• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Konsep Pemesinan Terkini

2.4.1. Pemesinan Laju Tinggi

Meningkatnya permintaan untuk menambah produktivitas dengan biaya

produksi rendah, menuntut untuk dilakukannya pemesinan yang cepat maka

dilakukan pemesinan dengan cara meningkatkan kecepatan pemesinan. Teknologi

pemesinan laju tinggi (high speed machining) merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan produktivitas. Dengan kecepatan potong yang tinggi, maka volume

pelepasan material dari material induk akan meningkat sehingga akan diperoleh

penghematan waktu pemesinan yang cukup berarti. Di samping itu pemesinan laju

tinggi mampu menghasilkan produk yang halus permukaannya serta ukuran yang

lebih presisi.

Defenisi tentang proses pemesinan laju tinggi (high speed machining) yang

dikemukakan oleh para ahli dan masing-masing terdapat perbedaan namun sebagian

besar menyatakan bahwa kecepatan potong merupakan variabel penentu terhadap

pendefenisian tersebut seperti yang dikemukakan oleh Schey (2000), beliau

menyatakan bahwa proses pemesinan laju tinggi adalah proses pemesinan dengan

kecepatan potong sebesar 5-10 kali lebih besar dari pada proses konvensional Schulz

(1999), dan Schulz et. al (1992) mengatakan bahwa proses pemesinan laju tinggi

ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan seperti yang terlihat pada

Gambar 2.9.

Sumber: Schultz dan Moriwaki (1992)

Gambar 2.9. Kecepatan Potong Pada Proses Pemesinan Laju Tinggi

2.4.2. Pemesinan Keras

Proses pemesinan keras sama dengan bubut biasa, tetapi pada proses pemesinan

keras pemotongan dilakukan terhadap benda kerja dengan kekerasan lebih besar dari

50 HRC. Prinsip kerja proses bubut biasa pada dasarnya diterapkan pada proses bubut

keras. Bagaimanapun terdapat perbedaan karakteristik sebagai akibat tingginya

kekerasan material yang akan dipotong. Material yang keras memiliki sifat abrasif,

dan nilai kekerasan atau modulus young ratio yang tinggi. Akibat dari semua itu

maka pada proses bubut keras dibutuhkan alat potong yang jauh lebih keras dan tahan

terhadap berbagai macam jenis logam seperti: baja paduan (steel alloy), baja untuk

bantalan (bearing steel), hot and coldwork tool steel, high speed steel, die steel, dan

baja tuang yang dikeraskan (Baggio, 1996).

Proses bubut keras dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu produksi melalui pengurangan jumlah proses (tahapan), pengaturan peralatan dan waktu untuk

inspeksi karena proses bubut keras dapat dilakukan pada mesin bubut yang sama

dimana proses bubut konvensional dilakukan, peralatan yang sama dapat digunakan

dan tanpa membutuhkan tambahan sebuah mesin gerinda. Bagaimanapun mesin

untuk bubut keras memiliki kebutuhan spasi ruangan yang lebih kecil dibandingkan

mesin gerinda. Dibutuhkan investasi yang lebih kecil untuk sebuah mesin bubut CNC

dibandingkan sebuah mesin gerinda presisi. Keuntungan yang sangat signifikan dari

pahat potong bermata tunggal (single point cutting tool) sebagaimana yang digunakan

pada proses bubut dapat digunakan untuk pekerjaan dengan kontur permukaan yang

rumit, tidak demikian halnya dengan proses gerinda.

Pertimbangan bagi dunia industri untuk menggunakan proses bubut keras

adalah rasio antara biaya peralatan khususnya pahat potong yang digunakan terhadap

umur dari pahat tersebut harus rendah (Harrison, 2004). Intan diketahui sebagai

material yang paling keras akan tetapi tidak cocok digunakan untuk pemesinan logam

ferro karena intan mengandung banyak unsur karbon yang dapat dengan mudah mengalami difusi kedalam besi dan bagaimanapun intan sangat mahal dan memiliki

umur pendek untuk pemesinan tehadap besi. Material yang khusus digunakan untuk

proses bubut keras adalah CBN (Cubic Boron Nitride), keramik, dan cermet (Dawson, 24

1999). CBN adalah material yang paling keras selain intan, dan sangat cocok

digunakan pada proses bubut keras. Insert CBN mulai meningkat popularitasnya

setelah General Electric menemukan kombinasi CBN dengan serbuk titanium nitride

sehingga dapat meningkatkan umur pahat menjadi lima kali (Baggio, 1996).

