LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan
Gunungsitoli Oleh
Kalvin Waasaro Lombu
Saya adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam
menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.
Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya memohon kesediaan
Bapak/Ibu untuk mengisi lembar kuesioner dengan jujur apa adanya. Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat bebas untuk menjadi peserta penelitian atau menolak tanpa ada sanksi apapun. Identitas pribadi dan semua informasi
yang Bapak/Ibu berikan akan dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian. Jika Bapak/Ibu bersedia menjadi peserta penelitian ini,
silahkan Bapak/Ibu menandatangani formulir ini.
Gunungsitoli, Januari 2014
Peneliti Responden
JADWAL TENTATIF PENELITIAN
TAKSASI DANA
Keterangan dana yang telah dipakai dan diperlukan untuk pembiayaan kegiatan mulai dari proses pembuatan proposal sampai dengan pembuatan skripsi.
1. Pembuatan Proposal Dana yang telah terpakai :
a. Photocopy bahan : Rp. 100.000,-
b. Kertas A4 80 gram : Rp. 30.000,- c. Perbanyak Proposal : Rp. 50.000,- d. Konsumsi Dosen Penguji dan Pembimbing : Rp. 200.000,-
2. Pembuatan Skripsi Dana yang diperlukan :
a. Perbaikan proposal : Rp. 50.000,- b. Peralatan instrumen penelitian : Rp. 200.000,- c. Kertas A4 80 gram : Rp. 30.000,-
d. Konsumsi Dosen Penguji dan Pembimbing : Rp. 200.000,- e. Dana tak terduga : Rp. 100.000,-
+
Tanggal : Kode :
1. Data Demografi Petunjuk pengisian :
Di bawah ini adalah data demografi yang dibutuhkan sebagai identitas responden penelitian. Isilah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu yang
sebenarnya, dengan memberi tanda check list (√ ) pada kotak yang telah disediakan.
1. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 2. Umur : tahun
3. Agama : Islam Kristen Katolik Buddha
4. Suku Bangsa : Nias Batak Lainnya 5. Pendidikan : SD SMP SMA
Akademi S1 Lainnya 6. Pekerjaan : PNS TNI/POLRI Wiraswasta
Petani/Buruh Karyawan Swasta Lainnya
7. Penghasilan : < Rp. 1.000.000,-
Rp. 1.000.000,- s/d Rp 1.500.000,- Rp. 1.500.000,- s/d Rp 2.000.000, > Rp. 2.000.000,-
2. Kuesioner Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke Petunjuk pengisian :
Seluruh pernyataan di bawah ini berkaitan dengan hal-hal yang melatarbelakangi Bapak/Ibu dalam memilih terapi pijat dalam perawatan stroke. Pilihlah jawaban yang paling sesuai menurut Bapak/Ibu, kemudian berilah tanda check list (√ )
pada kolom yang tersedia sesuai dengan jawaban Bapak/Ibu.
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Saya memilih terapi pijat karena sudah merupakan kebiasaan di masyarakat.
2. Saya memilih terapi pijat karena dianjurkan oleh keluarga.
3. Terapi pijat tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang diakui banyak orang.
4. Terapi pijat tidak bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat.
5. Saya rasa terapi pijat sesuai untuk semua kalangan masyarakat.
6. Saya tidak merasa nyaman ketika mengikuti terapi pijat. 7. Saya yakin dapat sembuh dengan mengikuti terapi pijat. 8. Saya tidak merasa kuatir mengikuti terapi pijat ini.
9. Saya merasa senang dengan sikap tukang pijat yang peduli pada kondisi kesehatan saya.
10. Saya merasa lebih tenang saat mengikuti terapi pijat. 11. Saya memilih terapi pijat karena biayanya murah. 12. Biaya terapi pijat tidak terlalu membebani saya.
13. Penghasilan saya cukup untuk membiayai terapi pijat yang saya jalani.
14. Biaya terapi pijat cukup mahal bagi saya.
15. Tukang pijat tidak menetapkan harga tertentu sebagai biaya terapi pijat.
16. Saya merasa lebih sehat setelah saya dipijat.
17. Keluhan penyakit saya jarang kambuh setelah mengikuti terapi pijat.
18. Saya tidak merasakan manfaat dari proses pemijatan. 19. Terapi pijat dapat membantu menyeimbangkan kondisi
kesehatan saya.
yang saya derita.
22. Saya merasa terapi pijat tidak baik untuk memelihara kesehatan saya.
23. Saya rasa terapi pijat mencegah gejala penyakit saya kambuh.
24. Saya rasa terapi pijat tidak merugikan kesehatan saya. 25. Saya rasa terapi pijat tidak bertentangan dengan
Tanggal : Kode :
1. Data Demografi Lala Halόwό :
Ba da’a so data demografi nifake dania ba identitas responden ba penelitian da’a. Ama/Ina tola mamo’όsi fefu nisofu ba data da’a, ba mi be’e tanda checklist ( √ )
ba kotak ni ziso ba da’ό.
8. Jenis Kelamin : Ndramatua Ndra’alawe
9. Ndrόfi : fakhe
10.Agama : Islam Kristen Katolik Buddha
11.Niha : Ono Niha Batak Tanό bό’ό
12.Sikola : SD SMP SMA Akademi S1 Tanό bό’ό
13.Halόwό : PNS TNI/POLRI Wiraswasta Mohalόwό ba danό
Karyawan Swasta Tanό bό’ό
14.Zinόndra : < Rp. 1.000.000,-
Rp. 1.000.000,- s/d Rp 1.500.000,- Rp. 1.500.000,- s/d Rp 2.000.000, > Rp. 2.000.000,-
2. Kuesioner Hana Wa Niha la Fili Wolomό ba Wondrorogό Niha Sofόkhό Stroke andrό
Lala Halόwό :
Fefu niwa’ό andre fakhai ba wa hana Ama/Ina mamili wolomό ba wondrorogό zofόkhό stroke andrό. Mifili hadia zinangea ba kondisi Ama/Ina, ba mi be’e tanda
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Kalvin Waasaro Lombu
Tempat Tanggal Lahir : Dahana, 20 April 1992 Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. Vanili 13 No. 16 Perumnas Simalingkar Medan Riwayat Pendidikan :
1. TKK Cenderawasih Gunungsitoli Tahun 1995-1997 2. SD RK Mutiara Gunungsitoli Tahun 1997-2004 3. SMP Swasta Bunga Mawar Gunungsitoli Tahun 2004-2007
Frequency Table Data Demografi
JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Lama
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
< 1 tahun 10 31.3 31.3 31.3
1 s/d 5 tahun 19 59.4 59.4 90.6
> 5 tahun 3 9.4 9.4 100.0
Faktor Psikologis
Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi
Faktor Sosial Budaya
Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita
Faktor Ekonomi
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Azwar dan Jacob, T. (1996) Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Anuar, Haniza Mohd., Fadzil, Farisa., Ahmad Norlaili. (2012). Urut Melayu for
Post Stroke Patients : A Qualitative Study.
diperoleh
tanggal 19 Desember 2013.
Bishop, Felicity L., Yardley, L., Lewith, George T. (2008). Treat or Treatment : A Qualitative Study Analyzing Patients’ Use of Complementary and
Alternative Medicine.
Chan, Yiu Ming., Huang, Hong., Mei, Hong. (2012). Socioeconomic Status, Attitudes on Use of Health Information, Preventive Behavior, and Complementary and Alternative Medical Therapies : Using a U.S.
