• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Stroke

Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat dalam hitungan detik atau menit. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lebih dari 24 jam dan dapat menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008).

WHO mendefenisikan stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak (Tarwoto, 2007).

1.2. Klasifikasi Stroke

Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan patologis serta perjalanan penyakitnya. Berdasarkan keadaan patologis, stroke dapat dibagi dua, yaitu stroke iskemia dan stroke hemoragik.

Stroke iskemia terjadi akibat suplai darah ke jaringan otak berkurang yang disebabkan karena adanya obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak. Penyebab stroke iskemia adalah karena trombosis, emboli dan hypoperfusi global. Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling sering, biasanya berkaitan

dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat ateroslerosis. Stroke karena emboli biasanya berasal dari suatu trombosis dalam jantung, dapat juga berasal dari plak ateroslerosis sinus karotikus atau arteri karotis interna. Pada stroke akibat hypoperfusi global biasanya disebabkan karena cardiac arrest dan embolis pulmonal (Tarwoto, 2007).

Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena adanya perdarahan intrakranial non traumatik. Perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid (Harsono, 2007).

Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan intraserebral sering diakibatkan oleh cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Perdarahan di bagian dalam jaringan otak biasanya menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam (Price &Wilson, 2005).

Perdarahan subarakhnoid memiliki dua kausa utama, yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan subarakhnoid merupakan keadaan akut karena darah di rongga subarakhnoid dapat merangsang selaput otak dan menimbulkan meningitis kimiawi (chemical meningitis). Darah yang sampai di ventrikel dapat menggumpal dan mengakibatkan hidrosefalus akut. Pada pemeriksaaan fisik dijumpai gejala terangsangnya selapu otak serta gejala peningkatan tekanan intrakranial (Lumbantobing, 2001).

Sedangkan berdasarkan mekanisme perjalanan penyakitnya, stroke terbagi atas empat, yaitu Transient Ischemic Attack (TIA), Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), stroke progresif (Stroke in Evolution), dan stroke lengkap (Complete Stroke).

Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gangguan neurologi fokal yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang muncul akan hilang secara spontan dalam waktu kurang dari 24 jam (Tarwoto, 2007). Gangguan neurologi ini menimbulkan beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena. TIA

merupakan hal yang penting diperhatikan karena dapat menjadi peringatan dini akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang (Price & Wilson, 2003).

Pada Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu (Harsono, 2007).

Stroke Progresif (Stroke in Evolution) merupakan perkembangan stroke yang terjadi secara perlahan-lahan sampai akut, munculnya gejala semakin memburuk. Proses progresif ini terjadi beberapa jam sampai beberapa hari (Tarwoto, 2007).

Stroke lengkap (Complete Stroke) merupakan gangguan neurologi yang sudah menetap atau permanen, maksimal sejak awal serangan dan sedikit memperlihatkan perbaikan (Tarwoto, 2007).

1.3. Penyebab Stroke

Stroke yang terjadi pada pasien dapat disebabkan oleh beberapa kejadian, yaitu trombosis, emboli serebral, dan perdarahan serebral.

Trombosis adalah bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah ke otak. Oklusi vaskular hampir selalu disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan leukosit. Jejas pada sel endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di pembuluh darah (Lumbantobing, 2001).

Emboli otak merupakan 5-15% dari penyebab stroke. Emboli dapat terdiri dari debris kolesterol, gumpalan trombosit dan fibrin (Lumbantobing, 2001).

Perdarahan serebral dapat mengganggu fungsi otak melalui mekanisme yang berbeda-beda, meliputi adanya kerusakan atau tekanan pada jaringan otak, serta tekanan pada pembuluh darah otak (Simon, 2009).

1.4. Faktor Resiko Stroke

Stroke merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor resiko. Tarwoto (2007) menjelaskan faktor resiko stroke yang meliputi usia, jenis kelamin, ras dan keturunan, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, polisitemia, merokok, dislipidemia, serta obesitas.

Usia merupakan faktor resiko terjadinya stroke. Dengan semakin bertambahnya usia, seseorang semakin beresiko menderita stroke.. Hal ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk menderita stroke dibanding perempuan. Hal ini dapat disebabkan gaya hidup seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol yang lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan (Weng dkk, 2010).

Ras dan keturunan juga mempengaruhi resiko seseorang menderita stroke. Riwayat penyakit stroke dalam keluarga atau penyakit yang berkaitan dengan stroke menjadi faktor resiko seseorang dapat terserang stroke.

