• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Speech Act (Tindak Tutur) sebagai Komunikasi Verbal dan Nonverbal

a. Aspek-aspek Situasi Tutur

Seperti yang telah kita ketahui bahwa pragmatik lebih menekankan hubungan tuturan yang diujarkan dengan maksud penuturnya. Dalam hubungan ini upaya pengungkapan maksud penutur hanya dapat diungkapkan dengan mencermati penggunaan tuturan tersebut. Leech (1993: 19-22) mengemukakan aspek-aspek situasi tutur yang merupakan kriteria dalam studi pragmatik, yaitu: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan sebuah tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas: tindak ujar, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.

Istilah penutur dan petutur dalam pragmatik tidak terbatas pada komunikasi lisan saja atau komunikasi secara verbal. Dalam komunikasi tertulis, istilah penutur disebut penulis, dan petutur adalah pembaca. Kedua istilah itu bisa diartikan bahwa penutur adalah orang yang menyampaikan pesan dan petutur adalah orang menerima pesan. Konteks tuturan merupakan aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Menurut Leech (1993:20), konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur dan yang membantu petutur menafsirkan makna tuturan.

39 Aspek situasi tutur yang ketiga adalah tujuan sebuah tuturan. Leech (1993) lebih cenderung memakai tujuan atau fungsi daripada makna yang dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Leech lebih cenderung menggunakan istilah tujuan karena istilah tersebut lebih netral daripada maksud karena tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.

Menurut Hymes (1974, dalam Wijana, 2004: 31) sekuarang-kurangnya ada delapan faktor yang menentukan wujud ujaran seseorang. Faktor-faktor itu adalah Setting atau Scene (S), Participants (P), Ends (E), Act sequence (A), Key (K), Instrumentalitiries (I), Norm of Interaction (N), dan Genre (G). Secara ringkas delapan faktor itu dapat disingkat menjadi SPEAKING.

a) Setting atau Scene berkaitan dengan tempat waktu diutarakannya ujaran itu. Apakah ujaran itu diucapkan dalam situasi formal atau tidak, diucapkan dalam acara apa, atau dalam pasar atau ruang rapat, dan sebagainya kesemuanya itu menuntut penggunaan bahasa yang berbeda. b) Participants bersangkutan dengan peserta tindak tutur, yakni penutur dan

pendengar, atau penulis dan pembaca, penyapa dan tersapa. Dalam sebuah percakapan ada penutur dan pendengar yang perannya bergantian. Namun berbeda saat kita berbicara mengenai pidato atau ceramah, yang hanya ada penutur dan pendengar, yang tidak ada interaksi aktif antara penutur dan pendengar tersebut.Berbeda lagi saat kita berbicara mengenai suatu diskusi, yang tidak hanya melibatkan satu penutur dan pendengar. Suatu diskusi terdapat penutur dan pendengar yang saling bergantian perannya.

40 c) Ends berhubungan dengan tujuan atau hasil yang hendak dicapai oleh orang-orang yang terlibat di dalam percakapan. Di dalam sidang pengadilan pembela, hakim, jaksa, dan saksi-saksi masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Seperti halnya dalam pesta perkawinan rohaniawan, pengantin, dan hadirin mempunyai tujuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

d) Art of sequence menunjuk pada bentuk dan isi sesuatu yang dibicarakan, kata-kata yang diucapkan, dan bagaimana hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Sehubungan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa kuliah, percakapan sehari-hari, dan pidato politik adalah bentuk wacana yang berbeda karena jenis bahasa dan hal yang dikomunikasikan berbeda. e) Key atau kunci adalah berhubungan dengan nada suara, keadaan si

pembicara, dan faktor-faktor emosional lain yang memengaruhi tuturan apakah serius, membual, sarkastik, dan sebagainya. Situasi emosi penutur sering ditandai dengan tingkah laku, dan gerak-gerik.

f) Instrumentalities berkaitan dengan saluran (channel) atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Jadi, apakah pesan itu melalui surat kabar, televisi, atau telegram bahkan media sosial seperti instagram, youtube ataupun media digital lainnya.

