• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar II.1 Ringkasan Studi Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Gambar II.1 Ringkasan Studi Pustaka"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Studi Pustaka

Pada penelitian ini, untuk mempermudah memahami permasalahan tentang alih fungsi lahan pertanian dan ketahanan pangan di Jawa Barat, dan untuk mencari solusi pemecahan penelitian diperlukan beberapa konsep, ini dimaksudkan supaya mendapatkan cara pandang yang menyeluruh dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut dibagi menjadi beberapa bagian dan masing-masing bagian akan tertuang dalam skema kerangka teoritis yang dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Gambar II.1 Ringkasan Studi Pustaka Konsep

pembangunan

Arah masa depan pertanian

Ketahanan pangan

Konsep pembangunan ketahanan pangan

Indeks ketahanan pangan

Alih fungsi lahan S

T U D I P U S T A K A

Pengertian pembangunan & konsep pembangunan Pertanian sebagai landasan pembangunan

Posisi pertanian dalam kehidupan masyarakat Indonesia masa depan

Arah masa depan kondisi petani Indonesia Arah masa depan kondisi sumberdaya pertanian Indonesia

Arah masa depan produk dan bisnis pertanian Aspek sejarah pertanian

Pengertian ketahanan pangan .

Definisi ketahanan pangan dari waktu ke waktu Keutamaan beras sebagai konstruksi sosial Kebijakan pangan Indonesia: 1952-2005 Swasembada pangan ≠ ketahanan pangan

Kecukupan ketersediaan pangan Stabilitas ketersediaan pangan Aksesibilitas terhadap pangan Kualitas pangan

Pemanfaatan lahan Teori alokasi lahan

Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian Konversi lahan sawah pola, besaran dan

kecenderungan

(2)

II.1 Konsep Pembangunan

II.1.1 Pengertian Pembangunan dan Konsep Pembangunan

Hakekat pembangunan dalam suatu negara atau suatu wilayah yaitu proses perubahan yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan yang berbasiskan atas kesadaran publik dari kondisi awal menuju kondisi ekspektasi tanpa mengabaikan hak-hak individu (SULASDI, 2003). Dalam pengertian yang lain pembangunan adalah suatu proses (atau suatu fenomema) perubahan (Sasmojo, 2004), pembangunan nasional yakni proses-proses perubahan yang ditempuh dan dilakukan atas dasar keinginan suatu masyarakat bangsa. Proses perubahan selalu terjadi, baik dengan sendirinya maupun karena adanya intervensi yang merujuk pada arah perubahan yang diinginkan. Pada umumnya perubahan terjadi karena dilakukanya intervensi.

Dalam pembangunan suatu masyarakat bangsa, dengan merujuk keinginan yang disepakati masyarakat bangsa tersebut, dilakukan intervensi ke berbagai bidang dengan tujuan agar perubahan yang sesuai dengan keinginan yang disepakati terwujud. Intervensi tersebut dilakukan dengan mengubah parameter struktur dan/atau struktur dari berbagai tatanan yang ada dalam kehidupan masyarakat bangsa yang melakukan pembangunan tersebut.

Dalam pengertian pembangunan lainnya (Todaro, M.P, 1994) mengemukakan pem- bangunan adalah suatu kenyataan fisik dan suatu keadaan jiwa yang diupayakan cara- caranya oleh masyarakat, melalui suatu kombinasi berbagai proses sosial, ekonomi, dan kelembagaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Adapun komponen kehidupan yang lebih baik ini, pembangunan pada semua masyarakat paling tidak harus mempunyai tiga (3) sasaran yaitu:

1. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan dan perlindungan.

2. Meningkatkan taraf hidup yaitu: selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yagn lebih baik, dan juga memperhatikan yang

(3)

lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu maupun sebagai suatu bangsa.

3. Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan saja dalam hubungan dengan orang lain dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.

Konsep pembangunan dapat dilihat sebagai upaya menghapuskan berbagai bentuk penyakit umat manusia: malnutrisi (kekurangan gizi), penyakit, buta huruf, daerah- daerah pemukiman kumuh, penganguran dan ketimpangan pendapatan. Jika hanya dihitung berdasarkan tingkat pertumbuhan agregat, maka mungkin pembangunan yang sudah dijalankan selama ini telah membawa keberhasilan besar. Tetapi apabila diukur atas dasar jumlah kesempatan kerja baru, peningkatan keadilan sosial dan pemberantasan kemiskinan, pembangunan selama ini tidak banyak membuahkan hasil, atau bahkan tetap gagal. (Paul P. Streeten, Direktur World Development Institute).

Dalam perkembangan pembangunan saat ini hampir semua negara di dunia tengah bekerja keras untuk melaksanakan pembangunan. Kemajuan ekonomi memang merupakan komponen utama pembangunan, akan tetapi itu bukan satu-satunya komponen. Pada dasarnya pembangunan bukan hanya fenomena ekonomi, karena pada akhirnya proses pembangunan harus mampu membawa umat manusia melampaui pengutamaan materi dan aspek-aspek keuangan dari kehidupan sehari- hari. Dengan demikian pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang multi dimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan peninjauan kembali atas sistem-sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan.

Selain peningkatan pendapatan dan output, proses pembangunan juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, dan administrasi, sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali

(4)

juga merambah adat istiadat, kebiasaan, dan sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Maka konsep pembangunan biasa diartikan dalam konteks nasional, akan tetapi jangkauan yang sedemikian luas telah memaksa dilakukannya serangkaian modifikasi atau penyesuaian yang bersifat mendasar atas sistem-sistem ekonomi dan sosial internasional.

Teori utama pembangunan ekonomi dalam pembangunan ekonomi pasca perang dunia kedua didominasi oleh empat aliran pemikiran yang bersaing satu sama lain.

Keempat pendekatan itu adalah: Model pertumbuhan bertahap linier ( linier-stages- of-growth models), Kelompok teori dan pola perubahan struktural (the structural chage theories and patterns), Revolusi ketergantungan internatsional (international dependence revolution) serta Kontrarevolusi pasar bebas neoklasik (neoclassical free- market counterrevolution). Selain pendekatan di atas dalam tahun terakhir ini nampaknya telah muncul bibit-bibit pemikiran baru yang berkembang menjadi pendekaan kelima yaitu terori pertumbuhan ekonomi baru atau endogen ( new or endogenous theory of economic growth).

Pembagunan dapat diukur dengan pendapatan dan pengeluaran domestiknya yang disebut Gross Domestic Product (GDP), yaitu nilai pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa akhirnya yang diproduksikan dalam suatu negara pada periode waktu tertentu. Untuk itu, produktivitas suatu bangsa sangat penting dalam pembangunan di suatu negara. Produktivitas dan pertumbuhan ekonomi sering diterangkan secara sederhana berdasarkan model yang dikembangkan dari novel Daniel Defoe, Robinson Crusoe. Berdasarkan model tersebut, produktivitas adalah fungsi dari model fisik, modal manusia, modal alam dan pengetahuan teknologi.

