• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan

Gunungsitoli Oleh

Kalvin Waasaro Lombu

Saya adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam

menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.

Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya memohon kesediaan

Bapak/Ibu untuk mengisi lembar kuesioner dengan jujur apa adanya. Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat bebas untuk menjadi peserta penelitian atau menolak tanpa ada sanksi apapun. Identitas pribadi dan semua informasi

yang Bapak/Ibu berikan akan dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian. Jika Bapak/Ibu bersedia menjadi peserta penelitian ini,

silahkan Bapak/Ibu menandatangani formulir ini.

Gunungsitoli, Januari 2014

Peneliti Responden

(2)

JADWAL TENTATIF PENELITIAN

(3)

TAKSASI DANA

Keterangan dana yang telah dipakai dan diperlukan untuk pembiayaan kegiatan mulai dari proses pembuatan proposal sampai dengan pembuatan skripsi.

1. Pembuatan Proposal Dana yang telah terpakai :

a. Photocopy bahan : Rp. 100.000,-

b. Kertas A4 80 gram : Rp. 30.000,- c. Perbanyak Proposal : Rp. 50.000,- d. Konsumsi Dosen Penguji dan Pembimbing : Rp. 200.000,-

2. Pembuatan Skripsi Dana yang diperlukan :

a. Perbaikan proposal : Rp. 50.000,- b. Peralatan instrumen penelitian : Rp. 200.000,- c. Kertas A4 80 gram : Rp. 30.000,-

d. Konsumsi Dosen Penguji dan Pembimbing : Rp. 200.000,- e. Dana tak terduga : Rp. 100.000,-

+

(4)

Tanggal : Kode :

1. Data Demografi Petunjuk pengisian :

Di bawah ini adalah data demografi yang dibutuhkan sebagai identitas responden penelitian. Isilah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu yang

sebenarnya, dengan memberi tanda check list (√ ) pada kotak yang telah disediakan.

1. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 2. Umur : tahun

3. Agama : Islam Kristen Katolik Buddha

4. Suku Bangsa : Nias Batak Lainnya 5. Pendidikan : SD SMP SMA

Akademi S1 Lainnya 6. Pekerjaan : PNS TNI/POLRI Wiraswasta

Petani/Buruh Karyawan Swasta Lainnya

7. Penghasilan : < Rp. 1.000.000,-

Rp. 1.000.000,- s/d Rp 1.500.000,- Rp. 1.500.000,- s/d Rp 2.000.000, > Rp. 2.000.000,-

(5)

2. Kuesioner Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke Petunjuk pengisian :

Seluruh pernyataan di bawah ini berkaitan dengan hal-hal yang melatarbelakangi Bapak/Ibu dalam memilih terapi pijat dalam perawatan stroke. Pilihlah jawaban yang paling sesuai menurut Bapak/Ibu, kemudian berilah tanda check list (√ )

pada kolom yang tersedia sesuai dengan jawaban Bapak/Ibu.

No. Pernyataan Ya Tidak

1. Saya memilih terapi pijat karena sudah merupakan kebiasaan di masyarakat.

2. Saya memilih terapi pijat karena dianjurkan oleh keluarga.

3. Terapi pijat tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang diakui banyak orang.

4. Terapi pijat tidak bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat.

5. Saya rasa terapi pijat sesuai untuk semua kalangan masyarakat.

6. Saya tidak merasa nyaman ketika mengikuti terapi pijat. 7. Saya yakin dapat sembuh dengan mengikuti terapi pijat. 8. Saya tidak merasa kuatir mengikuti terapi pijat ini.

9. Saya merasa senang dengan sikap tukang pijat yang peduli pada kondisi kesehatan saya.

10. Saya merasa lebih tenang saat mengikuti terapi pijat. 11. Saya memilih terapi pijat karena biayanya murah. 12. Biaya terapi pijat tidak terlalu membebani saya.

13. Penghasilan saya cukup untuk membiayai terapi pijat yang saya jalani.

14. Biaya terapi pijat cukup mahal bagi saya.

15. Tukang pijat tidak menetapkan harga tertentu sebagai biaya terapi pijat.

16. Saya merasa lebih sehat setelah saya dipijat.

17. Keluhan penyakit saya jarang kambuh setelah mengikuti terapi pijat.

18. Saya tidak merasakan manfaat dari proses pemijatan. 19. Terapi pijat dapat membantu menyeimbangkan kondisi

kesehatan saya.

(6)

yang saya derita.

22. Saya merasa terapi pijat tidak baik untuk memelihara kesehatan saya.

23. Saya rasa terapi pijat mencegah gejala penyakit saya kambuh.

24. Saya rasa terapi pijat tidak merugikan kesehatan saya. 25. Saya rasa terapi pijat tidak bertentangan dengan

(7)

Tanggal : Kode :

1. Data Demografi Lala Halόwό :

Ba da’a so data demografi nifake dania ba identitas responden ba penelitian da’a. Ama/Ina tola mamo’όsi fefu nisofu ba data da’a, ba mi be’e tanda checklist ( √ )

ba kotak ni ziso ba da’ό.

8. Jenis Kelamin : Ndramatua Ndra’alawe

9. Ndrόfi : fakhe

10.Agama : Islam Kristen Katolik Buddha

11.Niha : Ono Niha Batak Tanό bό’ό

12.Sikola : SD SMP SMA Akademi S1 Tanό bό’ό

13.Halόwό : PNS TNI/POLRI Wiraswasta Mohalόwό ba danό

Karyawan Swasta Tanό bό’ό

14.Zinόndra : < Rp. 1.000.000,-

Rp. 1.000.000,- s/d Rp 1.500.000,- Rp. 1.500.000,- s/d Rp 2.000.000, > Rp. 2.000.000,-

(8)

2. Kuesioner Hana Wa Niha la Fili Wolomό ba Wondrorogό Niha Sofόkhό Stroke andrό

Lala Halόwό :

Fefu niwa’ό andre fakhai ba wa hana Ama/Ina mamili wolomό ba wondrorogό zofόkhό stroke andrό. Mifili hadia zinangea ba kondisi Ama/Ina, ba mi be’e tanda

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Kalvin Waasaro Lombu

Tempat Tanggal Lahir : Dahana, 20 April 1992 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Vanili 13 No. 16 Perumnas Simalingkar Medan Riwayat Pendidikan :

1. TKK Cenderawasih Gunungsitoli Tahun 1995-1997 2. SD RK Mutiara Gunungsitoli Tahun 1997-2004 3. SMP Swasta Bunga Mawar Gunungsitoli Tahun 2004-2007

(10)

Frequency Table Data Demografi

JenisKelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

(11)

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

(12)

Lama

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

< 1 tahun 10 31.3 31.3 31.3

1 s/d 5 tahun 19 59.4 59.4 90.6

> 5 tahun 3 9.4 9.4 100.0

(13)

Faktor Psikologis

(14)

Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi

(15)

Faktor Sosial Budaya

(16)

Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita

(17)

Faktor Ekonomi

(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar dan Jacob, T. (1996) Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Anuar, Haniza Mohd., Fadzil, Farisa., Ahmad Norlaili. (2012). Urut Melayu for

Post Stroke Patients : A Qualitative Study.

diperoleh

tanggal 19 Desember 2013.

Bishop, Felicity L., Yardley, L., Lewith, George T. (2008). Treat or Treatment : A Qualitative Study Analyzing Patients’ Use of Complementary and

Alternative Medicine.

Chan, Yiu Ming., Huang, Hong., Mei, Hong. (2012). Socioeconomic Status, Attitudes on Use of Health Information, Preventive Behavior, and Complementary and Alternative Medical Therapies : Using a U.S.

National Representative Sample.