2.4.3. Pemesinan Kering

Pada umumnya pemesinan untuk mempabrikasi komponen-komponen mesin

dilakukan dengan metode pemesinan basah (wet machining) (Sreejith dan Ngoi,

2000). Pada metode ini sejumlah cairan pemotongan dialirkan ke kawasan pemotong

selama proses pemesinan dengan tujuan menurunkan suhu pemotongan dan melumasi

bagian-bagian pemesinan sehingga diharapkan permukaan pemesinan memiliki suatu

integritas permukaan (surface integrity) yang baik. Fenomena kegagalan pahat dan

penggunaan cairan pemotongan merupakan salah satu masalah yang telah banyak

dikaji dan mendapat perhatian dalam kaitannya yang sangat berpengaruh terhadap

kekasaran permukaan hasil pengerjaan, ketelitian geometri produk dan mekanisme

keausan pahat serta umur pahat (Ginting, A, 2003).

Sreejith dan Ngoi (2000) melaporkan bahwa umumnya cairan pemotongan

bekas disimpan dalam kontainer dan kemudian ditimbun di tanah. Selain itu, masih

banyak praktek yang membuang cairan pemotongan bekas langsung ke alam bebas.

Hal ini jelas akan merusak lingkungan dan undang-undang lingkungan hidup yang

berlaku. Menurut Seco (2004), badan administrasi keamanan dan kesehatan telah

pemesinan yaitu 0,5÷5,0 mg/m3 dan MWFSAC (Metalworking fluid Standard Advisory Committee) merekomendasikan sebesar 0.5 mg/m3

Secara umum industri pemesinan pemotongan logam melakukan pemesinan

kering adalah untuk menghindari pengaruh buruk akibat cairan pemotongan yang

dihasilkan oleh pemesinan basah. Argumen ini secara khusus didukung oleh

penelitian yang telah dilakukan (Streejith dan Ngoi, 2000), secara kuantitatif

menyangkut pengaruh buruk pemesinan basah dengan anggapan pada pemesinan

kering tidak akan dihasilkan pencemaran lingkungan kerja dan ini berarti tidak

menghasilkan kabut partikel cairan pemotongan. Dari pertimbangan hal di atas

pakar pemesinan mencoba mencari solusi dengan suatu metode pemotongan

alternatif dan mereka merumuskan bahwa pemesinan kering (dry machining) yang (Canter, 2003). Oleh

karena itu pemesinan laju tinggi perlu diperhatikan dengan menggunakan pemesinan

kering. Pemesinan kering diakui mampu mengatasi masalah pada dampak yang telah

diuraikan di atas. Pilihan alternatif dari pemesinan basah adalah pemesinan kering,

karena selain tidak ada cairan pemotongan bekas dalam jumlah besar yang akan

mencemari lingkungan juga tidak ada kabut partikel cairan pemotongan yang akan

membahayakan operator dan juga serpihan pemotongan tidak terkontaminasi oleh

residu cairan pemotongan. Pemesinan kering mempunyai beberapa masalah yang

antara lain, gesekan antara permukaan benda kerja dan pahat potong, kecepatan

keluar serpihan, serta temperatur potong yang tinggi dan hal tersebut semuanya

terkait dengan parameter pemesinan.

dari sudut pandang ekologi disebut dengan pemesinan hijau (green machining)

merupakan jalan keluar dari masalah tersebut. Melalui pemesinan kering

diharapkan disamping aman bagi lingkungan, juga bisa mereduksi ongkos

produksi.

Dokumen terkait