• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

RAJA MILYANIZA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

tesis saya yang berjudul :

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENYULINGAN MINYAK CENGKEH DI PROVINSI MALUKU

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2008

(3)

RAJA MILYANIZA SARI. Business Development Prospect Of Cloves Oil Distillation In Maluku (SRI HARTOYO as Chairman, YUSMAN SYAUKAT as Member of Advisory Commitee).

Maluku is one of the provinces which have become the target region for national of business development of Clove Oil Distillation (COD), due to its considerably high potential of people’s clove plantation. The potency of the resources is only one of the determining factors for sucsess of COD business development in Maluku, therefore, study on the prospect of COD business development in Maluku based on carrying capacity of external and internal factors in holistic manner is important to be conducted. The objectives of this study were: (1) analyzing the carrying capacity of external and internal factors for developing COD business in Maluku: (2) analyzing the strategy of COD business development in Maluku based on carrying capacity of external and internal factors. Research result showed that carrying capacity of external and internal factors for COD business development in Maluku relatively high as reflected from following items: indicators value of business feasibility, competitiveness of clove oil wich was relatively high and comparison of total score of matrices internal Factors Evaluation (IFE) dan external Factors Evaluation (EFE). Business development strategy for COD which can be implemented in accordance with strategi alternatives as recommended by result linear programming analysis and mapping on matrices internal and external (I-E), was business development CODS3 or COD business by using Distillation Equipment Capacity (DEC) of 100 kilograms of stainless steel type in each regency (district) in accordance with availability of possessed resources, because this could optimize the use resources and provide the maximum profit as compared to other kinds of DEC. Keyword: business development cloves oil distillation (COD), internal-external

(4)

RAJA MILYANIZA SARI. Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku (SRI HARTOYO, sebagai Ketua dan YUSMAN SYAUKAT, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Maluku adalah salah satu provinsi yang memiliki potensi perkebunan cengkeh yang cukup besar. Potensi sumberdaya ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program pengembangan usaha PMC di Maluku, oleh karena itu kajian tentang prospek pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku berdasarkan daya dukung faktor-faktor internal dan eksternal secara holistik penting untuk dilakukan. Penelitian Ini bertujuan untuk: (1) menganalisis daya dukung faktor internal dan eksternal terhadap pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku dengan menggunakan analisis kelayakan usaha, analisis daya saing dan analisis matrik EFI dan EFE, dan (2) menganalisis strategi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku berdasarkan daya dukung faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis LP dan analisis matriks I-E.

Hasil penelitian menunjukkan daya dukung faktor internal – eksternal dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku relatif cukup tinggi berdasarkan: : (1) nilai indikator kelayakan usaha PMC pada berbagai kapasitas olah dan jenis alat suling menunjukkan NVP lebih besar dari nol, Net B/C lebih besar dari satu, IRR lebih besar SDR yang berlaku dan PBP yang lebih kecil dari umur ekonomis usaha PMC, (2) daya saing minyak cengkeh Maluku relatif tinggi ditunjukan oleh DRCR dan PCR yang lebih kecil dari satu, dan masih dapat ditingkatkan dengan pengembangan jenis dan kapasitas alat suling yang efektif dan efisien, dan (3) Total skor matriks IFE dan EFE, yang menunjukkan total skor terboboti dari semua parameter variabel kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Propinsi Maluku lebih besar dari total skor terboboti dari semua parameter variabel kelemahan (1.4:0.81), dan total skor terboboti dari semua parameter variabel peluang lebih besar dibandingkan dengan total skor terboboti dari semua parameter variabel ancaman (1.55:0.92). Adapun strategi pengembangan usaha PMC yang direkomendasikan berdasarkan analisa LP dan Matriks I-E relatif memiliki tingkat kesamaan tinggi. Analisa LP merekomendasikan Alternatif strategi pengembangan usaha PMCs3 atau usaha PMC menggunakan KAS 100 kilogram pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan bahan baku yang dimiliki, karena dapat mengoptimalkan penggunaan sumberdaya dan memberikan keuntungan yang maksimal dibandingkan penggunaan KAS lainnya. Pemetaan pada matrik I-E merekomendasikan 2 strategi yaitu: (1) strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal dapat dilakukan melalui kegiatan memperluas usaha pada lokasi yang berbeda, memperluas pasar, fasilitas produksi dan teknologi melalui joint ventures atau kemitraan, dan (2) strategi stabilitas adalah menjalankan strategi yang telah ditetapkan tanpa mengubah arah strategi.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

(6)

Raja Milyaniza Sari

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama Mahasiswa : Raja Milyaniza Sari

Nomor Pokok : A151050011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 1974 sebagai anak

keempat dari lima bersaudara pasangan R.M.K. Marpaung dengan Hj. N. Yahya.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Poka Ambon pada tahun

1987, kemudian pendidikan menengah di SMPN.7 Ambon 1990 dan SMUN 3

Ambon pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

pendidikannya di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,

Universitas Pattimura Ambon dan meraih gelar sarjana pada tahun 1999.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Budidaya Pertanian

Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Pattimura sejak Desember

2002. Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui

beasiswa BPPS dari DIKTI dan di masa studi S-2 tahun 2006. Penulis menikah

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,

atas pertolongan dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis Program

Magister Sains. Tesis ini berjudul “Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan

Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku”.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku

Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberi saran,

bimbingan dan sumbangan pemikiran dari awal penulisan proposal hingga

penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, selaku dosen penguji luar komisi. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Unpatti dan Dekan Fakultas Pertanian Unpatti atas kesempatan yang

diberikan untuk menempuh pendidikan.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Pertanian, dan seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dalam

menjalani perkuliahan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah

Pascasarjana, IPB.

3. Dr. Ir. Wardis Girsang, Dr. Ir. Max Pattinama, Ir. Shelly Pattipeiluhu, Msi.,

Abdullah Sialana Spi., Suryadi, S.Sos., Mientje Lewa, S.Sos.,

Hasan Latarissa S.Sos., Saad Sanusi dan Seblun Tiwery, SH., yang telah

bersedia menjadi responden penentu faktor internal dan eksternal dalam

penelitian ini.

4. Staf dan penyuluh lapang Dinas Pertanian, Perindag dan Baristand

(10)

responden yang telah membantu penulis memperoleh data dan informasi

untuk penulisan ini.

5. Teman-teman di EPN angkatan 2005 (Mariyah, Ahmad Yousuf Kurniawan,

Wiji, Betrixia Barbara, Pini Wijayanti, Novindra, Zuraidah, Dewi Nurasih, Zais

M. Samiun, Aprilaila Sayekti, Zednita Azriani, M. Yadjid, Budi Sulistyo, Tono,

Veralianta Sebayang, Andri Meiriki, Ranthy Pancasasty dan Rumna), EPN

angkatan 2004 dan 2006 (Andi Thamrin), teman-teman sekost (mbak wati,

erna, dian dan yuanna) atas bantuan dan dorongan semangat yang

diberikan.

6. Ayahanda R.M.K. Marpaung dan Ibunda Hj.N.Yahya, kakak-kakakku (Milyan,

Milvan dan Milwan) dan adikku Dedi yang telah memberikan dukungan moril

dan do’a.

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak disebutkan di sini, namun telah banyak

membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat

kepada suami tercinta Djoko Murtiono yang telah memberikan dukungan moril

dan materil, perhatian, kesabaran dan do’a yang tulus ikhlas sehingga penulis

dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mempersembahkan tesis ini

kepada pembaca sebagai salah satu sumber informasi dan pengetahuan yang

bermanfaat dan berguna bagi penelitian berikutnya.