Menurut Word Bank terdapat empat modal untuk pembangunan suatu bangsa, yaitu:

1. Modal Alami: nilai dari tanah, air, bahan-bahan mineral, kayu, dan sumber daya alam lainnya.

(5)

2. Modal Fisik: nilai dari mesin-mesin, bangunan-bangunan, dan pekerjaan- pekerjaan umum.

3. Modal Sosial: nilai keluarga, komunitas, dan berbagai organisasi yang menyatukan keseluruhan masyarakat.

Menurut Kotler, dengan modal-modal tersebut diharapkan proses pembangunan suatu bangsa yang baik sekaligus menjadi tujuan pembangunan, yaitu perekonomian yang baik, masyarakat yang baik, dan proses politik yang baik. Dengan demikian, masyarakat adil dan kemakmur yang berkelanjutan sebagai tujuan pembangunan dapat terlaksana.

II.1.2 Pertanian Sebagai Landasan Pembangunan

Pertanian sebagai basis pembangunan nasional terasa tersisihkan oleh pemerintah.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering kali kurang menguntungkan petani sebagai komunitas terbesar dalam negara agraris. Pembangunan pertanian di era 1960-an dengan menerapkan revolusi hijau berupa program intensifikasi pertanian (penggunaan bibit ungul, pupuk kimiawi, irigasi yang baik, serta keberhasilan swasembada pangan awal tahun 1980-an) tak diikuti dengan program-program yang menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pertanian.

Azas pembangunan yang mementingkan pertumbuhan dan stabilitas menyebabkan kita terlena dengan memilih sektor industri besar, perbankan dan mengabaikan azas yang tak kalah pentingnya yaitu pemerataan. Oleh karena itu ketika masalah ekonomi dan moneter melanda republik ini pada tahun 1997 sektor tersebut yang banyak menggantungkan bahan impor menjadi collaps, bahkan ambruk. Sebaliknya pertanian dan perikanan yang diabaikan pemerintah tetap survive bahkan menunjukkan pertumbuhan yang positif.

Model pembangunan yang dilakukan di Indonesia dan berbagai negara di dunia (Eriyanto) mengemukakan dalam diskusi teknologi pertanian di Bogor ada empat (4)

(6)

model pembangunan yaitu: 1). Model negara kesejahteraan (welfare state), 2). Model negara kemakmuran, 3). Model populis, dan 4). Model Neo-liberalis. Model pembangunan negara kesejahteraan banyak diterapkan di negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Denmark) serta negara komunis dan penganut sistem sosialis (Perancis, Jerman, Spanyol dan Inggris). Model pembangunan negara kemakmuran diterapkan di Jepang dan Korea Selatan. Model negara populis diterapkan oleh negara berhaluan komunis, khususnya Cina (pada era pemerintahan komunis) dan Model sistem Neo-liberalisme dengan regulasi ekonomi dan sosial pihak swasta seperti diterapkan oleh Amerika Serikat.

Para pendiri Republik Indonesia secara sadar sesungguhnya memilih model negara kesejahteraan sebagaimana dinyatakan dalam pasal UUD 1945. Meskipun dalam perjalanan waktu apalagi dengan dominasi Amerika Serikat atas globalisasi sejak era orde baru paruh tahun kedua (1980-an) dan awal reformasi, indonesia cenderung mengacu pada model neo-liberalisme. Sesungguhnya sejak negara Indonesia diproklamasikan dan setelah melalui masa kritis politik, pemerintah telah menyadari atri penting pertanian sebagai soko guru pembangunan nasional. Arti penting pembangunan pertanian bagi pembangunan nasional Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:

- Potensi sumberdaya yang besar dan beragam

- Pangsa terhadap pendapatan dan ekspor nasional cukup besar

- Besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian - Peran pertanian dalam penyediaan pangan masyarakat

- Peran sebagai basis pertumbuhan di pedesaan.

Pembangunan pertanian dimasa lalu hingga sekarang harus terus ditingkatkan ini terlihat sepanjang era pemerintahan orde baru sampai sebelum krisis moneter 1997, era reformasi 1998 – 2004 arah dan strategi pembangunan nasional dituangkan dalam GBHN, tersirat bahwa pengembangan pertanian harus didukung oleh industri yang tangguh. Berbagai kebijakan untuk meningkatkan peran pertanian tertuang dalam

(7)

berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah, seperti program Bimas (Bimbingan Masyarakat), Inmas (Intensifikasi Massal), dan Insus (Intesifikasi Khusus) sebagai realisasi revolusi hijau merupakan tanggapan pemerintah untuk menjadikan pertanian tulang punggung perekonomian bangsa.

Berbagai keberhasilan yang selalu dilontarkan adalah peningkatan relatif komposisi PDB sektor pertanian dari tahun 1977 – 1999 meningkat dari 64,468 menjadi 65,361 sedangkan sektor lain mengalami penurunan dan swasembada beras tercapai pada tahun 1984. Pada sisi lain terjadi kebijakan yang bias (bias policy). Kebijakan yang bias ini terlihat pada berbagai penerapan. Pertama, kebijakan yang bias pada urban atau berorientasi ke kota. Dengan kebijakan ini terjadi arus urbanisasi cukup tinggi, tenaga kerja pedesaan berbondong-bondong menuju kota. Kedua, bias terjadi pada sektor komersial dan perusahaan besar, bukan pada sektor tradisional yang menjadi hajat hidup mayoritas, antara lain berpihak kepada bisnis properti.

Kebijakan ini antara lain sangat nyata diterapkan dengan perlindungan terhadap sektor industri besar. Sebaliknya pertanian sangat diabaikan. Ketiga, retorika politik pun dibuat sedemikian rupa sehingga berisi dukungan terhadap pertanian. Dalam kenyataannya dilapangan menunjukkan daya tahan sektor pertanian di tengah kritis yang menimpa sektor industri ternyata tidak dialami oleh sektor pertanian dan agro industri.

Meskipun kebijakan pemerintah dimasa itu tidak berpihak pada pertanian, ternyata daya tahan ekonomi sektor ini cukup tinggi. Hampir semua sektor mengalami pertumbuhan negatif, tetapi justru pertanian mengalami pertumbuhan positif rata-rata 3%. Secara khusus subsektor pertanian yang mengalami pertumbuhan di atas 3%

adalah perikanan, tanaman perkebunan dan peternakan. Perkebunan bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi yaitu 7, 03%. Demikian pula kontribusi sektor pertanian terhadap PDB meskipun tahun 1977 mengalami penurunan dari 15, 4% (1996) menjadi 14, 9% tetapi pada tahun 1999 terjadi peningkatan menjadi 17, 3% atau

(8)

pertumbuhan sebesar 2, 08%. Pada periode yang sama pertumbuhan semua sektor kecuali utiliti adalah negatif.

Pada tahun 1998 – 1999 tingkat pertumbuhan output tertinggi dicapai sektor perikanan sebesar 7, 06%. Selama masa krisis, peningkatan ekspor produk industri didominasi produk agroindustri yang mencapai 50%, rata-rata 2% per tahun. Hal ini menunjukkan potensi pertanian dan agroindustri sebagai penopang perekonomian cukup andal dalam pembangunan di Indonesia. Berdasarkan keadaan pertanian masa lalu dan sekarang menjadi syarat mutlak (condition sine gua non) bagi Indonesia untuk mengubah strategi pembangunanya berdasarkan sumberdaya lokal yang dimiliki dan sumberdaya yang paling melimpah dipersada ini, yaitu pertanian.