National Representative Sample.
Dahlan, M. Sopiyudin. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Foster, George M dan Anderson, Barbara G.(1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Gitawati, Retno., Nugroho, Yun Astuti., Winarno, M. Wien. (2009). Pemanfaatan
Pengobat Tradisional oleh Masyarakat.
Ginsberg, Lionel. (2008). Lecture Notes Neurologi. 8th Ed. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Givi, Mahshid. (2013). Durability of Effect of Massage Therapy on Blood Pressure.
Goldstein, Steve and Casanelia, Lisa. (2010). The Techniques of Swedish Massage.
diperoleh tanggal 8 Oktober 2013.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.
Harsono. (2007). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ilham, Choirul. (2011). Jenis-Jenis Pijat dan Teknik Massage. http://Jenis-Jenis Pijat dan Teknik Massage.html diperoleh tanggal 16 Januari 2014.
Janssen, A.W.M., Leew, F.E., Janssen, M.C.H. (2010). Risk Factor for Ischemic
Stroke and Transient Ischemic Attack in Patients under Age 50.
Jauhari, Abdul Haris., Utami, Muhana Sofiati., Padmawati, Retna Siwi. (2008).
Motivasi dan Kepercayaan Pasien untuk Berobat ke Sinse
tanggal 12 Juni 2014.
Kamaluddin, Ridlwan. (2010). Pengalaman Pasien Hipertensi yang Menjalani Terapi Alternatif Komplementer Bekam di Kabupaten Banyumas. Tesis : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Keir, Stephen Thomas. (2010). Effect of Massage Theraphy on Stress Level and Quality of Life in Brain Tumor Patients : Obeservations from A Pilot Study.
Lumbantobing, SM., (2001). Neurogeriatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Magdalena, Maureen M. (2013). Menelusuri Sejarah Pijat Refleksi.
tanggal 19 Oktober 2013.
Manalu, Helper S., Lawolo, Arif K., Handayani, Lestari. (2012). Buku Seri Etografi Etnik Nias Desa HIllifadolo Kecamatan Lolowa’u Kabupaten
Morhenn, Vera., Beavin, Laura E., Zak, Paul J. (2012). Massage Increases
Oxytocin dan Reduces Adrenocorticotropin Hormone in Humans.
diperoleh tanggal 19 Oktober 2013.
Nasir, A., Muhith, A., dan Ideputri, M. E. (2011). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan : Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Tesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Media.
Nastiti, Dian. (2012). Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke pada Pasien
Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit Krakatau Medika Tahun 2011.
Skripsi : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Notoadmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skrispsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Polit, D.F. & Hungler, B.P. (1995). Nursing Research : Principles and Methods. Philadelphia: Lippincott Co.
Potter, Patricia A dan Perry, Anne G. (2009). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Price, Silvia A dan Wilson, Lorraine M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC.
Rab, Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat: Critical Care. Jilid 2. Bandung: Penerbit Alumni.
Retno, Anastasi Widyo dan Prawesti, Dian. (2012). Tindakan Slow Back Massage
dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi. Jurnal
Stikes. Vol. 5. No. 2, hal. 133-147.
Sajedi, F., Kashaninia, Z., Hoseinzadeh, S., Abedinipoor, A. (2011). How Effective is Swedish Massage on Blood Glucose Level in Children With
Diabetes Mellitus.
Simon, Roger P., Greenberg, David A., Aminoff, Michael J. (2009). Clinical Neurologi. 7th Ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Smith, Joanna M., Sullivan, S. John., Baxter, G. David. (2009). The Culture of Massage Therapy: Valued Elements and The Role Comfort, Contact,
Connection and Caring.
Soejoeti, Sunanti Z. (2008). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks
Sosial Budaya.
diperoleh
tanggal 12 Mei 2014.
Sonjaya, A. (2008). Makna Megalitik : Kontekstualisasi dalam Sejarah Budaya Bόrόnadu.
diperoleh tanggal 17 Desember 2013.
Sugiyono. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sundari, Wina. (2011). Pijat dalam Aroma Terapi. Tugas Konsep Herbal Indonesia: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Tarwoto, Wartonah dan Eros, Siti Suryani. (2007). Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Sagung Seto.
Trionggo, Ira dan Ghofar, Abdul. (2013). Panduan Sehat Sembuhkan Penyakit dengan Pijat dan Herbal. Yogyakarta: Indoliterasi.
Turtzo, L. Christine dan McCullough, Louise D. (2008). Sex Differences in Stroke.
Wallcot, Esther. (2004). Seni Pengobatan Alternatif Pengetahuan dan Persepsi.
diperoleh
tanggal 10 Juni 2014.
Weerapong, Pornratshanee., Hume, Patria A., Kolt, Gregory S. (2005). The Mechanisms of Massage and Effects on Performance, Muscle Recovery
and Injury Prevention.
Weng, Hsu Huei., Wu, Chih Ying., Wu, Hung Ming. (2010). Stroke Risk Facktor
and Subtypes in Different Age Group : A Hospital Based Study.
diperoleh tanggal 15 Oktober 2013.
WHO. (2009). Global Health Risk : Mortality and Burden of Disease Attributable
to Selected Mayor Risks.
Yastroki. (2009). Meningkatnya Penduduk Rawan Stroke.
diperoleh tanggal 17
September 2013.
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
1. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan alasan pasien
memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka konsep penelitian dapat
dilihat pada skema di bawah ini:
Skema 3.1. Kerangka penelitian alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Berhubungan Pasien Stroke
Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke:
1. Faktor Sosial Budaya 2. Faktor Psikologis 3. Faktor Ekonomi
4. Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi 5. Persepsi tentang Penyakit yang Diderita
2. Defenisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Penelitian
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan suatu
keadaan secara objektif, dalam hal ini untuk menggambarkan alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke.
2. Populasi dan Sampel 2.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang memilih terapi
pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.
2.2. Sampel
Teknik penarikan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling yaitu penetapan sampel dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia
di tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoadmojo, 2010). Penentuan jumlah sampel yang dibutuhkan dilakukan berdasarkan jumlah sampel minimal dalam penelitian deskriptif yaitu 30 orang responden ditambah 2 orang responden
Adapun kriteria inklusi yang digunakan terdiri dari: pasien stroke yang mengikuti terapi pijat baik laki-laki maupun perempuan, dapat membaca dan
menulis dengan baik, dan bersedia mengisi kuesioner yang dinyatakan secara tertulis dengan menandatangani surat perjanjian peserta penelitian. Sedangkan kriteria ekslusinya terdiri dari: tidak dapat membaca dan menulis dengan baik
serta tidak bersedia menjadi responden.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gunungsitoli pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 dengan pertimbangan antara lain Kecamatan
Gunungsitoli merupakan pusat pemerintahan Kota Gunungsitoli, merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kota Gunungsitoli sehingga
memudahkan dalam pengambilan sampel.
4. Pertimbangan Etik
Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan surat permohonan kepada Dekan Fakultas Keperawatan untuk mendapatkan izin persetujuan penelitian.
Setelah mendapatkan izin untuk melakukan penelitian, peneliti memulai penelitian dengan mempertimbangkan pertimbangan etik, yaitu : Informed consent atau lembar persetujuan, anonimity, dan confidentialty. Inform consent atau lembar
persetujuan diserahkan kepada calon responden yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang
bersedia, maka responden dipersilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut. Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka peneliti
tidak akan memaksa dan akan tetap menghormati hak – haknya. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi cukup dengan menuliskan inisial dan nomor
kode pada masing-masing lembar tersebut. Sedangkan Confidentialty atau kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti karena data yang diperoleh
dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
5. Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan informasi dari responden, peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Kuesioner penelitian ini terdiri atas dua
bagian. Bagian pertama instrumen penelitian berisi data demografi pasien yang meliputi nomor responden, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lamanya menderita stroke.
