• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang memberi definisi dari perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.52 Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 53

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.54

Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan kesepakatan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggris. 55 Achmad Ichsan memakai istilah verbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian.56

Dengan demikian dapat disipulkan bahwa dalam perjanjian terdapat unusur-unsur:

a. Ada para pihak;

52 Ashibly, op.cit., h.119.

53 Subekti, Hukum Perjanjian,Cet ke XIII, Intermasa, Jakarta, 1991,h.1.

54 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,1986,h.6.

55 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.2

56 Ttitik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 20018, h.197.

47 b. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut.

c. Ada tujuan yang akan di capai.

d. Ada perstasi yang akan dilaksankan.

e. Ada bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan.

f. Ada syarat-syarat tertentu.57

b. Bentuk Perjanjian

Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tertulis, untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah, dengan demikian perjanjian dalam bentuk tertulis menurut undang-undang, bukanlah semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian.58

Menurut Salim H.S „‟perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perjanjian tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan dan hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan diantara para pihak yang melakukan perjanjian.59

57 P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta,2015,h.286.

58 Mariam Darus Badaruldzaman,dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2004, h.65-66

59 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ke V, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.42

48 Berdasarkan bentuk bentuk perjanjian tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan antara masing-masing bentuk. Perjanjian tertulis memiliki kelebihan berupa adanya kepastian dan mudahnya dilakukan pembuktian ketika ada pihak yang melakukan wan prestasi, serta menjamin, menegaskan, dan membuktikan hak dan kewajiban paara pihak secara nyata dalam suatu perjanjian tertulis, sedangkan jika dibandingkan denga perjanjian lisan yang hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan antar masing-masing pihak dirasa kurang memadai untuk menegaskan dan menjamin hak serta kewajiban para pihak yang membuat kesepakatan karena dianggap lemah dalam hal pembuktian. Dengan demikian perjanjian yang cocok digunakan bagi para pihak adalah perjanjian tertulis, karena dianggap lebih jelas tentang hal yag diperjanjikan, lebih mengikat, dan mudah untuk dibuktikan.

c. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum bukanlah suatu peraturan, namun seperti yang dikatakan oleh Scholten bahwa hukum tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asas (doch geen rechts is te begrijpen zonder die beginselen). Asas merupakan pokok-pokok

pikiran yang melandasi dan melatarbelakangi setiap ketentuan perundang-undangan maupun putusan pengadilan di dalam sistem hukum. Asas hukum mempunyai dua landasan, yaitu: pertama, asas hukum itu berakar dalam kenyataan masyarakat dan kedua, pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Dalam hukum perdata dikenal beberapa asas perjanjian yang merupakan pokok-pokok pikiran yang melandasi dan melatarbelakangi

49 setiap ketentuan perundang-undangan maupun putusan pengadilan di dalam sistem hukum perdata, asas-asas tersebut ialah :60

1. Asas Konsensualisme Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata

Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dar kata konsensu yang berarti sepakat antara pihak-pihak mengena pokok perjanjian. Menurut Subekti asas konsensus itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.

Konsensus antara pihak dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah”, sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang salah satunya menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata) Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari sate pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya.61

2. Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 Ayat 1) KUH Perdata

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kekebasan orang melakukan kontrak. Asas ini berarti setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian itu belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Jadi para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri isi dan bentuk perjanjian.

60Siti Malikhatun Badriyah, „’Pemuliaan (Breeding) Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Perjanjian Leasing Di Indonesia’’, Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012, h.49

61 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1987, h. 3.

50 3. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (Pacta Sunt Servanda) Pasal 1320

dan Pasal 1338 Ayat 1 KUH Perdata.

Asas kekuatan mengikat atau asas pacta sunt servanda ini berkaitan dengan akibat dari perjanjian. Arti dari pacta sunt servanda adalah bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga para pihak harus tunduk dan melaksanakan mengenai segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Asas ini dapat diketahui dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

4. Asas Itikad Baik (in good faith) (Pasal 1338 KUH Perdata)

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.Ketentuan ini diatur dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.62

62Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, h. 5

51 Asas hukum perjanjian merupakan “jantungnya” peraturan hukum, karena:

pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum; kedua, asas hukum juga dapat disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum (rasio legis) dari peraturan hukum. Asas hukum inilah yang mengawal dan memberi daya hidup (nourishment) kepada hukum dan bagian-bagian atau bidang-bidang dari hukum, sehingga asas-asas perjanjian yang telah dikemukakan tersebut merupakan landasan dari adanya peraturan yang terkait dengan perjanjian.63

d. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian merupakan sarana bagi setiap orang untuk mengikatkan diri dalam suatu kesepakatan mengenai hal-hal tertentu yang merupakan kepentingan dari masing-masing pihak. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua pihak atau karena alasan yang dinyatakan undang-undang cukup untuk itu. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat kedua pihak seperti daya ikat undang-undang. Pihak yang telah membuat perjanjian tidak dapat secara sewenang-wenang mengubah isi perjanjian atau membatalkan perjanjian, kecuali ada alasan untuk membatalkan. Jika salah satu pihak akan mengubah perjanjian

63 Siti Malikhatun Badriyah, Op.Cit., h.49

52 tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak lain. Dengan demikian untuk perubahan perjanjian harus ada kesepakatan kedua belah pihak.64

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah :

1. Sepakat mereka yang mengkatkan dirinya, namun tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal 1329 KUH Perdata), atau dinyatakan tidak cakap (Pasal 1330 KUH Perdata) 3. Adanya suatu hal tertentu, adalah menyangkut objek perjanjian harus

jelas dan dapat ditentukan. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai sedititnya satu hal tertentu ditentukan jenisnya.