Bogor, Mei 2008

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Tinjauan Teoritis ... 8

2.1.1. Konsep Faktor Internal dan Eksternal... 8

2.1.1.1. Konsep Kelayakan Usaha ... 9

2.1.1.2. Konsep Daya Saing ... 11

2.1.2. Konsep Strategi Pengembangan Usaha... 15

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 16

2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 21

III. METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2. Metode Pengambilan Contoh ... 24

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 25

3.4. Metode Analisis ... 25

3.4.1. Analisis Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku... 26

3.4.1.1. Analisis Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh ... 26

3.4.1.2. Analisis Daya Saing Minyak Cengkeh... 26

3.4.1.3. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Evaluasi Faktor Eksternal... 29

(12)

3.4.2. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan

Minyak Cengkeh ... 31

3.4.2.1. Analisis Linier Programming... 31

3.4.2.2. Analisis Matriks Internal – Eksternal ... 34

VI. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35

4.1. Kondisi Fisik Wilayah... 35

4.2. Kondisi Penduduk... 37

4.3. Kondisi Perekonomian ... 40

4.4. Kondisi dan Potensi Tanaman Cengkeh ... 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

5.1. Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku ... 44

5.1.1. Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh ... 44

5.1.2. Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku ... 47

5.1.3. Faktor-faktor Strategis dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ... 50

5.1.3.1. Faktor Kekuatan ... 51

5.1.3.1. Faktor Kelemahan ... 55

5.1.3.1. Faktor Peluang ... 62

5.1.3.1. Faktor Ancaman ... 66

5.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh ... 69

5.2.1. Penentuan Prioritas Alternatif Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ... 69

5.2.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ... 72

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

7.1. Kesimpulan ... 77

7.2. Saran ... ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

LAMPIRAN ... ... 83

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Daerah pengembangan, Potensi Tanaman Menghasilkan dan

Jumlah Unit pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh... 4

2. Jumlah Industri Kecil Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal Provinsi Maluku Tahun 1994 – 2004 ... 6

3. Perbedaan Penilaian Beberapa Unsur Dalam Analisis Ekonomi dan Finansial ... ... 10

4. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing ... ... 29

5. Penilaian Skor Terbobot Faktor Internal dan Ekternal ... 30

6. Luas Lahan Potensial per Sub-sektor di Provinsi Maluku... ... 36

7. Jumlah Penduduk di Provinsi Maluku Per Kabupaten/Kota ... 37

8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Kabupaten/Kota ... 39

9. Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2004 .... ... . 39

10. Kontribusi Masing-Masing Sektor Terhadap PDRB Provinsi Maluku... 40

11. Data Potensi Industri Kecil-Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal di Provinsi Maluku Tahun 2004 ... 41

12. Luas Areal, Jumlah Petani dan Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat di Provinsi Maluku Tahun 2004 ... ... 42

13. Potensi Perkebunan Cengkeh Provinsi Maluku Tahun 2001-2005 ... 43

14. Karakteristik Usaha PMC... 45

15. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMC... ... 46

16. Hasil Analisis Kelayakan Finasial Usaha PMC... 47

17. Hasil Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Berdasarkan Kategori ... ... 49

18. Faktor Strategis Internal - Eksternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ... ... 50

(14)

19. Luas Areal dan Produksi Cengkeh, dan Potensi Ketersedian

Bahan Baku Minyak Cengkeh Per Kabupaten Tahun 2005 ... ... 52

20. Karakteristik Pengusaha PMC Maluku ... ... 56

21. Nilai per Unit Alat Suling, Nilai Bantuan per RTU dan Frekwensi

Produksi per Tahun ... ... 61

22. Perbedaan Minyak Cengkeh Berdasarkan Jenis Alat Suling ... .... 65

23. Perkembangan Harga Cengkeh dan Minyak Cengkeh Tahun 1999 – 2005 ... 66

24. Standar Mutu Minyak Daun Cengkeh Menurut SNI 1991 Dan Minyak Cengkeh Maluku 1997 ... 68

25. Ketersediaan Bahan Baku dan Alokasi Dana Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Pada 6 Kabupaten di

Provinsi Maluku... ... 70

26. Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis

Stainless Steel) dengan Sofware LINDO... 71

27. Matriks EFI Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku... 73

28. Matriks EFE Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku... ... 74

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor ... 14

2. Kerangka Pemikiran Penelitian... 23

3. Matriks I - E ... 34

4. Perbandingan Potensi Lahan, Lahan yang telah dimanfaatkan dan

Lahan yang belum dimanfaatkan untuk Sub-sektor Perkebunan.….. ... 36

5. Matriks I – E untuk Pengembangan Agroindustri Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku.….. ... 74

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Propinsi Maluku... 84

2. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nontainless Steel... 85

3. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainless Steel) ... 85

4. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainless Steel) ... 86

5. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainless Steel) ... 86

6. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nontainless Steel) ... 87

7. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainless Steel) ... 87

8. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainless Steel) ... 88

9. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainless Steel) ... 88

10. Nilai KURS Tengah Dollar terhadap Mata Uang Rupiah

Tahun 1999 -2007... ... 89

11. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nonstainles Steel)... 90

12. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainles Steel) ... 90 13. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainles Steel) ... 91 14. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainles Steel) ... ... 91 15. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nonstainles Steel)... 92

16. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainles Steel) ... 92

(17)

17. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainles Steel) ... 93

18. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Pada PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainles Steel) ... ... 93

19. Responden Penentu Faktor Strategis Internal – Eksternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Propinsi Maluku ... ... 94

20. Rekapitulasi Penentuan Faktor Kekuatan dan Kelemahan Internal ... 95

21. Rekapitulasi Penentuan Faktor Peluang dan Ancaman Eksternal . ... 95

22. Bagan Proses Penyulingan Minyak Cengkeh ... 96

23. Model Matematis dan Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis Stainless Steel) dengan Sofware LINDO... ... 97

24. Rekapitulasi Perhitungan Bobot Faktor Internal ... ... 99

25. Rekapitulasi Peringkat Faktor Kekuatan dan Kelemahan Internal ... .. 100

26. Rekapitulasi Perhitungan Bobot Faktor Eksternal ... ... 101

27. Rekapitulasi Peringkat Faktor Peluang dan Ancaman Eksternal ... 101

(18)

1.1. Latar Belakang

Secara umum potensi sumberdaya nasional dan daerah adalah agribisnis

dalam arti luas. Potensi tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative

advantage) dan merupakan landasan yang kuat bagi terbangunnya keunggulan kompetitif (competitive advantage) bagi pengembangan ekonomi nasional dan daerah. Jika potensi tersebut didayagunakan secara optimal, maka

perekonomian yang dibangun akan memiliki landasan yang kokoh pada

sumberdaya domestik, memiliki kemampuan bersaing dan berdaya-guna bagi

seluruh masyarakat (Rencana Pembangunan Pertanian, 2004).

Terkait pendayagunaan potensi nasional dan daerah dalam upaya

pengembangan ekonomi nasional dan daerah, serta menghadapi era liberalisasi

perdagangan, pembangunan sektor rill saat ini diarahkan pada tujuh sasaran

utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama golongan

ekonomi lemah melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi rakyat,

(2) meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor non migas,

(3) menciptakan stuktur industri yang kuat yang mampu memanfaatkan

keunggulan komparatif untuk mencapai keunggulan kompetitif, (4) menciptakan

sektor agribisnis dan agroindustri yang tangguh sebagai landasan menuju era

industrialisasi, (5) mencapai daya saing produk domestik yang tinggi melalui

peningkatan produktivitas dengan mempercepat inovasi dan diseminasi teknologi

tepat guna, (6) mencapai standar mutu yang diterima pasar global, dan

(7) menciptakan pembangunan ekonomi rakyat berkelanjutan dan ramah

lingkungan.

Salah satu potensi sumberdaya nasional dan daerah yang diidentifikasi

(19)

Minyak Cengkeh (AMC). Penilaian ini berdasarkan ketersediaan bahan baku dan

kecenderungan peningkatan permintaan atau penggunaan minyak cengkeh di

pasar domestik maupun dunia. Minyak cengkeh (cloves oil) adalah salah satu jenis minyak atsiri (essential oil) yang dapat diperoleh dengan mengekstrasi bunga, gagang dan daun tumbuhan cengkeh. Minyak cengkeh yang diproduksi di

Indonesia umumnya adalah minyak cengkeh yang berasal dari daun dan gagang

tanaman cengkeh.