Pada instrumen bagian kedua berisi instrumen untuk mengeksplorasi tentang alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke, yang terdiri
dari faktor sosial budaya, faktor psikologis, faktor ekonomi, faktor manfaat dan keberhasilan terapi, serta persepsi tentang penyakit yang diderita. Kuesioner ini terdiri dari 25 pernyataan yang akan mewakili setiap faktor. Pernyataan nomor 1,
2, 3, 4, 5 merupakan pernyataan untuk faktor sosial budaya, pernyataan nomor 6, 7, 8, 9, 10 merupakan pernyataan untuk faktor psikologis, pernyataan nomor 11,
17, 18, 19, 20 merupakan pernyataan untuk faktor manfaat dan keberhasilan terapi, serta pernyataan nomor 21, 22, 23, 24, 25 merupakan pernyataan untuk
persepsi tentang penyakit yang diderita. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Guttman dengan nilai 0 untuk jawaban Tidak dan nilai 1 untuk jawaban Ya.
Skor pernyataan setiap faktor dijumlahkan untuk mendapatkan nilai
terendah 0 dan nilai tertinggi 5. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut dijumlahkan dan dibagi dengan banyaknya responden untuk mendapatkan mean score tiap faktor.
6. Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen penelitian dibuat oleh peneliti sehingga perlu dilakukan uji
validitas dan reabilitas untuk mengetahui seberapa besar derajat kemampuan alat ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji validitas
kuesioner penelitian ini dilakukan dengan validitas isi. Instrumen memiliki validitas isi jika instrumen tersebut mengacu pada isi yang sesuai dengan variabel yang diteliti ( Hidayat, 2007).
Uji validitas pada penelitian ini telah dilakukan oleh dosen yang berkompeten dari Departemen Keperawatan Medikal Bedah dan Dasar serta
Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas Fakultas Keperawatan USU. Berdasarkan uji validitas tersebut, kalimat pernyataan dalam kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih efektif dengan item-item pernyataan yang akan
Uji reliabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama (Siswanto dkk, 2013). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan uji reliabilitas konsistensi internal dengan menggunakan uji formula K–R 20 (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas dilakukan
pada tanggal 17 Januari 2014 sampai tanggal 26 Januari 2014 di Kecamatan Gunungsitoli. Responden uji reliabilitas tidak diikutsertakan sebagai responden
sampel pada penelitian. Pada penelitian ini dilakukan uji reliabilitas pada 30 orang responden dan diperoleh nilai K-R 20 sebesar 0,87 dengan r tabel product momen sebesar 0,374, maka instrumen dinyatakan reliable.
7. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari institusi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Peneliti juga telah mendapatkan surat izin pelaksanaan penelitian dari pihak
Camat Gunungsitoli. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan uji reliabilitas pada tanggal 17 Januari 2014 sampai tanggal 26 Januari 2014 di
Kecamatan Gunungsitoli pada 30 orang responden. Responden pada uji reliabilitas tidak diikutsertakan sebagai sampel penelitian. Setelah instrumen dinyatakan reliable, peneliti kemudian menyebarkan kuesioner kepada responden
penelitian. Setelah menemukan calon responden, peneliti akan memberi penjelasan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan
responden. Jika calon responden setuju, calon responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika calon responden
menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak individu tersebut. Dalam proses penelitian ini, peneliti juga akan tetap menghormati hak responden dengan tidak mengganggu proses terapi pijat yang dijalani oleh
responden. Setelah diisi, kuesioner tersebut dikumpulkan kembali dan diperiksa kelengkapannya. Apabila ada yang masih belum lengkap, maka kuesioner tersebut
dilengkapi pada saat itu juga.
8. Analisa Data
Dalam melakukan analisa terhadap suatu penelitian digunakan statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis. Analisa data
dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yang terdiri dari editing
untuk memeriksa kelengkapan data responden serta memastikan bahwa semua pernyataan telah diisi. Selanjutnya setiap kuesioner diberi kode untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi data. Pengolahan data dilakukan dengan teknik komputerisasi untuk analisis data deskriptif yaitu analisis distribusi
frekuensi. Data yang telah diolah selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentase untuk mendeskripsikan data demografi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian dari pengumpulan data yang
dilakukan pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 di Kecamatan Gunungsitoli. Penyajikan hasil analisa dalam penelitian ini meliputi data
demografi dan alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli.
1.1. Data Demografi
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 32 orang. Adapun
karakteristik responden yang akan dipaparkan mencakup umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan lamanya menderita stroke.
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden berada pada kelompok usia 40-49 tahun yaitu sejumlah 11 orang (34,4%). Berdasarkan jenis
kelamin, lebih dari setengah responden adalah laki-laki yaitu sejumlah 19 orang (59,4%) dan keseluruhan responden adalah suku Nias yaitu sejumlah 32 orang (100%). Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih dari setengah responden adalah
tamatan SMA yaitu sejumlah 17 orang (53,1%), lebih sepertiga responden bekerja sebagai PNS yaitu sejumlah 12 orang (37,5%), dan lebih dari setengah responden
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden yang memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli pada Januari 2014 sampai Februari 2014 (n=32 orang)
Data Demografi Frekuensi Persentase
1.2. Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean score, alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke adalah faktor psikologis (mean=4,75), faktor manfaat dan kebehasilan terapi (mean=4,53),
faktor sosial budaya (mean=4,5), persepsi tentang penyakit yang diderita (mean=4,38) dan faktor ekonomi (mean=4,13).
Tabel 5.2. Mean scor alasan pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli pada 29 Januari 2014 sampai 25 Februari 2014 (n=32 orang).
Alasan pasien memilih terapi pijat dalam
perawatan stroke Mean
Standard Deviasi Faktor Psikologis
Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi Faktor Sosial Budaya
Persepsi tentang Penyakit yang Diderita Faktor Ekonomi
Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh maka peneliti akan
2.1. Data Demografi
Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden berada
pada kelompok usia 40-49 tahun (34,4%). Usia mempengaruhi keputusan pasien untuk memilih menggunakan pelayanan kesehatan tertentu. Semakin bertambahnya usia membuat individu semakin memahami dirinya dan dapat
menerima informasi tentang berbagai hal dari berbagai sumber, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya.
Dalam penelitian ini terdapat sejumlah 17 orang (53,1%) dengan tingkat pendidikan SMA, 2 orang (6,3%) dengan tingkat pendidikan SMP, 5 orang (15,6%) dengan tingkat pendidikan SD, 4 orang (12,5%) dengan tingkat
pendidikan D3, 3 orang (9,4%) dengan tingkat pendidikan S1, dan 1 orang (3,1%) lainnya. Tingkat pendidikan individu sangat mempengaruhi tingkah laku sakitnya.