Dahlan, M. Sopiyudin. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Foster, George M dan Anderson, Barbara G.(1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Gitawati, Retno., Nugroho, Yun Astuti., Winarno, M. Wien. (2009). Pemanfaatan

Pengobat Tradisional oleh Masyarakat.

Ginsberg, Lionel. (2008). Lecture Notes Neurologi. 8th Ed. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Givi, Mahshid. (2013). Durability of Effect of Massage Therapy on Blood Pressure.

(30)

Goldstein, Steve and Casanelia, Lisa. (2010). The Techniques of Swedish Massage.

diperoleh tanggal 8 Oktober 2013.

Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.

Harsono. (2007). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ilham, Choirul. (2011). Jenis-Jenis Pijat dan Teknik Massage. http://Jenis-Jenis Pijat dan Teknik Massage.html diperoleh tanggal 16 Januari 2014.

Janssen, A.W.M., Leew, F.E., Janssen, M.C.H. (2010). Risk Factor for Ischemic

Stroke and Transient Ischemic Attack in Patients under Age 50.

Jauhari, Abdul Haris., Utami, Muhana Sofiati., Padmawati, Retna Siwi. (2008).

Motivasi dan Kepercayaan Pasien untuk Berobat ke Sinse

tanggal 12 Juni 2014.

Kamaluddin, Ridlwan. (2010). Pengalaman Pasien Hipertensi yang Menjalani Terapi Alternatif Komplementer Bekam di Kabupaten Banyumas. Tesis : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Keir, Stephen Thomas. (2010). Effect of Massage Theraphy on Stress Level and Quality of Life in Brain Tumor Patients : Obeservations from A Pilot Study.

Lumbantobing, SM., (2001). Neurogeriatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Magdalena, Maureen M. (2013). Menelusuri Sejarah Pijat Refleksi.

tanggal 19 Oktober 2013.

Manalu, Helper S., Lawolo, Arif K., Handayani, Lestari. (2012). Buku Seri Etografi Etnik Nias Desa HIllifadolo Kecamatan Lolowa’u Kabupaten

(31)

Morhenn, Vera., Beavin, Laura E., Zak, Paul J. (2012). Massage Increases

Oxytocin dan Reduces Adrenocorticotropin Hormone in Humans.

diperoleh tanggal 19 Oktober 2013.

Nasir, A., Muhith, A., dan Ideputri, M. E. (2011). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan : Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Tesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Media.

Nastiti, Dian. (2012). Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke pada Pasien

Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011.

Skripsi : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Notoadmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan: Pedoman Skrispsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Polit, D.F. & Hungler, B.P. (1995). Nursing Research : Principles and Methods. Philadelphia: Lippincott Co.

Potter, Patricia A dan Perry, Anne G. (2009). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Silvia A dan Wilson, Lorraine M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC.

Rab, Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat: Critical Care. Jilid 2. Bandung: Penerbit Alumni.

Retno, Anastasi Widyo dan Prawesti, Dian. (2012). Tindakan Slow Back Massage

dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi. Jurnal

Stikes. Vol. 5. No. 2, hal. 133-147.

Sajedi, F., Kashaninia, Z., Hoseinzadeh, S., Abedinipoor, A. (2011). How Effective is Swedish Massage on Blood Glucose Level in Children With

Diabetes Mellitus.

Simon, Roger P., Greenberg, David A., Aminoff, Michael J. (2009). Clinical Neurologi. 7th Ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

(32)

Smith, Joanna M., Sullivan, S. John., Baxter, G. David. (2009). The Culture of Massage Therapy: Valued Elements and The Role Comfort, Contact,

Connection and Caring.

Soejoeti, Sunanti Z. (2008). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks

Sosial Budaya.

diperoleh

tanggal 12 Mei 2014.

Sonjaya, A. (2008). Makna Megalitik : Kontekstualisasi dalam Sejarah Budaya Bόrόnadu.

diperoleh tanggal 17 Desember 2013.

Sugiyono. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sundari, Wina. (2011). Pijat dalam Aroma Terapi. Tugas Konsep Herbal Indonesia: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.

Tarwoto, Wartonah dan Eros, Siti Suryani. (2007). Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Sagung Seto.

Trionggo, Ira dan Ghofar, Abdul. (2013). Panduan Sehat Sembuhkan Penyakit dengan Pijat dan Herbal. Yogyakarta: Indoliterasi.

Turtzo, L. Christine dan McCullough, Louise D. (2008). Sex Differences in Stroke.

Wallcot, Esther. (2004). Seni Pengobatan Alternatif Pengetahuan dan Persepsi.

diperoleh

tanggal 10 Juni 2014.

Weerapong, Pornratshanee., Hume, Patria A., Kolt, Gregory S. (2005). The Mechanisms of Massage and Effects on Performance, Muscle Recovery

and Injury Prevention.

(33)

Weng, Hsu Huei., Wu, Chih Ying., Wu, Hung Ming. (2010). Stroke Risk Facktor

and Subtypes in Different Age Group : A Hospital Based Study.

diperoleh tanggal 15 Oktober 2013.

WHO. (2009). Global Health Risk : Mortality and Burden of Disease Attributable

to Selected Mayor Risks.

Yastroki. (2009). Meningkatnya Penduduk Rawan Stroke.

diperoleh tanggal 17

September 2013.

(34)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan alasan pasien

memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka konsep penelitian dapat

dilihat pada skema di bawah ini:

Skema 3.1. Kerangka penelitian alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Berhubungan Pasien Stroke

Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke:

1. Faktor Sosial Budaya 2. Faktor Psikologis 3. Faktor Ekonomi

4. Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi 5. Persepsi tentang Penyakit yang Diderita

(35)

2. Defenisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Penelitian

(36)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan suatu

keadaan secara objektif, dalam hal ini untuk menggambarkan alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke.

2. Populasi dan Sampel 2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang memilih terapi

pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.

2.2. Sampel

Teknik penarikan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling yaitu penetapan sampel dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia

di tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoadmojo, 2010). Penentuan jumlah sampel yang dibutuhkan dilakukan berdasarkan jumlah sampel minimal dalam penelitian deskriptif yaitu 30 orang responden ditambah 2 orang responden

(37)

Adapun kriteria inklusi yang digunakan terdiri dari: pasien stroke yang mengikuti terapi pijat baik laki-laki maupun perempuan, dapat membaca dan

menulis dengan baik, dan bersedia mengisi kuesioner yang dinyatakan secara tertulis dengan menandatangani surat perjanjian peserta penelitian. Sedangkan kriteria ekslusinya terdiri dari: tidak dapat membaca dan menulis dengan baik

serta tidak bersedia menjadi responden.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gunungsitoli pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 dengan pertimbangan antara lain Kecamatan

Gunungsitoli merupakan pusat pemerintahan Kota Gunungsitoli, merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kota Gunungsitoli sehingga

memudahkan dalam pengambilan sampel.

4. Pertimbangan Etik

Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan surat permohonan kepada Dekan Fakultas Keperawatan untuk mendapatkan izin persetujuan penelitian.

Setelah mendapatkan izin untuk melakukan penelitian, peneliti memulai penelitian dengan mempertimbangkan pertimbangan etik, yaitu : Informed consent atau lembar persetujuan, anonimity, dan confidentialty. Inform consent atau lembar

persetujuan diserahkan kepada calon responden yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang

(38)

bersedia, maka responden dipersilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut. Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka peneliti

tidak akan memaksa dan akan tetap menghormati hak – haknya. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi cukup dengan menuliskan inisial dan nomor

kode pada masing-masing lembar tersebut. Sedangkan Confidentialty atau kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti karena data yang diperoleh

dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

5. Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan informasi dari responden, peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Kuesioner penelitian ini terdiri atas dua

bagian. Bagian pertama instrumen penelitian berisi data demografi pasien yang meliputi nomor responden, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lamanya menderita stroke.