Pada awalnya sebagian besar produksi minyak cengkeh adalah untuk

kebutuhan ekspor, namun beberapa tahun terakhir pemakaian minyak cengkeh

domestik semakin meluas yaitu: (1) sebagai produk subtitusi bunga cengkeh

pada pabrik rokok kretek (PRK), yang mencapai 25 persen dari konsumsi bunga

cengkeh PRK dan diprediksikan akan meningkat sebesar 5 persen pertahunnya

sebagai akibat penurunan produksi dan sifat produksi tanaman cengkeh yang

fluktuatif (tidak menjamin kontinuitas jumlah suplai), dan (2) sebagai bahan baku

pestisida nabati untuk pertanian organik dan obat-obatan herbal yang beberapa

tahun belakangan tumbuh dengan pesat sebagai dampak dari tingginya

kesadaran masyarakat domestik dan dunia untuk mengkonsumsi produk-produk

bebas residu kimia, dimana kebutuhannya diperkirakan mencapai 2.49 ribu ton

pertahun dan di prediksikan akan meningkat lebih besar dari 5 persen tiap

tahunnya1. Kondisi ini menggambarkan minyak cengkeh memiliki prospek pasar yang baik di dalam maupun diluar negeri, dan sebagai negara dengan luas areal

tanaman cengkeh terbesar dunia Indonesia berpeluang menguasai pasar minyak

cengkeh domestik maupun dunia melalui pengembangan AMC nasional.

Menurut data statistik Food and Agriculture Organization (2004), Indonesia memiliki luas areal tanaman cengkeh terbesar di dunia yakni sekitar 241.86 ribu

1

(20)

hektar atau lebih dari 70 persen dari luas areal tanaman cengkeh dunia, disusul

secara berturut-turut oleh Madagaskar, Tanzania dan Srilanka. Indonesia juga

merupakan penghasil bunga dan minyak cengkeh terbesar di dunia. Pada tahun

2000 - 2002 dari rata-rata 2.08 ribu ton minyak cengkeh yang beredar di pasar

dunia, Indonesia memasok rata-rata 1.32 ribu ton atau sebesar 63.5 persen,

dengan harga Cost Insurance Freight (CIF) berkisar antara US$ 0.77 – 7.11 per kilogram2.

Harga ekspor minyak cengkeh Indonesia di pasar dunia relatif fluktuatif tiap

tahunnya dan sangat tergantung pada harga bunga cengkeh. Walaupun

demikian harga minyak cengkeh di pasar domestik relatif stabil, dimana pada

awal tahun 2002 harga minyak cengkeh mencapai Rp 29.5 ribu, pada tahun 2003

berfluktuasi antara Rp 23 ribu - 25 ribu per kilogram, dan cenderung stabil pada

harga Rp 29.5 ribu per kilogram pada tahun 2004. Relatif stabilnya harga minyak

cengkeh domestik adalah sebagai akibat tingginya permintaan industri domestik

terhadap produk minyak cengkeh dan turunannya3.

Penyebaran areal tanaman cengkeh dan jumlah tanaman cengkeh

perhektar di Indonesia tahun 2004, menunjukkan ada 12 Provinsi berpotensi

besar dalam pengembangan AMC nasional, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Berdasarkan kajian prospek pengembangan AMC Indonesia yang dilakukan oleh

BPPP Deptan (2005), ketersediaan bahan baku membuat Indonesia tetap masih

berpeluang untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun untuk memenuhi

target tersebut Indonesia dalam 15 tahun ke depan, paling sedikit dibutuhkan 600

unit usaha Penyulingan Minyak Cengkeh (PMC) dengan nilai investasi Rp. 158

2

http://www.Litbang.Deptan.Go.Id/Special/Komoditas/Files/Cengkeh.Pdf [14/09/2006] http://www.beritabumi.com/ beritabumi-cetak/html[04/01/2007]

3 Proses metilasi dan dimetilasi minyak cengkeh menghasilkan eugenol murni dan isoeugenol,

(21)

juta per unit, yang ditujukan untuk meningkatkan produksi baik berupa:

(1) tambahan unit usaha PMC di daerah sentra industri dan daerah baru yang

memiliki potensi pengembangan usaha PMC, dan (2) rehabilitasi usaha PMC

yang telah ada.

Tabel 1. Daerah pengembangan, Potensi Tanaman Menghasilkan dan Jumlah Unit pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Daerah Pengembangan Usaha PMC

Areal TM (ribu ha)

Populasi TM (pohon/ha)

Jumlah Usaha

(Unit)

NAD 15.47 168 35

Lampung 3.12 77 5

Jabar dan Banten 15.37 174 40

Jateng 15.17 163 45

Jatim 17.88 76 45

Bali 15.80 66 35

Sulsel 32.51 81 80

Sulut dan Gorontalo 33.25 257 75

Sulteng 31.41 126 100

Maluku 23.57 105 40

Provinsi lain 38.31 100

Indonesia 241.86 600

Sumber : BPPP Deptan, 2005

Keseluruhan uraian di atas menunjukkan peluang pengembangan usaha

PMC dapat menjadi salah satu upaya dalam pengembangan ekonomi nasional

dan daerah. Namun agar pengembangannya dapat efektif dan efisien, sesuai

kondisi dan kebutuhan di tiap daerah yang teridentifikasi, maka prospek

pengembangan usaha PMC di tiap daerah tersebut perlu dipelajari dan dikaji

secara komprehensif.

1.2. Perumusan Masalah

Potensi ketersediaan bahan baku minyak cengkeh di Provinsi Maluku

cukup besar yaitu mencapai 127.64 ribu ton per tahun, adapun potensi yang

dimanfaatkan untuk memproduksi minyak cengkeh baru mencapai 11 persen

(Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku, 2005). Kondisi ini

(22)

belum dimanfaatkan dalam usaha PMC ataupun usaha lainnya yaitu sebesar 89

persen dari potensi ketersediaan bahan baku yang ada.

Pada umumnya usaha PMC yang ada di Provinsi Maluku adalah

merupakan industri kecil dengan menggunakan dua jenis peralatan penyulingan

yaitu: (1) alat suling tradisional, peralatan penyulingannya terbuat dari bahan

kayu dan (2) alat suling modern, peralatan penyulingannya terbuat dari bahan

nonstainless steel dan stainless steel. Penyulingan secara tradisional telah

berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda dan pada saat ini relatif jarang

ditemui, sedangkan penyulingan modern dikenal mulai tahun 1995.

Produksi minyak cengkeh Maluku pada tahun 2004 adalah sebesar 480

ton. Sebagian besar produksi minyak cengkeh Maluku digunakan untuk

memenuhi permintaan konsumen di luar daerah Maluku, sedangkan sebagian

kecil produksi diolah dan dikemas lebih lanjut oleh beberapa perusahaan

agroindustri terkait yang berada di Provinsi Maluku dalam bentuk minyak gosok

dan dijual ke berbagai daerah dengan harga yang bervariasi.

Harga minyak cengkeh Maluku di pasar dunia relatif lebih tinggi (khususnya

dalam bentuk minyak gosok) jika dibandingkan harga minyak cengkeh dari luar

daerah Maluku, hal ini dikarenakan opini yang telah lama terbentuk yaitu:

kepulauan Maluku merupakan kawasan dimana tanaman cengkeh berasal dan

minyak cengkeh pertama kali diproduksi (Guenther, 1950 dalam Kardinan, 2005). Harga minyak cengkeh curah tahun 2004 ditingkat penyuling berkisar antara Rp

25 - 35 ribu perkilogram, sedangkan harga minyak cengkeh yang telah dikemas

sebagai minyak gosok pada berat netto 100 mililiter berkisar antara Rp 10 – 12.5

ribu atau Rp 75 ribu per kemasan 1 kilogram.

Ketersediaan bahan baku, kecenderungan permintaan yang meningkat dan

kondisi harga yang relatif stabil seharusnya dapat memacu perkembangan

(23)

relatif lambat. Berdasarkan data jumlah industri kecil menengah berbahan baku

tanaman lokal di Provinsi Maluku Tahun 1996 – 2004 (Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Maluku), diketahui bahwa dalam kurun waktu 8 tahun

pertambahan unit usaha PMC relatif kecil dibandingkan usaha industri lainnya,

seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Industri Kecil Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal Di Provinsi Maluku Tahun 1994 – 2004

Tahun No. Kapupaten/ Jenis Industri

1994 2004 1.Maluku Tengah*

Minyak Kayu Putih 1 3

Minyak Cengkeh 30 31

Minyak Atsiri* 12 32

Minyak Kelapa - 1

2.Seram Bagian Timur

Gula Merah 1 1

3.Pulau Buru

Minyak Kayu Putih 98 168

Gula Merah - -

4.Maluku Tenggara Barat

Minyak Kayu Putih 7 27

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku, 2005

Keterangan: * tergabung Kabupaten Seram Bagian Barat yang pada saat itu masih dalam persiapan pemekaran

Kondisi ini membuktikan bahwa prospek pengembangan usaha PMC tidak

cukup hanya dilihat dari ketersediaan bahan baku dan peluang yang terjadi

seperti peningkatan permintaan dan harga produk relatif tinggi. Oleh karena itu

kajian tentang prospek pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

berdasarkan daya dukung faktor-faktor internal dan eksternal secara holistik

penting untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana daya dukung faktor internal dan eksternal dalam pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku ?