g) Norm of Interaction (norma interaksi) menunjuk pada norma-norma kebahasaan yang dianut oleh para anggotanya. Aturan-aturan ini akhirnya dapat mempengaruhi alternatif-alternatif pilihan yang akan dituturkan pembicara. Misalnya di dalam bahasa Inggris terdapat suatu tuntutan agar para anggota masyarakatnya selalu bertutur dengan enunciation (ucapan

41 yang jelas), dengan kalimat-kalimat yang runtut. Para anggota masyarakat harus pandai menampilkan pokok-pokok pembicaraan yang menarik. Norma-norma ini berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. h) Genre berhubungan dengan tipe wacana yang digunakan untuk

berkomunikasi. Di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bentuk wacana yang sudah mapan. Wacana-wacana surat dinas, perundang-undangan, percakapan dengan telepon mempunyai struktur yang kurang lebih mapan dan diketahui oleh anggota masyarakat banyak.

5. Citra

Citra dalam arti kata dan visual menyatakan citra adalah perusahaan di mata para konstituen. Sebuah organisasi dapat memiliki beberapa citra yang berbeda-beda dimata konstituen yang berbeda-beda pula. Selain itu definisi lain tentang citra adalah sebuah cerminan dari identitas sebuah organisasi. Dengan kata lain, citra adalah organisasi sebagaimana terlihat dari sudut pandang konstituennya. Tergantung pada kostituen mana yang terlibat, sebuah organisasi dapat memiliki banyak citra yang berbeda. Dengan begitu, untuk mengerti identitas dan citra sama dengan mengetahui seperti apa organisasi itu sebenarnya dan kemana ia menuju (Argenti, 2010).

Citra dalam definisi yang lain juga dikemukakan oleh Elvinaro Ardianto, (2004: 62-68) yang menyebutkan citra adalah bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite atau suatu aktivitas. Sehingga menurut peneliti Citra adalah kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek, kesan yang timbul tidak bisa di bentuk oleh suatu instansi atau organisasi tertentu melainkan dibentuk oleh pendapat yang berkembang secara langsung di masyarakat.

42 a. Pengertian Citra

Citra (image) adalah gambaran fisik yang menyerupai kenyataan, seperti manusia, binatang, atau benda, sebagai hasil lukisan, perekaman oleh foto, film, atau televisi. Selain itu citra juga merupakan perwakilan atau representasi secara mental dari sesuatu, baik manusia, benda, atau lembaga, yang mengandung kesan tertentu (Effendy, 2000).

b. Jenis-Jenis Citra

Ada beberapa jenis citra yang dipelajari dalam kegiatan pencitraan, terutama dalam ilmu komunikasi, yakni sebagai berikut:

a. Citra bayangan (The Mirror Image)

Citra bayangan adalah citra atau pandangan orang dalam perusahaan mengenai pandangan masyarakat terhadap organisasinya. Citra ini seringkali tidaklah tepat bahkan hanya sekedar ilusi sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan, atau pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi ini mengenai pendapat atau pandangan dari pihak luar.

b. . Citra yang berlaku (The Current Image)

Kebalikan dari citra bayangan, citra yang berlaku adalah citra atau pandangan orang luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra ayangan, citra yang terbentuk belum tentu sesuai dengan kenyataan. Biasanya citra ini cenderung negatif.

c. Citra yang diharapkan (The Wish Image)

Citra harapan adalah citra yang diinginkan oleh perusahaan. Citra ini juga tidak sama dengan citra sebenarnya. Biasanya citra yang diharapkan lebih baik daripada citra sesungguhnya.

43 d. Citra perusahaan (Corporate Image)

Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan. Bukan hanya citra atas produk dan pelayanannya. Citra perusahaan terbentuk dari banyak hal seperti sejarah atau kinerja perusahaan, stabilitas keuangan, kualitas produk, dan lain-lain.

e. Citra majemuk (The Multiple Image)

Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan citra organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan. Jumlah citra yang dimiliki suatu perusahaan boleh dikatakan sama banyaknya dengan banyaknya jumlah pegawai yang dimilikinya.

f. Citra yang baik dan buruk (Good and Bad Image)

Seorang public figure dapat menyandang reputasi baik atau buruk. Keduanya bersumber dari adanya citra-citra yang berlaku (current image) yang bersifat negative atau positif. Citra yang ideal adalah kesan yang benar yakni sepenuhnya berdasarkan pegalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Ini berarti citra tidak dapat “dipoles agar lebihindah dari warna aslinya” (karena hal itu justru dapat mengacaukannya) (Jefkins, 2004:20-23).