Pada instrumen bagian kedua berisi instrumen untuk mengeksplorasi tentang alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke, yang terdiri

dari faktor sosial budaya, faktor psikologis, faktor ekonomi, faktor manfaat dan keberhasilan terapi, serta persepsi tentang penyakit yang diderita. Kuesioner ini terdiri dari 25 pernyataan yang akan mewakili setiap faktor. Pernyataan nomor 1,

2, 3, 4, 5 merupakan pernyataan untuk faktor sosial budaya, pernyataan nomor 6, 7, 8, 9, 10 merupakan pernyataan untuk faktor psikologis, pernyataan nomor 11,

(39)

17, 18, 19, 20 merupakan pernyataan untuk faktor manfaat dan keberhasilan terapi, serta pernyataan nomor 21, 22, 23, 24, 25 merupakan pernyataan untuk

persepsi tentang penyakit yang diderita. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Guttman dengan nilai 0 untuk jawaban Tidak dan nilai 1 untuk jawaban Ya.

Skor pernyataan setiap faktor dijumlahkan untuk mendapatkan nilai

terendah 0 dan nilai tertinggi 5. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut dijumlahkan dan dibagi dengan banyaknya responden untuk mendapatkan mean score tiap faktor.

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Instrumen penelitian dibuat oleh peneliti sehingga perlu dilakukan uji

validitas dan reabilitas untuk mengetahui seberapa besar derajat kemampuan alat ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji validitas

kuesioner penelitian ini dilakukan dengan validitas isi. Instrumen memiliki validitas isi jika instrumen tersebut mengacu pada isi yang sesuai dengan variabel yang diteliti ( Hidayat, 2007).

Uji validitas pada penelitian ini telah dilakukan oleh dosen yang berkompeten dari Departemen Keperawatan Medikal Bedah dan Dasar serta

Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas Fakultas Keperawatan USU. Berdasarkan uji validitas tersebut, kalimat pernyataan dalam kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih efektif dengan item-item pernyataan yang akan

(40)

Uji reliabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian

selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama (Siswanto dkk, 2013). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan uji reliabilitas konsistensi internal dengan menggunakan uji formula K–R 20 (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas dilakukan

pada tanggal 17 Januari 2014 sampai tanggal 26 Januari 2014 di Kecamatan Gunungsitoli. Responden uji reliabilitas tidak diikutsertakan sebagai responden

sampel pada penelitian. Pada penelitian ini dilakukan uji reliabilitas pada 30 orang responden dan diperoleh nilai K-R 20 sebesar 0,87 dengan r tabel product momen sebesar 0,374, maka instrumen dinyatakan reliable.

7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari institusi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Peneliti juga telah mendapatkan surat izin pelaksanaan penelitian dari pihak

Camat Gunungsitoli. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan uji reliabilitas pada tanggal 17 Januari 2014 sampai tanggal 26 Januari 2014 di

Kecamatan Gunungsitoli pada 30 orang responden. Responden pada uji reliabilitas tidak diikutsertakan sebagai sampel penelitian. Setelah instrumen dinyatakan reliable, peneliti kemudian menyebarkan kuesioner kepada responden

penelitian. Setelah menemukan calon responden, peneliti akan memberi penjelasan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan

(41)

responden. Jika calon responden setuju, calon responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika calon responden

menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak individu tersebut. Dalam proses penelitian ini, peneliti juga akan tetap menghormati hak responden dengan tidak mengganggu proses terapi pijat yang dijalani oleh

responden. Setelah diisi, kuesioner tersebut dikumpulkan kembali dan diperiksa kelengkapannya. Apabila ada yang masih belum lengkap, maka kuesioner tersebut

dilengkapi pada saat itu juga.

8. Analisa Data

Dalam melakukan analisa terhadap suatu penelitian digunakan statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis. Analisa data

dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yang terdiri dari editing

untuk memeriksa kelengkapan data responden serta memastikan bahwa semua pernyataan telah diisi. Selanjutnya setiap kuesioner diberi kode untuk

memudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi data. Pengolahan data dilakukan dengan teknik komputerisasi untuk analisis data deskriptif yaitu analisis distribusi

frekuensi. Data yang telah diolah selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentase untuk mendeskripsikan data demografi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan

(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian dari pengumpulan data yang

dilakukan pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 di Kecamatan Gunungsitoli. Penyajikan hasil analisa dalam penelitian ini meliputi data

demografi dan alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.

1.1. Data Demografi

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 32 orang. Adapun

karakteristik responden yang akan dipaparkan mencakup umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan lamanya menderita stroke.

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden berada pada kelompok usia 40-49 tahun yaitu sejumlah 11 orang (34,4%). Berdasarkan jenis

kelamin, lebih dari setengah responden adalah laki-laki yaitu sejumlah 19 orang (59,4%) dan keseluruhan responden adalah suku Nias yaitu sejumlah 32 orang (100%). Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih dari setengah responden adalah

tamatan SMA yaitu sejumlah 17 orang (53,1%), lebih sepertiga responden bekerja sebagai PNS yaitu sejumlah 12 orang (37,5%), dan lebih dari setengah responden

(43)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden yang memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli pada Januari 2014 sampai Februari 2014 (n=32 orang)

Data Demografi Frekuensi Persentase

(44)

1.2. Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean score, alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke adalah faktor psikologis (mean=4,75), faktor manfaat dan kebehasilan terapi (mean=4,53),

faktor sosial budaya (mean=4,5), persepsi tentang penyakit yang diderita (mean=4,38) dan faktor ekonomi (mean=4,13).

Tabel 5.2. Mean scor alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 (n=32 orang).

Alasan pasien memilih terapi pijat dalam

perawatan stroke Mean

Standard Deviasi Faktor Psikologis

Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi Faktor Sosial Budaya

Persepsi tentang Penyakit yang Diderita Faktor Ekonomi

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh maka peneliti akan

(45)

2.1. Data Demografi

Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden berada

pada kelompok usia 40-49 tahun (34,4%). Usia mempengaruhi keputusan pasien untuk memilih menggunakan pelayanan kesehatan tertentu. Semakin bertambahnya usia membuat individu semakin memahami dirinya dan dapat

menerima informasi tentang berbagai hal dari berbagai sumber, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya.

Dalam penelitian ini terdapat sejumlah 17 orang (53,1%) dengan tingkat pendidikan SMA, 2 orang (6,3%) dengan tingkat pendidikan SMP, 5 orang (15,6%) dengan tingkat pendidikan SD, 4 orang (12,5%) dengan tingkat

pendidikan D3, 3 orang (9,4%) dengan tingkat pendidikan S1, dan 1 orang (3,1%) lainnya. Tingkat pendidikan individu sangat mempengaruhi tingkah laku sakitnya.

Tingkah laku sakit yang dialami pasien dapat menentukan kecenderungannya mencari pelayanan kesehatan dan kepatuhan terhadap terapinya sehingga menentukan hasil kesehatan (Potter & Perry, 2009). Dengan semakin tingginya

tingkat pendidikan tingkat seseorang, diharapkan individu tersebut semakin sadar akan kesehatannya dan dapat menentukan pelayanan kesehatannya dengan baik.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa lebih dari sepertiga responden bekerja sebagai PNS yaitu sejumlah 12 orang (37,5%) dan kurang dari setengah responden berpenghasilan Rp.1.500.000 sampai dengan Rp.2.000.000 yaitu

(46)

Berbeda dengan penelitian Gitawati dkk (2009) yang menyatakan bahwa semakin rendah status ekonomi seseorang, pilihan untuk menggunakan pengobatan

tradisional pun akan semakin banyak. Gambaran hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekarang ada kecenderungan penggunaan terapi kesehatan tradisional di masyarakat bukan hanya didominasi oleh kalangan masyarakat dengan tingkat

ekonomi rendah melainkan juga digunakan oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih baik.