4. Adanya suatu sebab yang halal, adanya suatu sebab (causa dalam bahasa Latin) yang halal adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang ( Pasal 1337 KUH Perdata).65

Dengan demikian, terhadap perjanjian yang sah, akan mengakibatkan bahwa para pihak akan terikat tidak saja pada isi perjanjian, akan tetapi juga terikat pada kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.66 Hal inilah yang melatar belakangi

64 Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017, h. 174

65Salim H.S, Op. Cit., h.287-288.

66 Christiana Tri Budhayati, Op.Cit ., h. 174

53 mengapa dalam tindakan cover lagu perlu dibuat suatu perjanjian antara pihak pencipta lagu atau pemilik lagu dengan pihak yang melakukan cover lagu, agar setiap hak masing-masing pihak dapat terpenuhi, dan setiap perbuatan yang dilakukan atas suatu ciptaan juga dapat dipertanggung jawabkan dihadapan hukum.

e. Perjanjian Tertulis Cover Lagu

Hak cipta yang dimiliki oleh pemilik hak cipta secara otomatis memberikan hak ekslusif pada pencipta, hak ekslusif ini hanya diperuntukkan oleh pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Dalam Pasal 4 Undang-Undag Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa „‟hak cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a merupakan hak ekslusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi pemilik hak cipta. 67

Dengan demikian setiap tindakan yang akan dilakukan atas suatu karya cipta haruslah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pencipta, termasuk tindakan tindakan cover lagu harus terlebih dahulu memperoleh izin dari peciptanya, karena cover lagu merupakan kriteria tindakan yang disebutkan dalam ketentuan mengenai hak moral pencipta yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e yang menyebutkan pencipta berhak „‟mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat

67Ashibly, Op. Cit., h. 52.

54 merugikan kehormatan diri atau reputasinya‟‟. Selain itu pencipta juga memiliki hak ekonomi yang harus dipertahankan atas tindakan cover lagu yang dapat menyinggung hak pencipta terkait dengan kriteria hak ekonomi pencipta berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) yaitu „‟penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, serta komunikasi ciptaan. Kemudian pada Pasal 9 ayat (2) disebutkan „‟ setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin pecipta atau pemegang hak cipta.

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun Undang-Undang nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum terdapat pengaturan khusus mengenai tindakan cover lagu, Pasal 5 yang mengatur tentang hak moral dan Pasal 9 yang mengatur tentang hak ekonomi dalam Undang-Undang ini sudah menjelaskan kriteria perlindungan terhadap suatu karya cipta, sehingga untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap integritas suatu ciptaan, maka setiap orang yang mengcover lagu harus meminta izin terlebuh dahulu.

Disamping itu, keberadaan hak ekslusif pencipta tidaklah secara mutlak atau serta merta dapat diberlakukan, karena pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan definisi dalam hak cipta terdapat suatu pembatasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembatasan tersebut dikenal dengan fair use atau fair dealing yang merupakan konsep yang mewajibkan pencipta mengikhlaskan atau mengijnkan ciptaannya untuk

55 digunakan oleh pihak lainnya 68seperti yang di sebutkan pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta meliputi :

a. Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;

b. Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada Ciptaan tersebut, atau ketika terhadap Ciptaan tersebut dilakukan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan;

c. pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap;

atau

d. pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.

e. Penggandaan, Pengumuman, dan/atau Pendistribusian Potret Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau kepala daerah dengan

68 Henry Soelistyo, Op.Cit., h.101

56 memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Doktrin Fair Use inilah yang membatasi hak ekslusif pencipta, meskipun demikian, pembatasan tersebut haruslah memenuhi unsur mutlak yang telah ditentukan dalam Pasal 43 Undang-Undang Hak Cipta, selain itu pembatasan tersebut juga berlaku pada kegiatan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 :

1. Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan :

a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;

b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;

c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.

Meskipun terdapat pembatasan terhadap hak pencipta yang telah di atur dalam Undang-Undang di atas, menurut penulis pembatasan hak tersebut tidak dapat diterapkan pada kegiatan cover lagu, karena tindakan mengcover lagu tidak secara mutlak memenuhi ketentuan pengaturan dalam Pasal 43 huruf d „‟pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau

57 pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut‟‟. Kemudian Pasal 44 ayat (1) huruf d „‟pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran degan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta‟‟.

