• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pembangunan Ketahanan Pangan

Dalam dokumen Gambar II.1 Ringkasan Studi Pustaka (Halaman 33-39)

Perkembangan lingkungan strategis global dan domestik, dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan dan paradigma pembangunan ke arah yang lebih terdesentralisasi, demokratis dan lebih terbuka pada ekonomi pasar yang lebih kompetitif, maka arah dan pendekatan pembangunan ketahanan pangan perlu disesuaikan dan dikoreksi ke arah paradigma baru yang lebih tepat.

Paradigma baru dalam pembangunan dan pemantapan ketahanan pangan antara lain:

(1) pendekatan pengembangan dari ketahanan pangan pada tataran aggregat (makro) menjadi ketahanan pangan berbasis rumah tangga; (2) pendekatan manajemen pembangunan, dari pola sentralistik menjadi pola desentralistik; (3) pelaku utama pembangunan, dari peran pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat; (4) fokus pengembangan komoditas, dari beras menjadi komoditas pangan dalam arti luas; (5) keterjangkauan rumah tangga atas pangan, dari penyediaan pangan murah menjadi peningkatan daya beli; dan (6) perubahan perilaku keluarga terhadap pangan, dari sadar kecukupan pangan menjadi sadar kecukupan gizi.

Upaya pemantapan ketahanan pangan sebagaimana dimaksud akibat terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ketahanan pangan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota diperlukan usaha-usaha pengembangan kapasitas produksi melalui perluasan areal dan rehabilitasi kemampuan produksi, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, lahan dan air. Selain itu, pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang, melalui aktualisasi diversifikasi pangan (penganekaragaman pangan).

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. Kecukupan ketersediaan pangan;

2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun;

3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan; dan 4. Kualitas/keamanan pangan

Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga setiap penduduk. Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.

II.4.1 Kecukupan Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45).

Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini:

(a) Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen

padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.

(b) Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat dipanen satu kali dalam tahun.

Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.

Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan, dengan beras sebagai makanan pokok dapat diukur sebagai berikut:

 Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup

 Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

 Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.

Kondisi ketersediaan pangan, dengan jagung sebagai makanan pokok dapat diukur sebagai berikut:

 Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup

 Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

 Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup

II.4.2 Stabilitas Ketersediaan Pangan

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu).

Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa, dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya.

Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.5 Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga Kecukupan

ketersediaan pangan

Frekuensi makan anggota rumah tangga

> 3 kali 2 kali 1 kali

> 240 hari

> 360 hari

Stabil Kurang stabil Tidak stabil

1 -239 hari 1 – 364 hari

Kurang stabil Tidak stabil Tidak stabil

Tidak ada persediaan

Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil

II.4.3 Aksesibilitas Terhadap Pangan

Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:

 Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang

 Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah/ladang.

Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori yaitu: (1) produksi sendiri dan (2) membeli. Indikator aksesibilitas/keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan dikelompokkan dalam kategoti seperti pada tabel berikut:

Tabel II.6 Indikator Aksesibilitas/Keterjangkauan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

Pemilikan sawah/ladang Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan

Punya Akses langsung Akses tidak langsung

Tidak punya Akses tidak langsung

Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian pangan yang merupakan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:

 Mempunyai persediaan pangan cukup

 Konsumsi rumah tangga normal dan

 Mempunyai akses langsung tarhadap pangan

Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel II.7 Indikator Kontinyuitas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

Akses terhadap pangan

Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga

Stabil Kurang stabil Tidak stabil Akses langsung Kontinyu Kurang kontinyu Tidakkontinyu Akses tidak

langsung

Kurang kontinyu Tidak kontinyu Tidak kontinyu

II.4.4 Kualitas Pangan

Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga.

Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati.

Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:

1) Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.

2) Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.

3) Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.

Dalam dokumen Gambar II.1 Ringkasan Studi Pustaka (Halaman 33-39)

Dokumen terkait