(Pengantar Teknologi Pertanian, 2005)

II.2 Arah dan Masa Depan Pertanian

Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Sektor pertanian mempunyai efek pengganda kedepan dan kebelakang yang besar, melalui keterkaitan “input-output-outcome” antar industri, konsumsi dan investasi.

Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akibat kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya.

Pembangunan di masa lalu kurang memperhatikan keunggulan komparatif yang dimiliki. Keunggulan komparatif yang dimiliki belum didayagunakan sehingga menjadi keunggulan kompetitif nasional. Akibat dari strategi yang dibangun tersebut maka struktur ekonomi menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang lalu memberi pelajaran berharga dari kondisi tersebut. Apabila pengembangan ekonomi daerah dan nasional didasarkan atas keunggulan yang kita miliki maka perekonomian yang terbangun

(9)

akan memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia.

Belajar dari pengalaman tersebut, sudah selayaknya strategi pembangunan nasional kembali memperhatikan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Untuk itu Kabinet Indonesia Bersatu menetapkan Revitalisaisi Pertanian sebagai salah satu strategi utama pembangunan nasional 2005-2009.

II.2.1 Posisi Pertanian Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Depan Posisi pertanian akan sangat strategis apabila pemerintah mampu mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung memandang pertanian hanya sebagai penghasil (output) komoditas masih menjadi pola pikir yang melihat multi-fungsi dari pertanian. Multifungsi pertanian meliputi peran sebagai:

a. Penghasil pangan dan bahan baku industri.

Sektor pertanian sangat menentukan dalam ketahanan pangan nasional sekaligus menentukan ketahanan bangsa. Penduduk Indonesia tahun 2025 akan mencapai 300 juta lebih, ketahanan nasional akan terancam bila pasokan pangan kita sangat tergantung dari impor. Dalam proses industrialisasi pertanian juga memproduksi bahan baku industri pertanian seperti sawit, karet, gula, serat, dan lainnya.

b. Pembangunan daerah dan perdesaan.

Pembangunan nasional akan timpang kalau daerah/perdesaan tidak dibangun, urbanisasi tidak akan bisa ditekan, dan pada akhirnya senjang desa dan kota semakin melebar. Lebih dari 83 persen kabupaten/kota di Indonesia ekonominya berbasis kepada pertanian. Agroindustri perdesaan akan sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi perdesaan terutama dalam penyerapan tenaga kerja.

c. Penyangga dalam masa krisis.

Sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal terbukti sangat handal dalam masa krisis ekonomi, bahkan mampu menampung 5 juta tenaga kerja limpahan dari sektor

(10)

industri dan jasa yang terkena krisis; kasus bom Bali yang melumpuhkan para wisata di Bali, terselamatkan oleh sektor pertanian.

d. Penghubung sosial ekonomi antar masyarakat dari berbagai pulau dan daerah sebagai perekat persatuan bangsa.

Masing-masing pulau/daerah memiliki keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan keunggulan masing-masing. Perdagangan (trade) antar pulau ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi dengan melakukan spesialasisasi masing-masing daerah. Saling ketergantungan antara daerah menjadi jaminan pengembangan ekonomi daerah dan mempererat persatuan antar daerah.

e. Kelestarian sumberdaya lingkungan.

Kegiatan pertanian berperan dalam penyangga, penyedia air, udara bersih, dan keindahan. Pada hakekatnya pertanian selalu menyatu dengan alam. Membangun pertanian yang berkelanjutan (sustainable) berarti juga memelihara sumberdaya lingkungan. Agrowisata merupakan contoh yang ideal dalam multi-fungsi pertanian.

f. Sosial budaya masyarakat

Usaha pertanian berkaitan erat dengan sosial-budaya dan adat istiadat masyarakat.

Sistem sosial yang terbangun dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan dan lainnya.

g. Kesempatan kerja, PDB, dan devisa.

Lebih dari 25,5 juta keluarga atau 100 juta lebih penduduk Indonesia hidupnya tergantung pertanian. Sektor pertanian menyerap 46,3% tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9% dari total ekspor non migas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen PDB nasional.

(11)

II.2.2 Arah Masa Depan Kondisi Petani Indonesia

Transformasi struktur perekonomian yang terjadi menunjukkan bahwa peran pertanian dalam pembangunan nasional terus menurun, namun tidak diikuti oleh bebannya dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini berakibat produktivitas pertanian menurun dan semakin senjang dibanding sektor diluar pertanian, terutama sektor jasa dan industri . Indikator tersebut tercermin dari produktivitas pertanian.

Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem (dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat 2,6% per tahun).

Hal ini menunjukkan terjadinya marjinalisasi pertanian sebagai akibat langsung dari kepadatan penduduk. Sementara itu luas lahan semakin berkurang dan perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian terbatas.

Jumlah rumah tangga petani (RTP) menurut Sensus Pertanian (SP) 2003 mencapai 25,58 juta RTP. Sekitar 40 persen RTP tergolong tidak mampu dan 20 persen diantaranya dikepalai oleh perempuan. Pada daerah dimana tingkat migrasi tenaga kerja lakilaki tinggi, beban kerja sektor pertanian bergeser kepada tenaga kerja perempuan dan kelompok lanjut usia.

Pada bagian lain kualitas SDM pertanian juga rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 35 persen, tamat SD 46 persen, dan tamat SLTP 13 persen. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD 31 persen, tamat SLTP sekitar 20 persen, dan tamat SLTA 27 persen.

Tingginya tingkat pendidikan di sektor non pertanian ini sebagian besar berasal dari mereka yang melakukan urbanisasi atau yang meninggalkan sektor pertanian di perdesaan. Dilihat dari karakter komoditas dan jenis usaha yang dilakukan oleh petani, kegureman tidak selalu identik dengan luas penguasaan lahan. Kegureman

(12)

petani secara umum terkait dengan keterbatasan akses mereka terhadap berbagai sumberdaya pertanian (lahan, air, informasi, teknologi, pasar, modal, dll). Sejalan dengan itu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani dapat dilakukan melalui: (a) peningkatan skala usaha sesuai dengan sifat komoditasnya.

Misalnya untuk petani pangan luas lahan minimal 1 hektar per petani di Jawa-Bali dan 2,5 hektar per petani di luar Jawa-Bali, (b) pengusahaan komoditas sesuai dengan permintaan pasar, (c) diversifikasi usaha rumah tangga melalui pengembangan agroindustri perdesaan dengan kegiatan non-pertanian, (d) pengembangan kelembagaan penguasaan saham petani untuk sektor hulu maupun hilir, (e) kebijakan perlindungan bagi petani dan usahanya.

II.2.3 Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

Sumberdaya utama dalam pembangunan pertanian adalah lahan dan air. Akses sektor pertanian terhadap sumber daya tersebut dihadapkan kepada berbagai masalah, seperti: (a) terbatasnya sumberdaya lahan dan air yang digunakan, (b) sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia (900 m2/kapita), (c) banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan per keluarga petani kurang dari 0,5 ha, (d) tingginya angka konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dan tidak terjaminnya status penguasaan lahan (land tenure).