Hipertensi merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya ateroslerosis pembuluh darah serebral sehingga nantinya akan pecah dan menimbulkan perdarahan pada jaringan otak. Pada pasien dengan penyakit jantung, fibrilasi atrium dapat menyebabkan penurunan cardiac output, sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi serebral.

Pada pasien dengan penyakit diabetes mellitus terjadi gangguan vaskuler sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hambatan aliran darah ke otak. Meningkatnya kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi sel endotel yang dapat memicu terbentuknya aterosklerosis. Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat oleh resistensi insulin, sehingga kecenderungan mengalami koagulasi intravaskular juga semakin meningkat (Price & Wilson, 2005).

Kadar Hb yang tinggi (lebih dari 16 mg/dl) juga dapat menjadi salah satu faktor resiko stroke. Hal ini terjadi karena kadar Hb yang tinggi dapat

mengakibatkan darah menjadi lebih kental sehingga aliran darah ke otak menjadi lebih lambat.

Orang yang memiliki kebiasaan merokok dua kali lebih beresiko untuk menderita stroke dibanding orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2013). Rokok menimbulkan plak pada pembuluh darah akibat nikotin dan karbon monosida, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis.

Dislipidemia dapat menjadi salah satu pemicu stroke. Semakin tinggi kadar kolesterol dalam darah, maka semakin besar kemungkinan kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah. Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis dan lemak sehingga dapat menghambat aliran darah. Seseorang dengan berat badan berlebih juga beresiko tinggi menderita stroke. Pada pasien obesitas, kadar kolesterol darah tinggi yang dapat memicu terjadinya hipertensi.

1.5. Patofisiologi Stroke

Stroke merupakan jejas otak yang disebabkan oleh dua jenis gangguan vaskular, yaitu iskemia dan hemoragik (Lumbantobing, 2001). Terjadinya stroke sangat erat hubungannya dengan perubahan aliran darah otak, baik karena adanya sumbatan/oklusi pembuluh darah ataupun karena adanya perdarahan pada otak, menimbulkan tidak adekuatnya suplai oksigen dan glukosa. Berkurangnya oksigen atau meningkatnya karbondioksida dapat merangsang pembuluh darah untuk berdilatasi sebagai kompensasi tubuh untuk meningkatkan aliran darah

lebih banyak. Sebaliknya keadaan vasodilatasi memberi efek pada peningkatan tekanan intrakranial (Tarwoto, 2007).

The National Stroke Assoiation (2001 dalam Price & Wilson, 2005) meringkas mekanisme cedera sel akibat stroke sebagai berikut. Tanpa obat-obat neuroprotektif, sel-sel saraf yang mengalami iskemia 80% atau lebih akan mengalami kerusakan irreversibe dalam beberapa menit. Pusat iskemik dikelilingi oleh daerah jaringan lain yang disebut penumbra iskemik atau “zona transisi” dengan CBF antara 20% dan 50% normal (10 sampai 25 ml/100 g jaringan otak/menit). Sel-sel neuron yang berada di daerah ini berada dalam bahaya tetapi belum rusak secara ireversibel.

Secara cepat di dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah penumbra iskemik, cedera dan kematian sel otak berkembang karena tanpa pasokan darah yang memadai sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi, terutama ATP. Apabila kekurangan energi terjadi, maka akan mengakibatkan pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga neuron membengkak. Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan energi ini adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalium intrasel. Sel-sel otak kemudian melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat dalam jumlah berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini kemudian merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron lain, reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, nitrat oksida (NO). NO terdapat secara alami di dalam tubuh dan

meningkatkan banyak fungsi fisiologis yang bergantung pada vasodilatasi, namun dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian neuron. Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease yang diaktifkan oleh kalsium, lipase, dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang iskemik. Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan dapat menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang otak.

Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan perdarahan otak dan lokasi perdarahannya. Perdarahan intraserebral di dalam jaringan otak sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam otak (Price & Wilson, 2005). Perdarahan subaraknoid menyebabkan disfungsi serebral akibat peningkatan tekanan intrakranial. Penyebabnya yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan trauma kepala (Price & Wilson, 2005). Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambah tekanan intrakranial semakin berat. Keadaan hemoragik dan iskemik dapat terjadi bersamaan. Hemoragik dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan iskemia, dan pada daerah yang mengalami iskemia dapat terjadi perdarahan (Lumbantobing, 2001).