2.2. Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli

2.2.1. Faktor Psikologis

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean

score, faktor psikologis merupakan alasan utama pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli (mean=4,75). Menurut Smith dkk (2009), hubungan saling percaya antara pasien dan terapis pijat sangat

berpengaruh positif terhadap efektifitas terapi pijat yang dijalani oleh pasien. Para terapis pijat tradisional pada umumya dekat dan akrab bergaul dengan

kehidupan masyarakat sekitarnya. Kedekatan, hubungan saling percaya, dan sikap peduli yang ditunjukkan terapis pijat membuat pasien merasa lebih nyaman dan yakin dengan efektifitas terapi yang dijalaninya. Menurut Bishop dkk (2010),

pasien memilih terapi komplementer karena merasa nyaman, holistik, dan personal sesuai dengan kebutuhannya. Smith dkk (2009) juga menyatakan bahwa

(47)

terapis, sangat berpengaruh terhadap penggunaan terapi pijat dalam perawatan kesehatan di masyarakat.

Pelayanan kesehatan di rumah sakit, khususnya pelayanan keperawatan, seharusnya lebih dapat memberi kenyamanan dan kepuasan kepada pasien dan keluarga. Kepuasan pasien dan keluarga tentu sangat dipengaruhi sikap caring

yang ditunjukkan perawat pada pasien. Dalam hubungan bantuan perawat-klien, perawat memiliki peran sebagai penolong profesional dan mengenali pasien

sebagai individu yang memiliki hubungan kesehatan, respons, dan pola hidup yang unik. Hubungan ini bersifat terapeutik dan mendorong terbentuknya iklim psikologis yang memfasilitasi perubahan positif (Potter & Perry, 2009).

Andriani dan Sunarto (2009) menyatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kepuasan pasien dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kualitas pelayanan kesehatan

yang diberikan. Semakin baik kualitas pelayanan kesehatan pada pasien maka akan semakin baik pula tingkat kepuasan pasien, sebaliknya jika kualitas pelayanan kesehatan pada pasien kurang baik maka tingkat kepuasan pasien juga

akan berkurang. Dalam pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien sering dikemukakan erat kaitannya dengan sikap, perilaku dan komunikasi petugas

kesehatan, khususnya perawat, kepada pasien. Akibatnya, pasien akan lebih memilih menggunakan terapi alternatif, termasuk terapi pijat, untuk perawatan kesehatannya. Jauhari dkk (2008) juga menemukan bahwa motivasi pasien untuk

(48)

meningkatkan komunikasi yang baik dan membina hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.

2.2.2. Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean

score, faktor manfaat dan keberhasilan terapi merupakan alasan kedua paling mempengaruhi pasien memilih terapi pijat di Kecamatan Gunungsitoli

(mean=4,53). Pijat diyakini memiliki banyak fungsi bagi kesehatan antara lain mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan energi, meningkatkan kualitas tidur, menenangkan tubuh dan pikiran, serta meredakan

stress (Trionggo & Ghofar, 2013).

Beberapa literatur juga menyebutkan berbagai manfaat dari terapi pijat

yang dilakukan pada pasien. Salah satu faktor resiko stroke pada pasien adalah hipertensi. Retno dan Prawesti (2012) menemukan bahwa ada pengaruh pijat slow

stroke massage terhadap perubahan tekanan darah pada respoden. Sentuhan

ataupun tekanan pada kulit membuat otot, tendon dan ligamen menjadi lebih rileks sehingga meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis untuk mengeluarkan

neurotransmiter asetilkolin untuk menghambat aktivitas saraf simpatis di otot jantung yang bermanifestasi pada penurunan tekanan darah. Terapi pijat atau massage membuat jaringan otot menjadi rileks, menurunkan tingkat nyeri dan

(49)

Terapi pijat juga dapat mempengaruhi kadar gula darah pada pasien diabetes. Seperti yang telah diketahui, diabetes juga merupakan salah satu faktor

resiko terjadinya stroke. Sajedi (2011) menemukan bahwa terapi pijat efektif untuk menurunkan kadar gula darah pada pasien anak yang menderita diabetes. Menurutnya, terapi pijat dapat menurunkan tingkat kecemasan dan hormon stress

pada pasien. Stress dapat dihubungkan dengan pelepasan counterregulatory

hormones dan mobilisasi energi yang mengakibatkan peningkatan kadar gula

darah pasien. Penelitian Anuar dkk (2012) menemukan bahwa terapi pijat tradisional Melayu (urut Melayu) pada pasien paska stroke memberi efek yang positif. Para pasien paska stroke yang mengikuti terapi pijat percaya mengalami

peningkatan kesehatan setelah mengikuti terapi. Selain itu, terapis pijat juga melakukan komunikasi dengan pasien selama sesi terapi sehingga meningkatkan

perasaan nyaman pasien.

Instrumen penelitian ini tidak mengkaji adanya peningkatan fungsi fisik responden sebelum dan setelah mengikuti terapi pijat. Penelitian ini hanya

memberi gambaran pendapat responden tentang faktor manfaat dan keberhasilan terapi pijat dalam perawatannya, sehingga untuk mengukur adanya peningkatan

fungsi fisik pasien paska stroke yang mengikuti terapi pijat sebelum dan setelah terapi dapat dilakukan dengan metode observasi. Mayoritas pasien menganggap kesehatannya lebih baik dan seimbang setelah mengikuti terapi pijat, keluhan

penyakit yang jarang kambuh, serta mengikuti terapi pijat karena mendengar kesembuhan pasien lain yang mengikuti terapi pijat. Jauhari dkk (2008)

(50)

tidak adanya informasi negatif tentang sinse menimbulkan keyakinan pasien untuk berobat ke sinse.

Efektifitas penggunaan terapi pijat untuk perawatan pasien paska stroke masih harus dibuktikan secara medis. Belum ada penelitian yang melaporkan bahwa terapi pijat dapat meningkatkan fungsi fisik pasien paska stroke secara

signifikan. Terapi pijat tetap beresiko bagi kesehatan pasien paska stroke karena dapat menyebabkan terjadinya ruptur pada plak di dalam pembuluh darah pasien,

terutama pada pasien stroke dengan kadar kolesterol tinggi. Dalam hal ini, peran perawat sangat menentukan untuk memberi pendidikan kesehatan yang tepat pada pasien dan keluarga tentang penyakit stroke dan perawatannya.

2.2.3. Faktor Sosial Budaya

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean score, faktor sosial budaya merupakan alasan ketiga yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli

(mean=4,5). Alasan sosial budaya mempengaruhi pemikiran dan keyakinan pasien dalam memilih terapi kesehatan yang dijalaninya. Pasien sering bereaksi secara

positif terhadap dukungan sosial saat mempraktikkan tingkah laku kesehatan yang positif (Potter & Perry, 2009).

Penyakit ditentukan oleh budaya, karena penyakit merupakan pengakuan

sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar (Soejoeti, 2008). Latar belakang budaya dan suku seorang pasien dapat

(51)

sakit (Potter & Perry, 2009). Dalam hal ini, dukungan sosial dapat membantu pasien dalam mengenali ancaman sakit dan mempengaruhi tingkah laku sakit

pasien tersebut.

Kamaluddin (2010) menyatakan bahwa alasan sosial sangat mempengaruhi pasien dalam memilih dan menggunakan terapi tradisional bekam

dalam perawatannya, yang berupa dukungan dari anggota keluarga. Hal ini menjelaskan bahwa dukungan sosial dan kebiasaan budaya di masyarakat sangat

mempengaruhi keputusan pasien untuk memilih dan menggunakan terapi pijat tradisional dalam perawatan penyakit stroke yang dideritanya.

