• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Strategi Pengembangan Usaha

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.2. Konsep Strategi Pengembangan Usaha

Menurut Kotler (1997), hasil analisis faktor internal dan eksternal dapat dipakai untuk mengetahui posisi dan menyusun strategi pengembangan usaha kedepan. Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam suatu usaha dalam kaitannya dalam tujuan jangka panjang, program tidak lanjut dan prioritas alokasi sumberdaya (Chandler, 1962 dalam Rangkuti, 2006), selanjutnya menurut Porter (1998), strategi adalah alat penting untuk mendapatkan keunggulan bersaing.

Strategi pengembangan usaha yang baik berasal dari perencanaan strategis yang baik pula, yaitu suatu proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi-strategi, dimana tujuan utama dari dari perencanaan strategis adalah mencari kesesuaian aktivitas-aktivitas usaha dengan kondisi internal-eksternal yang mempengaruhi pengembangan usaha. Jadi strategi dalam pengembangan suatu usaha penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan menghasilkan output sesuai dengan permintaan pasar dengan dukungan optimal dari sumberdaya yang ada (Rangkuti, 2006).

Teknik perumusan strategi yang penting menurut David (2002) dapat dipadukan menjadi kerangka kerja pembuatan keputusan tiga tahap, yaitu: (1) tahap input, (2) tahap mencocokkan, dan (3) tahap keputusan. Tahap input merupakan tahap analisis lingkungan, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam dalam prosedur analisis lingkungan adalah: (1) menentukan relevansi karena tidak semua faktor lngkungan berpengaruh pada suatu usaha dan (2) menentukan tingkat relevansi dari issu strategi (strategic issue), yaitu faktor lingkungan yang mempengaruh besar terhadap usaha. Tahap mencocokkan, mencocokkan faktor-faktor strategis internal dan eksternal merupakan kunci efektif menghasilkan alternatif strategi yang layak. Tahap keputusan, tahap keputusan menjadi penting jika ada beberapa alternatif strategi dalam pengembangan usaha. Pada umumnya strategi yang terpilih adalah strategi memiliki peringkat tertinggi atau yang diramalkan dapat memenuhi tujuan dari suatu usaha secara optimal.

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang minyak cengkeh yang telah banyak dilakukan adalah mengenai pengujian kualitas, teknis produksi, pemisahan unsur-unsur dalam minyak cengkeh dan pemanfaatan minyak cengkeh untuk berbagai produk industri, sedangkan penelitian tentang terkait dengan daya dukung faktor internal dan eksternal dalam pengembangan UKM penyulingan minyak cengkeh dan strategi pengembangannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam dalam bagian penelitian-penelitian terdahulu ini menampilkan hasil-hasil penelitian yang memiliki kemiripan produk dan alat analisa.

Menurut Hafsah (2004), pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terkait dengan faktor internal UKM antara lain meliputi: (1) kurangnya permodalan, (2) sumberdaya manusia (SDM)

yang terbatas (3) sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun, (4) sifat produk dengan lifetime pendek (5) lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar, sedangkan yang terkait dengan faktor eksternal UKM antara lain meliputi: (1) iklim usaha belum sepenuhnya kondusif, (2) terbatasnya sarana dan prasarana usaha, (3) implikasi otonomi daerah, dan (4) implikasi perdagangan bebas. Oleh karena itu pengembangan UKM kedepan, perlu menggabungkan keunggulan lokal (lingkungan internal) dan peluang pasar global, yang disinergikan dengan era otonomi daerah dan pasar bebas, atau dengan kata lain pemgembangan UKM perlu pemikiran dalam skala global namun implentasi tindakan yang bersifat lokal (think globaly and act locally) dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan UKM.

Penelitian yang dilakukan oleh Supriatna (2004), mengenai sistem perencanaan model pengembangan agroindustri minyak cengkeh di Sulawesi Utara menunjukkan ketersediaan bahan baku, kemudahan pemasaran, kemudahan transportasi, ketersediaan tenaga kerja, adanya sarana listrik, adanya sarana air, kemudahan investasi, iklim, tersedianya unsur penunjang dan prospek jangka panjang merupakan faktor internal penting yang sangat berpengaruh pada kelayakan usaha minyak cengkeh pada kapasitas penyulingan 18 ton daun cengkeh kering per harinya dengan prediksi perolehan minyak 504 kg/hari pada rendemen penyulingan 2,8%. Secara finansial prediksi investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik minyak cengkeh pada kapasitas tersebut di atas adalah Rp. 863 juta, modal investasi ini diperkirakan akan kembali selama 0.63 tahun atau 7.56 bulan dengan titik pulang pokok 10.515 ton /tahun. Hasil analisis kelayakannya menunjukkan NPV sebesar Rp. 5.35 milyar (lebih besar dari nol), nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (18%) yaitu 49,2 % dan B/C rasionya 1.66 (lebih besar dari 1),

sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembangan teknologi penyulingan minyak di Sulawesi Utara layak untuk dilaksanakan.

Selanjutnya hasil penelitian Smallfield (2004), mengatakan bahwa ukuran kapasitas produksi dan penggunaan teknologi yang tepat sangat penting dalam upaya pencapaian efisiensi produksi dalam destilasi minyak atsiri atau dengan kata lain memaksimalkan rendemen yang diperoleh. Rendemen minyak yang dihasilkan lewat proses destilasi umumnya kecil yaitu berkisar antara 0.1 – 2 persen oleh karena itu dalam pengusahaannya sebaiknya mengolah bahan baku dari luas areal minimal sebesar 20 hektar per unit investasi agar diperoleh kuantitas minyak dan keuntungan yang layak.