Sumberdaya lahan yang digunakan untuk produksi pertanian relatif terbatas. Dalam dekade terakhir luas lahan pertanian sekitar 17,19 persen dari total lahan, yang terdiri dari 4,08 persen untuk areal perkebunan; 4,07 persen untuk lahan sawah; 2,83 persen untuk pertanian lahan kering dan 6,21 persen untuk ladang berpindah. Tingkat pemanfaatan lahan sangat bervariasi antar daerah. Perkembangan luas lahan pertanian, terutama lahan sawah dan lahan kering (tegalan), sangat lambat, kecuali dibidang perkebunan, terutama untuk kelapa sawit. Peningkatan jumlah penduduk tahun 2000-2003 sekitar 1,5 persen per tahun menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas rata-rata kepemilikan lahan sawah

(13)

di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003 dengan rata- rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun.

Konversi lahan pertanian terutama terjadi pada lahan sawah yang berproduktivitas tinggi menjadi lahan permukiman dan industri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan sawah dengan produktivitas tinggi, seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa dan di sekitar Bandung, mempunyai prasarana yang memadai untuk pembangunan sektor non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non- pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun.

Luas baku lahan sawah juga cenderung menurun. Antara tahun 1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 sampai 2002 terjadi penciutan luas lahan sawah seluas 0,4 juta ha karena tingginya angka konversi.

Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9 juta ha lahan terlantar yang dewasa ini ditutupi semak belukar dan alang-alang.

Pemanfaatan lahan yang berpotensi ini secara bertahap akan dapat mengantarkan Indonesia tidak saja berswasembada produk pertanian, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor, apalagi jika insentif untuk petani dapat ditingkatkan.

Di samping itu, sekitar 32 juta ha lahan, terutama di luar Pulau Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem. Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan mengalami degradasi.

Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan kompetisi penggunaan antara pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi demikian maka penggunanan air untuk pertanian selalu dikorbankan sebagai prioritas terakhir. Pada bagian lain dalam

(14)

dekade terkhir perhatian untuk memelihara jaringan irigasi bagi mempertahankan efisiensi penggunaan air juga menurun yang berakibat kepada penurunan intensitas tanam dan produktifitas pertanian. Untuk itu peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi merupakan langkah bagi peningkatan produktifitas pertanian.

Untuk itu, dalam rangka revitalisasi pertanian, pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh melalui: (i) reformasi keagrariaan untuk meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air serta meningkatkan rasio luas lahan per kapita, (ii) pengendalian konversi lahan pertanian dan pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha, (iii) fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan lahan pertanian baru), serta (iv) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani.

Tabel II.1 Neraca Luas Lahan Sawah Tahun 1981-1999 & 1999-2002 (Ha)

Wilayah Konversi Penambahan Neraca Tahun 1981 – 1999

Jawa 1.002.055 518.224 -483.831 Luar Jawa 625.459 2.702.939 +2.077.480

Indonesia 1.627.514 3.221.163 +1.593.649 Tahun 1999 – 2002

Jawa 167.150 18.024 -107.482

Luar Jawa 396.009 121.278 -274.732

Indonesia 563.159 139.302 -423.857

II.2.4 Arah Masa Depan Produk dan Bisnis Pertanian

Dalam kurun waktu yang panjang pembangunan pertanian selalu diidentikkan dengan kegiatan produksi usahatani semata (proses budidaya atau agronomi), sehingga hasil

(15)

pertanian identik dengan komoditas primer. Kegiatan pertanian masa lalu lebih berorientasi kepada peningkatan produksi komoditas primer dan kurang memberi kesempatan untuk memikirkan pengembangan produk hilir. Dari sisi kebijakan, pembangunan pertanian cenderung terlepas dari pembangunan sektor lain, kebijakan di bidang pertanian tidak selalu diikuti oleh kebijakan pendukung lain secara sinergis.

Pembinaan pembangunan pertanian tersekat-sekat oleh banyak institusi, sehingga kebijakan sering tidak sinkron antar lembaga terkait akibat perbedaan kepentingan dari masing-masing sektor.

Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relative memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin besar.

Dengan mengespor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri, padahal sebaliknya bila Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka nilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri.

Belajar dari kelemahan tersebut, sejak Pelita VI pembangunan pertanian dilakukan melalui pendekatan agribisnis, yang pada hakekatnya menekankan kepada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan produksi ke pendekatan bisnis, dengan demikian aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama, (2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral, namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral), (3) pembangunan pertanian bukan pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan pendapatan petani.

Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan

(16)

lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdayasaing. Untuk itu, salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan adalah pengembangan agroindustri perdesaan.

Pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan strategis dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar (primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi-urban). Akibatnya, nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, termasuk menjadi penyebab terjadinya urbanisasi. Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan agroindustri perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing hasil pertanian.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pengembangan agroindustri perdesaan diarahkan untuk: (a) mengembangkan kluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya, (b) mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar, dan (c) mengembangkan industri pengolahan yang punya dayasaing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Agenda utama pengembangan agroindustri perdesaan adalah pertumbuhan agroindstri untuk membuka lapangan kerja di perdesaan, dengan kegiatan utama: (a) Fasilitasi penerapan teknologi dan sarana pengolahan hasil pertanian di sentra-sentra produksi;

(b) Pengembangan infrastruktur penunjang di perdesaan seperti listrik, jalan akses, dan komunikasi; (c) Pengembangan akses terhadap permodalan; dan (d) Peningkatan mutu, efisiensi produksi dan pemasaran.

(17)

Dalam rangka pengembangan produk hilir produk pertanian yang berdayasaing, inovasi teknologi yang berorientasi pasar dan berbasiskan sumberdaya domestik menjadi prasyarat keberhasilan pengembangan produk hilir pertanian ke depan.

Dalam rangka mendorong terjadinya inovasi proses hilir produk pertanian yang bernilai tambah tinggi dan berdayasaing, dukungan berbagai kebijakan makro ekonomi sangat diperlukan.

Disamping itu, pengembangan teknologi pengolahan dan produk pada produk hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi pengolahan untuk menghasilkan diversifikasi produk, dan meminimumkan kehilangan hasil. Dalam rangka pengembangan produk (porduct development) baru seperti pengembangan berbagai jenis industri oleo-pangan dan industri oleo-kimia akan didorong pengembangannya. Demikian pula pengembangan industri pengolahan karet lanjutan sepeti industri ban otomotif dan barang jadi lain dari karet, pengembangan industri farmasi (tanaman obat-obatan), dan industri pengolahan berbasis hortikultura akan terus dikembangkan.

Dalam rangka peningkatan dayasaing produk pertanian, disamping pengembangan produk hilir, ke depan pengembangan produk hulu juga didorong pertumbuhannya.

Pengembangan industri perbibitan/perbenihan merupakan prasarat peningkatan dayasaing produk pertanian. Demikian juga pengembangan industri agrokimia dan alat serta mesin pertanian. Secara umum sasaran pembangunan pertanian jangka panjang (2025) adalah: (a) terwujudnya pertanian industrial yang berdaya saing; (b) mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (c) tercapainya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian; dan (d) terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian dan tercapainya pendapatan petani sebesar US $ 2500/kapita/tahun.

