraikan sebagai berikut:

Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,

misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis). Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.

Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut, adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen dan Rizal (2002) menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.

Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan merupakan empat dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan (Charles 2001). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat (Susilo, 2003).

Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1993), indikator-indikator tersebut adalah:

1. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman, industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah, reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir, kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi pantai; perubahan tingkat permukaan laut;

2. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil; distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi; jumlah species terancam punah;

3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri) dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik pemerintah dan politikus.

Sedangkan yang diadaptasi dari Charles (2001) dan Susilo (2003), atribut-atribut untuk rumput laut adalah:

1) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit.

2) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan

pasar (lokal, nasional dan internasional).

3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi

masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif usaha selain menanam rumput laut.

4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama,

koperasi/kelompok tani rumput laut.

Bengen (2004) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dimaksud adalah 1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut; 2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya

sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan

ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir, maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.

Dokumen terkait