Tingkah laku sakit yang dialami pasien dapat menentukan kecenderungannya mencari pelayanan kesehatan dan kepatuhan terhadap terapinya sehingga menentukan hasil kesehatan (Potter & Perry, 2009). Dengan semakin tingginya
tingkat pendidikan tingkat seseorang, diharapkan individu tersebut semakin sadar akan kesehatannya dan dapat menentukan pelayanan kesehatannya dengan baik.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa lebih dari sepertiga responden bekerja sebagai PNS yaitu sejumlah 12 orang (37,5%) dan kurang dari setengah responden berpenghasilan Rp.1.500.000 sampai dengan Rp.2.000.000 yaitu
Berbeda dengan penelitian Gitawati dkk (2009) yang menyatakan bahwa semakin rendah status ekonomi seseorang, pilihan untuk menggunakan pengobatan
tradisional pun akan semakin banyak. Gambaran hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekarang ada kecenderungan penggunaan terapi kesehatan tradisional di masyarakat bukan hanya didominasi oleh kalangan masyarakat dengan tingkat
ekonomi rendah melainkan juga digunakan oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih baik.
2.2. Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli
2.2.1. Faktor Psikologis
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean
score, faktor psikologis merupakan alasan utama pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli (mean=4,75). Menurut Smith dkk (2009), hubungan saling percaya antara pasien dan terapis pijat sangat
berpengaruh positif terhadap efektifitas terapi pijat yang dijalani oleh pasien. Para terapis pijat tradisional pada umumya dekat dan akrab bergaul dengan
kehidupan masyarakat sekitarnya. Kedekatan, hubungan saling percaya, dan sikap peduli yang ditunjukkan terapis pijat membuat pasien merasa lebih nyaman dan yakin dengan efektifitas terapi yang dijalaninya. Menurut Bishop dkk (2010),
pasien memilih terapi komplementer karena merasa nyaman, holistik, dan personal sesuai dengan kebutuhannya. Smith dkk (2009) juga menyatakan bahwa
terapis, sangat berpengaruh terhadap penggunaan terapi pijat dalam perawatan kesehatan di masyarakat.
Pelayanan kesehatan di rumah sakit, khususnya pelayanan keperawatan, seharusnya lebih dapat memberi kenyamanan dan kepuasan kepada pasien dan keluarga. Kepuasan pasien dan keluarga tentu sangat dipengaruhi sikap caring
yang ditunjukkan perawat pada pasien. Dalam hubungan bantuan perawat-klien, perawat memiliki peran sebagai penolong profesional dan mengenali pasien
sebagai individu yang memiliki hubungan kesehatan, respons, dan pola hidup yang unik. Hubungan ini bersifat terapeutik dan mendorong terbentuknya iklim psikologis yang memfasilitasi perubahan positif (Potter & Perry, 2009).
Andriani dan Sunarto (2009) menyatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kepuasan pasien dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kualitas pelayanan kesehatan
yang diberikan. Semakin baik kualitas pelayanan kesehatan pada pasien maka akan semakin baik pula tingkat kepuasan pasien, sebaliknya jika kualitas pelayanan kesehatan pada pasien kurang baik maka tingkat kepuasan pasien juga
akan berkurang. Dalam pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien sering dikemukakan erat kaitannya dengan sikap, perilaku dan komunikasi petugas
kesehatan, khususnya perawat, kepada pasien. Akibatnya, pasien akan lebih memilih menggunakan terapi alternatif, termasuk terapi pijat, untuk perawatan kesehatannya. Jauhari dkk (2008) juga menemukan bahwa motivasi pasien untuk
meningkatkan komunikasi yang baik dan membina hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.
2.2.2. Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean
score, faktor manfaat dan keberhasilan terapi merupakan alasan kedua paling mempengaruhi pasien memilih terapi pijat di Kecamatan Gunungsitoli
(mean=4,53). Pijat diyakini memiliki banyak fungsi bagi kesehatan antara lain mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan energi, meningkatkan kualitas tidur, menenangkan tubuh dan pikiran, serta meredakan
stress (Trionggo & Ghofar, 2013).
Beberapa literatur juga menyebutkan berbagai manfaat dari terapi pijat
yang dilakukan pada pasien. Salah satu faktor resiko stroke pada pasien adalah hipertensi. Retno dan Prawesti (2012) menemukan bahwa ada pengaruh pijat slow
stroke massage terhadap perubahan tekanan darah pada respoden. Sentuhan
ataupun tekanan pada kulit membuat otot, tendon dan ligamen menjadi lebih rileks sehingga meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis untuk mengeluarkan
neurotransmiter asetilkolin untuk menghambat aktivitas saraf simpatis di otot jantung yang bermanifestasi pada penurunan tekanan darah. Terapi pijat atau massage membuat jaringan otot menjadi rileks, menurunkan tingkat nyeri dan
Terapi pijat juga dapat mempengaruhi kadar gula darah pada pasien diabetes. Seperti yang telah diketahui, diabetes juga merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya stroke. Sajedi (2011) menemukan bahwa terapi pijat efektif untuk menurunkan kadar gula darah pada pasien anak yang menderita diabetes. Menurutnya, terapi pijat dapat menurunkan tingkat kecemasan dan hormon stress
pada pasien. Stress dapat dihubungkan dengan pelepasan counterregulatory
hormones dan mobilisasi energi yang mengakibatkan peningkatan kadar gula
darah pasien. Penelitian Anuar dkk (2012) menemukan bahwa terapi pijat tradisional Melayu (urut Melayu) pada pasien paska stroke memberi efek yang positif. Para pasien paska stroke yang mengikuti terapi pijat percaya mengalami
peningkatan kesehatan setelah mengikuti terapi. Selain itu, terapis pijat juga melakukan komunikasi dengan pasien selama sesi terapi sehingga meningkatkan
perasaan nyaman pasien.
Instrumen penelitian ini tidak mengkaji adanya peningkatan fungsi fisik responden sebelum dan setelah mengikuti terapi pijat. Penelitian ini hanya
memberi gambaran pendapat responden tentang faktor manfaat dan keberhasilan terapi pijat dalam perawatannya, sehingga untuk mengukur adanya peningkatan
fungsi fisik pasien paska stroke yang mengikuti terapi pijat sebelum dan setelah terapi dapat dilakukan dengan metode observasi. Mayoritas pasien menganggap kesehatannya lebih baik dan seimbang setelah mengikuti terapi pijat, keluhan
penyakit yang jarang kambuh, serta mengikuti terapi pijat karena mendengar kesembuhan pasien lain yang mengikuti terapi pijat. Jauhari dkk (2008)
tidak adanya informasi negatif tentang sinse menimbulkan keyakinan pasien untuk berobat ke sinse.
Efektifitas penggunaan terapi pijat untuk perawatan pasien paska stroke masih harus dibuktikan secara medis. Belum ada penelitian yang melaporkan bahwa terapi pijat dapat meningkatkan fungsi fisik pasien paska stroke secara
signifikan. Terapi pijat tetap beresiko bagi kesehatan pasien paska stroke karena dapat menyebabkan terjadinya ruptur pada plak di dalam pembuluh darah pasien,
terutama pada pasien stroke dengan kadar kolesterol tinggi. Dalam hal ini, peran perawat sangat menentukan untuk memberi pendidikan kesehatan yang tepat pada pasien dan keluarga tentang penyakit stroke dan perawatannya.
2.2.3. Faktor Sosial Budaya
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean score, faktor sosial budaya merupakan alasan ketiga yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli
(mean=4,5). Alasan sosial budaya mempengaruhi pemikiran dan keyakinan pasien dalam memilih terapi kesehatan yang dijalaninya. Pasien sering bereaksi secara
positif terhadap dukungan sosial saat mempraktikkan tingkah laku kesehatan yang positif (Potter & Perry, 2009).