Maka dari itu berdasarkan pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan bahwa, suatu citra sebenarnya dapat dimunculkan kapan saja, termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk untuk kedepannya. Citra berkaitan dengan gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk. Selain itu citra merupakan suatu aset penting dari sebuah

44 organisasi atau instansi yang selayaknya terus-menerus dibangun dan dipelihara. Citra tidak dapat direkayasa, melainkan dibentuk oleh masyarakat sehingga menarik untuk diteliti bagaimana citra yang dibangun dalam film yang akan diteliti ini mengenai citra diri dari public figure yakni Najwa Shihab di kanal Youtubenya.

c. Proses Pembetukan Citra

Dalam proses pembentukan sebuah citra, baik perusahaan, instansi ataupun perorangan memerlukan beberapa informasi lengkap mengenai citra organisasi yang meliputi empat elemen sebagai berikut:

1. Personality

Keseluruhan karakteristik perusahaan yang dipahami publik sasaran seperti perusahaan yang dapat dipercaya, perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial.

2. Reputation

Reputasi merupakan hal yang telah dilakukan perusahaan dan diyakini publik sasaran berdasarkan pengalaman sendiri maupun pihak lain. reputasi juga merupakan persepsi publik mengenai tindakan-tindakan organisasi yang telah berlalu dan prospek organisasi sejenis atau pesaing. 3. Value

Nilai-nilai yang dimiliki perusahaan dengan kata lain budaya perusahaan seperti sikap manajemen yang peduli terhadap pelanggan, karyawan yang cepat tanggap terhadap permintaan maupun keluhan.

45 4. Corporate Identity

Komponen yang mempermudah pengenalan publik sasaran terhadap perusahaan, seperti logo, warna dan slogan.merupakan upaya perusahaan untuk mengenalkan diri kepada public melalui visualisasi (logo/lambang) dan non visualisasi (cerminan organisasi kepada publiknya dalam hal bertingkah laku dan berkomunikasi). Semua elemen-elemen tersebut di dalam corporateidentity tersebut dapat digunakan baik secara internal maupun eksternal, untuk memperkenalkan kepribadian suatu perusahaan, sesuai denganfalsafah perusahaan yang telah disepakati (Harrison, 1995). Dengan adanya proses pembentukan citra tersebut peneliti menilai khususnya dengan citra yang positif, sebuah perusahaan, organisasi maupun instansi akan lebih maju dan mendapat kepercayaan oleh publiknya. Sebuah perusahaan, organisasi maupun instansi dengan citra yang baik akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas.

d. Faktor-Faktor Pembentuk Citra

Pencitraan dari new media adalah salah satu jenis komunikasi massa yang dapat dikelola menjadi suatu komoditi. Didalamnya memang kompleks, dari produser, pemain hingga kesenian lain yang sangat mendukung seperti musik, seni rupa, teater, dan seni suara. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen transformasi budaya. Ideologi dalam sebuah film merupakan representasi dari sebuah budaya nyata yang memang sengaja akan ditularkan. Ideologi direproduksi dalam praktek-praktek budaya dan kebiasaan sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-praktek material atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa seseungguhnya

46 ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya (Baksin, 2003:2-4).

Pembentukan citra itu adalah proses yang memberikan/mengarahkan kesan dan persepsi positif dalam benak (diri) seseorang, pembentukan citra sebenarnya adalah salah satu tugas dari (Public Relation) PR karena berfungsi untuk menjalankan tugasnya sebagai agen pembentuk citra. Manfaat citra bagi organisasi dapat dibagi menjadi 2, antara lain yaitu:

Pertama, manfaat cita bagi internal public:

a. Mampu membangun rasa bangga bagi karyawan.

b. Dapat mendorong munculnya motivasi mereka untuk lebih produktif. c. Pertumbuhan lembaga atau perusahaan meningkat.

Kedua, manfaat citra bagi eksternal publik:

a. Relatif lebih di terima dan di ingat oleh masyarakat atau konsumen. b. Mampu membangun dan memelihara tingkat kepercaayaan masyarakat terhadap perusahaan atau lembaga.

c. Menghasilkan reputasi yang baik terhadap perusahaan atau lembaga. d. Meningkatkan daya saing dan kinerja perusahaan atau lembaga diantara kompetisi dengan perusahaan atau lembaga lain.