2.2.4. Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean

score, persepsi tentang penyakit yang diderita merupakan alasan keempat yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli (mean=4,38). Persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan

melalui panca indera manusia. Persepsi masyarakat tentang terjadinya penyakit bisa saja berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, tergantung dari

kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut (Soejoeti, 2008).

Persepsi pasien tentang penyakitnya mempengaruhi tingkah laku sakitnya.

Tingkah laku sakit ini mencakup cara pasien mengawasi tubuhnya, mendefiniskan dan menyimpulkan gejala, mengambil tindakan pengobatan, serta menggunakan

(52)

penelitian Walcott (2004) menyatakan bahwa masyarakat di Indonesia dalam menjaga kesehatannya, menggunakan pengobatan modern maupun pengobatan

alternatif tradisional. Ada pendapat di masyarakat bahwa keadaan yang lebih memastikan untuk kesehatan adalah menggunakan kedua metode pengobatan tersebut karena kedua sistem pengobatan tersebut, yaitu pengobatan modern dan

pengobatan alternatif tradisional, bisa bersifat saling melengkapi.

Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas responden menganggap

penyakitnya harus ditangani secara medis, sehingga para responden berobat ke dokter. Namun, selain menggunakan obat-obatan dari dokter, mereka juga mengganggap bahwa menggunakan terapi pijat tradisional juga sangat bermanfaat

untuk perawatan kesehatannya. Pandangan ini sesuai dengan konsep naturalistik dalam konsep pengobatan tradisional. Soejoeti (2008) menyatakan bahwa dalam

konsep pengobatan tradisional, penyebab sakit dapat bersifat naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan, kebiasaan hidup, dan adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh.

2.2.5. Faktor Ekonomi

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean score, faktor ekonomi merupakan alasan yang paling sedikit mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli

(53)

masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah lebih sering menggunakan pengobatan alternatif tradisional.

Kamaluddin (2010) menyatakan bahwa faktor ekonomi bukan alasan utama pasien hipertensi menggunakan terapi tradisional bekam dalam perawatannya. Jauhari (2008) juga menemukan bahwa faktor ekonomi bukanlah

faktor utama motivasi pasien berobat ke sinse.

Mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki tingkat penghasilan

yang cukup baik, sehingga mampu untuk berobat ke dokter serta membiayai terapi pijat untuk perawatannya. Pertimbangan ekonomi mempengaruhi cara reaksi pasien terhadap sakit (Potter & Perry, 2009). Dalam penelitian ini, mayoritas

responden menyatakan bahwa biaya terapi pijat cukup murah sehingga tidak membebani serta terapis pijat tidak menetapkan harga tertentu sebagai biaya

(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan alasan pasien memilih terapi pijat

dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli yaitu faktor psikologis (mean=4,75), faktor manfaat dan kebehasilan terapi (mean=4,53), faktor sosial

budaya (mean=4,5), persepsi tentang penyakit yang diderita (mean=4,38) dan faktor ekonomi (mean=4,13).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa alasan pasien memilih terapi pijat dalam

perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli adalah faktor psikologis, faktor manfaat dan keberhasilan terapi, faktor sosial budaya, persepsi tentang penyakit

yang diderita serta faktor ekonomi.

2. SARAN

2.1. Bagi praktek keperawatan

Perawat diharapkan dapat memberi pendidikan kesehatan tentang penyakit

stroke dan perawatannya pada pasien dan keluarga. Efektifitas penggunaan terapi pijat dalam perawatan stroke masih belum terbukti secara medis, sehingga penggunaan terapi pijat tetap beresiko bagi kesehatan pasien. Oleh sebab itu,

(55)

2.2. Bagi pendidikan keperawatan

Pendidikan keperawatan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perawat melakukan komunikasi terapeutik dan bersikap caring dalam pelaksanaan pelayanan asuhan keperawatan di masyarakat. Sehingga nantinya diharapkan,

masyarakat akan lebih memilih menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit untuk perawatan kesehatannya.

2.3. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini memberi gambaran alasan pasien memilih terapi pijat dalam

perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli. Oleh karena itu, diharapkan ada penelitian selanjutnya tentang hubungan antar tiap faktor dan faktor yang paling

(56)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Stroke 1.1. Definisi Stroke

Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya

fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat dalam hitungan detik atau menit. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lebih dari 24 jam

dan dapat menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008).

WHO mendefenisikan stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau

lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak (Tarwoto,

2007).

1.2. Klasifikasi Stroke

Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan patologis serta perjalanan penyakitnya. Berdasarkan keadaan patologis, stroke dapat dibagi dua,

yaitu stroke iskemia dan stroke hemoragik.

Stroke iskemia terjadi akibat suplai darah ke jaringan otak berkurang yang disebabkan karena adanya obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak.

(57)

dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat ateroslerosis. Stroke karena emboli biasanya berasal dari suatu trombosis dalam jantung, dapat juga

berasal dari plak ateroslerosis sinus karotikus atau arteri karotis interna. Pada stroke akibat hypoperfusi global biasanya disebabkan karena cardiac arrest dan embolis pulmonal (Tarwoto, 2007).

Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena adanya perdarahan intrakranial non traumatik. Perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi

perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid (Harsono, 2007).

Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.

Perdarahan intraserebral sering diakibatkan oleh cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke

dalam jaringan otak. Perdarahan di bagian dalam jaringan otak biasanya menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam (Price &Wilson, 2005).

Perdarahan subarakhnoid memiliki dua kausa utama, yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan subarakhnoid merupakan

keadaan akut karena darah di rongga subarakhnoid dapat merangsang selaput otak dan menimbulkan meningitis kimiawi (chemical meningitis). Darah yang sampai di ventrikel dapat menggumpal dan mengakibatkan hidrosefalus akut. Pada

(58)

Sedangkan berdasarkan mekanisme perjalanan penyakitnya, stroke terbagi atas empat, yaitu Transient Ischemic Attack (TIA), Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), stroke progresif (Stroke in Evolution), dan stroke

lengkap (Complete Stroke).

Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gangguan neurologi fokal

yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang muncul akan hilang secara spontan dalam waktu

kurang dari 24 jam (Tarwoto, 2007). Gangguan neurologi ini menimbulkan beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena. TIA

merupakan hal yang penting diperhatikan karena dapat menjadi peringatan dini

akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang (Price & Wilson, 2003). Pada Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), gejala neurologik

yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu (Harsono, 2007).

Stroke Progresif (Stroke in Evolution) merupakan perkembangan stroke

yang terjadi secara perlahan-lahan sampai akut, munculnya gejala semakin memburuk. Proses progresif ini terjadi beberapa jam sampai beberapa hari

(Tarwoto, 2007).

Stroke lengkap (Complete Stroke) merupakan gangguan neurologi yang sudah menetap atau permanen, maksimal sejak awal serangan dan sedikit

(59)

1.3. Penyebab Stroke

Stroke yang terjadi pada pasien dapat disebabkan oleh beberapa kejadian,

yaitu trombosis, emboli serebral, dan perdarahan serebral.

Trombosis adalah bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah ke otak. Oklusi vaskular hampir selalu

disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan leukosit. Jejas pada sel endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di

pembuluh darah (Lumbantobing, 2001).

Emboli otak merupakan 5-15% dari penyebab stroke. Emboli dapat terdiri dari debris kolesterol, gumpalan trombosit dan fibrin (Lumbantobing, 2001).

Perdarahan serebral dapat mengganggu fungsi otak melalui mekanisme yang berbeda-beda, meliputi adanya kerusakan atau tekanan pada jaringan otak,

serta tekanan pada pembuluh darah otak (Simon, 2009).