Penyakit ditentukan oleh budaya, karena penyakit merupakan pengakuan
sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar (Soejoeti, 2008). Latar belakang budaya dan suku seorang pasien dapat
sakit (Potter & Perry, 2009). Dalam hal ini, dukungan sosial dapat membantu pasien dalam mengenali ancaman sakit dan mempengaruhi tingkah laku sakit
pasien tersebut.
Kamaluddin (2010) menyatakan bahwa alasan sosial sangat mempengaruhi pasien dalam memilih dan menggunakan terapi tradisional bekam
dalam perawatannya, yang berupa dukungan dari anggota keluarga. Hal ini menjelaskan bahwa dukungan sosial dan kebiasaan budaya di masyarakat sangat
mempengaruhi keputusan pasien untuk memilih dan menggunakan terapi pijat tradisional dalam perawatan penyakit stroke yang dideritanya.
2.2.4. Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean
score, persepsi tentang penyakit yang diderita merupakan alasan keempat yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli (mean=4,38). Persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan
melalui panca indera manusia. Persepsi masyarakat tentang terjadinya penyakit bisa saja berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, tergantung dari
kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut (Soejoeti, 2008).
Persepsi pasien tentang penyakitnya mempengaruhi tingkah laku sakitnya.
Tingkah laku sakit ini mencakup cara pasien mengawasi tubuhnya, mendefiniskan dan menyimpulkan gejala, mengambil tindakan pengobatan, serta menggunakan
penelitian Walcott (2004) menyatakan bahwa masyarakat di Indonesia dalam menjaga kesehatannya, menggunakan pengobatan modern maupun pengobatan
alternatif tradisional. Ada pendapat di masyarakat bahwa keadaan yang lebih memastikan untuk kesehatan adalah menggunakan kedua metode pengobatan tersebut karena kedua sistem pengobatan tersebut, yaitu pengobatan modern dan
pengobatan alternatif tradisional, bisa bersifat saling melengkapi.
Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas responden menganggap
penyakitnya harus ditangani secara medis, sehingga para responden berobat ke dokter. Namun, selain menggunakan obat-obatan dari dokter, mereka juga mengganggap bahwa menggunakan terapi pijat tradisional juga sangat bermanfaat
untuk perawatan kesehatannya. Pandangan ini sesuai dengan konsep naturalistik dalam konsep pengobatan tradisional. Soejoeti (2008) menyatakan bahwa dalam
konsep pengobatan tradisional, penyebab sakit dapat bersifat naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan, kebiasaan hidup, dan adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh.
2.2.5. Faktor Ekonomi
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa berdasarkan mean score, faktor ekonomi merupakan alasan yang paling sedikit mempengaruhi pasien memilih terapi pijat dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah lebih sering menggunakan pengobatan alternatif tradisional.
Kamaluddin (2010) menyatakan bahwa faktor ekonomi bukan alasan utama pasien hipertensi menggunakan terapi tradisional bekam dalam perawatannya. Jauhari (2008) juga menemukan bahwa faktor ekonomi bukanlah
faktor utama motivasi pasien berobat ke sinse.
Mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki tingkat penghasilan
yang cukup baik, sehingga mampu untuk berobat ke dokter serta membiayai terapi pijat untuk perawatannya. Pertimbangan ekonomi mempengaruhi cara reaksi pasien terhadap sakit (Potter & Perry, 2009). Dalam penelitian ini, mayoritas
responden menyatakan bahwa biaya terapi pijat cukup murah sehingga tidak membebani serta terapis pijat tidak menetapkan harga tertentu sebagai biaya
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan alasan pasien memilih terapi pijat
dalam perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli yaitu faktor psikologis (mean=4,75), faktor manfaat dan kebehasilan terapi (mean=4,53), faktor sosial
budaya (mean=4,5), persepsi tentang penyakit yang diderita (mean=4,38) dan faktor ekonomi (mean=4,13).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa alasan pasien memilih terapi pijat dalam
perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli adalah faktor psikologis, faktor manfaat dan keberhasilan terapi, faktor sosial budaya, persepsi tentang penyakit
yang diderita serta faktor ekonomi.
2. SARAN
2.1. Bagi praktek keperawatan
Perawat diharapkan dapat memberi pendidikan kesehatan tentang penyakit
stroke dan perawatannya pada pasien dan keluarga. Efektifitas penggunaan terapi pijat dalam perawatan stroke masih belum terbukti secara medis, sehingga penggunaan terapi pijat tetap beresiko bagi kesehatan pasien. Oleh sebab itu,
2.2. Bagi pendidikan keperawatan
Pendidikan keperawatan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perawat melakukan komunikasi terapeutik dan bersikap caring dalam pelaksanaan pelayanan asuhan keperawatan di masyarakat. Sehingga nantinya diharapkan,
masyarakat akan lebih memilih menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit untuk perawatan kesehatannya.
2.3. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini memberi gambaran alasan pasien memilih terapi pijat dalam
perawatan stroke di Kecamatan Gunungsitoli. Oleh karena itu, diharapkan ada penelitian selanjutnya tentang hubungan antar tiap faktor dan faktor yang paling
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Stroke 1.1. Definisi Stroke
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya
fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat dalam hitungan detik atau menit. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lebih dari 24 jam
dan dapat menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008).
WHO mendefenisikan stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau
lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak (Tarwoto,
2007).
1.2. Klasifikasi Stroke
Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan patologis serta perjalanan penyakitnya. Berdasarkan keadaan patologis, stroke dapat dibagi dua,
yaitu stroke iskemia dan stroke hemoragik.
Stroke iskemia terjadi akibat suplai darah ke jaringan otak berkurang yang disebabkan karena adanya obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak.
dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat ateroslerosis. Stroke karena emboli biasanya berasal dari suatu trombosis dalam jantung, dapat juga
berasal dari plak ateroslerosis sinus karotikus atau arteri karotis interna. Pada stroke akibat hypoperfusi global biasanya disebabkan karena cardiac arrest dan embolis pulmonal (Tarwoto, 2007).
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena adanya perdarahan intrakranial non traumatik. Perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi
perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid (Harsono, 2007).
Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
Perdarahan intraserebral sering diakibatkan oleh cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke
dalam jaringan otak. Perdarahan di bagian dalam jaringan otak biasanya menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam (Price &Wilson, 2005).
Perdarahan subarakhnoid memiliki dua kausa utama, yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan subarakhnoid merupakan
keadaan akut karena darah di rongga subarakhnoid dapat merangsang selaput otak dan menimbulkan meningitis kimiawi (chemical meningitis). Darah yang sampai di ventrikel dapat menggumpal dan mengakibatkan hidrosefalus akut. Pada
Sedangkan berdasarkan mekanisme perjalanan penyakitnya, stroke terbagi atas empat, yaitu Transient Ischemic Attack (TIA), Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), stroke progresif (Stroke in Evolution), dan stroke
lengkap (Complete Stroke).
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gangguan neurologi fokal
yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang muncul akan hilang secara spontan dalam waktu
kurang dari 24 jam (Tarwoto, 2007). Gangguan neurologi ini menimbulkan beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena. TIA
merupakan hal yang penting diperhatikan karena dapat menjadi peringatan dini
akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang (Price & Wilson, 2003). Pada Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), gejala neurologik
yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu (Harsono, 2007).