2. Bagaimana strategi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis daya dukung faktor internal dan eksternal terhadap

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

2. Menganalisis Strategi Pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

berdasarkan daya dukung faktor internal dan eksternal.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi tentang prospek pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku.

2. Memberikan rekomendasi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

1.5. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian tentang prospek pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku, meliputi: (1) analisa daya dukung faktor internal dan ekternal

dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku melalui tahapan: analisa

kelayakan usaha PMC , analisa daya saing minyak cengkeh Maluku dan analisis

matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) atau Internal Factor Evaluation (IFE) Matrix dan matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) atau External Factor Evaluation (EFE) Matrix, dan (2) analisa strategi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, meliputi: analisis linier programing dan analisis matriks Internal –

External. Keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu terkait dengan minimnya data

sekunder tentang minyak cengkeh atau usaha PMC nasional maupun daerah,

maka tiap analisis yang dilakukan hanya terbatas pada data tersedia dan

(25)

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Konsep Faktor Internal dan Eksternal

Berbicara mengenai prospek pengembangan suatu usaha pada suatu

tempat berarti kita membicarakan dua hal yaitu potensi dan peluang. Potensi

sangat terkait dengan faktor-faktor mempengaruhi usaha tersebut atau faktor

internal daerah lokasi usaha yang meliputi antara lain: (1) kondisi sumber daya

alam, (2) lingkungan bisnis, (3) industri terkait dan pendukung, (4) permintaan

domestik, dan (5) faktor tenaga kerja, sedangkan peluang terkait dengan faktor

diluar faktor internal atau yang dikenal sebagai faktor eksternal yang umumnya

meliputi harga dan permintaan di pasar dunia atau di luar daerah tersebut

(Bappenas (2004) dan Joesron (2001)).

Menurut Gittinger (1986), faktor internal daerah pengembangan atau lokasi

usaha merupakan faktor dominan yang menentukan berhasil tidaknya suatu

pengembangan usaha. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan

lokasi usaha adalah faktor-faktor yang dimiliki (faktor internal) lokasi tersebut,

antara lain: keadaan geografis, iklim, ketersediaan input dan pasar output,

kegiatan industri terkait atau pendukung, infrastuktur dan aspek sosial budaya

masyarakat setempat. Tarigan (2003) juga kurang lebih mengemukakan hal yang

sama, bahwa faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi

usaha adalah ketersediaan bahan baku, upah tenaga kerja, jaminan keamanan,

infrastuktur, daya serap pasar lokal dan aksesibilitas pasar yang dituju, dan

kebijakan pemerintah setempat.

Menurut Tarigan (2005), penetapan lokasi industri sendiri terkait dengan

dua sudut pandang, yaitu: (1) sudut pandang pengusaha, yang melihat lokasi

(26)

kelayakan finansial, dan (2) sudut pandang pemerintah dalam arti “good

goverment” tidak hanya melihat dari segi keuntungan semata, tetapi cenderung pada apakah industri tersebut sesuai untuk dikembangkan pada lokasi tersebut

terkait dengan ketersediaan sumberdaya, efektif dan efisien dalam upaya

pembangunan ekonomi berkelanjutan dan apakah memberikan nilai tambah

yang optimal dari segi finansial maupun ekonomi.

Menurut Kotler (1997), pengidentifikasian faktor internal dapat memberikan

gambaran kondisi suatu daerah atau usaha. Setidaknya ada dua bagian pada

faktor internal yang dapat menentukan posisi kelayakan dan persaingan yaitu

kekuatan dan kelemahan, sedangkan analisis terhadap lingkungan eksternal

diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memberikan peluang dan

ancaman bagi pengembangan suatu usaha. Faktor eksternal berupa peluang

pasar merupakan gelanggang yang menarik untuk melakukan kegiatan industri di

mana hanya industri yang mampu bersaing yang dapat bertahan dan

berkembang. Faktor eksternal disamping memberikan peluang, juga dapat

memberikan ancaman, misalnya jika terjadi penurunan harga dan perubahan

nilai mata uang pada tingkat kondisi yang tidak diharapkan.

2.1.1.1. Konsep Kelayakan Usaha

Daya dukung faktor internal pada suatu daerah seperti ketersediaan input

produksi, kebijakan pemerintah yang mendukung dan pasar lokal sangat

berpengaruh terhadap kelayakan usaha di tempat tersebut, atau dapat dikatakan

kelayakan usaha di suatu daerah merupakan gambaran daya dukung faktor

internal daerah terhadap usaha tersebut. Umumnya ada dua jenis analisa yang

dipakai dalam menilai kelayakan suatu usaha yaitu analisa ekonomi dan analisa

finansial. Dalam analisa ekonomi yang diperhatikan adalah manfaat yang

(27)

(the social return), sedangkan dalam analisa finansial yang diperhatikan adalah manfaat diberikan oleh suatu usaha bagi pihak-pihak terlibat langsung dalam

usaha tersebut (the privat return). Fokus analisa yang berbeda menyebabkan kedua analisa ini juga memiliki penilaian yang berbeda terhadap beberapa unsur

yaitu: harga, subsidi, pajak, upah tenga kerja, dan bunga modal, seperti yang

terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Penilaian Beberapa Unsur dalam Analisis Ekonomi dan Finansial

Perbedaan Unsur

Analisis Ekonomis Analisis Finansial 1. Harga Harga yang dipakai adalah

harga bayangan (shadow price*)

Harga yang dipakai adalah harga pasar (market price) setempat.

2. Subsidi Subsidi merupakan biaya. Besarnya subsidi menambah manfaat usaha

3. Pajak Pajak tidak diperhitungkan dalam biaya industri.

Besarnya pajak

diperhitungkan sebagai biaya usaha.

4. Bunga modal

Besarnya bunga modal biasanya tidak diperhitungkan sebagai biaya.

Bunga modal dibedakan atas: - Bunga yang dibayarkan

kreditor dianggap sebagai biaya.

- Untuk bunga modal tidak dianggap sebagai biaya 5. Upah

tenaga Kerja

Upah yang digunakan adalah upah bayangan (shadow wages*)

Upah yang digunakan adalah upah yang berlaku setempat.

Sumber : Gittinger, 1985., Kadariah, 1985 dan Gray et al., 1992 Keterangan: * harga yang mencerminkan opportunity cost-nya

Menurut Gittinger (1985) dan Gray et al. (1992), cara penilaian industri jangka panjang yang banyak diterima sehubungan dengan analisis kelayakan

ekonomi dan finansial adalah analisis aliran kas yang didiskonto atau Discounted Cash Flow Analysis (DCF) dengan memakai kriteria investasi. Asumsi kunci yang dipakai dalam dalam analisa DCF adalah uang yang berada sekarang lebih

berharga daripada jumlah uang yang sama di masa yang akan datang oleh

(28)

compounding, sedangkan untuk mengkonversi nilai uang masa depan kenilai sekarang menggunakan metode discounting pada tingkat bunga sosial atau

Social Discount Rate (SDR) yang sama, sedangkan jenis kriteria investasi yang umum dipakai yaitu: (1) Net Present Value (NPV), (2) Internal Rate of Return (IRR), (3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Pay Back Period (PBP).

Menurut Aliluddin (2006), pada dasarnya kriteria investasi tersebut diatas

konsisten satu sama lain, artinya jika dievaluasi dengan kriteria NPV dan kriteria

lainnya akan menghasilkan rekomendasi yang relatif sama, tetapi informasi

spesifik yang dihasilkan akan berbeda. Oleh karena itu dalam prakteknya

masing-masing kriteria sering dipergunakan secara bersamaan dalam rangka

mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dari perilaku suatu investasi

usaha.