II.2.5 Aspek Sejarah Pertanian

Dalam sejarah modern Indonesia, pertumbuhan sektor pertanian sebenarnya mencatat suatu kinerja yang tidak terlalu buruk. Sektor pertanian tumbuh sekitar 3,73 persen

(18)

rata-rata per tahun pada periode 1969-2001 (Arifin, 2003), suatu angka pertumbuhan yang tidak terlalu rendah. Peran subsektor pangan dan tanaman perkebunan cukup dominan dalam struktur pertumbuhan sektor pertanian tersebut sepanjang lebih dari tiga dasawarsa tersebut. Demikian pula subsektor peternakan dan perikanan juga berkonstrubusi amat penting dan cukup potensial dalam pembangunan fondasi sektor pertanian Indonesia. Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam melakukan trasformasi struktur perekonomian juga merupakan refleksi dari prioritas dan strategi yang dipilih, walaupun sering melalaikan basis penting sektor pertanian dalam setting kebijakan ekonomi makro umumnya.

Perjalanan ekonomi pertanian Indonesia seakan cukup patuh pada skenario fungsi produksi seperti pada buku teks. Pada tahap awal atau fase konsolidasi 1967-1978 sektor pertanian hanya tumbuh 3,4 persen, kemudian melonjak tinggi dan mencapai 5,7 persen pada periode 1978-1986, kemudian kembali melambat 3,4 persen pada fase dekonstruksi 1986-1997 dan terus melambat 1,6 persen sampai periode krisis ekonomi. Fase dekonstruksi merupakan titik belok yang cukup kritis, terutama karena perlambatan pada subsektor tanaman pangan berpengaruh signifikan pada kinerja sektor pertanian secara keseluruhan. Penjelasan setiap fase penting pembangunan pertanian Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

Fase Konsolidasi: 1967-1978

Pada fase konsolidasi 1967-1978 ini, sektor pertanian tumbuh sekitar 3,39 persen, lebih banyak disebabkan kinerja subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang tumbuh 3,58 dan 4,53 persen masing-masing. Produksi beras pada tahun 1970-an mencapai lebih 2 juta ton, dan produktivitas telah mencapai 2,5 ton per hektar, atau sekitar dua kali lipat kinerja tahun 1963. Tiga kebijakan penting yang perlu dicatat adalah intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang secara spektakuler didukung dan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas sektor pertanian.

(19)

Dalam konteks usaha tani intensifikasi sering pula diterjemahkan penggunaan teknologi biologi dan kimia (pupuk, benih unggul, pestida dan herbisida) dan teknologi mekanis ( traktorisasi dan kombinasi manajemen air irigasi dan drainase).

Ekstensifikasi adalah perluasan area yang mengkonversi hutan tidak produktif menjadi area persawahan dan pertanian lain. Diversifikasi adalah penganekaragaman usaha pertanian untuk menambah pendapatan rumah tangga petani, usaha tani terpadu peternakan dan perikanan yang telah menjadi andalan masyarakat pedesaan umumnya.

Fase Tumbuh Tinggi 1978-1986

Periode 1978-1986 adalah fase cukup penting bagi ekonomi pertanian Indonesia karena bertabur kisah sukses yang spektakuler. Sektor pertanian tumbuh lebih dari 5,7 persen, karena strategi pembangunan ekonomi memang berbasis pertanian.

Peningkatan produksi pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan hampir semua tumbuh tinggi dan bahkan mencatat angka pertumbuhan produksi 6,8 persen.

Kontribusi ini riset atau ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sektor pertanian telah melonjakkan kinerja produksi pertanian, terutama bahan pangan, seperti beras, jagung, dan biji-bijian lainnya.

Revolusi hijau telah berjasa meningkatkan produktivitas pangan sampai 5,6 persen dan akhirnya mencapai puncaknya pada pencapaian swasembada pangan yang mengantar Presiden Suharto ke meja kehormatan FAO pada konferensi pangan tingkat tinggi di Roma, Italia. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pun cukup ampuh untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari kemiskinan karena tertolong tingginya pertumbuhan produktivitas lahan dan pengingkatan efisiensi usaha tani.

Lebih penting lagi adalah revolusi teknologi pangan pada saat itu juga menjadi salah satu indikasi tingkat pemerataan di tingkat pedesaan (bahkan perkotaan). Daerah produksi padi seakan amat identik dengan kesejahteraan pedesaan, seperti yang dialami daerah Pantai Utara Jawa dan sebagaian besar Jawa, Lampung, Solok di Sumatera Barat, Maros di Sulawesi Selatan, dan sebagainya.

(20)

Namun demikian, kritik pun bermunculan karena proses pelaksanan Revolusi Hijau itu sendiri menjadikan ketergantungan petani kecil dan buruh tani kepada para tuan tanah atau pada skala yang lebih luas. Berbagai norma dan kelembagaan di perdesaan juga mengalami perubahan, misalnya pada sistem penyakapan dan bagi hasil, cara panen dan pembagian upah buruh sektor pertanian, yang seringkali tidak mampu diikuti secara baik oleh petani kecil dan buruh tani.

Berbagai inovasi di bidang pertanian tidak mampu digapai oleh mereka yang kurang memiliki akses informasi, penguasaan teknologi dan akses pasar yang juga berubah begitu cepat. Secara makro, terdapat beberapa kerisauan mengenai ketergantungan Negara berkembang terhadap Negara maju karena benih bersertifikat kualitas tinggi berasal dari perusahaan multinasional yang nota bene berasal dari negara maju.

Fase Dekonstuksi 1986-1997

Pada periode 1986-1997 sektor pertanian memang mengalami kontraksi tingkat pertumbuhan di bawah 3,4 persen per tahun, amat kontras dengan periode sebelumnya. Pada periode 1986-1997 ini sering dinamakan fase dekonstruksi karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan (ignorance) oleh para perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom sendiri. Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah menimbulkan persepsi bahwa pembangunan pertanian akan bergulir sendirinya (taken for granted) dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras yang terjadi pada peroide-periode sebelumnya. Indikasi fase buruk sektor pertanian sebenarnya telah muncul pada awal 1990-an ketika kebijakan teknokratik pembangunan ekonomi mengarah pada strategi industrialisasi footloose secara besar- besaran.

Sejak pertengahan 1980-an berbagai komponen proteksi untuk sektor industri diberikan, yang membawa dampak pada kinerja sektor industri dan manufaktur yang tumbuh pesat. Hampir semua merasa bangga bahwa proses transformasi struktur

(21)

perekonomian telah membawa hasil, maksudnya Indonesia telah bertransformasi dari Negara agraris menjadi Negara industri.

Mungkin saja, proteksi yang diberikan kepada sektor industri tepatnya kepada beberapa pelaku tertentu saja tidak disadari penuh oleh para perumus kebijakan waktu itu bahwa tindakan demikian amat tidak merugikan sektor pertanian. Upaya proteksi besar-besaran yang dilakukan secara sistematis tersebut benar-benar telah merapuhkan basis pertanian di tingkat yang paling dasar atau petani di pedesaan.

Fase Krisis 1997-2001

Ketika sektor pertanian harus menaggung dampak krisis ekonomi untuk menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor pertanian tidak cukup kuat. Maka pada periode 1998-2000 sektor pertanian sempat menjadi penyelamat ekonomi Indonesia, itu pun karena limpahan lonjakan nilai tukar dollar AS yang dinikmati komoditas ekspor sektor pertanian terutama perkebunan dan perikanan. Namun ketika basis utama untuk membangun kualitas pertumbuhan sektor pertanian dilupakan begitu saja sektor pertanian hanya tumbuh sekitar 1,9 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan sebesar itu tentu saja tidak mampu menciptakan lapangan kerja, apalagi jika harus menyerap pertumbuhan tenaga kerja baru, terutama di pedesaan.