Stroke Progresif (Stroke in Evolution) merupakan perkembangan stroke
yang terjadi secara perlahan-lahan sampai akut, munculnya gejala semakin memburuk. Proses progresif ini terjadi beberapa jam sampai beberapa hari
(Tarwoto, 2007).
Stroke lengkap (Complete Stroke) merupakan gangguan neurologi yang sudah menetap atau permanen, maksimal sejak awal serangan dan sedikit
1.3. Penyebab Stroke
Stroke yang terjadi pada pasien dapat disebabkan oleh beberapa kejadian,
yaitu trombosis, emboli serebral, dan perdarahan serebral.
Trombosis adalah bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah ke otak. Oklusi vaskular hampir selalu
disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan leukosit. Jejas pada sel endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di
pembuluh darah (Lumbantobing, 2001).
Emboli otak merupakan 5-15% dari penyebab stroke. Emboli dapat terdiri dari debris kolesterol, gumpalan trombosit dan fibrin (Lumbantobing, 2001).
Perdarahan serebral dapat mengganggu fungsi otak melalui mekanisme yang berbeda-beda, meliputi adanya kerusakan atau tekanan pada jaringan otak,
serta tekanan pada pembuluh darah otak (Simon, 2009).
1.4. Faktor Resiko Stroke
Stroke merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor resiko. Tarwoto (2007) menjelaskan faktor resiko stroke yang meliputi usia, jenis
kelamin, ras dan keturunan, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, polisitemia, merokok, dislipidemia, serta obesitas.
Usia merupakan faktor resiko terjadinya stroke. Dengan semakin
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk menderita stroke dibanding perempuan. Hal ini dapat disebabkan gaya
hidup seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol yang lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan (Weng dkk, 2010).
Ras dan keturunan juga mempengaruhi resiko seseorang menderita stroke.
Riwayat penyakit stroke dalam keluarga atau penyakit yang berkaitan dengan stroke menjadi faktor resiko seseorang dapat terserang stroke.
Hipertensi merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya ateroslerosis pembuluh darah serebral sehingga nantinya akan pecah dan menimbulkan perdarahan pada jaringan otak.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fibrilasi atrium dapat menyebabkan penurunan cardiac output, sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi
serebral.
Pada pasien dengan penyakit diabetes mellitus terjadi gangguan vaskuler sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hambatan aliran darah ke otak.
Meningkatnya kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi sel endotel yang dapat memicu terbentuknya aterosklerosis.
Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat oleh resistensi insulin, sehingga kecenderungan mengalami koagulasi intravaskular juga semakin meningkat (Price & Wilson, 2005).
mengakibatkan darah menjadi lebih kental sehingga aliran darah ke otak menjadi lebih lambat.
Orang yang memiliki kebiasaan merokok dua kali lebih beresiko untuk menderita stroke dibanding orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2013). Rokok menimbulkan plak pada pembuluh darah akibat nikotin dan karbon
monosida, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis.
Dislipidemia dapat menjadi salah satu pemicu stroke. Semakin tinggi kadar
kolesterol dalam darah, maka semakin besar kemungkinan kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah. Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis dan lemak sehingga dapat
menghambat aliran darah. Seseorang dengan berat badan berlebih juga beresiko tinggi menderita stroke. Pada pasien obesitas, kadar kolesterol darah tinggi yang
dapat memicu terjadinya hipertensi.
1.5. Patofisiologi Stroke
Stroke merupakan jejas otak yang disebabkan oleh dua jenis gangguan vaskular, yaitu iskemia dan hemoragik (Lumbantobing, 2001). Terjadinya stroke
sangat erat hubungannya dengan perubahan aliran darah otak, baik karena adanya sumbatan/oklusi pembuluh darah ataupun karena adanya perdarahan pada otak, menimbulkan tidak adekuatnya suplai oksigen dan glukosa. Berkurangnya
lebih banyak. Sebaliknya keadaan vasodilatasi memberi efek pada peningkatan tekanan intrakranial (Tarwoto, 2007).
The National Stroke Assoiation (2001 dalam Price & Wilson, 2005) meringkas mekanisme cedera sel akibat stroke sebagai berikut. Tanpa obat-obat neuroprotektif, sel-sel saraf yang mengalami iskemia 80% atau lebih akan
mengalami kerusakan irreversibe dalam beberapa menit. Pusat iskemik dikelilingi oleh daerah jaringan lain yang disebut penumbra iskemik atau “zona transisi”
dengan CBF antara 20% dan 50% normal (10 sampai 25 ml/100 g jaringan otak/menit). Sel-sel neuron yang berada di daerah ini berada dalam bahaya tetapi belum rusak secara ireversibel.
Secara cepat di dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah penumbra iskemik, cedera dan kematian sel otak berkembang karena tanpa
pasokan darah yang memadai sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi, terutama ATP. Apabila kekurangan energi terjadi, maka akan mengakibatkan pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga
neuron membengkak. Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan energi ini adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalium intrasel. Sel-sel otak
kemudian melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat dalam jumlah berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini kemudian merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron
lain, reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya
meningkatkan banyak fungsi fisiologis yang bergantung pada vasodilatasi, namun dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian
neuron. Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease yang diaktifkan oleh kalsium, lipase, dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang iskemik. Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan dapat
menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang otak.
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan perdarahan otak dan lokasi
perdarahannya. Perdarahan intraserebral di dalam jaringan otak sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam otak (Price & Wilson, 2005).
Perdarahan subaraknoid menyebabkan disfungsi serebral akibat peningkatan tekanan intrakranial. Penyebabnya yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan
trauma kepala (Price & Wilson, 2005). Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambah tekanan intrakranial semakin berat. Keadaan hemoragik dan iskemik dapat terjadi
bersamaan. Hemoragik dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan iskemia, dan pada daerah yang mengalami iskemia dapat terjadi
perdarahan (Lumbantobing, 2001).
1.6. Tanda dan Gejala Sroke
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya
munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai terutama
di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung saat berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan; dan adanya nyeri kepala mendadak
tanpa penyebab yang jelas (Price & Wilson, 2005).
Price dan Wilson (2005) menjelaskan sindrom neurovaskular, yang
berlaku pada iskemia dan infark akibat trombosis atau embolus sebagai berikut. Pada arteri karotis interna, lokasi tersering terjadinya lesi adalah bifurkasio arteria karotis komunis ke dalam arteria karotis interna dan eksterna. Hal ini dapat
mengakibatkan timbulnya berbagai sindrom dan polanya bergantung pada jumlah sirkulasi kolateral di antaranya dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria
karotis yang terkena akibat insufisiensi arteria retinalis serta timbulnya gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri media. Lesi juga dapat terjadi di daerah antara arteria serebria anterior dan media
atau arteria serebri media dengan gejala awal timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi terjadi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara-motorik Broca.
Jika lesi yangb terjadi pada arteri serebri media mengakibatkan pasien mengalami hemiparesis atau monoparesis kontralateral, juga dapat terjadi
hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia global, serta disfasia.
Lesi pada arteri serebri anterior dapat mengakibatkan terjadinya
mengakibatkan gerakan volunter tungkai yang bersangkutan terganggu, defisit sensorik kontralateral, demensia, gerakan menggenggam dan refleks patologis
(disfungsi lobus frontalis).
Lesi pada sistem vertebrobasilar dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan di salah satu atau keempat ekstermitas, terjadi peningkatan refleks
tendon, ataksia, tanda Babinski bilateral, gejala-gejala serebelum seperti tremor intention dan vertigo, disfagia, disatria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan
daya ingat, disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis satu gerakan mata, hemianopsia homonim), adanya tinitus, serta rasa baal di wajah, mulut dan lidah.