2.1.1.2. Konsep Daya Saing

Konsep keunggulan bersaing dalam perdagangan suatu komoditas atau

produk antar wilayah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Konsep

yang pertama dimulai dari keunggulan absolut dari Adam Smith (1776) yang

menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari

perdagangan apabila dengan faktor-faktor alamiahnya masing-masing negara

dapat mengadakan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan

memproduksinya sendiri. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat memperoleh

keuntungan dari perdagangan apabila total biaya sumber daya untuk

memproduksi suatu barang secara absolut lebih rendah dari biaya sumber daya

untuk memproduksi barang yang sama di negara lain. Oleh karena itu, menurut

konsep tersebut, setiap negara hendaknya mengkhususkan diri untuk

memproduksi barang-barang yang paling efisien yaitu barang-barang yang

(29)

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata dua wilayah

masih mendapatkan keuntungan dari perdagangan bahkan apabila salah satu

negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi semua

komoditas atau produk. Dipicu oleh realitas tersebut, kemudian muncul konsep

keunggulan komparatif dari David Ricardo (1817) yang menyatakan bahwa

apabila suatu wilayah dapat memproduksi masing-masing dua barang dengan

lebih efisien dibandingkan dengan wilayah lainnya, dan dapat memproduksi

salah satu dari kedua barang tersebut dengan lebih efisien, maka hendaknya

wilayah tersebut mengkhususnya diri dan mengekspor komoditas yang secara

komparatif lebih efisien, yaitu komoditas yang memiliki keunggulan absolut

terbesar. Sebaliknya, wilayah yang memiliki efisiensi yang lebih rendah

hendaknya mengkhususnya diri dan mengekspor komoditas yang secara

komparatif lebih rendah inefisiensinya yaitu komoditas yang paling rendah dalam

ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi, 1990).

Selanjutnya, muncul konsep keunggulan kompetitif yang merupakan

penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif. Pada konsep keunggulan

kompetitif, keunggulan suatu wilayah tidak hanya bersumber dari faktor alamiah

saja. Konsep keunggulan kompetitif yang terkenal adalah konsep yang

dicanangkan oleh Porter (1990), yang mengemukakan bahwa daya saing suatu

industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan dari empat

atribut yang dimilikinya, yaitu: (1) kondisi faktor, (2) kondisi permintaan, (3)

industri terkait dan penunjang, dan (4) strategi, struktur, dan persaingan

perusahaan, yang terkenal dengan sebutan “The Diamond of Porter”. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama dan ditambah dengan kesempatan, serta

kebijakan pemerintah yang kondusif untuk mempercepat keunggulan dan

koordinasi antar atribut tersebut, kesemuanya akan mempengaruhi kemampuan

(30)

Sinergis dengan Potter (1990), Cho (1994) mengemukakan bahwa dalam

dunia dimana bahan baku, modal dan tenaga kerja bergerak diseluruh batas

wilayah, keunggulan komparatif saja tidak menentukan daya saing internasional.

Daya saing juga tidak boleh diukur dari pangsa pasar suatu negara dalam pasar

dunia, karena suatu negara dapat saja meningkatkan pangsa pasarnya dengan

menurunkan harga misalnya melalui subsidi tetapi daya saing internasionalnya

tidak selalu menguat. Daya saing juga tidak boleh diukur berdasarkan faktor

harga atau bukan harga. Harga yang meningkat terlihat melemahkan daya saing

internasional sebuah negara, namun dalam kenyataannya negara dengan daya

saing internasional yang kuat dapat meningkatkan harga produknya. Status

kualitas, daya tahan, rancangan dan kepuasan konsumen digunakan untuk

mengevaluasi daya saing bukan harga, tetapi tidak ada bukti empiris untuk

membuktikan pengaruhnya. Faktor harga dan bukan harga bukanlah penyebab

tetapi merupakan hasil dari daya saing internasional sebuah negara.

Konsep terakhir mengenai daya saing yang dikembangkan Cho dan Moon

(2003) dapat menjelaskan mengapa tiap ahli pada zamannya dan pada lokasi

berbeda mendefinisikan daya saing secara berbeda pula, konsep ini dikenal

sebagai model sembilan faktor yang merupakan model penyempurnaan dari

model diamond yang dikemukakan oleh Potter (1990). Model sembilan faktor

mengemukaan bahwa daya saing internasional ditentukan oleh 4 faktor

fisik-sumber daya yang dianugrahkan yang keseluruhannya dimobilisasi dan

dikendalikan oleh keempat faktor manusia. Kedelapan faktor ini memainkan

peran yang berbeda dalam tahap yang berbeda dalam pembangunan

perekonomian suatu wilayah atau negara yaitu: (1) tahap awal, dimana

persaingan terbatas pada sumber daya yang dianugrahkan, dalam kondisi ini

suatu industri memperoleh potensi pertumbuhan dengan mengandalkan produk

(31)

pertumbuhan, industri memerlukan politisi dan birokrat yang bersedia

mendukung bisnis secara sistematis melalui berbagai kebijakan yang

mendukung, (3) tahap kedewasaan, inovasi muncul dalam proses manufaktur,

pengembangan produk dan organisasi bisnis, dimana industri mencakup

persaingan penuh dari perusahaan domestik maupun asing dan persaingan akan

merangsang pengembangan produk dan perbaikan kualitas, dan (4) tahap

penurunan, industri yang gagal mempertahan inovasi akan memasuki tahap

penurunan, untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan manajer yang profesional.

Daya saing internasional suatu industri diperkuat dan diperlemah oleh berbagai

peluang dan peristiwa atau faktor eksternal yang merupakan faktor ke sembilan.

Untuk lebih jelas pembagian sembilan faktor penentu daya saing dalam tahap

pembangunan perekonomian sebuah negara dapat dilihat pada Gambar 1.

[image:31.595.118.504.402.733.2]

Ti ng kat daya s ai ng in tern asi o n al

Gambar 3. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor

Tahap Tahap awal Tahap

bertumbuh

Tahap dewasa Tahap

Penurunan 4 Faktor Fisik Sumber daya

Alam Lingkungan Bisnis Industri terkait dan Pendukung Permintaan domestik 4 Faktor Manusia

Pekerja Politisi dan

Birokrat Para wirausahawan Para manajer dan profesional Faktor Eksternal Peluang dan peristiwa Peluang dan peristiwa Peluang dan peristiwa Peluang dan peristiwa

Contoh: Sebagian besar

negara Afrika dan beberapa negara Asia dan Amerika latin Thailand Filipina Indonesia Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura, Spanyol dan Brazilia Amerika Serikat, Jepang dan Negara-negara Eropa barat

(32)

Sebagian besar wilayah Indonesia berdasarkan konsep model sembilan

faktor berada pada tahap awal dan pertumbuhan, dimana daya saing masih

dominan ditentukan olah keunggulan komparatif atau sumber daya yang

dianugrahkan dan kebijakan pemerintah yang mendukung. Dalam kondisi ini

suatu industri memperoleh potensi pertumbuhan dengan mengandalkan produk

yang memiliki biaya produksi terendah atau berharga lebih rendah dan

memerlukan kebijakan pemerintah yang mendukung. Oleh karena itu pendekatan

keunggulan komparatif dan kompetitif dengan metode DRCR dan PCR masih

cukup sesuai untuk menilai daya saing produk industri Indonesia.

2.1.2. Konsep Strategi Pengembangan Usaha

Menurut Kotler (1997), hasil analisis faktor internal dan eksternal dapat

dipakai untuk mengetahui posisi dan menyusun strategi pengembangan usaha

kedepan. Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam suatu usaha

dalam kaitannya dalam tujuan jangka panjang, program tidak lanjut dan prioritas

alokasi sumberdaya (Chandler, 1962 dalam Rangkuti, 2006), selanjutnya

menurut Porter (1998), strategi adalah alat penting untuk mendapatkan

keunggulan bersaing.