1.6. Tanda dan Gejala Sroke

Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya (Harsono, 2007). Tanda utama stroke atau cerebrovaskular accident (CVA) adalah

munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung saat berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan; dan adanya nyeri kepala mendadak tanpa penyebab yang jelas (Price & Wilson, 2005).

Price dan Wilson (2005) menjelaskan sindrom neurovaskular, yang berlaku pada iskemia dan infark akibat trombosis atau embolus sebagai berikut.

Pada arteri karotis interna, lokasi tersering terjadinya lesi adalah bifurkasio arteria karotis komunis ke dalam arteria karotis interna dan eksterna. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya berbagai sindrom dan polanya bergantung pada jumlah sirkulasi kolateral di antaranya dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena akibat insufisiensi arteria retinalis serta timbulnya gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri media. Lesi juga dapat terjadi di daerah antara arteria serebria anterior dan media atau arteria serebri media dengan gejala awal timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi terjadi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara-motorik Broca.

Jika lesi yangb terjadi pada arteri serebri media mengakibatkan pasien mengalami hemiparesis atau monoparesis kontralateral, juga dapat terjadi hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia global, serta disfasia.

Lesi pada arteri serebri anterior dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai dan lengan yang

mengakibatkan gerakan volunter tungkai yang bersangkutan terganggu, defisit sensorik kontralateral, demensia, gerakan menggenggam dan refleks patologis (disfungsi lobus frontalis).

Lesi pada sistem vertebrobasilar dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan di salah satu atau keempat ekstermitas, terjadi peningkatan refleks tendon, ataksia, tanda Babinski bilateral, gejala-gejala serebelum seperti tremor intention dan vertigo, disfagia, disatria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis satu gerakan mata, hemianopsia homonim), adanya tinitus, serta rasa baal di wajah, mulut dan lidah.

Lesi pada arteri serebri posterior, dapat mengakibatkan pasien mengalami koma, hemiparesi kontralateral, afasia visual atau buta kata (aleksia), serta kelumpuhan saraf kranial ketiga.

1.7. Penatalaksanaan Stoke

Harsono (2007) membagi penatalaksanaan stroke ke dalam dua tahap, yaitu tahap akut dan paska akut. Fase akut terjadi pada hari ke 0 sampai hari ke 14 sesudah onset penyakit. Pada tahap akut, sasaran pengobatan ditujukan untuk menyelamatkan neuron yang cedera agar tidak sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu atau mengancam fungsi otak. Tidakan dan obat yang diberikan harus menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup. Jalan napas pasien harus bersih dan longgar. Jantung juga harus berfungsi dengan baik, bila perlu dipantau dengan EKG. Tekanan darah dipertahankan pada

tingkat optimal, serta dipantau agar jangan terjadi penurunan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi pada fase akut tidak diturunkan dengan drastis, terutama pada penderita diabetes melitus. Bila klien dalam keadaan gawat atau koma, keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau.

Obat-obatan yang digunakan untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak antara lain anti edema otak berupa gliserol 10 % per infus, 1 gr/kg BB/hari dalam 6 jam, kortikosteroid dan deksametason dengan bolus 10-20 mg i.v., diikuti 4-5 jam/6 jam selama beberapa hari, lalu diturunkan pelan-pelan dan dihentikan setelah fase akut. Anti agresasi trombosit asam asetil salisilat (ASA), seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah : 80-300 mg/hari serta antikoagulan misalnya heparin. Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terulangnya stroke.

Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang paling penting adalah upaya membatasi semaksimal mungkin kecacatan penderita, baik fisik dan mental. Lingkungan sangat penting untuk mengontrol variabel-variabel penting yang dapat mempengaruhi keadaan pasien, seperti hidrasi, temperatur,dan glukosa darah, dan tata laksana lainnya yang sesuai. Fisioterapi yang berkesinambungan, terapi komplementer dan terapi wicara, serta keterlibatan keluarga dan perawat dapat membantu pasien agar semaksimal mungkin dapat mandiri dalam aktivitas dan fungsinya sehari-hari (Ginsberg, 2008).

Terapi preventif bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke dengan cara mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko stroke, seperti hipertensi, diabetes melitus, rokok, obesitas, dan stres.

2. Konsep Pijat

Dokumen terkait