Lesi pada arteri serebri posterior, dapat mengakibatkan pasien mengalami koma, hemiparesi kontralateral, afasia visual atau buta kata (aleksia), serta
kelumpuhan saraf kranial ketiga.
1.7. Penatalaksanaan Stoke
Harsono (2007) membagi penatalaksanaan stroke ke dalam dua tahap, yaitu tahap akut dan paska akut. Fase akut terjadi pada hari ke 0 sampai hari ke 14
sesudah onset penyakit. Pada tahap akut, sasaran pengobatan ditujukan untuk menyelamatkan neuron yang cedera agar tidak sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu atau mengancam fungsi otak.
Tidakan dan obat yang diberikan harus menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup. Jalan napas pasien harus bersih dan longgar. Jantung juga harus berfungsi
tingkat optimal, serta dipantau agar jangan terjadi penurunan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi pada fase akut tidak diturunkan dengan drastis, terutama
pada penderita diabetes melitus. Bila klien dalam keadaan gawat atau koma, keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau.
Obat-obatan yang digunakan untuk memulihkan aliran darah dan
metabolisme otak antara lain anti edema otak berupa gliserol 10 % per infus, 1 gr/kg BB/hari dalam 6 jam, kortikosteroid dan deksametason dengan bolus 10-20
mg i.v., diikuti 4-5 jam/6 jam selama beberapa hari, lalu diturunkan pelan-pelan dan dihentikan setelah fase akut. Anti agresasi trombosit asam asetil salisilat (ASA), seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah : 80-300 mg/hari serta
antikoagulan misalnya heparin. Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terulangnya
stroke.
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka yang paling penting adalah upaya membatasi semaksimal mungkin
kecacatan penderita, baik fisik dan mental. Lingkungan sangat penting untuk mengontrol variabel-variabel penting yang dapat mempengaruhi keadaan pasien,
seperti hidrasi, temperatur,dan glukosa darah, dan tata laksana lainnya yang sesuai. Fisioterapi yang berkesinambungan, terapi komplementer dan terapi wicara, serta keterlibatan keluarga dan perawat dapat membantu pasien agar
Terapi preventif bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke dengan cara mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko
stroke, seperti hipertensi, diabetes melitus, rokok, obesitas, dan stres.
2. Konsep Pijat 2.1. Pengertian Pijat
Pijat telah digunakan sebagai salah satu intervensi terapeutik untuk
mengatasi berbagai keluhan penyakit selama ribuan tahun. Di Asia pijat telah dikenal sejak 1000 tahun SM, terutama dalam penyembuhan Ayurveda. Pijat merupakan manipulasi terhadap jaringan lunak, umumnya dengan menggunakan
tangan, untuk menstimulasi dan merelaksasi, serta untuk mengurangi stres dan kecemasan (Keir, 2010).
2.2. Jenis-Jenis Pijat
Ada berbagai macam terapi pijat yang dikenal di seluruh dunia, yaitu pijat
shiatsu, biodinamic massage, refleksologi, sport massage atau pijat Swedia, pijat bayi dan pijat tradisional Indonesia.
Shiatsu merupakan bentuk kuno dari terapi pijat dengan melakukan penekanan pada titik-titik tertentu di tubuh yang telah dipraktekkan selama berabad-abad di Jepang. Pijat shiatsu didasarkan pada prinsip menekan titik-titik
Biodinamic massage merupakan merupakan suatu jenis terapi kesehatan yang mengkombinasikan terapi pijat dengan elemen olah tubuh dan
perkembangan psikologi (Sundari, 2011).
Sport massage atau pijat Swedia merupakan jenis terapi pijat yang
ditujukan untuk merilekskan otot dan melenturkan sendi yang kaku, yang
umumnya dilakukan pada olahragawan atau atlet (Sundari, 2011).
Pijat bayi adalah pijat yang berupa usapan-usapan lembut pada tubuh bayi
yang umumnya bertujuan untuk memberi rasa aman, nyaman dan menyehatkan bagi bayi. Beberapa penelitian menemukan bahwa pijat bayi dapat membantu meningkatkan berat badan bayi, meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh
bayi, serta meningkatkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan bayi (Sundari, 2011).
Pijat tradisional Indonesia adalah pijat khas Indonesia yang mengandalkan teknik pemijatan dengan penekanan telapak tangan dan ibu jari ke tubuh. Beberapa terapis pijat tradisional menggunakan minyak kelapa untuk
mempermudah pemijatan pada tubuh pasien. Masyarakat di Indonesia menggunakan terapi pijat tradisional sebagai terapi untuk perawatan kesehatan
(Ilham, 2011; Sundari, 2011; Agoes & Jacob, 1996).
2.3. Teknik Pemijatan
Goldstein (2010) membagi teknik pemijatan dalam 5 gerakan utama, yaitu
efflurage, friction, petrissage, tapotement, dan vibrasi.
Efflurage adalah gerakan pemijatan dengan mengusap yang dilakukan
secara berirama dan berturut-turut ke arah atas. Gerakan mengusap, yaitu gerakan
ringan dan terus-menerus yang dilakukan dengan ujung jari bagian bawah pada bagian wajah yang sempit seperti hidung dan dagu, dan dengan telapak tangan
pada bagian wajah yang lebar seperti dahi dan pipi. Efflurage memiliki efek sedatif yaitu memberikan efek menenangkan, sehingga selalu dipakai di awal dan di akhir pemijatan (Goldstein, 2010).
Friction memberi tekanan pada kulit untuk memperlancar sirkulasi darah dan memperkuat otot dan kulit. Friksi dapat dilakukan dengan ujung0ujung jari
atau pangkal telapak tangan, sesuai dengan kebutuhan. Friksi dilakukan dengan menekankan ujung-ujung jari pada bagian tubuh yang dipijat, lalu diputar ringan berurutan sambil berpindah tempat (Goldstein, 2010; Keir, 2005)
Petrissage bertujuan untuk memijat otot dengan menggunakan satu tangan atau kedua tangan. Pelaksanaan petrissage untuk daerah-daerah yang lebar pada
tubuh dapat dilakukan dengan kedua tangan secara bersamaan atau kedua tangan bergantian secara berurutan. Untuk daerah yang sempit, pemijatan dilakukan dengan menggunakan ujung-ujung jari dengan arah gerakannya naik turun bebas
(Goldstein, 2010).
Tapotement merupakan gerakan memijat dengan menepuk yang dilakukan
kedua tangan secara bergatian. Sikap tangan dapat berupa setengah mengepal, jari-jari terbuka atau rapat, serta dapat juga dilakukan dengan mencekungkan
telapak tangan dengan jari-jari merapat. Gerakan ini bertujuan untuk mengurangi tonus otot dan memperlancar peredaran darah (Goldstein, 2010).
Vibrasi merupakan gerakan menggetarkan otot secara berirama dengan
tekanan ringan. Pada gerakan ini digunakan ujung jari dan telapak tangan untuk menggetarkan massa otot secara bergantian (Goldstein, 2010)
2.4. Manfaat Pijat
Manfaat pijat bersifat universal, positif dan bermanfaat bagi kesehatan
tubuh secara keseluruhan. Pijat telah digunakan diseluruh dunia sebagai tindakan pencegahan tanpa menggunakan obat atau operasi (Trionggo & Ghofar, 2013).