Akibatnya dalam beberapa tahun terakhir sektor pertanian (dan petani) terus menerus terpojok dan terpinggirkan. Tidak perlu disebut lagi, betapa pada musim kemarau petani harus menderita paling parah karena infrastruktur penting seperti bendungan dan saluran irigasi lalai diurus, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah.

Kualitas jalan rusak parah dan menganggu sistem distribusi komoditas strategis, sehingga meningkatkan biaya trasportasi secara signifikan. Dampak berikutnya adalah harga jual di tingkat petani produsen nyaris tidak berubah, sehingga tidak

(22)

cukup menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Dalam bahasa ekonomi, elastisitas transmisi harga dari konsumen ke prosusen sangat kecil sehingga petanilah yang harus menanggung perbedaan harga di tingkat konsumen dan tingat produsen tersebut.

Sektor pertanian jelas memerlukan langkah nyata untuk merangsang investasi, meningkatkan nilai tambah dan mencari pasar-pasar baru di dalam negeri dan luas negeri. Keseriusan upaya merangsang pertumbuhan tinggi di sektor pertanian adalah suatu keharusan apabila pengembangan sistem agribisnis berkerakyatan yang lebih modern, mengikuti irama desentralisasi dan responsive terhadap perubahan global memang akan dijadikan prioritas. Namun kebijakan desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah yang seharusnya membawa kesejahteraan pada masayrakat teryata hanya menimbulkan euphoria politik berupa perubahan kewenangan sekelompok kecil elite di daerah.

Fase Transisi dan Desentralisasi 2001-sekarang

Fase trasisi politik dan peroide desentralisasi ekonomi saat ini memang tidak terlalu jelas bagi segenap pelaku ekonomi di Indonesia. Paket kebijakan desentralisasi ekonomi (dan politik) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah masih menjadi teka-teki besar bagi pertanian Indonesia.

Ketika kewenangan menjadikan demikian besar ketika masyarakat madani di daerah masih mencari bentuk untuk lebih berperan dalam seluruh tatanan kehidupan ekonomi dan politik, dan ketika sistem kontrol belum terbangun secara baik, kewenangan tidak jarang menjelma menjadi kekuasaan.

Pembangunan pertanian dalam fase desentralisasi ekonomi perlu diterjemahkan menjadi peningkatan basis kemandirian daerah yang secara teoritis dan empris mampu mengalirkan dan bahkan menciptakan dampak ganda aktivitas ekonomi lain di daerah. Otonomi daerah perlu diterjemahkan sebagai suatu kewenagan di daerah

(23)

untuk lebih leluasa melakukan kombinasi strategi pemanfaatan suatu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada di suatu daerah otonom, khususnya dalam kerangka pembangunan pertanian dan sektor ekonomi lain pada umumnya.

Untuk itu para elite daerah perlu lebih sungguh-sunguh untuk menentukan arah kebijakan ekonomi regional di daerah, apabila sebagian besar dari rencana strategis pembangunan daerah adalah berbasis agribisnis dan sumberdaya lain. Setiap daerah otonom perlu menjadi motivator dan fasilitator minimal dalam perkukaran informasi mengenai berkah sumbernya (resource endowments): lahan, tenaga kerja, sumber permodalan dan teknologi, dalam bentuk penyediaan basis data dan informasi dalam menggalang kerjasama antar daerah serta dalam fungsi koordinasi dan dijalankan oleh propinsi.

Elit tingkat propinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat perlu menjadi koordinator yang lebih berwibawa untuk merumuskan dan menjalankan orkestra pengembangan ekonomi daerah, harus membawa misi kepentignan nasional, keutuhan bangsa, dan kemajemukan perkembangan ekonomi.

II.3 Ketahanan Pangan

II.3.1 Pengertian ketahanan Pangan

Ketahanan Pangan (food security) adalah paradoks dan lebih merupakan penemuan dunia modern. Secara presentase, lebih banyak produsen pangan di masa lalu ketimbang masa kini; tetapi dunia hari ini lebih aman pangan ketimbang masa lalu.

Paradoks ini bisa terlihat jelas di banyak Negara maju, salah satunya adalah Inggris Raya; Prosentase populasi pertanian di UK tahun 1950 adalah 6 % dan terus menurun secara drastis hingga 2 % di tahun 2000, dan berdasarkan prediksi FAO (Food and Agriculture Organisation), jumlah populasi pertanian di Inggris akan terus turun menjadi 1% di tahun 2010.

(24)

Sederhananya, sekitar 896,000 petani akan memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk. Indonesia saat ini memiliki 90 juta petani (seratus kali dari Inggris) atau sekitar 45% penduduk “memberi makan” seluruh pendududuk (sekitar 230 juta orang). Tetapi fakta-fakta dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi) serta daerah semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester pertama tahun 2005, justru menghadapi ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan gizi buruk.

II.3.2 Definisi Ketahanan Pangan Dari Waktu Ke Waktu

Pendefinisian ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan (Lihat: FAO 2003 dan Maxwell 1996) dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999).

Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002).

Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan dekade 90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan individu;

dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Lihat: Maxwell & Frankenberger 1992).

Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (diskursus) mengenai ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-penyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements). Sejak tahun 1980- an awal, diskursus global ketahanan pangan didominasikan oleh hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Buku The Poverty &

Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu pelopor utama

(25)

perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell &Slater, 2003; Boudreau & Dilley, 2001).

Diakui bahwa Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukkan bahwa ketidak-tahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”.

Kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti. Sedikitnya ada empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni: pertama, kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat:

fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus. Pendefinisian formal di bawah ini memberikan pengertian yang saling melengkapi.

(26)

Tabel II.2 Definisi Formal Ketahanan Pangan

II.3.3 Keutamaan Beras Sebagai Konstruksi Sosial

Penyamaan swasembada beras dengan ketahanan pangan sudah sangat lama terjadi di Indonesia. Ini semacam mitos yang terus direproduksi ulang dari masa ke masa.

Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap di jadikan basis ketahanan pangan di level propinsi maupun kabupaten. Hal ini mengidikasikan pengutamaan beras sebagai indikator ekonomi nasional.

Dominasi beras atas sumber daya pangan lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti “palawija” (Sansekerta, phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang bukan beras (sekunder) atau pangan kelas dua, sesuatu yang

(27)

terkonstruksikan secara budaya (culturally constructed). Beras telah menjadi sumber pangan dominan yang tercermin dari 50% total konsumsi nasional (Van der Eng 2001:190). Tahun 2000-an, 96% penduduk Indonesia makan beras ketimbang sumber pangan lainnya (Simatupang, 1999).

Lambang padi digunakan sebagai simbol kemakmuran negara. Di daerah-daerah produsen jangung dan umbi jalar seperti Timor dan Papua, padi tetap disimbolkan sebagai lambang pemerintahan daerah. Dari penelusuran di Internet terhadap lambang - lambang pemerintah kabupaten, hampir tidak ada propinsi yang tidak memasukan padi sebagai lambang daerah. Tingginya ketergantungan pada beras di daerah seperti Timor, Maluku, Papua, dan Kalimantan telah terjadi sejak jaman kolonial memberlakukan perdagangan antar pulau di Nusantara. Karenanya menuduh Soharto sebagai biang politisasi beras dan penyebab diskriminasi pangan lokal adalah tuduhan yang tidak sepenuhnya benar. Hal ini karena politisasi beras masa Suharto dibangun pada pola yang sudah terbawa sejak masa kolonial (Reid 1984).