Strategi pengembangan usaha yang baik berasal dari perencanaan

strategis yang baik pula, yaitu suatu proses analisis, perumusan dan evaluasi

strategi-strategi, dimana tujuan utama dari dari perencanaan strategis adalah

mencari kesesuaian aktivitas-aktivitas usaha dengan kondisi internal-eksternal

yang mempengaruhi pengembangan usaha. Jadi strategi dalam pengembangan

suatu usaha penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan menghasilkan

output sesuai dengan permintaan pasar dengan dukungan optimal dari

(33)

Teknik perumusan strategi yang penting menurut David (2002) dapat

dipadukan menjadi kerangka kerja pembuatan keputusan tiga tahap, yaitu: (1)

tahap input, (2) tahap mencocokkan, dan (3) tahap keputusan. Tahap input

merupakan tahap analisis lingkungan, beberapa hal yang harus diperhatikan

dalam dalam prosedur analisis lingkungan adalah: (1) menentukan relevansi

karena tidak semua faktor lngkungan berpengaruh pada suatu usaha dan (2)

menentukan tingkat relevansi dari issu strategi (strategic issue), yaitu faktor lingkungan yang mempengaruh besar terhadap usaha. Tahap mencocokkan,

mencocokkan faktor-faktor strategis internal dan eksternal merupakan kunci

efektif menghasilkan alternatif strategi yang layak. Tahap keputusan, tahap

keputusan menjadi penting jika ada beberapa alternatif strategi dalam

pengembangan usaha. Pada umumnya strategi yang terpilih adalah strategi

memiliki peringkat tertinggi atau yang diramalkan dapat memenuhi tujuan dari

suatu usaha secara optimal.

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang minyak cengkeh yang telah banyak dilakukan adalah

mengenai pengujian kualitas, teknis produksi, pemisahan unsur-unsur dalam

minyak cengkeh dan pemanfaatan minyak cengkeh untuk berbagai produk

industri, sedangkan penelitian tentang terkait dengan daya dukung faktor internal

dan eksternal dalam pengembangan UKM penyulingan minyak cengkeh dan

strategi pengembangannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam dalam

bagian penelitian-penelitian terdahulu ini menampilkan hasil-hasil penelitian yang

memiliki kemiripan produk dan alat analisa.

Menurut Hafsah (2004), pada umumnya permasalahan yang dihadapi

oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terkait dengan faktor internal UKM

(34)

yang terbatas (3) sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan

merupakan usaha keluarga yang turun temurun, (4) sifat produk dengan lifetime

pendek (5) lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar,

sedangkan yang terkait dengan faktor eksternal UKM antara lain meliputi: (1)

iklim usaha belum sepenuhnya kondusif, (2) terbatasnya sarana dan prasarana

usaha, (3) implikasi otonomi daerah, dan (4) implikasi perdagangan bebas. Oleh

karena itu pengembangan UKM kedepan, perlu menggabungkan keunggulan

lokal (lingkungan internal) dan peluang pasar global, yang disinergikan dengan

era otonomi daerah dan pasar bebas, atau dengan kata lain pemgembangan

UKM perlu pemikiran dalam skala global namun implentasi tindakan yang bersifat

lokal (think globaly and act locally) dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan UKM.

Penelitian yang dilakukan oleh Supriatna (2004), mengenai sistem

perencanaan model pengembangan agroindustri minyak cengkeh di Sulawesi

Utara menunjukkan ketersediaan bahan baku, kemudahan pemasaran,

kemudahan transportasi, ketersediaan tenaga kerja, adanya sarana listrik,

adanya sarana air, kemudahan investasi, iklim, tersedianya unsur penunjang dan

prospek jangka panjang merupakan faktor internal penting yang sangat

berpengaruh pada kelayakan usaha minyak cengkeh pada kapasitas

penyulingan 18 ton daun cengkeh kering per harinya dengan prediksi perolehan

minyak 504 kg/hari pada rendemen penyulingan 2,8%. Secara finansial prediksi

investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik minyak cengkeh pada

kapasitas tersebut di atas adalah Rp. 863 juta, modal investasi ini diperkirakan

akan kembali selama 0.63 tahun atau 7.56 bulan dengan titik pulang pokok

10.515 ton /tahun. Hasil analisis kelayakannya menunjukkan NPV sebesar Rp.

5.35 milyar (lebih besar dari nol), nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga

(35)

sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembangan teknologi penyulingan

minyak di Sulawesi Utara layak untuk dilaksanakan.

Selanjutnya hasil penelitian Smallfield (2004), mengatakan bahwa ukuran

kapasitas produksi dan penggunaan teknologi yang tepat sangat penting dalam

upaya pencapaian efisiensi produksi dalam destilasi minyak atsiri atau dengan

kata lain memaksimalkan rendemen yang diperoleh. Rendemen minyak yang

dihasilkan lewat proses destilasi umumnya kecil yaitu berkisar antara 0.1 – 2

persen oleh karena itu dalam pengusahaannya sebaiknya mengolah bahan baku

dari luas areal minimal sebesar 20 hektar per unit investasi agar diperoleh

kuantitas minyak dan keuntungan yang layak.

Penelitian MacTavish (2002), mengenai studi ekonomi produksi essensial

oil di UK, menunjukkan bahwa subsidi dan tingkat bunga yang rendah berhasil

meningkatkan produksi minyak atsiri, dalam hal ini akses terhadap alat

penyulingan yang baik adalah penting mengingat harga peralatan tersebut cukup

mahal. Hal ini memungkinkan dengan melibatkan lembaga riset untuk

menciptakan alat suling yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas hasil

penyulingan, memberikan bantuan modal kepada produsen, mengembangkan

kerjasama untuk meningkatkan output dalam skala besar, perbaikan penetrasi

pasar dan posisi tawar, pengembangan infrastuktur, industri terkait, asosiasi

pengusaha dan pusat riset minyak atsiri yang baik .

Penelitian yang dilakukan oleh Maarthen (1998), mengenai aspek ekonomi

penyulingan minyak kayu putih Pulau Buru, menunjukkan produk minyak kayu

putih Maluku memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai PCR sebesar 0.4574,

dimana sebagian besar produksi minyak kayu putih Maluku adalah untuk

memenuhi kebutuhan domestik Indonesia.

(36)

NPV bernilai positif, IRR diatas suku bunga komersial (22 %) dan Net B/C di atas

satu. Analisisis nilai tambah pada skala optimal menunjukkan pengolahan

mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135.65 per butir kelapa dengan

rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75.35 persen, bagian

tenaga kerja mencapai 62.01 persen dan bagian manajemen mencapai 62.01

persen dan agar distribusi kebutuhan investasi dan modal tersebar luas, skala

optimal sebaiknya dilakukan selama 6 tahun investasi. Analisa daya dukung

faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis matrix IFE dan EFE

yang dipetakan pada diagram SWOT, menunjukkan skor parameter peluang

lebih besar dari parameter ancaman dan pengembangan agroindusti pengolahan

sabut kelapa berada pada skenario optimis dan implementasi penuh merupakan

alternatif terbaik.

Hasil analisis daya saing komoditas kedelai yang dilakukan oleh Siregar

(2003) di DAS Brantas, menyimpulkan bahwa daya saing komoditas kedelai

mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya karena produsen kedelai

membayar input lebih tinggi dari harga bayangannya dan menerima harga output

yang lebih rendah dari harga bayangannya sebagai dampak dari stuktur dan

sistem pemasaran yang tidak efisien, dan kebijakan pemerintah yang tidak

memihak pada usahatani tersebut. Kondisi berdampak pada menurunnya jumlah

petani kedelai, karena tingkat penerimaan bersih yang dicapai tidak mewakili

opportunity cost atau kurang dari 20 persen dari biaya yang dikeluarkan. Selain

itu skala usaha yang tidak ekonomis (relatif sangat kecil) membuat biaya per unit

output yang tinggi sehingga tidak memenuhi kriteria keuntungan yang rasional

untuk dilaksanakan usaha tersebut.

Hasil penelitian Astana et al. (2005), terkait jenis komoditas minyak cendana, diketahui bahwa nilai PCR minyak cendana relatif tinggi (0.76)

(37)

saing ekspor. Ekspor minyak cendana belum tergoncang jika harga inputnya

meningkat sampai 84 persen dan harga outputnya menurun sampai 10 persen.