Pijat memiliki banyak fungsi bagi kesehatan antara lain mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan energi, meningkatkan kualias tidur, menenangkan tubuh dan pikiran serta meredakan stres (Trionggo &
Ghofar, 2013).
Retno dan Prawesti (2012) menemukan adanya pengaruh pijat slow stroke back terhadap perubahan tekanan darah pada responden. Sentuhan atau tekanan
pada kulit membuat otot, tendon, dan ligamen menjadi lebih rileks sehingga meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis untuk mengeluarkan neurotransmitter
Dalam penelitiannya, Givi (2013) menemukan bahwa pijat atau massage
dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien hipertensi. Pijat
menjadi suatu intervensi yang aman, efektif, dan murah untuk mengontrol tekanan darah dan dapat dilakukan di tempat pusat perawatan dan di rumah.
Weerapong (2005) menemukan bahwa pijat atau massage dapat
mengurangi respon nyeri pasien dengan mekanisme gerbang kontrol pada spinal cord. Pijat dapat meningkatkan substansi biokimia seperti serotonin, yang
merupakan neurotransmitter yang dapat mengurangi respon nyeri. Pijat juga memiliki efek yang positif terhadap tingkat ansietas atau kecemasan pasien.
Penelitian Sajedi (2011) terhadap anak-anak penderita diabetes melitus,
didapatkan bahwa massage atau pijat efektif dalam menurunkan kadar gula darah pasien. Pijat juga dapat menurunkan tingkat kecemasan dan hormon stres pasien,
sehingga dapat meningkatkan relaksasi.
Anuar (2012) dalam penelitiannya melaporkan adanya efek positif terapi pijat pada pasien paska stroke. Pasien mengaku mengalami kemajuan pemulihan
secara fisik dan psikis setelah mengikuti terapi pijat dalam perawatannya.
3. Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat Sebagai Terapi Komplementer Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki berbagai pandangan tentang terapi komplementer. Masyarakat memilih terapi
komplementer sebagai pelengkap terapi medis karena menganggap bahwa terapi tersebut lebih nyaman, holistik dan lebih personal sesuai dengan kebutuhan
memiliki efek samping karena lebih alami, serta dapat melengkapi terapi medis dalam perawatan pasien (Bishop, 2008; Tindle, 2005).
Ada beberapa faktor alasan pasien memilih terapi pijat sebagai terapi komplementer dalam perawatannya, selain menggunakan terapi medis. Faktor-faktor tersebut adalah Faktor-faktor sosial masyarakat, psikologi, ekonomi, Faktor-faktor
manfaat dan keberhasilan terapi, dan persepsi tentang penyakit yang diderita (Trionggo & Ghofar, 2013; Bishop, 2010; Potter & Perry, 2009; Walcott, 2004).
3.1. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya mempengaruhi pemikiran dan keyakinan pasien
dalam memilih terapi kesehatan yang akan dijalaninya. Kelompok sosial dapat membantu pasien dalam mengenali ancaman sakit atau mendukung penolakan
terhadap sakit. Klien sering bereaksi secara positif terhadap dukungan sosial saat mempraktekkan tingkah laku kesehatan yang positif. Faktor sosial juga sangat mempengaruhi keputusan pasien tentang layanan kesehatan yang dipilihnya
(Potter & Perry, 2009).
Terapi pijat juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat. Smith
dkk (2009) menemukan bahwa pasien sangat dipengaruh oleh nilai-nilai yang diyakininya untuk memilih terapi pijat dalam proses perawatannya. Nilai-nilai tersebut memberi dampak yang signifikan terhadap efektifitas terapi pijat yang
3.2. Faktor Psikologis
Menurut Bishop (2010), pasien memilih terapi komplementer karena
merasa lebih nyaman, holistik dan lebih personal sesuai dengan kebutuhannya. Pasien merasa yakin bahwa kondisi kesehatannya akan lebih baik dengan perawatan yang dilakukan oleh terapis. Sikap caring yang ditunjukkan oleh terapis
juga mempengaruhi keputusan pasien memilih terapi komplementer yang dijalaninya.
Hubungan saling percaya antara pasien dengan terapis juga berdampak positif terhadap efektifitas terapi yang dijalani oleh pasien. Banyak pasien yang meyakini bahwa penyembuhan dapat tercapai dengan sentuhan dan sikap caring
serta empati yang ditunjukkan oleh terapis pada mereka (Smith dkk, 2009).
3.3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi mempengaruhi reaksi pasien terhadap penyakit. Akses layanan kesehatan berkaitan erat dengan faktor ekonomi (Potter & Perry, 2009).
Dalam penelitiannya, Walcott (2004) menyatakan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi keputusan masyarakat memilih pelayanan kesehatan. Biaya yang
murah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat sebagai terapi komplementer dalam perawatannya.
3.4. Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi
Keefektifan terapi komplementer juga menjadi salah satu alasan pasien
untuk memilih terapi. Pasien yang memilih terapi pijat merasakan banyak manfaat selama menjalani terapi. Mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan kualitas tidur, meredakan stres dan menenangkan pikiran dan tubuh
merupakan manfaat pijat yang banyak dirasakan oleh pasien (Trionggo & Ghofar, 2013).
3.5. Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita
Persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera.
Persepsi pasien terhadap penyakitnya mempengaruhi perilaku pasien terhadap gejala dan tanda penyakit yang dideritanya. Menurut Forster dan Anderson
(1986), di Indonesia masyarakat dan pengobat tradisional menganggap ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya suatu penyakit, yaitu naturalistik dan personalistik.
Seseorang yang menderita penyakit dianggap akibat pengaruh lingkungan, makanan, kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh, serta penyakit
bawaan. Hal inilah yang disebut sebagai penyebab penyakit yang bersifat naturalistik. Sedangkan paham personalistik menganggap bahwa penyakit disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa roh jahat atau sihir.
Masyarakat mengganggap sakit merupakan keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman (Forster &
Menurut Potter dan Perry (2009), perilaku sehat adalah berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pemeliharaan, pencapaian atau usaha mendapatkan
kembali kondisi kesehatan yang baik dan mencegah penyakit. Sedangkan perilaku sakit mencakup cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialaminya, melakukan usaha penyembuhan, dan
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Stroke atau yang disebut juga dengan cerebrovaskular accident (CVA)
merupakan suatu keadaan terhentinya aliran darah serebral yang menyebabkan kelainan otak permanen yang bersifat mendadak dan menimbulkan gejala sesuai
dengan bagian otak yang tidak mendapat suplai darah tersebut, dengan angka kecacatan dan kematian yang tinggi (Rab, 1998).
Data menunjukkan bahwa stroke merupakan penyakit penyebab kematian
nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di negara-negara berpenghasilan rendah, stroke menjadi penyakit kelima mematikan dan di negara-negara
berpenghasilan sedang dan tinggi, stroke menjadi penyakit kedua mematikan (Yastroki, 2009). Pada tahun 2008, stroke dan penyakit cerebrovascular lainnya menyebabkan 6,2 juta orang di dunia meninggal (WHO, 2009).
Di Indonesia, stroke menjadi penyakit penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Diperkirakan setiap tahunnya ada
sekitar 500.000 orang mengalami stroke di Indonesia dan dari seluruh penderita stroke di Indonesia, 2,5% meninggal dunia dan selebihnya mengalami kecacatan dari ringan sampai berat (Yuniarsih, 2010).