II.3.4 Kebijakan Pangan Indonesia: 1952-2005

Kebijakan harga beras telah menjadi basis kebijakan pangan dan beras lebih dari 300 tahun, sejak masa kolonial (Mears & Moeljono 1981). Sayangnya, nature dari kebijakan harga pangan hari ini sangat berbeda dengan asal-muasalnya. Pemerintah Kolonial Belanda selalu menginginkan harga buruh yang murah bagi investasi pertaniannya di Nusantara. Karena itu, harga dasar pangan dan beras selalu ditekan rendah, karena harga beras sangat penting bagi konsumsi keluarga, sehingga perlu membuat harga dasar pangan utama tersebut rendah sepanjang waktu. (Mears and Moeljono 1981:23-24).

President Sukarno menjiplak kebijakan yang sama dengan motivasi dukungan politik.

Sukarno ingin memproteksikan kekuasaannya dengan cara mengambil hati pegawai negeri sipil dan militer dengan cara proteksi pendapatan melalui beras sebagai komponen gaji bulanan (Mears and Moeljono 1981). Tujuannya yakni rezim yang

(28)

belia memerlukan kesetiaan dan dukungan politik. Masa pemerintahan Suharto rezim selama 32 tahun secara telak menjiplak hal yang sama. Bisa dibayangkan dukungan beras untuk memberi makan 4.6 juta PNS dan 0.5 juta militer akan berdampak pada hasil voting dalam pemilu.

Kondisi menjadi lebih buruk ketika beras dibaptis menjadi barometer ekonomi pembangunan tapi pada saat yang sama berfungsi sebagai alat politik. Kelahiran Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 1967, sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme: stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Bulog berfungsi sebagai pengotrol harga beras dengan cara mematok harga beras domestic secara signifikan lebih tinggi dari harga beras dunia (Alderman & Timmer 1980, Timmer Falcon and Pearson 1983, Timmer 2002). Hal ini masih menjadi kebijakan Megawati hingga tahun 2004 (Timmer 2004).

Kondisi ini diperparah lagi dengan korupsi di tubuh BULOG (Timmer 2004).

Simatupang (1999:5) menuduh kebijakan pangan Indonesia sebagai praktek kleptocracy, yang berarti bahwa rezim Suharto menggunakan Bulog sebagai mesin uang bagi kepentingan pribadi dan keuntungan politis. Akhir 1980, Bulog tetap ditugasi untuk memerankan kontrol pasar perberasan Indonesia tetapi sedikit diperluas untuk menangani komoditas pangan lain seperti gula pasir, gandum, jagung, kedelai dan sejumlah komoditas lainnya. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa Indonesia bergumul dengan upaya mencapai swasembada pangan sejak 1952 hingga hari ini.

Pencapaian swasembada pangan 1984 tidak mampu dijaga secara berkelanjutan.

Yang perlu dicatat adalah upaya mencapai swasembada pangan tidak disertai oleh upaya penguatan ketahanan pangan. Susilo Bambang Yudoyono (SBY) gencar mempromosikan “revitalisasi pertanian”, dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non-beras.

(29)

Melalui pengutamaan pangan alternatif seperti jagung, singkong, di samping beras.

Karena itu, di atas kertas, ada peningkatan kualitas kebijakan dibandingkan rezim kepresidenan sebelumnya. Revitalisasi pertanian termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan akses atas pangan yang lebih baik.

Tabel II.3 Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia Sejak 1952

(Dikelolah sendiri dari Mears 1984, Mears and Moeljono 1981 dan berbagai sumber).

(30)

II.3.5 Swasembada Pangan ≠ Ketahanan Pangan

Kesamaan antara Orde Lama dan Orde Baru, hingga Orde Reformasi, hingga pemerintahan SBY kini adalah komitmen untuk mencapai swasembada beras ditingkat nasional. Melalui program Kesejahteraan Kasimo (1952-1956), ataupun swasembada beras melalui Program Sentra Padi (1956-1965) hingga Repelita 1,2,5,6 dan 7 juga menitik beratkan pada swasembada.

Order Baru sempat mengganti orientasi kebijakan pangan dari swasembada beras ke swasembada pangan secara umum pada Repelita 3 dan 4. Hasilnya sempat dirasakan pada tahun 1984 di mana Indonesia mencapai level swasembada pangan. Selama empat tahun kepemimpinan Megawati (2000-2004), penjiblakan kebijakan swasembada pangan terus dilakukan. Statement Megawati yang terkenal adalah

“Tidak ada pilihan lain kecuali Swasembada”. Fakta menunjukkan bahwa produksi pangan Indonesia tahun 2004 mampu memberikan hasil yang menggembirakan (lihat Food Outlook FAO April 2004), tapi disayangkan bahwa Indonesia tidak mampu ketahanan pangan yang memadai.

Peristiwa kelaparan dan malnutrisi di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan hal ini Atmarita (2005). Stevens et. al. (2000) memberikan ilustrasi yang membedakan secara tegas antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Bostwana, sebagai misal, sebagai Negara dengan pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan yang kronis karena minimnya lahan pertanian.

Strategi ketahanan pangan nasionalnya adalah swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi pada “self-reliance”, yang mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari pangan import terhadap ketahanan pangan nasional. (Stevens et. al.

2003: 2). Negara-negara kategori A (USA, Canada, Australia, Brunei) memiliki kapasitas pangan yang paling kuat karena memiliki kondisi pangan ideal di mana mereka mampu berswasembada pangan tetapi sekaligus juga memiliki ketahanan pangan yang kuat.

(31)

Sedangkan Negara C seperti Singapura, Norwegia dan Jepang, mereka sama sekali tidak swasembada pangan tetapi memiliki fondasi ketahanan pangan yang jauh lebih kuat dari Negara-negara kategori B seperti Indonesia, Filipina dan Myanmar.

Table II.4 Ketahanan Pangan Versus Swasembada Pangan (dimodifikasi dari Stevens et. al. (2000: 3)

Terlihat bahwa ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata tetapi lebih soal management investasi pada sektor-sektor non pangan dan non-pertanian dilihat sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan. Setidaknya, ini konsisten dengan argument Amarya Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.

Terlihat secara jelas bahwa Negara-negara kategori B mampu mencapai swasembada pangan tetapi mengalami ketidak-tahanan pangan. Indonesia mampu berswasembada pangan. Ini jelas terlihat ketika Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984, justru jumlah bantuan pangan USA pada waktu yang sama adalah rata-rata tiga puluh kali lebih besar ketimbang dekade 90an, ketika Indonesia tidak lagi memegang predikat swasembada pangan nasional. Jelaslah bahwa swasembada tingkat nasional tidak serta merta menjawab persoalan distribusi pangan dan akses atas pangan secara adil dan merata (Stevens et. al. 2000: 3).