Hasil penelitian Nurasa dan Supriatna (2005), menyimpulkan bahwa

komoditi perkebunan rakyat memiliki kelemahan mendasar, yaitu: (1) kualitas,

kuantitas dan kontinueitas pasokan hasil tidak selalu dapat mencukupi

permintaan pasar, (2) lokasi, kapasitas dan teknologi pengolahan hasil yang tidak

sesuai dengan kualitas maupun kuantitas bahan baku yang tersedia dan

permintaan pasar terhadap hasil olahan, dan (3) sistem pemasaran hasil kurang

efisien. Kelemahan ini menimbulkan beberapa implikasi yaitu: (1) sistem

agribisnis menjadi tidak efisien, biaya produk per satuan output menjadi tinggi

sehingga keunggulan komparatif menjadi rendah, dan (2) rendahnya kualitas dan

kontinuitas pasokan menyebabkan tingkat kepercayaan pembeli luar negeri

berkurang sehingga keunggulan kompetitif menjadi rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Darmawansyah (2003) mengenai

maksimisasi sektor ekonomi unggulan untuk menunjang peningkatan

penerimaan daerah (studi kasus di Kabupaten Takalar) dengan menggunakan

metode linier programming untuk mencari solusi optimal dalam alokasi

pemanfaatan lahan dan sumber daya yang sifatnya terbatas yang pada akhirnya

akan mengoptimalkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PAD,

menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang mampu

memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 22.15 persen terhadap PAD dan

PDRB. Di mana kondisi ini dapat dicapai jika penggunaan lahan di optimalkan

untuk komoditas yang memiliki tingkat produktivitas serta nilai ekonomis tinggi

dan memiliki potensi untuk dikembangkan di Takalar adalah padi, jagung, kacang

(38)

2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Analisis daya dukung faktor internal dan eksternal terhadap

pengembangan usaha PMC dalam penelitian ini menggunakan 2 pendekatan

yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam analisis dengan pendekatan

kuantitatif digunakan analisis kelayakan usaha dan analisis daya saing,

sedangkan dalam analisis dengan pendekatan kualitatif digunakan analisis

pengidentifikasian faktor internal dan eksternal.

Analisis kelayakan usaha secara umum sering dipakai dalam menentukan

layak dan tidak layaknya suatu usaha untuk dikembangkan. Suatu usaha

dikatakan layak untuk dilaksanakan jika hasil analisis kelayakannya yaitu berupa

nilai kriteria investasi yang meliputi nilai NPV, Net B/C, IRR dan Pay Back Period,

memenuhi syarat kelayakan. Namun seiring era liberalisasi perdagangan

kemudian ditemui bahwa kriteria kelayakan usaha ternyata tidak dapat memberi

informasi yang cukup dalam upaya pengembangan usaha terkait peluang dan

ancaman yang dapat diraih dan dihadapi, dalam kasus ini analisis daya saing

memegang peranan penting.

Dalam analisis daya saing suatu produk khususnya pada daerah yang

dikelompokan berada antara tahap awal dan pertumbuhan pembangunan

ekonomi, unsur harga seringkali diasumsikan identik dengan hasil dari daya

saing. Terkait fenomena tersebut ada 2 pendekatan yang dapat digunakan untuk

mengukur daya saing yaitu pendekatan keunggulan komparatif dengan metode

Domestic Resources Cost Coeficient (k) dan keunggulan kompetitif dengan metode Privat Cost Ratio (PCR).

Jika hasil kelayakan dan daya saing cukup memuaskan seharusnya usaha

akan menunjukkan trend perkembangan yang baik, namun jika yang terjadi

sebaliknya maka pengidentifikasian faktor internal dan eksternal menjadi penting

(39)

sebagai jawaban dari ketidaksesuaian. Analisis pengidentifikasian faktor internal

dan ekternal dapat menjelaskan fenomena yang ditidak dapat dijelaskan secara

kuantitatif. Analisis pengidentifikasian faktor internal dapat memberikan

gambaran kondisi suatu daerah atau usaha secara deskriptif, dimana ada dua

bagian pada faktor internal yang dapat menentukan posisi kelayakan dan

persaingan yaitu kekuatan dan kelemahan, sedangkan analisis terhadap

lingkungan eksternal diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat

memberikan peluang dan ancaman bagi pengembangan suatu usaha.

Upaya pengembangan usaha PMC yang efektif dan efisien sangat

memerlukan strategi pengembangan yang kompeten, dimana strategi ini hanya

dapat diperoleh melalui proses analisa, perumusan dan evaluasi dari faktor

internal dan eksternal yang dimiliki suatu wilayah dan strategi-strategi yang telah

dan belum dijalankan. Dengan kata lain hasil dari analisis daya dukung faktor

internal dan eksternal terhadap pengembangan usaha PMC dapat dipakai dalam

merumuskan dan mengevaluasi strategi-strategi yang dapat dijalankan dalam

upaya pengembangan usaha. Dalam kasus ini ada 2 analisa yang dipakai yaitu

(1) analisis linier programing, untuk mencari strategi yang dapat mengoptimali

penggunaan sumberdaya dan (2) analisis matriks I-E untuk menilai dan

menentukan strategi yang dapat dijalankan dalam program pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku, dimana skema keterkaitan berbagai faktor dan

(40)

Analisis Daya Dukung Lingkungan Internal-Eksternal dengan Tahapan: 1. Analisis Kelayakan Usaha

2. Analisis Daya Saing 3. Analisis Matriks IFE-EFE Target Pengembangan Usaha

PMC Nasional

Potensi Perkebunan Cengkeh Provinsi Maluku

Pengembangan Usaha PMC

Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku

Kelayakan Usaha PMC

Maluku

Faktor Internal – Eksternal Pengembangan Usaha PMC

di Provinsi Maluku

Strategi Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Prioritas Strategi

Pengembangan Usaha PMC

Analisis Strategi Pengembangan denganTahapan:

1. Analisis Linier Programming 2. Analisis Maktriks I - E Masalah: Permintaaan

[image:40.595.114.505.104.680.2]

Penurunan Ekspor (pangsa pasar) Permintaan domestik meningkat Perkembangan industri lanjutan Perkembangan Usaha PMC lambat

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

(41)

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian berlokasi di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan Kabupaten

Seram Bagian Barat (SBB) Provinsi Maluku. Pemilihan lokasi dilakukan secara

sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan Provinsi Maluku merupakan

salah satu daerah sasaran pengembangan usaha PMC nasional, sedangkan

Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat merupakan kabupaten yang

memiliki potensi tanaman cengkeh terbesar di Provinsi Maluku. Pelaksanaan

Pengumpulan data untuk keperluan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli

sampai dengan Oktober 2007.

3.2. Metode Pengambilan Contoh

Pada penelitian ini pengambilan contoh pada tingkat kecamatan,

responden penentu faktor internal dan eksternal dan responden pengusaha PMC

dengan alat suling nonstainless dilakukan secara purposive sampling.

Kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Leihitu, Salahutu dan Amahai pada

Kabupaten Maluku Tengah dan Kecamatan Kairatu dan Taniwel pada Kabupaten

Seram Bagian Barat karena memiliki usaha PMC terbanyak. Pengambilan

responden penentu faktor internal dan eksternal adalah sebanyak 9 (sembilan

orang) yang dianggap ahli/paham tentang permasalahan yang akan dikaji yaitu

dari kalangan akademis, LSM, instansi terkait dan salah satu pengusaha PMC.

Pengambilan contoh untuk pengusaha PMC dengan jenis alat nonstainless

(usaha PMCns) sebanyak 5 RTU dengan KAS 100 kilogram, sedangkan

pengambilan contoh pengusaha PMC dengan jenis alat suling stainless (usaha

PMCs) dilakukan secara stratified random sampling dimana penyuling dibedakan

(42)

kelompok usaha dimana masing-masing kelompok terdiri dari 5 rumah tangga

usaha (RTU).

3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data kerat lintang (cross section) berupa

data kualitatif dan kuantitatif. Untuk sumber data yang digunakan adalah data

primer (primary data sources) dan data sekunder (secondary data sources). Data

primer diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara dengan responden

terpilih, sedangkan data sekunder diperoleh melalui telaahan pustaka dan data

yang bersumber dari lembaga/instansi terkait dengan kajian ini.