1.4. Faktor Resiko Stroke

Stroke merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor resiko. Tarwoto (2007) menjelaskan faktor resiko stroke yang meliputi usia, jenis

kelamin, ras dan keturunan, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, polisitemia, merokok, dislipidemia, serta obesitas.

Usia merupakan faktor resiko terjadinya stroke. Dengan semakin

(60)

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk menderita stroke dibanding perempuan. Hal ini dapat disebabkan gaya

hidup seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol yang lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan (Weng dkk, 2010).

Ras dan keturunan juga mempengaruhi resiko seseorang menderita stroke.

Riwayat penyakit stroke dalam keluarga atau penyakit yang berkaitan dengan stroke menjadi faktor resiko seseorang dapat terserang stroke.

Hipertensi merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya ateroslerosis pembuluh darah serebral sehingga nantinya akan pecah dan menimbulkan perdarahan pada jaringan otak.

Pada pasien dengan penyakit jantung, fibrilasi atrium dapat menyebabkan penurunan cardiac output, sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi

serebral.

Pada pasien dengan penyakit diabetes mellitus terjadi gangguan vaskuler sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hambatan aliran darah ke otak.

Meningkatnya kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi sel endotel yang dapat memicu terbentuknya aterosklerosis.

Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat oleh resistensi insulin, sehingga kecenderungan mengalami koagulasi intravaskular juga semakin meningkat (Price & Wilson, 2005).

(61)

mengakibatkan darah menjadi lebih kental sehingga aliran darah ke otak menjadi lebih lambat.

Orang yang memiliki kebiasaan merokok dua kali lebih beresiko untuk menderita stroke dibanding orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2013). Rokok menimbulkan plak pada pembuluh darah akibat nikotin dan karbon

monosida, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis.

Dislipidemia dapat menjadi salah satu pemicu stroke. Semakin tinggi kadar

kolesterol dalam darah, maka semakin besar kemungkinan kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah. Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis dan lemak sehingga dapat

menghambat aliran darah. Seseorang dengan berat badan berlebih juga beresiko tinggi menderita stroke. Pada pasien obesitas, kadar kolesterol darah tinggi yang

dapat memicu terjadinya hipertensi.

1.5. Patofisiologi Stroke

Stroke merupakan jejas otak yang disebabkan oleh dua jenis gangguan vaskular, yaitu iskemia dan hemoragik (Lumbantobing, 2001). Terjadinya stroke

sangat erat hubungannya dengan perubahan aliran darah otak, baik karena adanya sumbatan/oklusi pembuluh darah ataupun karena adanya perdarahan pada otak, menimbulkan tidak adekuatnya suplai oksigen dan glukosa. Berkurangnya

(62)

lebih banyak. Sebaliknya keadaan vasodilatasi memberi efek pada peningkatan tekanan intrakranial (Tarwoto, 2007).

The National Stroke Assoiation (2001 dalam Price & Wilson, 2005) meringkas mekanisme cedera sel akibat stroke sebagai berikut. Tanpa obat-obat neuroprotektif, sel-sel saraf yang mengalami iskemia 80% atau lebih akan

mengalami kerusakan irreversibe dalam beberapa menit. Pusat iskemik dikelilingi oleh daerah jaringan lain yang disebut penumbra iskemik atau “zona transisi”

dengan CBF antara 20% dan 50% normal (10 sampai 25 ml/100 g jaringan otak/menit). Sel-sel neuron yang berada di daerah ini berada dalam bahaya tetapi belum rusak secara ireversibel.

Secara cepat di dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah penumbra iskemik, cedera dan kematian sel otak berkembang karena tanpa

pasokan darah yang memadai sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi, terutama ATP. Apabila kekurangan energi terjadi, maka akan mengakibatkan pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga

neuron membengkak. Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan energi ini adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalium intrasel. Sel-sel otak

kemudian melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat dalam jumlah berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini kemudian merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron

lain, reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya

(63)

meningkatkan banyak fungsi fisiologis yang bergantung pada vasodilatasi, namun dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian

neuron. Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease yang diaktifkan oleh kalsium, lipase, dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang iskemik. Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan dapat

menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang otak.

Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan perdarahan otak dan lokasi

perdarahannya. Perdarahan intraserebral di dalam jaringan otak sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam otak (Price & Wilson, 2005).

Perdarahan subaraknoid menyebabkan disfungsi serebral akibat peningkatan tekanan intrakranial. Penyebabnya yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan

trauma kepala (Price & Wilson, 2005). Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambah tekanan intrakranial semakin berat. Keadaan hemoragik dan iskemik dapat terjadi

bersamaan. Hemoragik dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan iskemia, dan pada daerah yang mengalami iskemia dapat terjadi

perdarahan (Lumbantobing, 2001).

1.6. Tanda dan Gejala Sroke

Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya

(64)

munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai terutama

di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung saat berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan; dan adanya nyeri kepala mendadak

tanpa penyebab yang jelas (Price & Wilson, 2005).

Price dan Wilson (2005) menjelaskan sindrom neurovaskular, yang

berlaku pada iskemia dan infark akibat trombosis atau embolus sebagai berikut. Pada arteri karotis interna, lokasi tersering terjadinya lesi adalah bifurkasio arteria karotis komunis ke dalam arteria karotis interna dan eksterna. Hal ini dapat

mengakibatkan timbulnya berbagai sindrom dan polanya bergantung pada jumlah sirkulasi kolateral di antaranya dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria

karotis yang terkena akibat insufisiensi arteria retinalis serta timbulnya gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri media. Lesi juga dapat terjadi di daerah antara arteria serebria anterior dan media

atau arteria serebri media dengan gejala awal timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi terjadi di hemisfer dominan, maka terjadi

afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara-motorik Broca.

Jika lesi yangb terjadi pada arteri serebri media mengakibatkan pasien mengalami hemiparesis atau monoparesis kontralateral, juga dapat terjadi

hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia global, serta disfasia.

Lesi pada arteri serebri anterior dapat mengakibatkan terjadinya

(65)

mengakibatkan gerakan volunter tungkai yang bersangkutan terganggu, defisit sensorik kontralateral, demensia, gerakan menggenggam dan refleks patologis

(disfungsi lobus frontalis).

Lesi pada sistem vertebrobasilar dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan di salah satu atau keempat ekstermitas, terjadi peningkatan refleks

tendon, ataksia, tanda Babinski bilateral, gejala-gejala serebelum seperti tremor intention dan vertigo, disfagia, disatria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan

daya ingat, disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis satu gerakan mata, hemianopsia homonim), adanya tinitus, serta rasa baal di wajah, mulut dan lidah.

Lesi pada arteri serebri posterior, dapat mengakibatkan pasien mengalami koma, hemiparesi kontralateral, afasia visual atau buta kata (aleksia), serta

kelumpuhan saraf kranial ketiga.

1.7. Penatalaksanaan Stoke

Harsono (2007) membagi penatalaksanaan stroke ke dalam dua tahap, yaitu tahap akut dan paska akut. Fase akut terjadi pada hari ke 0 sampai hari ke 14

sesudah onset penyakit. Pada tahap akut, sasaran pengobatan ditujukan untuk menyelamatkan neuron yang cedera agar tidak sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu atau mengancam fungsi otak.

Tidakan dan obat yang diberikan harus menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup. Jalan napas pasien harus bersih dan longgar. Jantung juga harus berfungsi

(66)

tingkat optimal, serta dipantau agar jangan terjadi penurunan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi pada fase akut tidak diturunkan dengan drastis, terutama

pada penderita diabetes melitus. Bila klien dalam keadaan gawat atau koma, keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau.