Tindakan cover lagu merupakan kegiatan yang bersifat komersil ketika dimana pihak yang melakukan cover lagu memperoleh keuntungan ekonomis dari kegiatan tersebut, sedangkan pengaturannya mengatakan asalkan „‟tidak bersifat komersil‟‟, kemudian pendapat penulis mengenai harus dilakukannya izin kepada pencipta oleh pihak yang mengcover karena dalam pengaturan tersebut pun dikatakan bahwa „‟kegiatan tersebut menguntungkan pencipta, atau pencipta menyatakan tidak keberatan atas hal tersebut‟‟, untuk mengetahui apakah kegiatan tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan pihak pencipta, serta adanya pernyataan tidak keberatan dari pihak pencipta, maka penulis menyimpulkan perlu dilakukan izin secara langsung kepada penciptanya, melalui izin tertulis karena dalam tindakan cover lagu ini, pencipta berhak menentukan batas-batas penggunaan yang wajar atas karya ciptanya dan berhak menentukkan hal yang menguntungkan sesuai dengan pengorbananya dalam menciptakan karya tersebut, hal ini perlu dilakukan agar hak ekslusif serta integritas ciptaan dalam suatu karya cipta tetap terlindungi.

Walaupun hak cipta bersifat ekslusif, pemegang hak cipta tidak mudah mempertahankan haknya. Persoalannya tidak mudah menjawab bagaimana suatu perbuatan disebut mengadopsi ciptaan, menyiarkan ciptaan, dan

58 mempertunjukkan ciptaan tanpa seizin pencipta, karena dibidang lagu dan musik lebih rumit karena adanya beberapa unsur lagu atau musik, yaitu melodi, lirik, aransemen, dan notasi.69 Cukup sulit membuktikan pelanggarannya, termasuk di dalam tindakan cover lagu yang merupakan bentuk dari tindakan „‟mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, serta komunikasi ciptaan. Karena adanya keresahan tersebut, dan pengaturan perundagan hak cipta belum mengatur secara spesifik mengenai tindakan cover lagu dan ketentuan-ketentuannya, maka diperlukan suatu media bantu bagi pencipta agar tetap dapat mengontrol karya ciptanya serta melindungi hak ekslusif serta integritas ciptaanya melalui adanya persetujuan tertulis dengan izin tertulis dari pihak yang melakukan cover lagu terhadap penciptanya.

Untuk menghindari terjadinya pelanggaran Hak Cipta, pencipta berwenang untuk membatasi pihak yang menggunakan karya cipta lagu dan musiknya untuk di cover dengan melakukan permohonan izin, dalam tulisan ini penulis menyarankan agar pihak yang mengcover lagu meminta izin terlebih dahulu, seperti yang ditentukan dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, meskipun belum diatur secara spesifik didalamnya, namun dengan adanya pengaturan dalam Pasal 80 ayat (1) yang menyebutkan„‟ pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana

69Ashibly, Loc, Cit., h.52

59 dimaksud dala Pasal 9 ayat (1), dst‟‟ hal inilah yang menjadi landasan mengapa dilakukannya perjanjian tertulis karena tindakan mengcover lagu termasuk kriteria tindakan dalam Pasal 9 ayat (1) „‟penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, serta komunikasi ciptaan‟‟.

Seperti yang telah dijelaskan penulis sebelumnya, karena cukup sulit membuktikan pelanggarannya, meskipun tindakan cover lagu jika tidak dilakukan dengan izin telah memenuhi unsur pelanggaran terhadap Pasal 5 dan Pasal 9 Undnag-Undang Hak Cipta, tetap saja dirasa perlu dilakukan perlindungan yang signifikan terhadap karya cipta yakni dengan melakukan perjanjian tertulis, karena dengan adanya perjanjian tertulis atara pemilik hak cipta dengan pihak yang melakukan cover lagu ditujukan agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan dan ada kepastian hukum di dalamnya, seperti misalnya pemilik hak cipta tidak perlu kuatir akan karya ciptanya yang di cover oleh pihak lain, karena pihaknya dapat mengontrol perbuatan terhadap karya ciptanya berdasarkan adanya perjanjian tertulis tersebut, sehingga tidak menyinggung baik hak moral maupun hak ekonomi pemilik hak cipta.

Perjanjian tertulis memiliki kelebihan berupa adanya kepastian dan mudahnya dilakukan pembuktian ketika ada pihak yang melakukan wan prestasi, serta menjamin, menegaskan, dan membuktikan hak dan kewajiban paara pihak secara nyata dalam suatu perjanjian tertulis, sedangkan jika dibandingkan dengan perjanjian lisan yang hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan antar

60 masing-masing pihak dirasa kurang memadai untuk menegaskan dan menjamin hak serta kewajiban para pihak yang membuat kesepakatan karena dianggap lemah dalam hal pembuktian. Dengan demikian perjanjian yang cocok digunakan bagi para pihak adalah perjanjian tertulis, karena dianggap lebih jelas tentang hal yag diperjanjikan, lebih mengikat, dan mudah untuk dibuktikan. Oleh sebab itu, Pencipta harus secara tegas menyatakan tidak keberatan melalui perjanjian tertulis untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta atas tindakan cover lagu.

Dokumen terkait