3.4. Metode Analisis

Data yang dikumpulkan akan diolah, dianalisis dan disajikan dalam bentuk

tabulasi. Adapun metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

analisis daya dukung faktor internal dan ekternal dan analisis strategi dalam

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

3.4.1. Analisis Daya Dukung Faktor Internal dan Eksternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku

Untuk menelaah dan mengidentifikasi daya dukung faktor internal dan

ekternal dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku dilakukan

beberapa tahapan analisis yaitu:

3.4.1.1. Analisis Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Untuk menelaah kinerja ekonomi dan finasial usaha PMC dilakukan

Analisis DCF dengan 4 metode penilaian investasi yaitu: NPV, IRR, Net B/C dan

PBP pada SDR sebesar 13.5 persen, dengan persamaan sebagai berikut :

………. ….. (3.1) NPV =

(1+i)t

n

t =0

(43)

dimana:

NPV = Net Present Value B/C = Benefit Cost ratio IRR = Internal Return Rate

Bt = penerimaan proyek pada tahun t.

Ct = biaya proyek pada tahun t.

n = umur ekonomis proyek.

i = social opportunity cost of capital yang digunakan sebagai social discount rate

t = tahun pelaksanaan proyek

k(PBP) = periode pengembalian

CFt = cash flow periode ke t

dengan kriteria pengambilan keputusan:

NPV > 0, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

B/C > 1, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

IRR > i, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

k ≤ n, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

3.4.1.2. Analisis Daya Saing Minyak Cengkeh

Daya saing komoditas di pasar dunia dapat diukur dengan menggunakan

pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif, sebagai berikut:

1. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif suatu komoditas dapat dihitung dengan

menggunakan metode Domestic Resource Cost (DRC). Secara formal DRC Net B/C =

(1+i)t

Bt - Ct n

t=0

untuk Bt - Ct > 0

n

t=0

Ct - Bt

(1+ i)t

untuk Bt - Ct < 0

………….... (3.2)

= 0 n

t=0

Bt - Ct

(1+ IRR)t

...………...…...….. (3.3)

k(PBP) =

n

(44)

didefinisikan sebagai rasio antara biaya faktor produksi domestik dengan selisih

antara border price of output dan biaya faktor produksi tradeable. Suatu komoditi

dikatakan memiliki keunggulan komparatif jika memiliki koefisien DRC (k) atau

rasio antara DRC dan nilai tukar implisitnya lebih besar dari satu (Kasryno, 1990

dalam Astana, 2004 ). Adapun rumus DRC dan k adalah sebagai berikut:

)

(

P

T

D

DRC

=

,

p

DRC

k

=

... (3.3)

dimana:

DRC = nilai ekonomi biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit devisa (Rp)

D = nilai ekonomi faktor produksi domestik yang dikorbankan untuk

memproduksi satu unit output (Rp)

P = nilai ekonomi (harga internasional) satu unit output (US$)

T = nilai ekonomi faktor produksi tradeable yang digunakan untuk

memproduksi satu unit output (US$)

k = koefisien DRC

p = nilai tukar Rp terhadap US$.

Untuk menghitung DRC diperlukan analisis harga bayangan (shadow

price). Harga bayangan didefinisikan sebagai suatu harga yang terbentuk dalam pasar persaingan sempurna. Analisis harga bayangan diperlukan untuk

mengoreksi kemungkinan penyimpangan harga akibat adanya kebijakan

pemerintah seperti subsidi, pajak dan kebijakan harga, yang menyebabkan harga

tidak mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang sebenarnya. Adapun

penentuan harga bayangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Harga Bayangan Output

Harga banyangan output minyak cengkeh yang digunakan dalam penelitian

ini adalah harga batas (border price) yaitu harga free on board (fob).

2. Harga Bayangan Bahan Baku

Bahan baku (daun dan gagang cengkeh) adalah barang yang belum masuk

aktivitas perdagangan internasional, oleh karena itu harga bayangan bahan

(45)

ada kebijakan pemerintah yang mengatur harga bahan baku secara

langsung.

3. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu diantaranya yang dilakukan oleh

Martheen (1998) dan Astana et al. (2004), harga bayangan tenaga kerja

umumnya sebesar 80 persen dari upah yang berlaku. Dalam penelitian ini

harga bayangan tenaga kerja diasumsikan sama dengan upah faktual tenaga

kerja, dengan pertimbangangan bahwa upah tenaga kerja pada lokasi

penelitian jauh dibawah UMR dan dapat dianggap mendekati harga

ekonominya.

4. Harga Bayangan Bangunan

Bangunan yang digunakan dalam usaha PMC adalah bangunan yang dibuat

dari bahan bangunan yang diperoleh secara lokal, oleh karena itu harga

bayangan bangunan diasumsikan sama dengan harga faktualnya

5. Harga Bayangan Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penyulingan minyak cengkeh adalah

peralatan yang memiliki komponen domestik dan tradeable, namun

diproduksi dalam negeri. Berdasarkan informasi dari Barinstand harga yang

ekonomi yang ditawarkan mendekati harga finansialnya.

6. Harga Bayangan Nilai Tukar

Harga bayangan nilai tukar uang yang dipakai dalam penelitian ini adalah

nilai tukar implisit rata-rata tahun 2006-2007 rupiah terhadap dollar USA.

2. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif dapat dilihat melalui ukuran sederhana yaitu Private

(46)

privat input tradeable. Suatu komoditi dikatakan memiliki keunggulan kompetitif

jika nilai PCR lebih kecil dari satu (Pearson et all, 2005). Adapun rumus PCR

adalah sebagai berikut:

I

R

G

PCR

=

... (3.4)

dimana:

PCR = rasio nilai finansial biaya domestik yang digunakan untuk

menghasilkan satu unit output.

G = nilai finansial biaya faktor produksi domestik yang digunakan

untuk menghasilkan satu unit output (Rp).

R = nilai finansial satu unit output (Rp).

I = nilai finansial biaya faktor produksi tradeable yang digunakan

untuk memproduksi satu unit output (Rp).

Dalam pengalokasian biaya domestik dan tradeable dalam perhitungan

koefisien DRC dan PCR sebagian besar penelitian terdahulu menggunakan

menggunakan pendekatan total. Pendekatan total adalah pendekatan yang

membagi tiap komponen biaya dalam komponen biaya domestik dan tradeable.

Dalam penelitian ini pendekatan total juga digunakan dalam pengalokasian

komponen biaya mengikuti pengalokasian biaya yang telah dilakukan oleh

penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya asing

Persentasi Komponen Biaya

No. Jenis Biaya

Domestik Asing 1 2 3 4 5 Tenaga kerja Bahan baku Bangunan Peralatan Bahan lainnya 100 100 100 50 50 0 0 0 50 50

Sumber: Suryana (1981), Wahyudi (1989), Soemodihardjo (1993) dalam Astana et al

(2004)

3.4.1.3. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internaldan Evaluasi Faktor Eksternal

Matriks evaluasi faktor internal digunakan untuk meringkas dan

(47)

Gambar

Tabel  1.    Daerah pengembangan, Potensi Tanaman Menghasilkan dan Jumlah Unit pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh
Tabel  2.  Jumlah Industri Kecil Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal Di Provinsi Maluku Tahun 1994 – 2004
Gambar 3.  Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor Birokrat
Gambar 2.  Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Prospek Pengembangan                    Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Verifier 3.4.2. Implementasi kegiatan identifikasi. Papua Satya Kencana telah melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi terhadap jenis-jenis flora dan fauna

Pentingnya mengetahui berbagai faktor yang dapat mempengaruhi tentang perbankan karena apabila kinerja perbankan tersebut baik, maka akan ditanggapi positif oleh

Data perdagangan negara tersebut selama periode tahun 2010-2014 menunjukkan angka impor yang lebih tinggi dari ekspor, hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan

Foto SEM, yang terlihat bentuk kristalisasi pada besi cor kelabu, variasi kekasaran pasir dan kadar clay tidak mempengaruhi hasil dari coran terhadap Hasil uji

yang menyerang berbgai jenis tanaman sayuran di lapang, untuk mengetahui keragaman dan kelimpahan populasi parasitoid yang berasosiasi dengan hama Liriomyza spp., untuk

Indonesia sangat beruntung menjadi Negara yang kaya akan kebudayaan, karena dengan adanya berbagai macam kebudayaan maka Indonesia memiliki suatu daya

komitmen organisasi memoderasi pengaruh sistem akuntansi keuangan daerah terhadap laporan keuangan. Selain itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

Beberapa penelitian yang menggunakan rasio keuangan untuk menilai tingkat profitabilitas perbankan antara lain penelitian yang dilakukan oleh Hesti Werdaningtyas