Obat-obatan yang digunakan untuk memulihkan aliran darah dan

metabolisme otak antara lain anti edema otak berupa gliserol 10 % per infus, 1 gr/kg BB/hari dalam 6 jam, kortikosteroid dan deksametason dengan bolus 10-20

mg i.v., diikuti 4-5 jam/6 jam selama beberapa hari, lalu diturunkan pelan-pelan dan dihentikan setelah fase akut. Anti agresasi trombosit asam asetil salisilat (ASA), seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah : 80-300 mg/hari serta

antikoagulan misalnya heparin. Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terulangnya

stroke.

Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang paling penting adalah upaya membatasi semaksimal mungkin

kecacatan penderita, baik fisik dan mental. Lingkungan sangat penting untuk mengontrol variabel-variabel penting yang dapat mempengaruhi keadaan pasien,

seperti hidrasi, temperatur,dan glukosa darah, dan tata laksana lainnya yang sesuai. Fisioterapi yang berkesinambungan, terapi komplementer dan terapi wicara, serta keterlibatan keluarga dan perawat dapat membantu pasien agar

(67)

Terapi preventif bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke dengan cara mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko

stroke, seperti hipertensi, diabetes melitus, rokok, obesitas, dan stres.

2. Konsep Pijat 2.1. Pengertian Pijat

Pijat telah digunakan sebagai salah satu intervensi terapeutik untuk

mengatasi berbagai keluhan penyakit selama ribuan tahun. Di Asia pijat telah dikenal sejak 1000 tahun SM, terutama dalam penyembuhan Ayurveda. Pijat merupakan manipulasi terhadap jaringan lunak, umumnya dengan menggunakan

tangan, untuk menstimulasi dan merelaksasi, serta untuk mengurangi stres dan kecemasan (Keir, 2010).

2.2. Jenis-Jenis Pijat

Ada berbagai macam terapi pijat yang dikenal di seluruh dunia, yaitu pijat

shiatsu, biodinamic massage, refleksologi, sport massage atau pijat Swedia, pijat bayi dan pijat tradisional Indonesia.

Shiatsu merupakan bentuk kuno dari terapi pijat dengan melakukan penekanan pada titik-titik tertentu di tubuh yang telah dipraktekkan selama berabad-abad di Jepang. Pijat shiatsu didasarkan pada prinsip menekan titik-titik

(68)

Biodinamic massage merupakan merupakan suatu jenis terapi kesehatan yang mengkombinasikan terapi pijat dengan elemen olah tubuh dan

perkembangan psikologi (Sundari, 2011).

Sport massage atau pijat Swedia merupakan jenis terapi pijat yang

ditujukan untuk merilekskan otot dan melenturkan sendi yang kaku, yang

umumnya dilakukan pada olahragawan atau atlet (Sundari, 2011).

Pijat bayi adalah pijat yang berupa usapan-usapan lembut pada tubuh bayi

yang umumnya bertujuan untuk memberi rasa aman, nyaman dan menyehatkan bagi bayi. Beberapa penelitian menemukan bahwa pijat bayi dapat membantu meningkatkan berat badan bayi, meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh

bayi, serta meningkatkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan bayi (Sundari, 2011).

Pijat tradisional Indonesia adalah pijat khas Indonesia yang mengandalkan teknik pemijatan dengan penekanan telapak tangan dan ibu jari ke tubuh. Beberapa terapis pijat tradisional menggunakan minyak kelapa untuk

mempermudah pemijatan pada tubuh pasien. Masyarakat di Indonesia menggunakan terapi pijat tradisional sebagai terapi untuk perawatan kesehatan

(Ilham, 2011; Sundari, 2011; Agoes & Jacob, 1996).

(69)

2.3. Teknik Pemijatan

Goldstein (2010) membagi teknik pemijatan dalam 5 gerakan utama, yaitu

efflurage, friction, petrissage, tapotement, dan vibrasi.

Efflurage adalah gerakan pemijatan dengan mengusap yang dilakukan

secara berirama dan berturut-turut ke arah atas. Gerakan mengusap, yaitu gerakan

ringan dan terus-menerus yang dilakukan dengan ujung jari bagian bawah pada bagian wajah yang sempit seperti hidung dan dagu, dan dengan telapak tangan

pada bagian wajah yang lebar seperti dahi dan pipi. Efflurage memiliki efek sedatif yaitu memberikan efek menenangkan, sehingga selalu dipakai di awal dan di akhir pemijatan (Goldstein, 2010).

Friction memberi tekanan pada kulit untuk memperlancar sirkulasi darah dan memperkuat otot dan kulit. Friksi dapat dilakukan dengan ujung0ujung jari

atau pangkal telapak tangan, sesuai dengan kebutuhan. Friksi dilakukan dengan menekankan ujung-ujung jari pada bagian tubuh yang dipijat, lalu diputar ringan berurutan sambil berpindah tempat (Goldstein, 2010; Keir, 2005)

Petrissage bertujuan untuk memijat otot dengan menggunakan satu tangan atau kedua tangan. Pelaksanaan petrissage untuk daerah-daerah yang lebar pada

tubuh dapat dilakukan dengan kedua tangan secara bersamaan atau kedua tangan bergantian secara berurutan. Untuk daerah yang sempit, pemijatan dilakukan dengan menggunakan ujung-ujung jari dengan arah gerakannya naik turun bebas

(Goldstein, 2010).

Tapotement merupakan gerakan memijat dengan menepuk yang dilakukan

(70)

kedua tangan secara bergatian. Sikap tangan dapat berupa setengah mengepal, jari-jari terbuka atau rapat, serta dapat juga dilakukan dengan mencekungkan

telapak tangan dengan jari-jari merapat. Gerakan ini bertujuan untuk mengurangi tonus otot dan memperlancar peredaran darah (Goldstein, 2010).

Vibrasi merupakan gerakan menggetarkan otot secara berirama dengan

tekanan ringan. Pada gerakan ini digunakan ujung jari dan telapak tangan untuk menggetarkan massa otot secara bergantian (Goldstein, 2010)

2.4. Manfaat Pijat

Manfaat pijat bersifat universal, positif dan bermanfaat bagi kesehatan

tubuh secara keseluruhan. Pijat telah digunakan diseluruh dunia sebagai tindakan pencegahan tanpa menggunakan obat atau operasi (Trionggo & Ghofar, 2013).

Pijat memiliki banyak fungsi bagi kesehatan antara lain mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan energi, meningkatkan kualias tidur, menenangkan tubuh dan pikiran serta meredakan stres (Trionggo &

Ghofar, 2013).

Retno dan Prawesti (2012) menemukan adanya pengaruh pijat slow stroke back terhadap perubahan tekanan darah pada responden. Sentuhan atau tekanan

pada kulit membuat otot, tendon, dan ligamen menjadi lebih rileks sehingga meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis untuk mengeluarkan neurotransmitter

(71)

Dalam penelitiannya, Givi (2013) menemukan bahwa pijat atau massage

dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien hipertensi. Pijat

menjadi suatu intervensi yang aman, efektif, dan murah untuk mengontrol tekanan darah dan dapat dilakukan di tempat pusat perawatan dan di rumah.

Weerapong (2005) menemukan bahwa pijat atau massage dapat

mengurangi respon nyeri pasien dengan mekanisme gerbang kontrol pada spinal cord. Pijat dapat meningkatkan substansi biokimia seperti serotonin, yang

merupakan neurotransmitter yang dapat mengurangi respon nyeri. Pijat juga memiliki efek yang positif terhadap tingkat ansietas atau kecemasan pasien.

Penelitian Sajedi (2011) terhadap anak-anak penderita diabetes melitus,

didapatkan bahwa massage atau pijat efektif dalam menurunkan kadar gula darah pasien. Pijat juga dapat menurunkan tingkat kecemasan dan hormon stres pasien,

sehingga dapat meningkatkan relaksasi.