Penelitian MacTavish (2002), mengenai studi ekonomi produksi essensial oil di UK, menunjukkan bahwa subsidi dan tingkat bunga yang rendah berhasil meningkatkan produksi minyak atsiri, dalam hal ini akses terhadap alat penyulingan yang baik adalah penting mengingat harga peralatan tersebut cukup mahal. Hal ini memungkinkan dengan melibatkan lembaga riset untuk menciptakan alat suling yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas hasil penyulingan, memberikan bantuan modal kepada produsen, mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan output dalam skala besar, perbaikan penetrasi pasar dan posisi tawar, pengembangan infrastuktur, industri terkait, asosiasi pengusaha dan pusat riset minyak atsiri yang baik .

Penelitian yang dilakukan oleh Maarthen (1998), mengenai aspek ekonomi penyulingan minyak kayu putih Pulau Buru, menunjukkan produk minyak kayu putih Maluku memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai PCR sebesar 0.4574, dimana sebagian besar produksi minyak kayu putih Maluku adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik Indonesia.

Gumbira-Said et al. (2003). Pengembangan industri pengolahan sabut kelapa layak dilaksanakan berdasarkan hasil kriteria investasi dimana di peroleh

NPV bernilai positif, IRR diatas suku bunga komersial (22 %) dan Net B/C di atas satu. Analisisis nilai tambah pada skala optimal menunjukkan pengolahan mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135.65 per butir kelapa dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75.35 persen, bagian tenaga kerja mencapai 62.01 persen dan bagian manajemen mencapai 62.01 persen dan agar distribusi kebutuhan investasi dan modal tersebar luas, skala optimal sebaiknya dilakukan selama 6 tahun investasi. Analisa daya dukung faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis matrix IFE dan EFE yang dipetakan pada diagram SWOT, menunjukkan skor parameter peluang lebih besar dari parameter ancaman dan pengembangan agroindusti pengolahan sabut kelapa berada pada skenario optimis dan implementasi penuh merupakan alternatif terbaik.

Hasil analisis daya saing komoditas kedelai yang dilakukan oleh Siregar (2003) di DAS Brantas, menyimpulkan bahwa daya saing komoditas kedelai mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya karena produsen kedelai membayar input lebih tinggi dari harga bayangannya dan menerima harga output yang lebih rendah dari harga bayangannya sebagai dampak dari stuktur dan sistem pemasaran yang tidak efisien, dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada usahatani tersebut. Kondisi berdampak pada menurunnya jumlah petani kedelai, karena tingkat penerimaan bersih yang dicapai tidak mewakili opportunity cost atau kurang dari 20 persen dari biaya yang dikeluarkan. Selain itu skala usaha yang tidak ekonomis (relatif sangat kecil) membuat biaya per unit output yang tinggi sehingga tidak memenuhi kriteria keuntungan yang rasional untuk dilaksanakan usaha tersebut.

Hasil penelitian Astana et al. (2005), terkait jenis komoditas minyak cendana, diketahui bahwa nilai PCR minyak cendana relatif tinggi (0.76) mengindikasikan adanya distorsi pasar, namun minyak cendana masih berdaya

saing ekspor. Ekspor minyak cendana belum tergoncang jika harga inputnya meningkat sampai 84 persen dan harga outputnya menurun sampai 10 persen.

Hasil penelitian Nurasa dan Supriatna (2005), menyimpulkan bahwa komoditi perkebunan rakyat memiliki kelemahan mendasar, yaitu: (1) kualitas, kuantitas dan kontinueitas pasokan hasil tidak selalu dapat mencukupi permintaan pasar, (2) lokasi, kapasitas dan teknologi pengolahan hasil yang tidak sesuai dengan kualitas maupun kuantitas bahan baku yang tersedia dan permintaan pasar terhadap hasil olahan, dan (3) sistem pemasaran hasil kurang efisien. Kelemahan ini menimbulkan beberapa implikasi yaitu: (1) sistem agribisnis menjadi tidak efisien, biaya produk per satuan output menjadi tinggi sehingga keunggulan komparatif menjadi rendah, dan (2) rendahnya kualitas dan kontinuitas pasokan menyebabkan tingkat kepercayaan pembeli luar negeri berkurang sehingga keunggulan kompetitif menjadi rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Darmawansyah (2003) mengenai maksimisasi sektor ekonomi unggulan untuk menunjang peningkatan penerimaan daerah (studi kasus di Kabupaten Takalar) dengan menggunakan metode linier programming untuk mencari solusi optimal dalam alokasi pemanfaatan lahan dan sumber daya yang sifatnya terbatas yang pada akhirnya akan mengoptimalkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PAD, menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang mampu memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 22.15 persen terhadap PAD dan PDRB. Di mana kondisi ini dapat dicapai jika penggunaan lahan di optimalkan untuk komoditas yang memiliki tingkat produktivitas serta nilai ekonomis tinggi dan memiliki potensi untuk dikembangkan di Takalar adalah padi, jagung, kacang ijo, kelapa, jambu mete, udang, bandeng dan sapi.

Dokumen terkait