• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Konsep Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock dan Sadock, 2007).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan (pendiam, dan sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif (Maramis, 2005).

2.2.2 Epidemiologi Skizofrenia

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya perjalanan penyakit pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 16-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki dari perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural. Skizofrenia cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah (Sadock dan Sadock, 2007).

Pasien skizofrenia berisiko meningkatkan penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Sekitar sebagian dari penderita skizofrenia merupakan penggunaan obat-obatan secara berlebihan. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Maramis, 2005).

2.2.3 Etiologi Skizofrenia

Arif (2006) menjelaskan bahwa skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi dari berbagai faktor yaitu:

a. faktor-faktor genetik (keturunan)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat mempengaruhi risiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada

keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang dengan klien skizofrenia, maka besar risikonya untuk mengalami penyakit tersebut.

b. biokimia (ketidak seimbangan kimiawi otak)

Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmiter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamin. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinefrin tampaknya juga berperan.

c. neuroanatomi (kelainan struktur otak)

Beberapa teknik pencitraan, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah membatu para ilmuwan menemukan abnormalitas struktural spesifik pada otak klien skizofrenia. Misalnya, klien skizofrenia yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki volume jaringan otak yang lebih sedikit dari pada orang normal. Klien skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas dibagian-bagian lain otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia, talamus, hipokampus, dan superior temporal girus.

d. faktor psikologis dan sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga.

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand dan Barlow, 2007).

Keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orang tua terkadang terlalu mengekang anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya (Maramis, 2005).

2.2.4 Patofisiologi Skizofrenia

Patofisiologi skizofrenia dihubungkan dengan genetik dan lingkungan. Faktor genetik dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah dopamin, serotonin, glutamat, peptida ,dan norepinefrin (Kaplan, dkk., 1997).

Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas dopamin di nigrostriatal dan hipoaktivitas di mesolimbik dan mesokortik. Selain itu terjadi disfungsi glutamat dan abnormalitas serotonin, konsentrasi serotonin meningkat. Hiperdopaminergik pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergik pada sistem mesokortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal (Kaplan, dkk., 1997) .

Jalur dopaminergik saraf :

a. jalur nigrostriatal bertanggung jawab terhadap fungsi gerakan, kontrol sistem ekstrapiramidal, gangguan pergerakan (parkinson).

b. jalur mesolimbik bertanggung jawab terhadap control gairah, memori, prosesing stimulus, dan motivasi.

c. jalur mesokortik bertanggung jawab terhadap kontrol kognitif, komunikasi fungsi sosial, dan respon terhadap stress.

d. jalur tuberoinfendibularbertanggung jawab terhadap control regulasi pituitari dan hipotalamus, mengatur pelepasan prolaktin (Setiawati, 2007).

2.2.5 Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia dangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock dan Sadock, 2007).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock dan Sadock, 2007).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu berupa penarikan diri dan perilaku aneh (Bailie, dkk., 2004)

2.2.6 Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,

1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation, 2006). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2006 (APA, 2006).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu: a. tipe paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau kesulitan untuk berkomunikasi) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif (APA, 2006).

b. tipe disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari (APA, 2006).

c. tipe katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang

berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia) (APA, 2006).

d. Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan (APA, 2006).

e. tipe residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar (APA, 2006).

2.2.7 Penatalaksanaan Skizofrenia

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik merupakan kelompok obat terbesar yang dipakai untuk mengobati gangguan mental. Secara khusus, obat-obat ini memperbaiki proses pikir dan perilaku klien dengan gejala-gejala psikotik. Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam berbagai jalur di otak.

Antipsikotik atipikal juga meningkatkan keefektifan serotonin. Teorinya adalah bahwa gejala-gejala psikotik diakibatkan oleh ketidakseimbangan neurotramsmiter dopamin pada otak. Antipsikotik menghambat reseptor dopamin pada otak, sehingga memulihkan gejala-gejala psikotik (Kee dan Hayes, 1996).

Penggolongan antipsikotik dibagi dalam dua golongan besar, yakni antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal.

a. antipsikotik tipikal, disebut juga sebagai obat antipsikotik konvensional, antipsikotik tipikal terutama efektif mengatasi simptom positif. Mekanisme kerjanya, antipsikotik tipikal bekerja dengan memblok reseptor dopamin di mesolimbik, mesokortik, nigostriatal dan tuberoinfundibular di pasca sinaptik neuron di otak, sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif . Walaupun sangat efektif, antipsikotik tipikal sering menimbulkan efek samping yang serius. Efek samping yang ditimbulkan yaitu berupa gejala ekstrapiramidal. Contoh obat antipsikotik tipikal antara lain haloperidol, thioridazine, ,fluphenazine, chlorpromazine, dan trifluoperazine. Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan antipsikotik atipikal. Tetapi ada pengecualian, diantaranya pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipsikotik konvensional (Kee dan Hayes, 1996).

a. Antipsikotik atipikal, atau bisa dikenal juga sebagai antipsikotik generasi kedua, sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA), bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak

yang menyebabkan rendahnya efek ekstrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif sekaligus mengatasi gejala positif. Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off". Antipsikotik atipikal memiliki afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada reseptor secara longgar dan cepat dilepaskan.Antipsikotik atipikal secara cepat mengikat dan memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk memungkinkan transmisi dopamin normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat prolaktin normal, kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan efek ekstrapiramidal. Obat-obat ini terdiri dari clozapine, olanzapine, quetiapine, risperidone. Pada saat ini antipsikotik atipikal lebih dipilih untuk pengobatan terhadap pasien skizofrenia karena efek sampingnya yang kecil dan antipsikotik atipikal dapat mengobati gejala positif dan negatif (Kee dan Hayes, 1996).

Dokumen terkait