Anuar (2012) dalam penelitiannya melaporkan adanya efek positif terapi pijat pada pasien paska stroke. Pasien mengaku mengalami kemajuan pemulihan

secara fisik dan psikis setelah mengikuti terapi pijat dalam perawatannya.

3. Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat Sebagai Terapi Komplementer Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki berbagai pandangan tentang terapi komplementer. Masyarakat memilih terapi

komplementer sebagai pelengkap terapi medis karena menganggap bahwa terapi tersebut lebih nyaman, holistik dan lebih personal sesuai dengan kebutuhan

(72)

memiliki efek samping karena lebih alami, serta dapat melengkapi terapi medis dalam perawatan pasien (Bishop, 2008; Tindle, 2005).

Ada beberapa faktor alasan pasien memilih terapi pijat sebagai terapi komplementer dalam perawatannya, selain menggunakan terapi medis. Faktor-faktor tersebut adalah Faktor-faktor sosial masyarakat, psikologi, ekonomi, Faktor-faktor

manfaat dan keberhasilan terapi, dan persepsi tentang penyakit yang diderita (Trionggo & Ghofar, 2013; Bishop, 2010; Potter & Perry, 2009; Walcott, 2004).

3.1. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya mempengaruhi pemikiran dan keyakinan pasien

dalam memilih terapi kesehatan yang akan dijalaninya. Kelompok sosial dapat membantu pasien dalam mengenali ancaman sakit atau mendukung penolakan

terhadap sakit. Klien sering bereaksi secara positif terhadap dukungan sosial saat mempraktekkan tingkah laku kesehatan yang positif. Faktor sosial juga sangat mempengaruhi keputusan pasien tentang layanan kesehatan yang dipilihnya

(Potter & Perry, 2009).

Terapi pijat juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat. Smith

dkk (2009) menemukan bahwa pasien sangat dipengaruh oleh nilai-nilai yang diyakininya untuk memilih terapi pijat dalam proses perawatannya. Nilai-nilai tersebut memberi dampak yang signifikan terhadap efektifitas terapi pijat yang

(73)

3.2. Faktor Psikologis

Menurut Bishop (2010), pasien memilih terapi komplementer karena

merasa lebih nyaman, holistik dan lebih personal sesuai dengan kebutuhannya. Pasien merasa yakin bahwa kondisi kesehatannya akan lebih baik dengan perawatan yang dilakukan oleh terapis. Sikap caring yang ditunjukkan oleh terapis

juga mempengaruhi keputusan pasien memilih terapi komplementer yang dijalaninya.

Hubungan saling percaya antara pasien dengan terapis juga berdampak positif terhadap efektifitas terapi yang dijalani oleh pasien. Banyak pasien yang meyakini bahwa penyembuhan dapat tercapai dengan sentuhan dan sikap caring

serta empati yang ditunjukkan oleh terapis pada mereka (Smith dkk, 2009).

3.3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi mempengaruhi reaksi pasien terhadap penyakit. Akses layanan kesehatan berkaitan erat dengan faktor ekonomi (Potter & Perry, 2009).

Dalam penelitiannya, Walcott (2004) menyatakan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi keputusan masyarakat memilih pelayanan kesehatan. Biaya yang

murah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat sebagai terapi komplementer dalam perawatannya.

(74)

3.4. Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi

Keefektifan terapi komplementer juga menjadi salah satu alasan pasien

untuk memilih terapi. Pasien yang memilih terapi pijat merasakan banyak manfaat selama menjalani terapi. Mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan kualitas tidur, meredakan stres dan menenangkan pikiran dan tubuh

merupakan manfaat pijat yang banyak dirasakan oleh pasien (Trionggo & Ghofar, 2013).

3.5. Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita

Persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera.

Persepsi pasien terhadap penyakitnya mempengaruhi perilaku pasien terhadap gejala dan tanda penyakit yang dideritanya. Menurut Forster dan Anderson

(1986), di Indonesia masyarakat dan pengobat tradisional menganggap ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya suatu penyakit, yaitu naturalistik dan personalistik.

Seseorang yang menderita penyakit dianggap akibat pengaruh lingkungan, makanan, kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh, serta penyakit

bawaan. Hal inilah yang disebut sebagai penyebab penyakit yang bersifat naturalistik. Sedangkan paham personalistik menganggap bahwa penyakit disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa roh jahat atau sihir.

Masyarakat mengganggap sakit merupakan keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman (Forster &

(75)

Menurut Potter dan Perry (2009), perilaku sehat adalah berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pemeliharaan, pencapaian atau usaha mendapatkan

kembali kondisi kesehatan yang baik dan mencegah penyakit. Sedangkan perilaku sakit mencakup cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialaminya, melakukan usaha penyembuhan, dan

(76)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Stroke atau yang disebut juga dengan cerebrovaskular accident (CVA)

merupakan suatu keadaan terhentinya aliran darah serebral yang menyebabkan kelainan otak permanen yang bersifat mendadak dan menimbulkan gejala sesuai

dengan bagian otak yang tidak mendapat suplai darah tersebut, dengan angka kecacatan dan kematian yang tinggi (Rab, 1998).

Data menunjukkan bahwa stroke merupakan penyakit penyebab kematian

nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di negara-negara berpenghasilan rendah, stroke menjadi penyakit kelima mematikan dan di negara-negara

berpenghasilan sedang dan tinggi, stroke menjadi penyakit kedua mematikan (Yastroki, 2009). Pada tahun 2008, stroke dan penyakit cerebrovascular lainnya menyebabkan 6,2 juta orang di dunia meninggal (WHO, 2009).

Di Indonesia, stroke menjadi penyakit penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Diperkirakan setiap tahunnya ada

sekitar 500.000 orang mengalami stroke di Indonesia dan dari seluruh penderita stroke di Indonesia, 2,5% meninggal dunia dan selebihnya mengalami kecacatan dari ringan sampai berat (Yuniarsih, 2010).

Gambar

Tabel 3.1.  Definisi Operasional Variabel Penelitian
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden yang memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli pada Januari 2014 sampai Februari 2014 (n=32 orang)
Tabel 5.2. Mean scor alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 (n=32 orang)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan pelapisan, sifat hidrofilik pada permukaan semakin baik yang ditunjukkan dengan berkurangnya nilai sudut kontak dari ubin. Pengaruh jenis basa

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Nomor : 09/PPBJ/KONS-13/IV.30/I/2013 tanggal 21 Januari 2013 perihal Penetapan Pemenang Pekerjaan Penggantian Jaringan Lampu Tersebar

Imba Kusuma pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bandar Lampung dengan nilai total HPS sebesar Rp 1.235.000.000,- maka dengan ini diumumkan nama penyedia barang/jasa

Monginsidi pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bandar Lampung (K-11) dengan nilai total HPS sebesar Rp 990.000.000,- maka dengan ini diumumkan nama penyedia barang/jasa

Ion yan$ dihasikan dikum!ukanm#ny#akan ionisasi... 6ru!#n +aus. Introduction to

Contohnya pada devices router dengan server (atau devices yang lain) : seret router dan server ke lembar kerja di cisco packet tracer, kemudian kita klik dua kali pada

BAHWA sesungguhnya untuk mencapai Keserasian Hubungan Kerja yang Harmonis dan Efektif antara Pihak PENGUSAHA dan Pihak PEKERJA berlandaskan Undang-Undang dan Ketentuan

Gaya gesek adalah gaya yang terjadi akibat adanya gesekan dari kedua benda, gaya gesek berpengaruh pada kehidupan kita sehari –hari yaitu membuat kita tidak.. Nama kelompok : 1)