Berdasarkan pengertian ahli diatas dapat disimpulkan bahwa citra adalah kesan, perasaan dan gambaran diri publik terhadap perusahaan atau instansi. Citra sendiri ialah seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek. Citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya

47 e. Pengertian Personal Branding

Chen (2013) menyelidiki penemuan personal branding di YouTube yang mempertimbangkan perluasan personal brand melalui media sosial. Dalam penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui mengapa dan bagaimana personal brand terbentuk dalam media sosial. Terlihat bahwa kapabilitas individu dalam media sosial seperti You Tube berkontribusi pada peningkatan personalbrand. Hafiz dan Shaker menyatakan bahwa ada hubungan antara tujuan profesional dan cita-cita. Penelitian ini bertujuan untuk membuat kerangka kerja konsep penjenamaan pribadi online dan disimpulkan bahwa pengaruh yang diinginkan dari platform online pada audiens hingga mencapai jumlah yang ditentukan.

Khedher (2014) mendefinisikan personal branding sebagai proses pembuatan identitas personal yang unik, mengembangkan hubungan aktif suatu merek dengan target pasar spesifiknya, mengevaluasi dampaknya terhadap citra dan keotentikan individu, serta sebagai alat untuk merealisasikan tujuan personal dan profesional. Hal ini di diversifikasi proses ini menjadi tiga fase; pembentukan identitas untuk merek pribadi, pemosisian merek pribadi, dan evaluasi merek pribadi.

Sebagaimana sebuah produk, baik barang ataupun jasa, agar seseorang dapat mudah diingat atau disenangi oleh orang-orang sekitar dengan segala keunikan ataupun perbedaannya dengan orang lain maka dibutuhkan upaya yang dalam public relations disebut sebagai branding. Timothy P.O’Brien dalam Haroen (2014 : 13) personal brand adalah identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah respon emosional terhadap orang lain mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki orang tersebut.

48 Menurut Tamimy (2017 : 3-4) fungsi personal branding adalah sebagai usaha untuk memberikan perhatian kepada orang lain atas kemampuan, keunikan, spesialisasi, dan citra diri berbeda yang dimiliki, bahkan lebih unggul dibandingkan orang lain. Sementara itu, fungsi umum branding, sebagai berikut: 1. Sebagai pengenal identitas sebuah brand kepada orang lain.

Dengan melakukan branding, sebuah brand akan mampu diidentifikasi spesialisasinya yang tentunya berbeda dibandingkan dengan brand lain yang telah ada.

2. Sebagai bentuk promosi atau daya tarik, pembangun citra jaminan sebuah kualitas, pemberi keyakinan, prestise, hingga pengendali atas orang-orang disekelilingnya.

3. Sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap konsumen dalam jangka panjang.

4. Sebagai bentuk janji terhadap konsumen agar selalu memberikan kualitas yang konsisten, hingga membentuk ikatan yang kuat antara brand dengan konsumennya.

Tujuan personal branding adalah membangun persepsi atau citra dari apa yang ingin ditampilkan sesorang atau pemilik brand agar mampu memikat dan membangun kepercayaan terhadap orang lain. Menurut Amalia Maulana, salah seorang konsultan branding dalam Tamimy (2017:6) ada tiga hal yang dibutuhkan agar branding berhasil dilakukan, diantaranya clarity (kejelasan), consistency (tetap pada image-nya), dan constancy (selalu ada di mana pun dibutuhkan).

Dapat disimpulkan bahwa semua orang memerlukan personal branding dan ingin dikenal orang lain dengan kelebihan-kelebihan positif yang dimiliki.

49 Namun, tentu saja hal ini tidak akan bisa didapatkan secara instan, melainkan perlu proses dan konsistensi. Wasesa (2018: 5) mengakatan bahwa personal branding yang benar adalah yang menomorsatukan manfaat yang didapat oleh masyarakat berkaitan dengan kompetensi yang khalayak miliki serta bagaimana khalayak mampu mengonversikan kompetensi yang dimiliki oleh pemilik brand menjadi keuntungan untuk masyarakat.

B. Tinjauan Teoritis dan Kerangka Berfikir

Dokumen terkait