Negara-negara kategori D adalah yang paling rentan karena disamping tidak memiliki kapasitas produksi untuk berswasembada, juga tidak mapu menciptakan ketahanan pangan. Solusi buat negara-negara seperti ini adalah intervensi bantuan pangan

(32)

internasional. 6. Catatan Penutup: Ketahanan Pangan dan Tantangan Globalisasi Thompson & Cowan (2000: 402) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan yang terjadi di beberapa Negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda.

Tantangan terbesar Indonesia adalah bahwa tidak dengan mudah masyarakat mengabaikan perdagangan pangan global karena tingkat urbanisasi yang tinggi yang berbarengan dengan tingkat kemiskinan perkotaan, yang mana sangat membutuhkan pangan yang murah, kecuali ketergantungan pada produksi pangan domestik bisa menjamin harga pangan yang murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus menghadapi cara bagaimana memproteksi petani kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global.

Meningkatnya populasi penduduk perkotaan dari 15% di tahun 1950 menjadi 46% di tahun 2003, menjadi tantangan pemenuhan ketahanan pangan kota. Dilema bagi Indonesia adalah bahwa Petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil.

Sayangnya harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan.

Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.

Revitalisasi pertanian SBY hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan yang lebih hakiki yakni soal akses atas pangan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Aspek akses mendapat ancaman serius dengan naiknya BBM dan tidak serta merta selesai dengan kompensasi BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai.

(33)

II.4 Konsep Pembangunan Ketahanan Pangan

Perkembangan lingkungan strategis global dan domestik, dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan dan paradigma pembangunan ke arah yang lebih terdesentralisasi, demokratis dan lebih terbuka pada ekonomi pasar yang lebih kompetitif, maka arah dan pendekatan pembangunan ketahanan pangan perlu disesuaikan dan dikoreksi ke arah paradigma baru yang lebih tepat.

Paradigma baru dalam pembangunan dan pemantapan ketahanan pangan antara lain:

(1) pendekatan pengembangan dari ketahanan pangan pada tataran aggregat (makro) menjadi ketahanan pangan berbasis rumah tangga; (2) pendekatan manajemen pembangunan, dari pola sentralistik menjadi pola desentralistik; (3) pelaku utama pembangunan, dari peran pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat; (4) fokus pengembangan komoditas, dari beras menjadi komoditas pangan dalam arti luas; (5) keterjangkauan rumah tangga atas pangan, dari penyediaan pangan murah menjadi peningkatan daya beli; dan (6) perubahan perilaku keluarga terhadap pangan, dari sadar kecukupan pangan menjadi sadar kecukupan gizi.

Upaya pemantapan ketahanan pangan sebagaimana dimaksud akibat terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ketahanan pangan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota diperlukan usaha-usaha pengembangan kapasitas produksi melalui perluasan areal dan rehabilitasi kemampuan produksi, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, lahan dan air. Selain itu, pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang, melalui aktualisasi diversifikasi pangan (penganekaragaman pangan).

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. Kecukupan ketersediaan pangan;

(34)

2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun;

3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan; dan 4. Kualitas/keamanan pangan

Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga setiap penduduk. Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.

II.4.1 Kecukupan Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45).

Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini:

(a) Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen

(35)

padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.

(b) Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat dipanen satu kali dalam tahun.

Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.

Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan, dengan beras sebagai makanan pokok dapat diukur sebagai berikut:

 Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup

 Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

 Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.

Kondisi ketersediaan pangan, dengan jagung sebagai makanan pokok dapat diukur sebagai berikut:

 Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup

 Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

 Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup

(36)

II.4.2 Stabilitas Ketersediaan Pangan

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu).

Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa, dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya.

Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:

(37)

Tabel 2.5 Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga Kecukupan

ketersediaan pangan

Frekuensi makan anggota rumah tangga

> 3 kali 2 kali 1 kali

> 240 hari

> 360 hari

Stabil Kurang stabil Tidak stabil

1 -239 hari 1 – 364 hari

Kurang stabil Tidak stabil Tidak stabil

Tidak ada persediaan

Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil

II.4.3 Aksesibilitas Terhadap Pangan

Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:

 Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang

 Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah/ladang.

Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori yaitu: (1) produksi sendiri dan (2) membeli. Indikator aksesibilitas/keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan dikelompokkan dalam kategoti seperti pada tabel berikut:

Tabel II.6 Indikator Aksesibilitas/Keterjangkauan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

Pemilikan sawah/ladang Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan

Punya Akses langsung Akses tidak langsung

Tidak punya Akses tidak langsung

(38)

Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian pangan yang merupakan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:

 Mempunyai persediaan pangan cukup

 Konsumsi rumah tangga normal dan

 Mempunyai akses langsung tarhadap pangan

Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel II.7 Indikator Kontinyuitas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

Akses terhadap pangan

Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga

Stabil Kurang stabil Tidak stabil Akses langsung Kontinyu Kurang kontinyu Tidakkontinyu Akses tidak

langsung

Kurang kontinyu Tidak kontinyu Tidak kontinyu

II.4.4 Kualitas Pangan

Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga.

Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati.

Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:

(39)

1) Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.

2) Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.

3) Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.

II.5 Indeks Ketahanan Pangan

Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan) Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas ketersediaan pangan.

Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan. Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel II.8 Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kontinyuitas

ketersediaan pangan

Kualitas/keamanan pangan:

Konsumsi protein hewani dan/atau nabati Protein hewani dan

nabati atau protein Protein hewani saja

Protein nabati saja

Tidak ada konsumsi protein hewani, dan nabati

Kontinyu Tahan Kurang tahan Tidak tahan

Kurang kontinyu Kurang tahan Tidak tahan Tidak tahan Tidak kontinyu Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan

(40)

Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

1) Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja

2) Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki:

 Kontinyuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja

 Kontinyuitas ketersdiaan pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati

3) Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh:

 Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati

 Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya.

 Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati

 Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.

II.6 Alih Fungsi Lahan II.6.1 Pemanfaatan Lahan

Lahan merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki karakteristik unik, yakni (i) sediaan/luas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses artifisial (reklamasi) sangat kecil; (ii) memiliki sifat fisik (jenis batuan, kandungan mineral, topografi, dsb.) dengan kesesuaian dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Oleh karena itu lahan perlu diarahkan untuk

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berfokus pada perancangan media promosi, karena permasalahan yang telah ditentukan setelah menjalani Kerja Praktik di BPMTPK selama kurang lebih 1 Bulan, BPMTPK

tingkat kepentingan tagihan konsumen (agak (sedikit) mendesak, mendesak atau sangat mendesak) menggunakan metode Fuzzy C-Means, alasan penulis menggunakan metode ini

Research conducted by Raharjo and Nafisa, (2006: 70) on the analysis of the influence of leadership style to the commitment and employee performance showed the hypothesis

Seperti contoh daya dukung untuk populasi manusia pada hakekatnya adalah jumlah individu dalam keadaan sejahtera yang dapat didukung oleh suatu satuan sumberdaya dan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Model Kampung Konservasi yang terdapat pada Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan

n -heksana kasar. Aktivitas zona hambat dari fraksi D. Perbedaaan daya hambat antar larutan uji terhadap pertumbuhan C. albicans dipengaruhi oleh jenis dan kadar

Total biaya produksi usahatani cabai merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani cabai yaitu penjumlahan dari total biaya sarana produksi, tenaga kerja,

Oleh karena itu, dikembangkan Risk Based Inspection method kedalam bentuk perangkat lunak yang user friendly dan mudah dipergunakan serta sesuai dengan data